Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, banyak masyarakat yang mengenal kedelai sebagai salah satu
komoditas prtanian yang sangat dibutuhkan dalam berbagai produsen makanan.
Olahan makanan yang terbuat dari kedelai seperti tahu, tempe maupun susu
kedelai yang sekarang sudah jarang ditemui walaupun masih ada. Hal teebut
dikarenakan oleh pasokan kedelai yang kurang memenuhi permintaan dalam
negeri, mengakibatkan produsen makanan tradisional yang menggunakan bahan
baku kedelai mulai berputar otak. Hal ini dikarenakan Indonesia masih bergantung
kedelai impor untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang terus meningkat
seiring permintaan konsumen.
Akibatnya banyak produsen tahu, tempe yang gulung tikar akibat harga
kedelai yang tinggi dan harga jual produk yang tidak dapat mengimbangi harga
bahan pokok tersebut. Kebijakan yang diambil pemerintah terus melakukan impor
dari negara besar penghasil kedelai, menyebabkan produksi kedelai dalam negeri
terus melesu seiring perkembangan. Kondisi ini tidak seimbang dengan
kedudukan Indonesia sebagai negara agraris terbesar di dunia dengan bentang
lahan terluas di dunia. Namun hal ini belum bisa membuat Indonesia mandiri
berproduksi bahan pangan khususnya kedelai tanpa bergantung dengan negara
lain.
Untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian maka pemerintah sering
melakukan intervensi terhadap kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan
komoditas pertanian. Kebijakan perdagangan berkaitan erat dengan kebijakan

harga. Tujuan dari kebijakan perdagangan komoditas pertanian dapat berbeda


bedatergantung pada jenis komoditasnya. Kebijakan tarif impor dan hambatanhambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi
impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor terhadap barang
ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukup atau mencegah
kenaikan komoditas tersebut didalam negeri.
Kebijakan harga saat ini terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan
sebagai berikut:
1. Meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan
2. Menstabilkan harga dan mencukupi bahan baku agroindustri
3. Meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan impor
4. Menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran
5. Memperbaiki alokasi sumber daya domestik sehingga diperoleh pertumbuhan
ekonomi secara efisien dan
6. Menjaga kestabilan politik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan produksi kedelai Indonesia?
2. Apa saja kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah untuk komditi kedelai?
3. Bagaimana dampak kebijakan tersebut bagi pembangunan pertanian pada
umumnya?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui perkembangan produksi kedelai di Indonesia


2. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada
komoditas kedelai
3. Untuk mengetahui dampak dari kebijakan tersebut terhadap pembangunan
pertanian pada umumnya.

II. PEMBAHASAN
2.1. Pengenalan Kedelai

Kedelai (Glicyne max L.) saat ini yang terus dikembangkan dulunya berasal
dari daratan china, manchuria dan korea. Tahun 1750 di Indonesia kedelai sudah
mulai dikenal sebagai bahan makanan dan ransum ternak peliharaan seperti ayam.
Sebagai bahan makanan, pada umumnya kedelai tidak langsung dimasak
melainkan diolah terlebih dahulu sesuai kegunaannya misalnya dibuat tempe,
tahu, kecap dan taoge. Selain itu, di era Industrialisasi saat ini kedelai sudah
diolah menjadi aneka bahan makanan, susu kedelai, dan minuman sari kedelai
yang kemudian dikemas dalam botol dengan kandungan protein yang cukup tinggi
(AAK, 2002).
Kandungan kedelai per 100 gr nya antara lain Protein 34,9 gram; Kalori 331
kal; Lemak 18,1 gram; Hidrat Arang 34,8 gram; Kalsium 227 mg; Fosfor 585 mg
- Besi 8 mg; Vitamin A 110 SI; Vitamin B1 1,07 mg; Air 7,5 gram. Adapun
manfaat yang dimiliki kedelai yaitu sumber protein nabati terbaik, meningkatkan
sistem imunitas tubuh, memperlancar metabolisme tubuh, menyaimbangkan gula
darah, menurunkan tekanan darah dan kolesterol (Winarsi, 2010).
2.2. Perkembangan Produksi Kedelai
Berdasarkan angka ramalan III BPS (Badan Pusat Statistik), produksi
kedelai tahun 2009 diperkirakan sebesar 966,47 ribu ton kering atau naik 190,76
ribu ton (24,59%) dari tahun 2008. Data Departemen Pertanian menunjukkan
bahwa produksi kedelai nasional mengalami trend meningkat sejak tahun 2007.
Kenaikan ini merupakan prestasi yang sangat baik setelah terjadi keterpurukan
komoditas tersebut tahun 2007. Kenaikan ini diperkirakan karena naiknya luas

panen seluas 137,24 ribu ha (23,22%) dan peningkatan produktivitas sebesar 0,14
kuintal/ha (1,07%) (Badan Pusat Statistika, 2009).
Namun demikian upaya peningkatan produksi (on farm) itu perlu di dukung
oleh sektor hilir (off farm), misalnya kebijakan yang membuat harga kedelai
dipasaran stabil dan pengendalian jumlah kedelai impor. Peningkatan produksi
kedelai tentu dapat mengurangi jumlah impor kedelai kedalam negeri. Pada saat
ini impor kedelai mencapai 1 juta ton dari kebutuhan nasional mencapai 1,8 juta
ton. Pengurangan impor akan membuat petani kedelai akan lebih bersemangat
menanam kedelai dan meningkatkan produktivitasnya (Hadipurnomo, 2000).
2.3. Kebijakan dan Dampak Kebijakan yang di ambil
Selama kurang lebih 15 tahun terakhir, permintaan akan kedelai terus
meningkat namun produksi dalam negeri tidak mampu mencukupinya. Maka
pemerintah melakukan impor kedelai secara besar-besaran. Impor dilakukan agar
permintaan kedelai dalam negeri terpenuhi. Namun hal ini membuat
pengembangan kedelai semakin melemah, karena disebabkan oleh harga produk
impor yang lebih murah dan tanpa dikenakan pajak impor (Adetama, 2011).
Prospek pengembangan kedelai dalam negeri untuk dapat menekan impor
cukup baik, dengan lahan yang cukup potensial untuk produksi kedelai dan
didukung oleh iklim yang menuntungkan, teknologi dan SDM yang cukup. Pasar
kedelai di dalam negeri masih terbuka lebar. Keuntungan yang didapatkan dari
usahatani kedelai cukup besar dan menguntungkan. Namun usahatani tersebut
tidak didukung dengan ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanaman kedelai dan
harga ditingkat petani yang rendah (Hadipurnomo, 2000).

Peningkatan produksi dalam negeri dapat dilakukan dengan memperluas


areal pertanaman, peningkatan produktivitas, pertataniagaan yang menguntungkan
bagi petani atau produk dalam negeri, peningkatan efisiensi produksi, perbaikan
sistem permodalan, penguatan kelembagaan petani. Agar tujuan dalam
pengembangan kedelai tercapai diperlukan dukungan dari pemerintah yaitu
melalui kebijakan-kebijakan yang diambil, komitmen dari perusahaan swasta atau
pemerintah dan partisipasi aktif pemerinah, penyuluh pertanian dan petani dalam
pengembangan budidaya kedelai (DirJend TanamanPangan, 2013).
1. Kebijakan Harga Dasar
Untuk melindungi produsen tanaman pangan, pemerintah menetapkan harga
dasar berbagai komoditas yaitu: beras, jagung, kedelai, kacang hijau dan kacang
tanah. Pada awalnya pemerintah menetapkan harga dasar untuk gabah sejak tahun
1969, kemudian diikuti penetapan harga dasar jagung pada tahun 1977/ 1978.
Sejak tahun 1979/1980 secara bersamaan ditetapkan harga dasar untuk komoditas
kedelai, kacang hijau dan kacang tanah. Khusus untuk kacang tanah, penetapan
harga dasar hanya berjalan selama tiga tahun saja, yaitu sampai tahun 1981/1982.
Sejak saat itu harga dasar kacang tanah tidak ditetapkan lagi oleh pemerintah,
karena harga di pasaran terutama domestik dinilai sangat dapat menguntungkan
petani selaku produsen (Nur et al, 2012).
Kebijakan harga dasar kedelai dimulai sejak tahun 1979/80 sampai akhir
tahun 1991 dan setiap tahun ditetapkan melalui Inpres pada tanggal 1 November
kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih awal. Harga dasar kedelai
dimulai pada tingkat Rp 210 per kg dan berakhir pada tingkat Rp 500 per kg

selama kurun waktu 12 tahun tersebut. Meskipun nilai nominal harga dasar
kedelai meningkat, nisbah atau ratio harga dasar kedelai terhadap harga dasar
gabah kering giling (GKG) hanya meningkat selama tiga tahun pertama saja, yaitu
dari 2.47 sampai 2.57. Kemudian nilai nisbah tersebut menurun sampai 1.43 pada
tahun 1987, tapi setelah itu menjadi tidak jelas sampai tahun 1991 (Hadiprnomo,
2000).
Nisbah harga dasar kedelai terhadap harga GKG tersebut di atas
memperlihatkan bahwa pemerintah pada mulanya lebih berpihak pada
pengembangan kedelai jika dibandingkan dengan padi, tapi kemudian lebih
memihak kepada padi dan akhirnya kecenderungannya tidak jelas. Walaupun
perubahan kecenderungan tersebut mungkin menggambarkan perubahan perhatian
pemerintah terhadap kedelai dan padi dari tahun ke tahun. Dari segi nisbah harga
dasar kedelai terhadap harga kedelai di tingkat petani terlihat bahwa kebijakan
harga dasar kedelai tidak banyak berpengaruh positif terhadap petani kedelai.
Nisbah harga dasar kedelai terhadap harga produsen dalam tiga tahun pertama
cenderung naik tapi masih lebih kecil dari satu dan kemudian bahkan cenderung
menurun sampai mencapai 0.51 pada tahun 1991. Nisbah yang kecil ini
menggambarkan bahwa harga di tingkat produsen tidak depengaruhi oleh harga
dasar karena harga dasar tersebut cenderung semakin jauh dibawah harga di
tingkat produsen (Pratama et al, 2002).
Penetapan harga dasar memberikan jaminan kepada petani kedelai di
Indonesia sehingga para petanin tidak perlu khawatir harga jual anjlok disaat
panen raya tiba. Dengan harga yang terjamin, petani akan semakin termovitasi

menanam kedelai, dengan demikian akan mendorong produksi dalam negeri


meningkat sehingga impor bisa dikurangi. Saat ini produksi kedelai petani kita
hanya sekitar 400 ton per tahun, hanya mampu penuhi 20 persen dari total
kebutuhan kedelai nasional yang mencapai 2,2 juta ton per tahun. Sebanyak 1,8
juta ton masih dipenuhi dari kedelai impor beberapa negara seperti Amerika
Serikat guna memenuhi konsumsi kedelai nasional yang terus meningkat seiring
pertumbuhan penduduk makin cepat. Kedelai saat ini bukan hanya untuk industri
pembuatan tahu tempe saja, tetapi makin beragam seperti susu dan berbagai
produk makanan lainnya, ini mendorong permintaan dalam negeri makin tinggi,
makanya sudah saatnya pengembangan kedelai dipacu dengan memberi jaminan
harga secara layak. Harga kedelai di pasaran dalam negeri saat ini berkisar Rp
6.600 hingga Rp 6.700 per kilogram (kg), membaik bila dibandingkan
pertengahan tahun 2008 lalu yang sempat melonjak Rp 8000-10000 per kg (Nur
et al 2013; Dirjen Tanaman Pangan 2013).
2. Kebijakan Stabilitas Harga dan Impor
Impor kedelai Indonesia setiap tahun mulai meningkat dan meningkat tajam
sejak tahun 1999. Menurut data Ditjen P2HP, Departemen Pertanian (2004), dari
tahun 2000 2004 urutan rangking terbesar Negara pemasok kedelai impor ke
Indonesia adalah Amerika Serikat (66%), Argentina (5%), Malaysia (4%), Canada
dan Singapura (1%). Indonesia makin mengalami peningkatan impor sejak
liberalisasi radikal atas tekanan IMF pada tahun1998. Tingkat ketergantungan
impor kedelai saat ini sebesar 55%. Padahal komoditi ini menyerap 2,5 juta jiwa
tenaga kerja rumah tangga di Indonesia (Purnamasari, 2008).

Pemerintah masih perlu mempertimbangkan kebijakan proteksi sekaligus


promosi terhadap produk-produk pertanian strategis dan yang menjadi sumber
pendapatan petani. Selain itu, pemerintah harus aktif bergabung dalm kelompok
Negara berkembang untuk melawan arus globalisasi yang merugikan Negara
berkembang. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif
impor dan pengaturan impor, sedangkan untuk kebijakan promosi, pemerintah
dapat memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun bunga
kredit untuk modal usahatani (Arifin et al, 2007).
Masuknya kedelai impor yang semakin besar ketika perintah melalui Kep
Men Perindag No. 406/MPP/Kep/II/1997 menghapus tata naga kedelai yang
semula ditangani oleh Bulog di alihkan ke importir umum. Hal ini sesuai dengan
keinginan World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund
(IMF) dengan alasan untuk membantu Pengusaha Kecil dan Menengah dalam
memperoleh bahan baku Kedelai (Anggrasari, 2008).
Ratifikasi pembentukan WTO dilakukan pemerintah Indonesia melalui UU
No. 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi ini Indonesia berkewajiban memenuhi
perjanjian termasuk penjanjian pertanian Agreement on Agriculture (AoA) yang
didalamnya mengatur (a) akses pasar, (b) subsidi domestik dan (c) subsidi ekspor.
Sejak awal Negara berkembang telah menyadari bahwa AoA dan WTO bersifat
disensitif bagi kebijakan pembangunan pertanian di Negara-negara berkembang.
Hal ini terlihat dari : (a) akses pasar ke Negara maju relatif sulit bagi Negara
berkembang karena memiliki tarif rate yang jauh lebih tinggi, (b) dengan kekuatan
kapital yang dimiliki, Negara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan

subsidi lokal yang tinggi untuk mendorong ekspor dari surplus produk
pertaniannya, (c) dalam AoA tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi
Negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif sejalan dengan
perkembangan masalah dan perdagangan komoditas pertanian di negaranya
(Anggrasari, 2008).
Dalam menstabilkan harga kedelai dalam negeri, Bulog melaksanakan
pengadaan penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin
ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI.
Pengadaan kedelai dalam negeri hanya berlangsung pada tahun 1979/80
1982/83 dalam jumlah kurang dari satu persen dari produksi dalam negeri.
Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dalam jumlah besar
dan harga lebih murah. Sebelum krisis ekonomi, harga yang ditetapkan Bulog
umumnya sedikit lebih tinggi dari harga impor, sehingga mampu menyangga
harga kedelai lokal (KemenKeu, 1998).
Kebijakan perdagangan internasional lain adalah pengenaan tariff advalorem untuk kedelai impor. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sampai 1982
sebesar 30 %. Sejak tahun 1983 sampai 1993 tarif impor kedelai diturunkan
menjadi 10 % dan kemudian menjadi 5 % sejak tahun 1994 sampai 1996. Pada
tahun 1997 tarif diturunkan lagi menjadi 2,5 % dan akhirnya tariff impor kedelai
ditiadakan mulai tahun 1998 sampai 2003. Pada tahun 2004 menjadi 5 % dan
sejak 1 januari sampai 2010 menjadi 10 %. Kebijakan mengenai tarif impor
biasanya akan menaikkan harga kedelai dalam negeri termasuk harga produsen
(Supadi, 2009).

10

3. Kebijakan Nilai Tukar


Sistem nilai tukar (kurs) mata uang pada dasarnya dibagi dalam dua sistem,
yaitu nilai tukar tetap dan nilai tukar fleksibel. Dalam sistem nilai tukar tetap,
pemerintah menetapkan nilai mata uangnya secara tetap terhadap mata uang asing.
Sistem nilai tukar fleksibel, pemerintah menyerahkan nilai mata uangnya pada
mekanisme pasar (Abimanyu, 2004).
Pada sistem nilai tukar fleksibel meskipun nilai mata uangnya diserahkan
pada mekanisme pasar, tetapi dalam pelaksanaannya Negara mengintervensi
dengan menggunakan cadangan devisa yang dimiliki untuk menjaga agar nilai
mata uangnya tidak naik (apresiasi) terlalu tinggi atau turun (depresiasi) terlalu
jauh. Apresiasi yang terlalu tinggi akan mengakibatkan harga produk ekspor
terlalu mahal bagi luar negeri yang dapat berakibat turunnya volume ekspor dan
produksi serta mendorong terjadinya pengangguran. Sebaliknya depresiasi yang
terlalu besar akan menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih mahal
yang berakibat terjadinya defisit neraca pembayaran (Abimanyu, 2004).
Selain itu diperlukan berbagai kebijakan yang mencakup:
1)

Kemudahan prosedur untuk mengakses modal kerja (kredit usaha)


bagi petani dan swasta yang berusaha dalam bidang agribisnis kedelai.

2)

Percepatan alih teknologi/diseminasi hasil penelitian dan percepatan


penerapan teknologi di tingkat petani melalui revitalisasi tenaga
penyuluh pertanian.

11

3)

Pembinaan/pelatihan produsen/penangkar benih dalam aspek teknis


(produksi benih), manajemen usaha perbenihan serta pengembangan
pemasaran benih. Penyediaan kredit usaha perbenihan bagi produsen
atau calon produsen benih.

4)

Mendorong/membina pengembangan usaha kecil/rumah tangga dalam


subsistem hilir (pengolahan produk tahu, tempe, kecap, tauco, susu)
untuk menghasilkan produk olahan yang bermutu tinggi sesuai dengan
tuntutan konsumen.

5)

Kebijakan makro untuk mendorong pengembangan kedelai di dalam


negeri dengan memberlakukan tarif impor yang cukup tinggi.

6)

Pengembangan

prasarana/infrastruktur

pertanian

secara

umum

(pembukaan sawah/lahan pertanian, pembuatan fasilitas irigasi dan jalan,


juga akan mendorong pengembangan kedelai di dalam negeri.
Menurut Surono (2001), berbagai kebijakan dalam usaha pertanian
(beras) yang telah ditempuh pemerintah pada dasarnya kurang berpihak
kepada kepentingan petani. Pertama, terdapat kebijakan tariff impor yang
sangat rendah sehingga mendorong semakin mudahnya beras impor masuk
dan melebihi kebutuhan dalam negeri. Kedua, penghapuan subsidi pupuk
yang merupakan sarana produksi utama petani dapat mengurangi produktifitas
petani. Selajutnya, teknologi yang dimiliki petani Indonesia juga sudah jauh
tertinggal sehingga kualitas beras yang dihasilkan pada umumnya kalah

12

dengan kualitas beras impor.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kedelai merupakan salah komoditas pangan utama yang keberadaannya sangat
dicari untuk memenuhi kebutuhan poduksi pangan. Kedelai dalam negeri
memiliki potensi untuk dikembangkan pada lahan-lahan berpotensi. Namun
seiring dengan masuknya kedelai impor yang diambil oleh pemerintah membuat
kedelai domestik kal saing terutama dalam segi harga yang lebih murah. Impor
kedelai diketahui untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri yang
permintaannya semakin meningkat. Seharusnya kebijakan-kebijakan yang diambil
pemerintah bisa mendukung perkembangan dan produks kedelai dalam negeri.
Bulog sebainya juga membuat suatu regulasi tentang stok kedelai dengan
memaksimalkan serapan produksi dari petani

B. Saran
Pemerintah searusnya berusaha untuk dapat memproduksi kedelai dengan
memanfaatkan kedelai yang telah para pemuliaa tanaman rakit dengan
keunggulannyamasing-masing. Banyak lahan-lahan potensial yang dapa ditanami
kedelai, varietas kedelai kini telah banyak disesuaikan dengan lahan-lahan
marginal guna peningkatan produksi.

13

DAFTAR PUSTAKA

Aak. 2002. Kedelai. Cetakan Kelimabelas. Kanisius,Yogyakarta.


Adetama, Dwi Sartika (2011) Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia Periode
1978-2008, Tesis S2, Universitas Indonesia, Jakarta.
Anggrasari, P. 2008. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor
kedelai (skripsi). Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Bogor.
Arifin, S., D. E. Rae, dan C. P. R. Joseph. 2007. Kerja Sama Perdagangan
Internasional: Peluang dan Tantangn bagi Indonesia. Biro Hubungan dan
Studi Internasional, Direktorat Internasional, Bank Indonesia. PT Elex
Media Komputindo Press, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Harga Konsumen Pedesaan Kelompok
Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan
Produksi Kedelai. 2013. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Hadipurnomo, T. (2000) Kebijakan Produksi dan Perdagangan Terhadap
Penawaran dan Permintaan Kacang Kedelai di Indonesia, Tesis S2,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kementerian Keuangan. 1998. Perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan
klasifikasi atas impor beberapa produk tertentu Menteri keuangan
republik Indonesia. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
Nur, Yudha Hadian dkk . (2012) Analisis faktor dan proyeksi Pangan Nasional
kasus pada komoditas beras, kedelai dan daging sapi. Jurnal Buletin
Ilmiah Litbang Perdagangan vol 6 no.1, Juli 2012.
Nuryati, Y., Y. Hadian Nur, dan D. W. Prabowo. 2013. Faktor penentu instabilitas
harga produk berbasis impor (Kedele dan Gula). Pusat Pengkajian dan
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Jakarta.

14

Purnamasari, R. (2008) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi


Dan Impor Kedelai di Indonesia , Skripsi S1, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Setiabakti, Devi (2013) Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap
Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Kedelai di
Indonesia. Disertasi S3, Institut Pertanian Bogot, Bogor.

15

Anda mungkin juga menyukai