Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang
untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan
beraktivitas di siang hari.1
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek.
Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut
sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks
situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini
biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau
serupa muncul dalam kehidupan pasien. 1
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya
berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti
kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis
adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat
dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien
dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia. 1
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh
mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih,
dengan konsentrasi yang buruk. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur
cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan
untuk tidur siang.
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti
berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan
kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup
meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat
Page

pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya
kinerja pekerjaan dan sosial. 1
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya
menjadi

prediksi

sejumlah

gangguan,

termasuk

depresi,

kecemasan,

ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri. 1


Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi
medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan
resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami
bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan
dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien mereka. 1

Page

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian. 1
Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuronneuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi. 1
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut
sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang
menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral
batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center). 1

Page

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 1


1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium,
lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan
REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain: 1

Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium


ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai

7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.


Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu
tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle
shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik,
lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini,

orang dapat dibangunkan dengan mudah.


Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5
hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan

sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.


Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran
EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada
jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur
dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak
dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.
Page

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya
terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya
perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata
dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra
chiasmatic

(NSC).

NSC

akan

mengeluarkan

neurotransmiter

yang

mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan,


kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun
tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika
pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang
menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang
terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin
sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi
oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah
dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan
dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam,
terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi. 2
Page

Perubahan tidur akibat proses menua


Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur
( berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih
sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. 2
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu
tidur yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama.
Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna
dalam slow wave sleep dan rapid eye movement (REM). Orang usia lanjut juga
lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisik karena usia dan
penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara nyata menurun. 2,5
Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal
yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama
sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan
temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat
pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut,
ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan
kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur. 2
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga
tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk
dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya,
sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif,
malamnya akan sulit tidur. 2,5

Page

Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda


dan orang tua. Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki
onset tidur yang lama, tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari
dan menurunnya tidur tahap 3 dan 4.

2.2. DEFINISI
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang
untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun. Insomnia
sering disebabkan oleh adanya suatu penyakit atau akibat adanya permasalahan
psikologis.1 Dalam hal ini, bantuan medis atau psikologis akan diperlukan.
Gejala-gejala insomnia meliputi:
1. Mempunyai masalah dalam tidur
2. Sering bangun pada malam hari dan kesulitan untuk tidur kembali.
3. Bangun terlalu pagi hari.
4. Merasakan seperti tidak puas dalam tidur.2
Page

Insomnia bisa menjadi suatu masalah yang berat bila dapat menimbulkan
gangguan dalam kehidupan seseorang. Kurang tidur menyebabkan seseorang
selalu menjadi mengantuk pada siang harinya, kurang tenaga untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari dan terkadang seseorang menjadi emosional.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan
atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Sebanyak 95% orang Amerika telah
melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup
mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.
Insomnia lebih banyak pada dewasa tua (lansia) dibandingkan dengan dewasa
muda, dengan prevalensi 40-50%. Wanita dilaporkan lebih banyak menderita
insomnia daripada laki-laki.3
2.4 ETIOLOGI
Orang yang sering terjaga dari tidurnya ternyata dapat disebabkan oleh
banyak faktor, walaupun mungkin satu faktor lebih dominan mempengaruhi.
Faktor tersebut antara lain:
a. Gangguan emosional, tekanan batin maupun depresi
Orang yang dalam kesehariannya banyak diliputi oleh tekanan dan
ancaman akan sangat berpotensi untuk insomnia. Hal ini dikarenakan perasaan
batinnya yang tidak tenteram. Orang tersebut akan selalu memikirkan berbagai
kejadian yang telah menimpa dirinya. Seolah tidak menerima kenyatan tentang
mengapa semua tekanan datang padanya dan bagimanapun akan keluar dari
permasalahan akan tetapi tetap tidak bisa. Sehingga tidur pun jadi terganggu
karena pikiran terganggu.

Page

b. Penggunaan obat
Penggunaan obat dalam jumlah yang banyak atau dalam jangka waktu
panjang juga akan mengganggu kegiatan tidur kita. Ada orang yang sangat gemar
mengkomsumsi obat. Sedikit saja badan terasa tidak enak, langsung minum obat,
walaupun tubuh belum benar-benar sakit. Bahkan untuk menjaga tubuh agar
tetap bugar saja juga harus minum obat. Kebiasaan ini dalam jangka panjang
dapat menyebabkan gangguan insomnia, walaupun efek samping obat adalah
mengantuk. Mungkin seketika minum obat akan terasa kantuk, tetapi ketika
malam hari insomnia akan tetap datang.
c. Ketidakmampun untuk beristirahat dengan santai
Tidur membutuhkan suasana yang santai selain dari pada rasa kantuk.
Banyak orang tetap tidak dapat berpikir santai karena pekerjaan yang menumpuk.
Saat pekerjan menumpuk biasanya kita selalu teringat untuk segera
menyelesaikannya. Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh para mahasiswa,
khususnya ketika waktu-waktu menjelang ujian. Hampir tidak ada waktu untuk
beristirahat karena menumpuknya tugas. Sehingga ketika tidur tidak segera tidur,
pikiran masih gelisah terbayang bagaimana jika tugas tidak selesai, sementara
waktu sudah sempit dan tubuh kita juga butuh istirahat guna aktivitas esok hari.
d. Kebiasaan Merokok
Bagi siapapun juga yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya mulai
dikurangi. Merokok selain memberikan efek yang buruk bagi tubuh, juga dapat
menahan keinginan untuk tidur.
e. Suasana Ribut
Kenyamanan tidur juga dipengaruhi oleh lingkungan yang tenang. Pekerja
pabrik yang selalu bekerja pada suasana bising, ternyata juga mengalami
insomnia ketika di rumah.
Page

f. Kamar Tidur yang Berantakan


Ketika beranjak tidur sebaiknya segala perangkat untuk tidur dirapikan,
baik ranjang, pakaian dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tidur harus
dirapikan. Itu akan sangat berpengaruh dengan kenyamanan tidur kita. Semakin
rapi dan bersih akan semakin menambah kenyamanan. Namun demikian, ada
saja orang yang justru tidur nyenyak ketika kasurnya berantakan dan banyak
pakaian berserakan di situ. Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, masih
banyak lagi penyebab insomnia lainnya. Yang jelas insomnia tidak secara
langsung berhubungan dengan menurunnya
suatu hormon dalam tubuh.
2.5 Faktor Resiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari
tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada: 1
a. Wanita lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus
menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause,
sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.
b. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
c. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.
d. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
e. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.
2. 6 PATOFISIOLOGI
Irama tidur - jaga yang merupakan pola tingkah laku agaknya berhubungan
Page

dengan interaksi di dalam sistim aktivasi reticular. Contoh adalah bila dilakukan
perangsangan

daerah

formasio

retikularis

akan

menyebabkan

kondisi

jaga/waspada pada percobaan hewan di laboratorium. Sedangkan perusakan pada


daerah itu menyebabkan hewan mengalami kondisi koma menetap. 4
Dengan ini kita mengetahui bahwa sistim aktivitas retikular bekerjanya
diatur oleh kontrol dan nukleus raphe dan locus coeruleus. Di mana sel-sel dan
nucleus raphe mensekresi serotonin dan locus coeruleus mensekresi epinephrine.
Jika nukleus raphe dirusak atau sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi
tidak tidur/berkurangnya jam tidur. Sedangkan bila locus coeruleus yang dirusak,
akan terjadi penurunan atau hilangnya tidur REM, sedangkan tidur non REM tak
berubah. Sistim limbik, yang kita kenal sebagai pusat emosi, agaknya juga
berhubungan dengan kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang menyebabkan
mengapa kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnnya dapat mengganggu tidur,
dan menyebabkan insomnia.4
2.7 TANDA DAN GEJALA
a.

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

b.

Sering terbangun pada malam hari

c.

Bangun tidur terlalu awal

d.

Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

e.

Iritabilitas, depresi atau kecemasan

f.

Konsentrasi dan perhatian berkurang

g.

Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

h.

Ketegangan dan sakit kepala

i.

Gejala gastrointestinal

2.8 DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap: 5
Page

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pola tidur penderita.


Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
Tingkatan stres psikis.
Riwayat medis.
Aktivitas fisik
Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk

menentukan pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak
dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa
mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu
permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah
juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang
bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan
pemantauan dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak,
pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh. 5
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ 6
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan

pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan

diagnosis insomnia diabaikan.


Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak
Page

didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2)
2.9 Penatalaksanaan
Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia. 7
Terapi tingkah laku meliputi:
-

Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.


Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan

latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur.
Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan
mood.
-

Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran

yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau
dalam grup.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat
tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol: 7
1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton
televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20
menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur
Page

dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai.
Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat
tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur,
kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat
seseorang dapat tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama
tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidurbangun (kontrol waktu).
4. Tidur siang harus dihindari.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan


pernapasan atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur


pada malam hari.

Menyiapkan

suasana nyaman

pada kamar

untuk

tidur, seperti

menghindari kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit


setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

Menghindari makan besar sebelum tidur

Cek kesehatan secara rutin

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik

Page

2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine. 7
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Page

Page

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur : 7

Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing anti-insomnia yaitu
golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase Anti-Insomnia,

yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)


Misalnya pada gangguan depresi
Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecahpecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia,
yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis:

Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.


Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan
sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah

timbulnya rebound dan toleransi obat)


Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-

lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi


Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian:

Pemakaian obat anti insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih
dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2

Page

minggu dapat menimbulkan perubahan Sleep EEG yang menetap sekitar 6

bulan lamanya.
Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena Psychological
Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur
dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat antiinsomnia (waktu paruh) :

Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala rebound

lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala hang
over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi


disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction
Interaksi obat

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi


efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation and respiratory

failure
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang

menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.


Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau
CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus
Page

Kontraindikasi :
Sleep apneu syndrome
Congestive Heart Failure
Chronic Respiratory Disease
Penggunaan Benzodiazepine pada

wanita

hamil

mempunyai

risiko

menimbulkan teratogenic effect (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya


pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI,
berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)
2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi
pada gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini
disertai skizophrenia. 1

BAB III
KESIMPULAN
Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan
fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan
berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan
Page

kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola


tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan
stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non
farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang
biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan
benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine
(Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis
dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di
rumah seperti mengatur jadwal tidur.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. Marjdono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke-11. Dian
Rakyat:Jakarta ; 1988 ; P. 183-92
3. Suroto. Cara Mengendalikan Stres. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2001.
4. Iskandar Y. Tehnik Penelitian Tidur dengan EEG. Makalah pada: Simposium
Psikiatri Biologik N, Jakarta, 1983.
5. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
6. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Page

7. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Page

Anda mungkin juga menyukai