Anda di halaman 1dari 3

TINJAUAN PUSTAKA

Dendeng
Dendeng sapi menurut SNI 01-2908-1992 (Dewan Standardisasi Nasional, 1992)
adalah produk makanan berbentuk lempeng yang terbentuk dari irisan atau gilingan daging
sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng
termasuk makanan yang dibuat dengan cara pengeringan dan digolongkan dalam golongan
Intermediate Moisture Food (IMF), yaitu suatu makanan yang mempunyai kadar air antara 15
50%, bersifat plastis & tidak kering (Soputan, 2004). Dendeng menurut Soeparno (2005)
memiliki masa simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air 15% sampai 20% dan pH 4,5-5,1.
Dendeng secara bakteriologis lebih stabil dalam waktu yang relatif lama. Warna dendeng
yang coklat kehitaman disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Selama proses pembuatan
dendeng membentuk senyawa coklat yang bisa menyebabkan rasa atau flavor pahit.
Dendeng merupakan salah satu bahan makanan setengah basah dengan nilai aw
berkisar antara 0,7-0,9. Beberapa reaksi kimia yang terjadi pada bahan makanan setengah
basah seperti, hilangnya lisin, reaksi pencoklatan nonenzimatis, oksidasi lipida dan enzim
akan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan makanan kering konvensional. Kemungkinan
pertumbuhan mikroba pada produk ini dapat terjadi jika nilai aw cukup tinggi. Reaksi
pencoklatan nonenzimatis yang terjadi pada produk ini tergantung pada air dan secara
konstan menunjukkan tingkat maksimum pada kadar air sedang. Hal ini disebabkan dari dua
peranan air yaitu sebagai pelarut dan sebagai suatu produk dari reaksi. Reaksi ini
mengakibatkan penurunan lisin karena bereaksi dengan gula pereduksi (Buckle et al.,1987).
Dendeng giling merupakan salah satu hasil olahan dan pengawetan daging yang
berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan daging gilingan segar yang diberi bumbu dan
dikeringkan. Pengeringan dendeng bisa dilakukan dengan penjemuran maupun menggunakan
oven hingga mencapai kadar air tertentu. Pengeringan dendeng giling menggunakan oven
memerlukan penjagaan yang khusus, terutama mengenai tinggi suhu dan lama pengeringan
sehingga tidak merusak kualitas dendeng giling secara alami maupun kimiawi (Haryanto,
2000). Menurut Buckle et al. (1987) metode pengeringan mempunyai keuntungan yaitu dapat
mengeluarkan sebagian air dari produk dan memiliki kestabilan lebih tinggi selama
penyimpanan pada suhu kamar.
Garam
Garam menurut Guardia et al. (2006) merupakan bahan penting dalam proses
pengolahan daging dan berkontribusi dalam daya ikat air, warna, ikatan lemak dan flavor.
Puollane et al. (2001) menambahkan bahwa garam dapat menjaga keamanan pangan secara
mikrobiologi. Garam berfungsi meningkatkan daya simpan karena dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Garam juga berperan dalam menentukan tekstur
produk dengan cara meningkatkan kelarutan protein. Penambahan garam sebaiknya tidak
kurang dari 2% karena konsentrasi garam yang kurang dari 1,8% akan menyebabkan
rendahnya protein yang terlarut (Usmiati dan Priyanti, 2008). Penambahan garam dapat
meningkatkan ion-ion tembaga, mangan, dan besi. Ion-ion tersebut dapat berfungsi sebagai
katalis dalam reaksi ketengikan (oxidative rancidity). Senyawa-senyawa ketengikan yang
sudah terbentuk akan mudah bereaksi dengan asam amino. Reaksi antara ketengikan dengan
asam amino disebabkan oleh adanya ion-ion logam (transition metal) dalam kristal garam

yang dapat membentuk pirazin yang merupakan reaksi lanjutan antara asam amino tertentu
dengan ketengikan (Basmal et al., 1997) .
Bawang Putih
Maryam et al. (2003) menyatakan bawang putih merupakan salah satu bahan alami
yang memiliki efek antimikotik dan dapat mendetoksifikasi aflatoksin. Aktivitas antimikroba
bawang putih disebabkan oleh adanya senyawa aktif allicin dan ajoene. Soeparno
menambahkan (2005) Bawang putih mempunyai pengaruh preservatif terhadap produk
olahan daging karena mengandung lemak (minyak esensial) dan substansi yang bersifat
antioksidan, sehingga dapat menghambat perkembangan ransiditas. Menurut SNI 1 -31601992 persyaratan mutu bawang putih mencakup kesamaan sifat varietas, tingkat kematangan,
kekompakan dan keberuasan siung, kekeringan dan persentase kerusakan (Dewan
Standardisasi Nasional, 1992).
Ketumbar
Ketumbar mempunyai nama latin Coriandrum sativum, termasuk famili Umbelliferae.
Kandungan nutrisi dari ketumbar adalah 26 % lemak, 17% protein, 10% pati dan 20% gula.
Ketumbar banyak digunakan sebagai bumbu masak yang dalam penggunaannya dilakukan
penggerusan terlebih dahulu. Ketumbar biasanya digunakan dalam masakan karena
menimbulkan aroma yang khas yang disebabkan oleh zat volatil yang terdapat pada ketumbar
(Purnomo, 1997).
Lengkuas
Lengkuas (Alpinia galanga Linn) merupakan salah satu tanaman bahan obat-obatan
yang digunakan baik dalam farmasi atau untuk kepentingan pertanian. Hal tersebut
disebabkan keanekaragaman struktur kimia yang dihasilkan, mengurangi efek samping yang
ditinggalkan dan mudah didapat. Lengkuas mengandung minyak atsiri, senyawa flavonoid,
fenol, dan terpenoid. Flavonoid merupakan salah satu komponen antioksidan alami (Parwata
dan Dewi, 2008). Rimpang dari lengkuas mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim
santin oksidase sehingga bersifat anti tumor. Minyak atsiri pada rimpang lengkuas dengan
konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm aktif menghambat pertumbuhan bakteri E .coli dengan
diameter daerah hambatan sebesar 7 mm dan 9 mm, sedangkan terhadap bakteri S. aureus
hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 1000 ppm sebesar 7 mm
(Parwata dan Dewi, 2008).
Gula Merah
Soeparno (2005) menyatakan fungsi gula sebagai preservatif karena terbentuknya
asam laktat di dalam produk, sehingga pH produk menurun dan produk menjadi agak kering
selama proses pematangan. Penambahan gula ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi yang
tinggi akan menurunkan kandungan air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme
dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan akan berkurang (Buckle et al., 1987). Kandungan
gula yang tinggi dapat berperan untuk menghambat proses timbulnya reaksi oksidasi dan
ketengikan (Winarno, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Basmal, J., B.S.B. Utomo, K.D.A. Taylor. 1997. Pengaruh perebusan, penggaraman dan
penyimpanan terhadap penurunan kandungan lisin yang terdapat dalam ikan pindang.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 3(2). http://www.scribd.com/doc/24666851/null. [28
November 2016].
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Dendeng Sapi. SNI 01-2908-1992, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Bawang Putih. SNI 01-3160-1992, Jakarta
Guardia, M.D., L. Guerrero, J. Gelabert, P. Gou, J. Arnau. 2006. Consumer attitude towards
sodium reduction in meat products and acceptability of fermented sausages with reduced
sodium content. Journal of Meat Science 73: 484490.
Haryanto, E. 2000. Dendeng Giling. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta.
http://www.agos.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/Den-deng %201.pdf. [28
November 2016].
Maryam, R., Y. Sani, S. Juariah, R. Firmansyah dan Miharja. 2003. Efektivitas ekstrak bawang
putih (Allium satium Linn) dalam penanggulangan aflatoksis pada ayam petelur. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 29-30 September
2003: p.454-461.
Parwata, I. M.O.A dan P.F.S. Dewi. 2008. Isolasi dan uji aktivitas antibakteri minyak atsiri dari
rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.). Jurnal Kimia 2(2): 100-104.
Puolanne, E.J., M.H. Ruusunen, J.I. Vainionpaa. 2001. Combined effects of NaCl and raw meat
pH on water-holding in cooked sausage with and without added phosphate. Jurnal of Meat
Science 58: 1-7.
Purnomo. 1997. Studi tentang stabilitas protein daging kering dan dendeng selama penyimpanan.
Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soputan, J.E.M. 2004. Dendeng sapi sebagai alternatif pengawetan daging. Disertasi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Usmiati, S. dan A. Priyanti. 2008. Sifat fisikokimia dan palatabilitas bakso daging kerbau. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
http://www.peternakanlitbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lkb 06-15.pdf. [28
November 2016].
Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai