Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN INDIVIDU

TUTORIAL SKENARIO B BLOK 20


oleh Evlin Kohar / 04011181419064 / Kelas Beta, Kelompok 4
ANALISIS MASALAH
1

Mengapa terjadi mati rasa pada wajah, lengan dan badan?


M. leprae menyerang saraf perifer. Beberapa saraf perifer yang sering diserang M. leprae
antara lain, n. ulnaris, n. medianus, n. radialis, n. poplitea lateralis, n. tibialis posterior, n.

fasialis, dan n. trigeminus.


Bagaimana mekanisme terjadinya mati rasa pada kasus?
Berdasarkan van Brakel (2007), kerusakan saraf pada kasus MH dapat terjadi melalui
tiga mekanisme, yaitu:
a. Kerusakan saraf secara langsung oleh M. leprae
Kerusakan saraf secara langsung oleh M. leprae dapat terjadi akibat mekanisme
kerusakan neurofilamen yang melibatkan sel schwann sehingga menimbulkan proses
demielinisasi (Van-Brakel, 2007). M. leprae memiliki afinitas terhadap sel Schwann.
Berbagai studi telah menunjukkan adanya suatu protein alpha-Distroglycan yang
terdapat pada lamina basal sel Schwann yang berfungsi sebagai reseptor terhadap
protein pada permukaan M. leprae. Setelah berhasil menginvasi sel Schwann, M.
leprae akan melakukan multiplikasi di dalam sel Schwann. Pada MH tipe
lepromatosa, multiplikasi M. leprae secara bertahap akan merusak sel Schwann, dan
menimbulkan fibrosis. Pada MH tipe tuberkuloid, antigen M. leprae akan
menimbulkan reaksi granulomatosa yang akan merusak saraf secara irreversible dan
menyebabkan proses fibrosis pada saraf yang terlibat.
Dinding sel M. leprae mengandung kompleks lipid termasuk phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) yang mempunyai peran untuk menekan respon sel T dan
produksi IFN- (seperti juga invasi organisme pada sel Schwann).
Phenolic glycolipid 1 merupakan spesies spesifik utama dan unsur imunogenik
dari lapisan luar basil. Basil masuk ke dalam saraf dimediasi oleh ikatan trisacharida
yang spesies spesifik dalam phenolic glycolipid 1 dengan laminin-2 pada basal lamina
dari unit Schwann cell-axon, mungkin ini yang merupakan alasan mengapa hanya M.
leprae yang diketahui dapat menginvasi saraf perifer.
b. Kerusakan akibat proses imun dan inflamasi
Mekanisme kerusakan saraf yang dimediasi oleh proses reaksi imun dan
inflamasi dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu melalui proses berikatannya
antibodi dengan neurofilamen, sitotoksisitas, perubahan status fosforilasi pada protein

saraf, berikatannya sel T aktif dengan mielin, dan proses mimikri molekuler, atau
autoimun.
c. Kerusakan akibat proses mekanik dan edema
Segmen saraf yang diinfeksi oleh M. leprae biasanya adalah segmen yang
proksimal terhadap kanal fibro-osseus atau sendi pada ekstremitas. Saraf yang
mengalami inflamasi akan membesar, sehingga sangat mudah untuk mengalami
cedera saat adanya gerakan sendi. Kejadian cedera ini akan menimbulkan inflamasi
dan mengganggu permeabilitas pembuluh darah.
3

Bagaimana kecenderungan distribusi mati rasa pada kasus?


Kerusakan saraf pada kusta mengenai peripheral nerve trunk dan small dermal
nerve. Saraf tepi yang terlibat yaitu pada fibro-osseus tunnel dekat permukaan kulit
meliputi Nervus (N.) auricularis magnus, ulnaris, medianus, radiculocutaneus, poplitea
lateralis, dan tibialis posterior. Keterlibatan pada saraf ini menyebabkan pembesaran
saraf, dengan atau tanpa nyeri dengan pola penurunan fungsi sensoris dan motoris
regional. Kerusakan small dermal nerve menyebabkan keluhan anestesi parsial pada

kusta tipe tuberkuloid dan borderline tuberculoid.


Bagaimana hubungan riwayat penyakit istri dengan keluhan yang dialami pasien?
Cara penularan masih belum diketahui secara pasti. Dalam kasus ini kemungkinan
adanya faktor resiko yaitu kontak yang lama dengan keluarga yang memiliki kusta dapat
meningkatkan resiko terkena kusta sebesar 8-10 kali untuk tipe lepromatosa leprosy dan

2-4 kali untuk tipe tuberkuloid.


Pengobatan apa yang dilakukan oleh istrinya?
Beberapa pengobatan jangka waktu lama antara lain pengobatan TB, pengobatan
Lepra, pengobatan epilepsi, dan lainnya. Berdasarkan kasus, pengobatan yang dilakukan
istri pasien selama 12 bulan, berarti ada kemungkinan pengobatan yang dilakukan adalah

6
7

lepra tipe MDT (Multi drug therapy).


Mengapa lamanya 12 bulan?
Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
No
.
1.
2.

Pemeriksaan

Normal

Hasil

Interpretasi

Keadaan Umum
Vital Sign
Nadi
RR
Suhu
IMT

Compos mentis

Sadar dan koorperatif

Normal

60-100 x/ menit
16-24 x/ menit
36,5 37,5C
18,5 - 22,9

84 x/ menit
20 x/ menit
38C
50kg, 158cm
= 20,03
Dalam batas normal

Normal
Normal
Febris
Normal

3.
Pemeriksaan Spesifik
Mekanisme abnormal:

Normal

Normal

Suhu 38C (febris): Demam pada kasus ini merupakan jenis eksaserbasi dari lepra
(reaksi tipe 1).
8 Manajemen aspek klinis
a. Algoritma penegakan diagnosis
1) Anamnesis: pada anamnesis kadang sulit mendapat informasi dari pasien, namun
dapat ditanyakan apakah ada mati rasa, apakah jika terluka tidak sakit, jika
memakai sandal dapat terlepas sendiri, kesulitan berjalan atau menggenggam,
kesulitan pada mata, kontak dengan pasien lepra, atau pernah diobati dengan
dapson.
2) Membuka baju pasien, jika seluruh baju dibuka. Sedapat mungkin dengan
pencahayaan sinar matahari (alami), palint tidak dengan lampu neon yang terang.
3) Pemeriksaan: lihat permukaan kulit, mula-mula dari jauh kemudian dari dekat.
Apakah tampak perubahan warna atau bercak, biasanya hipopigmentasi. Lesi awal
yang samar-samar pada lepra lepromatosa biasanya lebih sering eritem dibanding
hipopigmentasi. Apakah ada nodul, infiltrasi, jaringan parut, ulkus. Apakah sakit/
atau tidak pada waktu terjadinya luka.
4) Periksa adanya pembesaran saraf dengan seksama seperti n. ulnaris, cabang kulit
n. radialis, n. peroneus, n. medianus, n. popliteal lateralis, n. tibialis posterior, n.
aurikularis magnus. Saraf yang paling sering terkena adalah n. ulnaris dan n.
peroneus.
Cara memeriksa saraf:
a) N. ulnaris: lokasi saraf di belakang siku. Pemeriksa berhadapan dengan pasien,
jika memeriksa saraf yang kiri, tangan kanan pemeriksa bersalaman dengan
tangan kiri pasien, siku kiri pasien sedikit dibengkokkan, lalu jari tangan kiri
kita memeriksa saraf disekitar belakang siku dari arah luar lengan ke dalam.
Pemeriksa akan menemukan n. ulnaris pada sulkus ulnaris. Raba pembesaran
saraf dengan ujung jari, jangan terlalu kuat karena pasien akan kesakitan,
demikian sebaliknya jika memeriksa saraf yang kanan.

Pemeriksaan N. ulnaris
Pemeriksaan N. peroneus
b) N. peroneus: untuk merapa n. peroneus, pasien duduk di kursi. Bila memeriksa
saraf yang kanan, gunakan tangan kiri. Letak saraf ini tepat dibawah lutut.
c) N. aurikularis magnus: putar kepala pasien ke satu sisi, maka saraf akan
teregang melewati sternomastoid
5) Tes untuk anestesia: gunakan kapas untuk tes raba, ujung jarum untuk tes rasa
nyeri, dan dengan air panas dan dingin untuk tes suhu.
Kapas diusap pada kulit normal, tanyakan apakah terasa diusap. Kemudian kapas
diusapkan pada lesi, dan tanyakan apakah terasa. Tes diulang berkali-kali untuk
meyakinkan hasil tes. Pada hipestesi, pasien diminta membandingkan mana yang
terasa lebih kuat. Jika pada kulit normal terasa lebih kuat, maka terdapat hipestesi.
Demikian juga dengan menggunakan jarum, tusukkan dengan ringan pada kulit
normal, dan bandingkan dengan lesi. Jika pada lesi tidak merasakan adanya
tusukan berarti terdapat anestesi, tetapi jika masih terasa tetapi lebih lemah dari
kulit normal berarti terdapat hipestesi.
Tes dengan air panas dan dingin (menggunakan 2 tabung reaksi) tanyakan apakah
pasien dapat membandingkan rasa panas dan dingin pada lesi. Jika tidak dapat
membandingkan antara panas dan dingin, artinya sudah anestesi.
6) Lihat adanya komplikasi pada jari-jari tangan, mata, hidung, laring dan testes,
adanya ulkuss terutama pada telapak kaki dan anhidrosis pada lesi.
7) Status internus lengkap.
8) Menemukan BTA dengan melakukan slit skin smears. Lakukan pemeriksaan pada
6 tempat, paling sedikit 4 tempat yaitu pada 2 cuping telinga, 2 lesi dan 2
punggung ujung jari. Jika dari 4 tempat, lakukan pada 2 cuping telinga dan 2 lesi
kulit. Caranya, tempat yang akan dilakukan slit skin smears dijepit dengan jari
telunjuk dan ibu jari agar jangan berdarah. Lakukan insisi diantara kedua jari tadi
dengan skapel sepanjang 5mm dan dalam 2 3 mm, skapel diputar dan kerok

irisan tadi 2 3 kali dengan arah yang sama. Jaringan hasil kerokan letakkan
diatas gelas alas untuk dilakukan pulasan Ziehl-Neelsen. Pembacaan smears:
Bacteriological Index (BI) menunjukkan kepadatan basil lepra pada smears,
termasuk basil hidup (terpulas solid) dan basil mati (fragmentasi atau granular).
Menurut logarithmic scale dari Ridley, BI bervariasi dari 0 6 + dan tergantung
dari basil yang tampak pada rata-rata lapangan pandang mikroskop.
BI
0
1+
2+
3+
4+
5+
6+

Karakter
Tidak ditemukan basil pada 100/OIF
Ditemukan 1 10 basil/ 100 OIF
Ditemukan 1 10 basil pada 10 OIF
Ditemukan 1 10 basil pada setiap OIF
Ditemukan 10 100 basil pada setiap OIF
Ditemukan 100 1000 basil pada setiap OIF
Ditemukan lebih dari 1000 basil pada setiap OIF

Catatan: OIF = Oil-immersion field


BI dihitung dengan menambah indeks dari setiap tempat pemeriksaan, dibagi jumlah
tempat yang diperiksa.
Contoh:
Telinga kanan : 5+
Telinga kiri
: 5+
Punggung
: 4+
Dagu
: 4+
Maka BI = 5+5+4+4 dibagi 4 tempat = 4,5+
Morphological Index (MI) adalah persentase basil hidup dengan jumlah total basil pada
slit skin smears. Evaluasi yang akurat MI memerlukan skill dan pengalaman. MI
merupakan indikator untuk melihat respon pengobatan.
Jadi MI = jumlah basil solid/jumlah basil solid & non solid x 100% = ...%
Solid- Fragmented-Granular (SFG) Precentages: presentase basil solid, fragmentasi, dan
gramular. Karena presentase dihitung terpisah, maka presentase SFG memberikan
gambaran morfologi basil yang lebih baik dari MI, dan merupakan indikator respons
pengobatan pasien yang lebih sensitif dibandingkan MI.
Jika diagnosis masih meragukan, lakukan biopsi.
9) Tentukan:
a) Apakah pasien menderita lepra
b) Jika ya, tentukan spektrumnya (apakah I, TT, BT, BB, BL, LL)
c) Tentukan aktivitasnya
d) Apakah pasien mengalami reaksi
e) Lakukan tes kuantitatif fungsi saraf (anestesia, kelemahan, hilangnya fungsi
autonomik)
f) Terapi apakah yang diberikan dan untuk apa (sebagai anti lepra spesifik, anti
peradangan, untuk terapi komplikasi, atau untuk pengobatan umum mengatasi
malnutrisi)
g) Apakah implikasi sosial dari keputusan-keputusan ini

b. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan BTA, antara lain dengan Ziehl Nielsen. Pertama-tama

harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa
10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar
pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak.
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan
bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).
Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan
bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley.
2) Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline tercampur unsur-unsur
tersebut.
3) Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti-phenolic glycolipid-1 dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah
dapat membantu diganosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bakteriologik yang tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta
subklinis. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: Uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), Uji ELISA (Enzyme Linked
Imnnuno-sorbent Assay), ML dipstick test, ML flow test.
4) Tes Lepromin
Meskipun tidak diagnostik pada paparan atau infeksi M. leprae, tes ini
menilai kemampuan pasien untuk meningkatkan respon granulomatosa terhadap
suntikan kulit terhadap M. leprae yang mati. Pasien kusta tuberkuloid atau
borderine lepromatous biasanya memiliki respon positif (> 5 mm). Pasien kusta
lepromatosa biasanya tidak ada respon.

c. Diagnosis kerja
Morbus Hansen tipe BT (Borderline Tuberculoid) dengan cacat grade 1.
d. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A.
Hansen pada tahun 1874. Organisme ini adalah basil tahan asam dan alkohol, gram
positif, tumbuh di temperature sekitar 30 (dibawah temperature normal). Hal ini
menjelaskan lokalisasi dari lesi kusta pada area yang lebih dingin dan jarang di
midline dan scalp. Phenolic glycolipid-1 (PGL-1) merupakan surface glikolipid yang
unik yang terdapat di basil lepra. Pada jaringan yang terjinfeksi, basil lepra lebih
menyukai lokasi intraselular, seperti makrofag dan saraf. M. leprae hanya memiliki
50% gen yang fungsional karena M. leprae tidak bisa bertukar DNA dengan bakteri
lain, termasuk gen yang terlibat dalam metabolism energi, menyebabkan M. leprae
bergantung dengan lingkungan intraseluler untuk mendapatkan nutrisi.

Gambar1.MycobacteriumLepraepadaPewarnaanZiehlNeelsen
e. Komplikasi
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah
pengobatan. Reaksi ini dapat merugikan penderita dan menimbulkan kecacatan jika
tidak segera diatasi.
f. Prognosis
Lubia ad vitam: bonam
Lubia ad functionam: bonam
Lubia ad sanational: bonam
g. SKDI

h. Diagnosis Banding
1. Lesi hipopigmentasi
a) Pitiriasis alba
b) Pitiriasis versikolor
c) Vitiligo
d) Mikosis fungoides
e) Sarkoidosis
2. Lesi papul atau nodul
a) Sifilis
b) Sarkoidosis
c) dermatofibroma
3. Lesi plak
a) Mikosis fungoides
b) Urtikaria
c) Psoriasis
d) Lupus vulgaris
e) Tinea korporis (pada lesi circinate erythematous plaque)
4. Pada lepra tipe LL
a) Lupus eritematous sistemik
5. Lesi anular
a) Tinea
b) Sifilis
c) sarkoidosis
6. Kelainan saraf
a) Neuropati periferal (akibat DM, kelainan nutrisi, vaskulitis, siringomielia)
b) Penyakit lain berhubungan dengan perubahan neuropatik
7. Reaksi tipe 1
a) Lupus eritematosus sistemik
b) Selulitis
c) Erupsi obat
8. Reaksi tipe 2
a) Panikulitis
b) Vaskulitis
c) Sarkoidosis
d) Eritema nodosum akibat tuberkulosis
LEARNING ISSUE
Morbus Hansen disertai histopatologi

Lepra, atau kusta, atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik granulomatosa
dan sekuele yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), terutama mengenai
saraf perifer, namun dapat juga mengenai kulit dan kadang jaringan lain seperti mata,
mukosa traktus respiratorius atas, otot, tulang, sendi, dan testis. Lepra masih banyak
ditemukan di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan. Tidak diketahui bagaimana
lepra sampai di benua Australia dan mengenai penduduk asli aborigin. Di epulauan
Pasifik lepra masih merupakan epidemi. M. leprae merupakan bakteri tahan asam gram
positif. M. leprae memiliki waktu perkembangbiakan yang paling lambat dibandingkan
patogen lain. M. leprae membutuhkan 14 hari untuk membelah diri. Ada beberapa alasan
mengapa lepra merupakan penyakit yang spesial dibandingkan penyakit lain, yaitu,
1 Masa inkubasi yang panjang/lama, perjalanan penyakit sangat lambat untuk
2

enimbulkan kelainan patologis, evolusi klinis lambat dan tersembunyi


Basil tidak dapat tumbuh di medium artifisial, akibatnya bakteriologi lepra sangat

3
4

lambat diketahui
Satu-satunya penyakit bakteri dengan perdileksi pada saraf
Hanya manusia yang terkena lepra dan merupakan reservoir infeksi, terakhir

diketahui juga dapat mengenai armadilo (di Amerika) dan primata (di Afrika)
5 Contoh terbaik suatu penyakit yang mempunyai spektrum imunitas
6 Mempunyai aspek psikososial yang unik
A. Definisi
Kusta atau Lepra atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik dan
penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
B. Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih beum jelas,, karena cara penularan yang belum pasti.
Penularan diperikaran melalui kontak kulit langsung yang lama dan erat atau melalui
inhalasi, karena M. leprae masih dapat hidup dalam droplet selama beberapa hari.
Masa tunas sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa
tahun, rata-rata 3-5 tahun.
Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara
penularan, keadaan social ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinann adanya reservoir diluar
manisoa. Penyakit lepra sekarang dan dulu berbeda, namun masih banyak hal yang belum
jelas mengenainya.
Lepra bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang ditemukan di urin. Sputum

dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal traktus respiratorius atas. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi lesi pertama.
Lepra dapat menyerang semua umur, namun anak-anak lebih rentan dibandingkan
dewasa. Di Indonesia, penderita anak-anak di bawah 14 tahun di dapatkan sekitar 13%,
tetapi anak di bawah umur1 tahun jarang ditemukan. Pencatatan kejadian lepra di bawah
1 tahun penting dilakukan untuk mencari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital.
Frekuensi tertinggi kejadian lepra pada kelompok umur 25 sampai 35 tahun.
Lepra dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama pada Asia, Afrika, Amerika
Latin, daerah tropis dan subtropics, serta Negara dengan masyarakat ekonomi rendah.
Makin rendah social ekonominya maka makin berat penyakitnya. Social ekonomi juga
berhubungan dengan tingkat penyembuhan. Terdapat banyak variasi reaksi terhadap
infeksi M. leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis di berbagai suku bangsa,
sehingga diduga faktor genetic berpengaruh.
C. Etiologi dan Patogenesis
M. leprae, penyebab lepra, tidak dapat dibiakkan pada media artifisial, Gram
positif, obligat intraseluler, merupakan basil tahan asam. Genom M. leprae (327
megabase) lebih pendek dari M. tuberculosis (441megabase). Genom M. leprae hanya
mengkode 1600 gene, sedangkan M. tuberculosis mengkode 4000 gen.
Pasien disebut pausibasiler jika tidak ditemukan basil tahan asam pada jaringan
atau pulasan/ smear, dan disebut multibasiler jika ditemukan atau lebih basil tahan asam
pada jaringan atau pulasan/smear.
Basil ini bersifat obligat intraseluler (hidup dalam sel) terutama sel makrofag dan
sel Schwann. Organ yang diserang terutama saraf dan kulit. Untuk pertumbuhan basil
memerlukan tempat dingin di tubuh seperti hidung, testis, cuping telinga (ear lobe) dan
saraf perifer yang dekat kulit.
Sebenarnya M. leprae mempunyai pathogenitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit ini disebabkan oleh respons imun yang berbeda-beda sehingga
menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. oLeh karena itu penyakit lepra dapat disebut penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya.
Sebagian besar individu yang terpajan basil lepra tidak tampak penyakit tersebut
secara klinis, dan terdapat variasi kerentanan/resistensi terhadap basil tersebut tergantung

pada faktor genetik dan lingkungan. Contoh, kerentanan dan tipe respon yang terjadi
berhubungan dengan tipe HLA spesifik, misalnya individu dengan tipe HLA-DR2 dan
HLA-DR3 lebih banyak menderita lepra tipe tuberkuloid sedangkan individu dengan tipe
HLA-DQ1 menderita lepra tipe lepromatosa.
Tergantung pada level imunitas seluler (seperti dicerminkan oleh tes lepromin),
penyakit dapat berkembang tanpa terkendali, terbatas pada tipenya atau sembuh spontan.
Makrofag memegang peranan penting dalam usaha tubuh untuk mengeliminasi basil
lepra, dan jika sel ini bertemu dengan M. leprae akan menghasilkan sitokin seperti IL-1,
TNF-, dan IL-12. Sitokin ini akan menstimulasi jumlah dan aktivitas makrofag lain.
Penelitian pada manusia menunjukkan respon terutama Th1 CD4+ sel T pada lepra tipe
yang mempertahankan inflamasi. Pada pasien lepra tipe lepromatosa, respon timbul
terutama oleh Th2 yang menghasilkan sel sitokin yang berbeda, yaitu IL-4, IL-5, IL-10,
dan IL-13 yang menekan aktivitas makrofag.
Dinding sel M. leprae mengandung kompleks lipid termasuk phenolic glycolipid-1
(PGL-1) yang mempunyai peran untuk menekan respon sel T dan produksi IFN-
(seperti juga invasi organisme pada sel Schwann).
Manifestasi klinik lepra dihasilkan oleh respon penjamu terhadap M. leprae, atau
alternatif lain akibat akumulasi sejumlah besar bakteri, berupa gejala infiltrasi difus.
Lipoprotein pada dinding M. leprae mungkin yang pertama kali memulai respon
penjamu terhadap invasi M. leprae. Respon ini mungkin penting pada penentuan hasil
akhir dari interaksi antara penjamu-agen penyebab. Phenolic glycolipid 1 merupakan
spesies spesifik utama dan unsur imunogenik dari lapisan luar basil. Basil masuk ke
dalam saraf dimediasi oleh ikatan trisacharida yang spesies spesifik dalam phenolic
glycolipid 1 dengan laminin-2 pada basal lamina dari unit Schwann cell-axon, mungkin
ini yang merupakan alasan mengapa hanya M. leprae yang diketahui dapat menginvasi
saraf perifer.
D. Gambaran Klinis
Sebagian besar orang yang terinfeksi M. leprae mengalami infeksi sub-klinis yaitu
tanpa adanya gejala dan tanda lepra, pada sebagian orang akan muncul gejala klinsi
tergantung respon penjamu terhadap organisme.
Multipikasi M. leprae berjalan lambat, sehingga penyakit lepra timbul lambat dan
perjalanan penyakit baru dapat dinilai dalam hitungan bulan atau tahun, jika
dibandingkan dengan ukuran jam atau hari pada infeksi bakteri akut. Lesi awal biasanya
terdeteksi di kulit secara histologis berasosiasi dengan serabut saraf halus di dermis
terutama sekitar folikel pilosebaseous dan pembuluh darah kecil dan dengan m. erector
pili. Sejak awal serabut saraf kecil kulit sudah terlibat. Organisme mengadakan

multiplikasi paling baik pada tempat dingin di tubuh, oleh karena itu organisme ini sering
menginvasi wajah dan tungkai, serta saraf superfisial sangat dipilih untuk invasi
organisme ini. Invasi ke organ lain terjadi pada lepra tipe lepromatosa terutama ke mata,
testis, dan otot. Basil mengadakan multiplikasi di dalam makrofag baik di kulit (histiosit)
maupun di saraf (sel Schwann). Seperti infeksi intra-makrofag lain, maka respon
penjamu yang utama terjadi adalah tipe seluler dibanding tipe humoral.
Organisme dimakan oleh histiosit di kulit dan selanjutnya mengadakan peneterasi
ke sel Schwann. Keadaan ini menimbulkan respon radang dari histiosit dan limfosit,
klinis ini menimbulkan lesi berupa makula hipopigmentasi (pada kulit gelap) dan makula
eritematosa (pada kulit terang/ putih). Lesi tersebut dikenal dengan indeterminate. Lebih
dari 70% lesi indeterminate di Afrika sembuh spontan, sisanya menjadi penyakit lepra.
Spektrum granulomatosa lepra menurut Ridley & Jopling (1966) berdasarkan klinis
dan perubahan histologis yang terjadi menjadi 6 spektrum, mulai dari yang mempunyai
respon imunitas kuat ke lemah, yaitu,
1 TT (Tuberculoid polar)
2 BT (Borderline Tuberculoid)
3 BB (Borderline)
4 BL (Borderline Lepromatous)
5 LLs (Lepromatous sub-polar)
6 LLp (Lepromatous polar)
Tipe BT, BB, BL adalah tipe borderline.
TT BT BB BL LLs LLp
TT dan LLp klinis bersifat stabil, jadi tipe ini tidak dapat bergeser ke tipe lain,
namun tipe lain dapat berubah (baik upgrading maupun downgrading) seperti tampak
pada gambar diatas, jadi tipe BT dapat mengalami upgrading menjadi TT, tetapi LLp
tidak dapat menjadi tipe LLs, sebaliknya tipe LLs tidak dapat menjadi tipe LLp. Secara
global, sekma yang paling banyak dipakai adalah sebagai berikut,

1. Lepra Indeterminate
Lepra indeterminate (I) menurut definisi Khanolklar adalah lesi awal lepra
yang timbul sebelum penjamu membuat komitmen imunologik definitif untuk
sembuh atau memberikan respon granulomatosa yang jelas. Gambaran klinis tipe ini
berupa makula atau patch hipopigmentasi, dengan atau tanpa defisit sensoris. Jika
ada BTA, maka jumlahnya sangat sedikit. Lesi sangat jarang. Pola klinis dan
outcome tipe I tergantung pada respon penjamu terhadap organisme dan tergantung
pada multiplikasi basil.
2. Lepra tuberkuloid polar
Pada lepra tipe TT dengan imunitas kuat, manifestasi dapat sembuh spontan
dan tidak dapat mengalami downgrading. Lesi primer adalah plak dan konfigurasi
anular dengan central clearing, berbatas tegas. Secara tipikal gambaran lesi
induratif, meninggi, eritematosa atau hipopigmentasi, berskuama, kering (karena
infiltrat sel-sel merusak folikel pilosebaseous dan kelenjar keringat pada lesi), tidak
berambut, tetapi ada variasi lain.
Saraf sensoris soliter dapat membesar atau tidak, tetapi khas lesi hipoestesia,
anhidrosis, ukuran diameter lesi dapat sampai 10cm. Jumlah lesi biasanya tidak lebih
dari 3 buah.
Secara histologis seluruh epidermis diinfiltrasi granuloma, terdiri atas sarangsarang sel epiteloid dan limfosit. Banyak diantaranya sel epiteloid bergabung/
melebur menjadi Langhans giant cell. Sarang-sarang sel epiteloid dikelilingi sel
limfosit, susunan ini disebut tuberkel. Tidak ada clear sub-epidermal zone.
3. Lepra Borderline tuberculoid

Pada lepra tipe ini, pertahanan imunologik cukup tinggi untuk menahan
infeksi, sehingga penyakit terbatas dan pertubuhan bakteri mengalami retardasi,
tetapi respon penjamu tidak cukup untuk sembuh sendiri. Pasien tidak stabil,
pertahanan imunologik dapat meningkat sehingga dapat mengalami upgrading
menjadi tipe TT, atau menurun/ downgrading menjadi tipe BL.
Lesi utamanya adalah plak dan papul, sering dengan konfigurasi anular, tepi
berbatas tegas, dapat ditemukan lesi satelit berupa papul. Pada kulit gelap,
hipopigmentasi terlihat jelas, biasanya tidak berskuama/ sedikit, eritem kurang,
indurasi kurang, peninggian lesi kurang, tetapi diameter lesi dapat lebih besar
mencapai lebih 10 cm, lesi sering multipel, asimetris, tetapi lesi tunggal tidak jarang
ditemukan. Sensasi kulit lesi terganggu dengan pembesaran saraf atau palsies,
biasanya asimetris mengenai tidak lebih dari 2 saraf.
Histologis serupa dengan lepra tipe TT, namun ditemukan clear sub-epidermal
zone. Perbedaan lepra tipe BT dengan lepra tipe BB, pada lepra tipe BT terdapat
tuberkel, dan ditemukan sedikit sel Langhans. BTA dan sel plasma jarang
ditemukan, jika ada maka perlu dipertimbangkan reaksi tipe 1 (baik upgrading
maupun downgrading). Saraf diinfiltrasi moderat atau berat. BI tidak lebih dari 1+
atau 2+ dan tes lepromin positif lemah (1+ atau 2+).
4. Lepra Borderline
Lepra tipe BB secara imunologis merupakan pertengahan dari spektrum
granulomatosa, paling tidak stabil, pasien cepat mengalami upgrading (mejadi tipe
BT) atau downgrading (menjadi tipe BL), baik dengan atau tanpa reaksi klinis. Lesi
jumlahnya banyak dengan berbagai bentuk dan ukuran. Lesi kulit khas berbentuk
anular, tepi bagian dalam atau luar berbatas tegas. Tipe BB sangat tidak stabil
sehingga jarang ditemukan.
Banyak saraf terlibat, diinfiltrasi sel-sel mononuklear walaupun belum simetris
seperti tipe LL, dan jarang mengalami komplikasi yang berhubungan dengan invasi
basil. Ditemukan BTA, dan BI dapat 3+ atau 4+. Tes lepromin negatif.
Histologis, makrofag mengalami diferensiasi menjadi sel epiteloid, BTA sering
ditemukan, namun jarang ada giant cell. Biasanya ditemukan sel limfosit yang
tersebar di seluruh granuloma sel epiteloid, tetapi jarang ditemukan tuberkel.
5. Lepra Borderline Lepromatosa
Pada tipe BL ini pertahanan imunologik sangat rendah untuk menahan
proliferasi basil, tetapi cukup untuk menyebabkan peradangan yang merusak
jaringan, terutama dalam saraf. Pada lesi kulit, lebih banyak limfosit dibanding tipe
LL, sel makrofag berdiferensiasi menjadi sel epiteloid. Konfigurasi lesi memberikan

gambaran anular, batas lesi bagian luar kurang tegas (menyerupai tipe LL), tetapi
batas lesi bagian dalam masih tegas (menyerupai tipe tuberkuloid). Khas ditemukan
lesi punched-out atau Swiss cheese. Tidak jarang ditemukan lesi anular dengan batas
lesi bagian dlaam dan luar yang tegas. Banyak lesi papul dan nodul dengan batas
kurang tegas, tetapi dapat ditemukan juga beberapa lesi berbatas tegas. Secara umum
dapat dikatakan banyak lesi anular dan plak asimetris, tetapi seperti pada tipe LL
dapat ditemukan nodul-nodul yang simetris. Prevalensi palsies saraf paling tinggi
(baik motor maupun sensoris) dengan jumlah bervariasi pada keempat ekstremitas.
Tanda khas adalah keterlibatan saraf ulnaris dan medianus, sering simetris.
Gambaran histologis ditemukan infiltrat limfosit yang padat. Respons klasik
lain adalha adanya laminasi perineurium oleh infiltrat sel limfosit, polanya seperti
peradangan kronik. Makrofag dapat berbusa (foamy) atau undifferentiated. BTA
mudah ditemukan. BI biasanya 4+ atau 5+, tes lepromin negatif.
6. Lepra Lepromatous
Lesinya macula pucat, atau berupa infiltrasi difus pada kulit. Dapat dibagi
menjadi lepromatosa leprosy pola dan subpolar.terjadi anestesi pada lesi, tidak ada
penebalan saraf. Rambut pada bagian alis dan mata lama kelamaan hilang
(madarosis). Infiltrasinya dapat dibagi menjadi difus dan nodular. Tipe difus
karakteristiknya terjadi infiltrasi difus pada kulit, waxy, dan mengkilat pada wajah.
Infiltrasi dapat juga bermanifestasi sebagai nodul dinamakan leproma. Biasanya
terdapat pada telinga, alis, hidung, dagu, sikut, tangan, pantat, atau lutut.
Keterlibatan saraf sangat lambat, lesinya simetris bilateral dan biasanya dengan
pattern stocking-glove.
BTA ditemukan pada semua lesi lepra tipe LL. Smears selalu positif. BI 5+
atau 6+. Tes lepromin negatif karena tidak ada imunitas seluler.
Gambaran histologis lepra tipe LL ditandai dengan adanya leproma. Pada
epidermis rete ridges menghilang, terdapat clear sub-epidermal zone. Di dermis
terdapat

infiltrat

massif

yang

terdiri

atas

undifferentiated

spindle-shape

macrophages, beberapa diantaranya mengalami degenerasi busa (foaming) pada


sitoplasma. Pulasan dengan Ziehl-Neelsen ditemukan banyak BTA (BI 5+ atau 6+).
Basil hampir selalu mengisi sel, membentuk globus tahan asam. Limfosit tidak ada
atau hanya sedikit.
Sifat
Lesi
Bentuk

Lepromatosa
(LL)
Makula

Borderline Lepromatosa
(BL)
Macula

Mid Borderline (BB)

Plakat

Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
BTA
Lesi kulit
Sekret Hidung
Tes Lepromin
Sifat
Lesi
Bentuk

Inflitrat difus
Papul
Nodus
Tidak
terhitung,
tidak ada kulit sehat
Simetris
Halus berkilat

Plakat
Papul

Dome-shaped (kubah)
Punched out

Sukar dihitung, masih ada


kulit sehat
Hampir simetris
Halus bekilat

Tidak jelas
Tidak jelas

Agak jelas
Tak jelas

Dapat dihitung kulis


sehat jelas ada
Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak (ada globus)


Banyak (ada globus)
Negatif

Banyak
Biasanya negatif
Negatif

Agak banyak
Negatif
Biasanya negatif

Tuberkuloid (TT)

Borderline Tuberculoid
(BT)

Distribusi
Permukaan
Batas

Macula saja; Macula Makula dibatasi infiltrate;


dibatasi infiltrate
Infiltrate saja
Satu, dapat beberapa Beberapa
atau
satu
dengan satelit
Asimetris
Masih asimetris
Kering bersisik
Kering bersisik
Jelas
Jelas

Anestesia

Jelas

Jumlah

BTA
Lesi kulit
Tes Lepromin

Jelas

Hampir
selalu Negatif atau hanya 1+
negatif
Positif kuat (3+)
Positif lemah

Indeterminate (I)

Hanya macula
Satu atau beberapa
Variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Tak ada dampai tidak
jelas
Biasnaya negatif

Dapat positif lemah


atau negatif
Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam

deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulangtulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat adanya deofrmitas
primer, terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur
sendi, mutilasi tangan dan kaki.
Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. Ulnaris:

Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

Clawing kelingking dan jari manis


Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial

N. Medianus:

Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjung, dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjung, dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

N. radialis:

Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk


Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis:

Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis


Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior:

Anesthesia telapak kaki


Claw toes
Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis

N. fasialis:

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus


Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengkatupkan bibir

N. trigeminus:

Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata


Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasilais yang dapat membuat paralisis N.
orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri
atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada

tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal


dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih dahulu
cara membuat diagnosis kedua bentuk polar TT dan LL yang akan diuraikan secara
skematis.
E. Reaksi Lepra
Reaksi lepra adalah timbulnya tanda dan gejala (sign and simptoms) peradangan
akut pada lesi pasien lepra. Reaksi merupakan penyebab utama kerusakan saraf.
Peradangan ini disebabkan oleh sistem imun tubuh yang menyerang basil lepra.
Klinis reaksi ditandai dengan pembengkakan, kemerahan dan nyeri pada lesi, nyeri
saraf, sangat sering disertai kehilangan fungsi, timbul lesi-lesi baru. Sangat penting untuk
mengetahui adanya reaksi lepra dan mengobatinya, karena kerusakan saraf cepat terjadi
dan ekstensif. Reaksi mungkin merupakan episode akut hipersensitivitas terhadap
antigen basil. Ada 3 macam reaksi, yaitu:
1. Reaksi tipe 1 (reaksi reversal dan downgrading)
Reaksi tipe 1 ini merupakan hipersensitivitas seluler, disebabkan oleh
peningkatan aktivitas sistem imun tubuh dalam melawan basil, termasuk basil yang
mati. Pada reaksi ini dapat terjadi perubahan derajat imunitas seluler, dimana
penyakit mengalami pergeseran tipe lepra sepanjang spektrum, terutama pada tipe
borderline (tipe BT, BB, dan BL yang mempunyai status imunologi yang tidka
stabil). Arah pergeseran spektrum dapat ke kedua arah, yaitu:
a. Pergeseran ke arah kutub tuberkuloid, dimana terjadi peningkatan imunitas
seluler disebut reaksi reversal. Tipe ini biasanya terjadi setelah penyakit
diobati.
b. Pergeseran ke arah kutub lepromatosa, dimana terjadi penurunan imunitas
seluler disebut reaksi downgrading. Tipe ini hanya terjadi pada pasien yang
tidak mendapat pengobatan adekuat, dan pada pria sering dipresipitasi oleh
pubertas, sedang pada wanita dipresipitasi oleh kehamilan dan melahirkan.
Gambaran klinis reaksi tipe 1:
a. Dekat kutub tuberkuloid: lesi kulit membengkak dan edem. Eritem sering
disusul dengan deskuamasi dan kadang ulserasi. Tidak semua lesi terlibat. Jika
terjadi di wajah mencakup mata dan hidung, maka terjadi edema konjungtiva,
gatal dan lakrimasi, serta hidung tersumbat. Jika pasien mengalami reaksi
reversal, jarang ditemukan lesi baru, lesi-lesi diskret dengan tepi tebal infiltratif.
Dapat bertendensi sembuh spontan. Jika mengalami reaksi downgrading maka
timbul banyak lesi baru. Pada saraf, beberapa saraf terlibat menjadi cepat

bengkak dan sangat nyeri. Sering terjadi parestesi dan nyeri. Hilangnya fungsi
motoris terjadi cepat, jika tidak diobati dengan cepat dapat permanen. Paralisis
yang terjadi tiba-tiba pada n. ulnaris, n. radialis dan n. poplitea lateralis
prognosisnya lebih baik dibandingkan paralisis n. fasialis. Gejala sistemik
minimal, sering hanya edema pada tungkai dan wajah.
b. Reaksi di tengah-tengah spektrum: reaksi pada lepra tipe BB dapat sangat berat
oleh karena itu ia paling banyak berhubungan dengan pergeseran tipe lepra. Lesi
kulit dengan cepat membengkak, eritem, dan edem. Lesi sangat nyeri. Banyak
timbul lesi baru. Saraf banyak terlibat, menjadi bengkak dan nyeri, diikuti
penyebaan kerusakan saraf dengan paresis yang ekstensif. Pasien dimobilisasi
oleh nyeri dan kelemahan badannya. Penyakit sistemik sering terjadi, dengan
kelemahan, malaise, dan edem generalisata terutama tangan, kaki, dan wajah.
c. Dekat kutub lepromatosa: reaksi lepra tipe 1 yang timbul pertama kali pada
lepra tipe BL biasanya menunjukkan gejala downgrading sebelumnya dan
sekarang mulai mendapat terapi. Reaksi dapat berlangsung beberapa bulan dan
perlu penanganan hati-hati.
Lesi kulit meningkat, cepat baik dalam jumlah maupun sifat, lesi menjadi
merah, mengkilat, dan tegang. Timbul lesi baru dan seluruh tubuh dapat
terinfiltrasi.
Saraf, walaupun banyak saraf perifer terlibat, derajat infiltrasi seluler tidak
banyak dan kurang menyebabkan paralisis progresif. Namun pada beberapa
pasien, saraf sangat membesar, nyeri, dan rusak.
Penyakit sistemik: adanya demam, malaise, dan edema.
Pada pasien yang tidak diobati dapat terjadi rekasi downgrading dan menderita
akibat efek invasi basil pada mukosa traktus respiratorius, mata, testis, dan
falang.
2. Reaksi tipe 2 (Eritema Nodosum Leprosum/ ENL)
Reaksi ini merupakan imunitas humoral, dan terjadi pergeseran tipe lepra
sepanjang spektrum. Reaksi tipe 2 terjadi akibat reaksi antigen-antibodi disertai
pembentukan kompleks imun pada tempat depot antigen di berbagai jaringan. Ini
menyebabkan terjadinya peradangan akut dimana ada fokus basil lepra. Reaksi ENL
terjadi pada pasien lepra tipe LL, dan kadang pada lepra tipe BL.

EN
L
Reversa
l

TT

BT

BB

Ti

BL

LL
Li

Gambar 11-3. Hubungan antara reaksi reversal dan enl pada berbagai tipe kusta.

Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa


fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM,
IgG) + komplemen kompleks imun
Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat
disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun
ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena
salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk.
Ternyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi
daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah
kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada
pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak
kuman kusta yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan
bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun
tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan
berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis,
dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya
dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL,BB,
BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama
dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor
pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi

hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman


M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6
bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak,
oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah
diterangkan terdahulu bahwa yang menentukan tipe penyakit adalah SIS. Tipe kusta
yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan
mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan
SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan
disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta, akhir-akhir ini sudah
hampir tidak terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjukkan
pergeseran ke arah lepromatosa masih tetap berlaku, berarti bergerak secara lambat,
tidak secepat reaksi.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama
menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.
Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan
pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian
kortikosteroid adalah fakultatif.
Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL
dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut
reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini
paenting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak
adanya nodus. Kalau ada berarti reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada berarti
reaksi non-nodular atau reaksi reversal reaksi borderline.
Gambaran klinis reaksi tipe 2 terjadi dengan spontan, tetapi paling sering pada
pasien dengan pengobatan cukup untuk mengurangi indek morfologi dibawah 5%.
Lebih separuh pasien lepra tipe LL dalam terapi menderita reaksi tipe 2, pada tipe
BL seperempatnya. Reaksi terjadi terutama pada waktu hamil dan laktasi, dan
serangan biasanya lama dan rekuren.
Reaksi ditandai ENL, berupa nodul eritem, nyeri, dapat superfisial atau dalam
sampai dermis. Dapat mengalami ulserasi mengeluarkan duh tubuh kuning

tebal/kental mengandung BTA polimorfik, tetapi steril pada biakan. Lesi paling
banyak di wajah, tungkai bagian ekstensor, namun dapat dimana saja. Lesi
berlangsung beberapa hari dan timbul lesi baru, jika memudar maka warna menjadi
keabuan, sulit dilihat pada kulit gelap. Pada ENL kronik ditemukan indurasi
terutama di paha bagian ekstensor dan lengan.
3. Reaksi tipe 3 (Lucio phenomenon)
Reaksi ini hanya terjadi pada Lucio leprosy yaitu bentuk murni dari lepra tipe
LL, merupakan reaksi paling berat, terutama mengenai orang Meksiko dan
campuran keturunan Spanyol dan Mediteranian, jarang di tempat lain.
F. Pemeriksaan Penunjang
G. Pengobatan Kusta
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisisn. DDS mulai dipakai sejak
1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh
BROWN dan HOGERZEIL, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin,
minosiklin, dan klaritromisin.
Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi
drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di
Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan
dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS
adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai
dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah.
MDT digunakan sebagai usaha untuk:
- Mencegah dan mengobati resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:
- Efek terapeutik obat
- Efek samping obat
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya
DDS
Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai
monoterapi. Pada tahun 1960, Shepard berhasil melakukan inokulasi M. leprae ke dalam
telapak kaki mencit. Apda tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya
resistensi terhadap DDS oleh Pettit dan Rees, disusul secara beruntun pembuktian adanya

resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian resistensi


tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke
MDT.
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitif
(persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis,
bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan
timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan
pengobatan dan inokulasi mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS. M.
leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten, bangun dan aktif kembali. Pada
pengobatan sebelumnya, kuman droman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT
apapun. Pada relaps resisten penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama.
Dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histopatologik yang khas, dapat dibuktikan
dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten
terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan DDS
100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis,
bakterioskopik, dan histopatologik. Apabila fasilitas mengizinkan, dapat ditentukan
gradasi resistensinya dari rendah, sedang, sampai yang tinggi. Inokulasi mencit pernah
dilaksanakan di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta.
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh
karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi terhadap
DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh
M. leprae yang telah resisten dan mantifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT,
BB, BL, LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat
diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang
tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi sekunder terjadi oleh karena:
-

Monoterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Minum obat tidak teratur
Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya
Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun

Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal
toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadi
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan
setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.
Ditemukan dan dipakai sebagai obat anti-tuberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai
obat kusta pada tahun 1970 oleh Rees dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama
terhadap M. leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Jacobson dan Hastings.
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
Klofazimin (lampren)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari,
atau 3x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/ hari namun awitan kerja
baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada
tahun 1982.
Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan
pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin
adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan
kulit. Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat
dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan.
Protionamid
Dosis diberikan 5-10mg/kg BB setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini tidak atau
jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar
hambat minimalnya sukar ditentukan.
Obat alternatif

Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar
99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya
,berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness,
nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya
tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat. Penggunaan pada anak, remaja, ibu
hamil, dan menyusui harus hati-hati karena pada hewan muda, kuinolon menyebabkan
atropati.
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan
saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk
anak-anak atau selama kehamilan.
Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
Cara Pemberian MDT
1

MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA (positif) adalah:
a Rifampisin 600mg setiap bulan, dalam pengawasan
b DDS 100mg setiap hari
c Klofazimin: 300mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50mg sehari
atau 100mg selama sehari atau 3 kali 100mg setiap minggu.
Awalnya kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan
dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif,
pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan
dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal
setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasiliar ini hanya

selama 2 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan
batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelummya yang
memerlukan waktu minimal waktu 10 sampai seumur hidup. Penghentian pemberian
obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak
lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan
baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control
(RFC).
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian obat
dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
2

MDT untuk pausibasiliar (I, TT, BT, dengan BTA negatif), adalah
a Rifampisin 600mg setiap bulan, dengan pengawasan
b DDS 100mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT
setelah 6 9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan
minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak
ada keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan
RFC.
Sejak tahun 1995, WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFC. Apabila
RFT telah tercapai, tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi
diawasi sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan
diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar
dengan lesi 2-5 buah, dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah.
Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah
memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18
bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6
dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah
Rifampisin 600mg ditambah Ofloksasin 400mg dan Minosiklin 100mg (ROM) dosis
tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan,
WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.

Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula


dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen
pengobatan menjadi klofazimin 50mg, ofloksasin 400mg, dan minosiklin 100mg
setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50mg ditambah ofloksasin 400mg
atau minosiklin 100mg setiap hari selama 18 bulan.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan ofloksasin
400mg/hari atua minosiklin 100mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah
diberikan rifampisin 600mg ditambah dengan ofloksasin 400mg dan minosiklin
100mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan.
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 1530mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya,
tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan
perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat
analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat
inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan
timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga
penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi
harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan
kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obati ini sudah tidak didapat.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti
reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300mg
sehari. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara
bertahap sesuai perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai
usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang
tidak dikendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah
kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih bersifat reversibel meskipun
menghilangnya lambat sejak obat dihentikan.

Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama
penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan
tanpa dikurangi dosisnya.
Pengobatan Reaksi Reversal
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednison 40mg sehari, kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya
dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara
mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak
yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau
diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif oleh
karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi
reversal.
Jadwal pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat KustaDirektorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL)
Departemen Kesehatan Indonesia dapat dilihat di skema di bawah ini.
Skema pemberian prednison dan lampren
1

Pemberian Prednison
Minggu Pemberian
Minggu 1 2
Minggu 3 4
Minggu 5 6
Minggu 7 8
Minggu 9 10
Minggu 11 12

Dosis Harian yang Dianjurkan


40 mg
30 mg
20 mg
15 mg
10 mg
5 mg

Pemberian Lampren
ENL yang berat dan berkepanjangan dan terdapat ketergantungan pada
steroid (pemberian prednison tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu
ditambahkan lampren, untuk dewasa 300mg/hari selama 2 3 bulan. Bila ada
perbaikan turunkan menjadi 200mg/hari selama 2 3bulan. Bila ada perbaikan
turunkan menjadi 100mg/hari selama 2 3 bulan, dan selanjutnya kembali ke
dosis lampren semula, 50mg/hari, bila penderita masih dalam pengobatan MDT,

atau stop bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis
prednison diturunkan secara bertahap.
H. Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta,
terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri
juga memiliki resiko tersebut.
Kerusakan sarar terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan
sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit,
lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga
ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang
kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan.
Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik
tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati,
sekurangnya mencegah kerusakan menjadi berlanjut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT
yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung
tangan bila berkerja dengan benda tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk
melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini
dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan
kaki direndah, disikat, dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy (1977) membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta. Pada pertemuan yang ketujuh dibuat amandemen khusus untuk mata.
Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0
Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 1
Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan
atau deformitas yang terlihat

Tingkat 2
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0
Tidak ada kelainan/kerusakan pada mata
(termasuk visus)
Tingkat 1
Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak
terlihat, visus sedikit berkurang
Tingkat 2
Ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus
sangat terganggu
Catatan: kerusakan atau deformitas pada tangan atau kaki terasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi,
kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis, dan lagofthalmos.

Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal,
tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah secara kekaryaan,
atau memberi lapangan perkerjaan yang sesuai cacat tubuhnya ,sehingga dapat
berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi
psikologik. Beberapahalyangharusdilakukanolehpasienadalah:
a

Pemeliharaankulitharian

Cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun
(jangandetergen).

Rendamkakisekitar20menitdenganairdingin.

Kalau kulit sudah lembut, gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering
terlepas.

Kulitdigosokdenganminyak.

Secarateraturkulitdiperiksa(adakahkemerahan,hotspot,nyeri,luka,dan
lainlain).

Proteksitangandankaki
1

Tangan:

Pakaisarungtanganwaktubekerja.

Stopmerokok.

Jangansentuhgelas/barangpanassecaralangsung.

Lapisigagangalatalatrumahtanggadenganbahanlembut.
2

Kaki

Selalupakaialaskaki.

Batasijalankaki,sedapatnyajarakdekatdanperlahan.

Meninggikankakibilaberbaring.
c

Latihanfisioterapi
Tujuannya adalah : cegah kontraktur, peningkatan fungsi gerak, peningkatan
kekuatanotot,peningkatandayatahan(endurance).3
1

Latihanlingkupgeraksendi:secarapasifmeluruskanjarijarimenggunakan
tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik,
lakukan 510 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat
ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga
dikerjakanpadajarijarikeseluruharahgerak.

Latihanaktifmeluruskanjarijaritangandengantenagaototsendiri.

Untuktungkailakukanpereganganotototottungkaibagianbelakangdengan
caraberdirimenghadaptembok,ayunkantubuhmendekatitembok,sementara
kakitetapberpijak.

Program latihan dapat ditungkatkan secara umum untuk mempertahankan


elastisitasotot,mobilitas,kekuatanotot,dandayatahan.

Daftar Pustaka
Kartowigno, Soenarto. 2012. Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri Press:
Palembang
Menaldi, Sri Linuwih SW. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
William D. James dkk. 2011. Andrews Diseases of the Skin: Clinical Dermatology, 11th
Edition. Amerika Serikat: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai