Anda di halaman 1dari 50

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Gambaran Jaringan Drainase


Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai
sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting
dalam perencanaan kota (perencanaan infrastruktur khususnya).
Menurut Dr. Ir. Suripin, M. Eng. (2004; 7) drainase mempunyai arti
mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum,
drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk
mengurangi dan/ atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan,
sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga diartikan sebagai
suatu cara pembuangan kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah,
serta cara-cara penangggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air
tersebut.
Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari
prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju
kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat. Prasarana drainase di sini
berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air permukaan
dan bawah permukaan tanah) dan atau bangunan resapan. Selain itu juga
berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan tindakan untuk
memperbaiki daerah becek, genangan air dan banjir. Kegunaan dengan adanya
saluran drainase ini adalah untuk mengeringkan daerah becek dan genangan air
sehingga tidak ada akumulasi air tanah, menurunkan permukaan air tanah pada
tingkat yang ideal, mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan
yang ada, mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak terjadi
bencana banjir.
Sebagai salah satu sistem dalam perencanaan perkotaan, maka system
drainase yang ada dikenal dengan istilah sistem drainase perkotaan. Berikut
definisi drainase perkotaan :

II-1

1. Drainase perkotaan yaitu ilmu drainase yang mengkhususkan pengkajian


pada kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan
sosialbudaya yang ada di kawasan kota.
2. Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari
wilayah perkotaan yang meliputi daerah permukiman, kawasan industri dan
perdagangan, kampus dan sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum, lapangan
olahraga, lapangan parkir, instalasi militer, listrik, telekomunikasi, pelabuhan
udara.
Sistem jaringan drainase perkotan umumnya dibagi atas 2 bagian, yaitu :
1. Sistem Drainase Makro
Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/ badan air yang menampung dan
mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area).
Pada umumnya sistem drainase makro ini disebut juga sebagai sistem saluran
pembuangan utama (major system) atau drainase primer. Sistem jaringan ini
menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase
primer, kanal-kanal atau sungai-sungai. Perencanaan drainase makro ini
umumnya dipakai dengan periode ulang antara 5 sampai 10 tahun dan
pengukuran topografi yang detail mutlak diperlukan dalam perencanaan
system drainase ini.
2. Sistem Drainase Mikro
Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap drainase
yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan. Secara
keseluruhan yang termasuk dalam sistem drainase mikro adalah saluran di
sepanjang sisi jalan, saluran/ selokan air hujan di sekitar bangunan,
goronggorong, saluran drainase kota dan lain sebagainya dimana debit air
yang dapatditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro
ini direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2,5 atau 10 tahun
tergantung pada tata guna lahan yang ada. Sistem drainase untuk lingkungan
permukiman lebih cenderung sebagai sistem drainase mikro.
Bila ditinjau deri segi fisik (hirarki susunan saluran) sistem drainase perkotaan
diklasifikasikan atas saluran primer, sekunder, tersier dan seterusnya.
1. Saluran Primer
Saluran yang memanfaatkan sungai dan anak sungai. Saluran primer adalah
saluran utama yang menerima aliran dari saluran sekunder.
II-2

2. Saluran Sekunder
Saluran yang menghubungkan saluran tersier dengan saluran primer
(dibangun dengan beton/ plesteran semen).
3. Saluran Tersier
Saluran untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke saluran sekunder, berupa
plesteran, pipa dan tanah.
4. Saluran Kwarter
Saluran kolektor jaringan drainase lokal.

Gambar 2.1 Hirarki Susunan Saluran

Keterangan:
a = Saluran primer
b = Saluran sekunder
c = Saluran tersier
d = Saluran kwarter
2.1.1

Jenis-Jenis Drainase

Jenis-jenis drainase dapat dibedakan menurut: sejarah terbentuknya; letak


bangunan; fungsi; konstruksi dan pola jaringannya.
Menurut sejarah terbentuknya drainase dapat dibedakan sebagai:
1. Drainase alamiah (Natural Drainage)
Drainase ini terbentuk secara alami dan tidak terdapat bangunan-bangunan
penunjang seperti bangunan pelimpah; pasangan batu/beton; gorong-gorong
dan lain sebagainya. Saluran ini terbentuk oleh gerusan air yang bergerak
karena gravitasi yang lambat laun membentuk jalan air yang permanen seperti
sungai.

II-3

Gambar 2.2 Drainase Alamiah

2. Drainase buatan (Artificial Drainage)


Drainase ini dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga memerlukan
bangunan-bangunan khusus seperti selokan; pasangan batu/beton; goronggorong; pipa-pipa dan sebagainya.

Gambar 2.3 Drainase Buatan

Menurut letak bangunan drainase dapat dibedakan sebagai:


1. Drainase permukaan tanah (Surface Drainage)
Saluran drainase berada di atas permukaan tanah yang berfungsi untuk
mengalirkan air limpasan permukaan. Analisa alirannya merupakan analisa
saluran terbuka (open channel flow)
2. Drainase bawah permukaan tanah (Subsurface Drainage)
Saluran drainase berada di bawah permukaan tanah karena alasan-alasan
tertentu antara lain: tuntutan artistik, fungsi permukaan tanah yang tidak boleh
adanya saluran di permukaan tanah seperti lapangan sepak bola, lapangan
terbang, taman dan lain-lain. Seperti halnya dengan saluran drainase di atas
permukaan tanah, saluran ini juga berfungsi untuk mengalirkan air limpasan
permukaan.

II-4

Menurut fungsinya drainase dapat dibedakan sebagai:


1.

Saluran drainase dengan fungsi tunggal (Single Purpose), yaitu saluran yang
berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan, misalnya air hujan saja atau
jenis air buangan yang lain seperti limbah domestik, air limbah industri dan
sebagainya.

2.

Saluran drainase dengan fungsi ganda (Multi Purpose), yaitu saluran yang
berfungsi mengalirkan beberapa jenis air buangan baik secara bercampur
maupun bergantian.
Menurut konstruksinya drainase dapat dibedakan sebagai:

1.

Saluran terbuka, yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan yang
terletak di daerah yang mempunyai luasan yang cukup ataupun untuk
drainase air buangan lain yang tidak membahayakan kesehatan atau
mengganggu lingkungan.

2.

Saluran tertutup, yaitu saluran yang pada umumnya sering dipakai untuk
aliran air kotor (air yang mengganggu kesehatan/lingkungan) atau untuk
saluran yang terletak di tengah kota.

1.

2.1.2
Pola Jaringan Drainase
Ada bermacam-macam pola jaringan drainase antara lain:
Pola jaringan siku
Jaringan ini dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi
dari pada sungai. Sungai sebagai saluran pembuang akhir berada di tengah
kota.

Gambar 2.4 Pola jaringan siku

II-5

2.

Pola jaringan paralel.


Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran
cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi
perkembangan kota, saluran-saluran akan dapat menyesuaikan diri.

Gambar 2.5 Pola jaringan pararel

3.

Pola jaringan Grid Iron.


Pola jaringan ini biasa dipakai untuk daerah dimana sungainya terletak di
pinggir kota, sehingga saluran-saluran cabang dikumpulkan terlebih dahulu
pada saluran pengumpul.

Gambar 2.6 Pola jaringan grid iron

4.

Pola jaringan alamiah


Sama halnya seperti pada pola jaringan siku-siku, hanya beban sungai pada
pola alamiah lebih besar.

II-6

Gambar 2.7 Pola jaringan alamiah

5.

Pola jaringan radial.


Pola jaringan ini banyak terdapat pada daerah berbukit dimana saluransaluran memencar ke segala arah.

Gambar 2.8 Pola jaringan radial

6.

Pola jaringan jaring-jaring.


Pola jaringan ini biasanya mengikuti arah jalan raya dan cocok untuk daerah
dengan topografi datar.

II-7

Gambar 2.9 Pola jaringan jarring-jaring

2.2 Debit Hujan Rancangan


2.2.1
Pemilihan Data Hujan
Dalam penentuan curah hujan data dari pencatat atau penakar hanya
didapatkan curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Untuk mendapatkan
harga curah hujan areal dapat dihitung dengan beberapa metode :
1. Metode rata-rata aljabar
Tinggi rata-rata curah hujan yang didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata
hitung (arithmetic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan
didalam areal tersebut. Jadi cara ini akan memberikan hasil yang dapat
dipercaya jika pos-pos penakarnya ditempatkan secara merata di areal
tersebut, dan hasil penakaran masingmasing pos penakar tidak menyimpang
jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh areal (Soemarto, 1999). Cara ini
digunakan apabila :
a. Daerah tersebut berada pada daerah yang datar
b. Penempatan alat ukur tersebar merata
c. Variasi curah hujan sedikit dari harga tengahnya
Rumus :

R=1
/n ( R 1+ R 2+ + Rn ) ...................................................................(2.1)

Di mana :
R

= Curah hujan maksimum rata-rata (mm)

= Jumlah stasiun pengamatan

R1

= Curah hujan pada stasiun pengamatan satu (mm)

R2

= Curah hujan pada stasiun pengamatan dua (mm)

II-8

Rn

= Curah hujan pada stasiun pengamatan n (mm)

2. Metode Thiessen
Cara ini bardasar rata-rata timbang (weighted average). Metode ini sering
digunakan pada analisis hidrologi karena lebih teliti dan obyektif dibanding
metode lainnya, dan dapat digunakan pada daerah yang memiliki titik
pengamatan yang tidak merata (Mori, 1977). Cara ini adalah dengan
memasukkan faktor pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun hujan yang
disebut faktor pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun
hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun.
Besarnya koefisien Thiessen tergantung dari luas daerah pengaruh stasiun
hujan yang dibatasi oleh poligon-poligon yang memotong tegak lurus pada
tengah-tengah garis penghubung stasiun. Setelah luas pengaruh tiap-tiap
stasiun didapat, maka koefisien Thiessen dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Soemarto, 1999) :
A1 R 1+ A 1 R1 + + A n R n .............................................................(2.2)
R=
A 1+ A 1+ + An
Dimana :
R

= Curah hujan maksimum rata-rata (mm)

R1, R2,.......,Rn

= Curah hujan pada stasiun 1,2,..........,n (mm)

A1, A2, ,An

= Luas daerah pada polygon 1,2,...,n (Km 2)

II-9

Gambar 2.10 Poligon Thiessen

Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah sebagai berikut :
a. Jumlah stasiun pengamatan minimal tiga buah.
b. Penambahan stasiun akan mengubah seluruh jaringan
c. Topografi daerah tidak diperhitungkan.
d. Stasiun hujan tidak tersebar merata
3. Metode Isohyet
Dengan cara ini, kita dapat menggambar dulu kontur tinggi hujan yang sama
(isohyet). Kemudian luas bagian diantara isohyet-isohyet yang berdekatan
diukur, dan nilai rata-rata dihitung sebagai nilai rata-rata timbang nilai kontur,
kemudian dikalikan dengan masing-masing luasnya. Hasilnya dijumlahkan
dan dibagi dengan luas total daerah, maka akan didapat curah hujan areal
yang dicari.
R 1+ R 2
R +R
R + n1
A 1 + 3 4 A2 + + n
An
2
2
R= 2
A1 + A2 + + A n

....................................(2.3)

di mana :
R

= Curah hujan rata-rata (mm)

R1, R2, ......., Rn = Curah hujan stasiun 1, 2,....., n (mm)


A1, A2, .. , An = Luas bagian yang dibatasi oleh isohyet-isohyet (Km2)

Gambar 2.11 Metode Isohyet

2.2.2

Uji Konsistensi
II-10

Uji konsistensi data dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran data


lapangan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor:
i. Spesifikasi alat penakar berubah.
ii. Tempat alat ukur dipindah.
iii. Perubahan lingkungan di sekitar alat penakar.
Jika dari hasil pengujian ternyata data adalah konsisten artinya tidak terjadi
perubahan lingkungan dan cara penakaran, sebaliknya jika ternyata data tidak
konsisten artinya terjadi perubahan lingkungan dan cara penakaran. Cara
pengujian konsistensi data hujan dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya:
a. Metode Curve Massa Ganda
Dalam metode ini nilai kumulatif seri data yang diuji (stasiun A misalnya),
dibandingkan dengan nilai kumulatif seri data dari stasiun referensi (stasiun
B misalnya). Stasiun referensi dapat berupa rerata dari beberapa stasiun di
dekatnya. Nilai kumulatif seri data digambarkan pada grafik sistem koordinat
kartesius (X-Y). Kurva yang terbentuk kemudian diperiksa untuk melihat
perubahan kemiringan. Jika kurva berbentuk garis lurus artinya data A
konsisten. Sebaliknya jika terjadi perubahan/patahan kemiringan bentuk
kurva, artinya data A tidak konsisten dan perlu dilakukan koreksi (mengalikan
atau membagi data sebelum atau sesudah perubahan/patahan) dengan
faktor koreksi:

Keterangan rumus:

: kemiringan kurve setelah patahan.


: kemiringan kurve sebelum patahan

II-11

Gambar 2.12 Sketsa analisa kurva massa ganda stasiun A dan B

2.2.3
Pemilihan Distribusi Hujan Rancangan
Pada kenyataannya bahwa tidak semua varian dari suatu variabel hidrologi
terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah
besarnya derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Parameter yang
digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi parameter nilai rata rata
( X ). Standar deviasi (Sd), koefisien variasi ( Cv ), koefisien kemiringan /
skewness (Cs), dan koefisien kurtosis ( Ck ). Adapun caranya sebagai berikut :
1. Deviasi Standar (S)
Jumlah aljabar dari penyimpangan harga variasi terhadap harga rata-rata
selalu akan sama dengan nol, oleh karenanya tidak ada gunanya untuk
mencarinya. Harga rata-rata dari penyimpangan, yang dinamakan keragaman
(variance) adalah yang terbaik sebagai parameter dispersi. Besarnya
keragaman sample dihitung dari keragaman populasi dengan memasukkan
koreksi Bessel, yaitu :
Sd =

( Xi X )2
n1

................................................................... (2.4)

Dimana :
Sd

= Standar Deviasi

= Tinggi hujan rata rata selama n tahun ( mm )

Xi

= Tinggi hujan di tahun ke ( mm )

II-12

= Jumlah tahun pencatatan data hujan

2. Koefisien Skewness (CS)


Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat
ketidak simestrisan dari suatu bentuk distribusi.
Rumus :
n

n ( X i X )3
CS=

i=1

( n1 )( n2 ) S

.............................................................................(2.5)

Di mana :
CS

= Koefesien Skewness

Xi

= Nilai varian ke i

= Nilai rata-rata varian

= Jumlah data

S
= Deviasi standar
3. Koefisien Kurtois (CK)
Pengukuran kurtosis dimaksud untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva
distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.
Rumus :
n

1
( X X ) 4 .............................................................................(2.6)
n i=1 i
CK =
S4
Di mana :
CK

= Koefisien Kurtosis

Xi

= Nilai varian ke i

= Nilai rata-rata varian

= Jumlah data

S
= Deviasi standar
4. Koefisien Variasi (CV)
Koefisien Variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan
nilai rata-rata hitung suatu distribusi.
Rumus :
CV =

S
.............................................................................. (2.7)
X

II-13

Di mana :
CV

= Koefisien variasi

= deviasi standar

= Nilai rata-rata varian

Dari nilai-nilai di atas, kemudian dilakukan pemilihan jenis sebaran yaitu


dengan membandingan koefisien distribusi dari metode yang akan digunakan.
Tabel 2.1 Pedoman Pemilihan Sebaran
Jenis Sebaran
Normal
Gumbel Tipe I
Log Pearson
Tipe III
Log Normal

Syarat
Cs 0
CK 3
CS 1,1396
CK 5,4002
CS 0
CV 0,3
CS 1,137
CK 3CV

2.2.4
Pehitungan Curah Hujan Rancangan
Ada berbagai macam distribusi teoritis yang kesemuanya dapat dibagi
menjadi dua yaitu distribusi diskrit dan distribusi kontinyu. Distribusi diskrit antara
lain; binomial dan poisson, sedangkan distribusi kontinyu antara lain; Normal, Log
Normal, Pearson dan Gumbel . Berikut ini adalah beberapa macam distribusi
perhitungan curah hujan rancangan yang sering digunakan, yaitu:
1. Metode Gumbel Tipe 1
Untuk menghitung curah hujan rencana dengan Metode Gumbel Tipe I
digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut :
Sd
Xt = X + ( Y T Y n ) ..........................................................................(2.8)
Sn

Sd =

( Xi X )
n1

.............................................................................(2.9)

Hubungan antara periode ulang T dengan YT dapat dihitung dengan rumus:

II-14

Y T =ln ln

T 1
T

..........................................................................(2.10)

Dimana :

Xt

= Nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun ( mm )

= Nilai rata rata hujan ( mm )

= Deviasi standar ( simpangan baku )

YT

= Nilai reduksi variasi ( reduced variate ) dari variable yang


diharapkan terjadi pada periode ulang T tahun, seperti dituliskan
pada tabel 2.4

Yn

= Nilai rata rata dari reduksi variasi ( reduced mean ) nilainya


tergantung dari jumlah data ( n ), seperti yang ditunjukan pada
Tabel 2.2

Sn

= Deviasi standar dari reduksi cariasi ( reduced standart deviation )


nilainya tergantung dari jumlah data ( n ), seperti yang ditunjukan
pada Tabel 2.3
Tabel 2.2 Reduced Mean ( Yn )

0.495
0.499
0.5035
2
6
0.523
0.525
20
0.5268
6
2
0.536
0.537
30
0.5380
3
1
0.546
0.544
40
0.5448
3
2
0.548
0.548
50
0.5493
5
9
0.552
0.552
60
0.5527
1
4
0.554
0.555
70
0.5552
8
0
0.556
0.557
80
0.5572
9
0
0.558
0.558
90
0.5589
6
7
10
0.560
0
0
Sumber : Soemarto,1999
10

3
0.507
0
0.528
3
0.538
8
0.545
3
0.549
7
0.553
0
0.555
5
0.557
4
0.559
1

4
0.5100
0.5296
0.5396
0.5458
0.5501
0.5533
0.5557
0.5576
0.5592

0.515
7
0.530
0
0.540
0
0.546
8
0.550
4
0.553
5
0.555
9
0.557
8
0.559
3

0.512
8
0.582
0
0.541
0
0.546
8
0.550
8
0.553
8
0.556
1
0.558
0
0.559
5

7
0.5180
0.5882
0.5418
0.5473
0.5511
0.5540
0.5563
0.5581
0.5596

8
0.520
2
0.534
3
0.542
4
0.547
7
0.551
5
0.554
3
0.556
5
0.558
3
0.559
8

9
0.5220
0.5353
0.5430
0.5481
0.5518
0.5545
0.5567
0.5585
0.5599

Tabel 2.3 Reduced Standar Deviation (Sn)

II-15

0.949
6
10.62
8

0.967
6
10.69
6

30

11.124

11.159

11.159

11.193

40

11.413

11.436

11.436

50

11.607

11.623

60

11.747

70
80

10
20

10.20
6
10.91
5

10.31
6
10.96
1

10.411

10.49
3

10.565

11.004

11.047

1.108

11.226

11.285

11.313

11.339

11.363

11.388

11.458

1.148

11.519

11.538

11.557

11.574

1.159

11.623

11.638

11.658

11.681

11.696

11.708

11.721

11.734

11.759

11.759

1.177

11.782

11.803

11.814

11.824

11.834

11.844

11.854

11.863

11.863

11.873

11.881

11.898

11.906

11.915

11.923

1.193

11.938

11.938

11.945

11.953

11.959

11.973

1.198

11.987

11.694

12.001

1.202

12.026

12.03
8

12.04
4

12.049

12.05
5

1.206

0.9676
10.696

12.00
12.00
12.013
7
7
10
12.06
0
5
Sumber : Soemarto,1999
90

3
0.983
3
10.75
4

4
0.9971
10.811

Tabel 2.4 Reduced Variate YT sebagai fungsi kala ulang


Periode Ulang ( Tahun )

Reduced variated

0.3665

1.4999

10

2.2502

20

2.9606

25

3.1985

50

3.9019

100

4.6001

200

5.2960

500

6.2140

1000

6.9190

5000

8.5390

10000

9.9210

Sumber : Soemarto,1999

2. Metode Log Pearson III

II-16

Metode Log Pearson III apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik
akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai
model matematik dengan persamaan sebagai berikut :
Y =Y + k . S ........................................................................................(2.11)

Dimana :
Y = nilai logaritmik dari X atau log X
X = data curah hujan
Y

= rata-rata hitung (lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y

S = deviasi standar nilai Y


K = karakteristik distribusi peluang Log-Pearson tipe III ( Tabel 2.5 )
Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :
a. Mengubah data curah hujan sebanyak n buah X 1,X2,X3,...Xn menjadi log
(X1), log (X2 ), log ( X3 ),...., log ( Xn ).
b. Menghitung harga rata-ratanya dengan rumus :
n

log ( X i )

log X = i=1

....................................................................(2.12)

Dimana :
log X

= harga rata-rata logaritmik

= jumlah data

Xi
= nilai curah hujan tiap-tiap tahun (R24 maks)
c. Menghitung harga standar deviasinya dengan rumus berikut :
X

( i)logX
log

2
.............................................................................(2.13)

i=1

Sd=

II-17

Dimana :
Sd = Standar deviasi
d. Menghitung koefisien Skewness dengan rumus :
X
( i)log X
log

3
.............................................................................(2.14)

n
i1

CS=
Dimana :
Cs = Koefisien Skewness
e. Menghitung logaritma hujan rencana dengan periode ulang T tahun
dengan rumus :
log X T =log X +G . Sd ................................................................(2.15)
Dimana :
XT

= curah hujan rencana periode ulang T tahun

= harga yang diperoleh berdasarkan nilai Cs yang didapat

f. Menghitung koefisien Kurtosis (Ck) dengan rumus :


X
( i)log X
log

4
................................................................. (2.16)

i 1

C K=
Dimana :
Ck = Koefisien Kurtosis
g. Menghitung koefisien Variasi (Cv) dengan rumus :

II-18

CV =

Sd
...............................................................................(2.17)

logX

Dimana :
Cv = Koefisien Variasi
Sd = standar deviasi
Tabel 2.5 Harga K untuk Distribusi Log Pearson III
Periode Ulang Tahun
Kemencengan
( Cs )

10

25

50

100

200

1000

0.5

0.1

4.970

7.250

4.652

6.600

4.444

6.200

4.298

5.910

4.147

5.660

3.990

5.390

3.828

5.110

3.661

4.820

3.489

4.540

3.401

4.395

3.312

4.250

3.223

4.105

3.132

3.960

3.041

3.815

100

200

1000

Peluang ( % )
50

20

3.0

-0.396

0.420

2.5

-0.360

0.518

2.2

-0.330

0.574

2.0

-0.307

0.609

1.8

-0.282

0.643

1.6

-0.254

0.675

1.4

-0.225

0.705

1.2

-0.195

0.732

1.0

-0.164

0.758

0.9

-0.148

0.769

0.8

-0.132

0.780

0.7

-0.116

0.790

0.6

-0.099

0.800

0.5

-0.083

0.808

Kemencengan
( Cs )

10
4
2
1
1.18
2.278 3.152 4.051
0
1.25
2.262 3.048 3.845
0
1.28
2.240 2.970 3.705
4
1.30
2.219 2.912 3.605
2
1.31
2.193 2.848 3.499
8
1.32
2.163 2.780 3.388
9
1.33
2.128 2.706 3.271
7
1.34
2.087 2.626 3.149
0
1.34
2.043 2.542 3.022
0
1.33
2.018 2.498 2.957
9
1.33
2.998 2.453 2.891
6
1.33
2.967 2.407 2.824
3
1.32
2.939 2.359 2.755
8
1.32
2.910 2.311 2.686
3
Periode Ulang Tahun
10

25

50

Peluang ( % )
50

20

0.4

-0.066

0.816

0.3

-0.050

0.824

0.2

-0.033

0.830

10
1.31
7
1.30
9
1.30

0.5

0.1

2.880

2.261

2.615

2.949

3.670

2.849

2.211

2.544

2.856

3.525

2.818

2.159

2.472

2.763

3.380

II-19

0.1

-0.017

0.836

0.0

-0.000

0.842

-0.1

0.017

0.836

-0.2

0.033

0.850

-0.3

0.050

0.853

-0.4

0.066

0.855

-0.5

0.083

0.856

-0.6

0.099

0.857

-0.7

0.116

0.857

-0.8

0.132

0.856

-0.9

0.148

0.854

-1.0

0.164

0.852

-1.2

0.195

0.844

-1.4

0.225

0.832

-1.6

0.254

0.817

-1.8

0.282

0.799

-2.0

0.307

0.777

-2.2

0.330

0.752

-2.5

0.360

0.711

-3.0

0.396

0.636

1
1.29
2
1.28
2
1.27
0
1.25
8
1.24
5
1.23
1
1.21
6
1.20
0
1.18
3
1.16
6
1.14
7
1.12
8
1.08
6
1.04
1
0.99
4
0.94
5
0.89
5
0.84
4
0.77
1
0.66
0

2.785

2.107

2.400

2.670

3.235

2.751

2.054

2.326

2.576

3.090

2.761

2.000

2.252

2.482

3.950

1.680

1.945

2.178

2.388

2.810

1.643

1.890

2.104

2.294

2.675

1.606

1.834

2.029

2.201

2.540

1.567

1.777

1.955

2.108

2.400

1.528

1.720

1.880

2.016

2.275

1.488

1.663

1.806

1.926

2.150

1.488

1.606

1.733

1.837

2.035

1.407

1.549

1.660

1.749

1.910

1.366

1.492

1.588

1.664

1.800

1.282

1.379

1.449

1.501

1.625

1.198

1.270

1.318

1.351

1.465

1.116

1.166

1.200

1.216

1.280

0.035

1.069

1.089

1.097

1.130

0.959

0.980

0.990

1.995

1.000

0.888

0.900

0.905

0.907

0.910

0.793

0.798

0.799

0.800

0.802

0.666

0.666

0.667

0.667

0.668

Sumber : Soemarto,1999

3. Metode Log Normal


Metode Log Normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan
merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model
matematik dengan persamaan sebagai berikut :
X T = X + Kt . S ....................................................................................(2.18)

Dimana :

II-20

XT

= besarnya curah hujan yang mungkin terjadi dengan periode ulang


X tahun.

= curah hujan rata-rata (mm)

= standar Deviasi data hujan maksimum tahunan

Kt

= standard Variable untuk periode ulang t tahun yang besarnya


diberikan pada Tabel 2.6
Tabel 2.6 Standard Variable (Kt)
T( tahun )

Kt

T ( Tahun )

Kt

T ( Tahun )

Kt

-1.86

20

1.89

90

3.34

-0.22

25

2.10

100

3.45

0.17

30

2.27

110

3.53

0.44

35

2.41

120

3.62

0.64

40

2.54

130

3.70

0.81

45

2.65

140

3.77

0.95

50

2.75

150

3.84

1.06

55

2.86

160

3.91

1.17

60

2.93

170

3.97

10

1.26

65

3.02

180

4.03

11

1.35

70

3.08

190

4.09

12

1.43

75

3.60

200

4.14

13

1.50

80

3.21

221

4.24

14

1.57

85

3.28

240

4.33

15

1.63

90

3.33

260

4.42

Sumber : Soewarno, 1995


Tabel 2.7 Koefisien untuk metode sebaran Log Normal
Cv

Periode Ulang T tahun


2

10

20

50

100

0.0500

-0.2500

0.8334

12.965

16.863

21.341

24.370

0.1000

-0.0496

0.8222

13.078

17.247

22.130

25.489

0.1500

-0.0738

0.8085

13.156

17.598

22.899

26.607

0.2000

-0.0971

0.7926

13.200

17.911

23.640

27.716

0.2500

-0.1194

0.7748

13.209

18.183

24.348

28.805

0.3000

-0.1406

0.7547

13.183

18.414

25.316

29.866

50

100

Cv

Periode Ulang T tahun


2

10

20

II-21

0.3500

-0.1604

0.7333

13.126

18.602

25.638

30.890

0.4000

-0.1788

0.7100

13.037

18.746

26.212

31.870

0.4500

-0.1957

0.6870

12.920

18.848

26.734

32.109

0.5000

-0.2111

0.6626

12.778

18.909

27.202

33.673

0.5500

-0.2251

0.6129

12.513

18.931

27.615

34.488

0.6000

-0.2375

0.5879

12.428

18.916

27.974

35.241

0.6500

-0.2485

0.5879

12.226

18.866

28.279

35.930

0.7000

-0.2582

0.5631

12.011

18.786

28.532

36.568

0.7500

-0.2667

0.5387

11.784

18.577

28.735

37.118

0.8000

-0.2739

0.5148

11.548

18.543

28.891

37.617

0.8500

-0.2801

0.4914

11.306

18.388

29.002

38.056

0.9000

-0.2852

0.4886

11.060

18.212

29.071

38.437

0.9500

-0.2895

0.4466

10.810

18.021

29.102

38.762

10.000
-0.2929
0.4254
Sumber : Soewarno,1995

10.560

17.815

29.098

39.036

2.2.4.1
Uji Kebenaran Sebaran
Uji kebenaran sebaran dilakukan untuk mengetahui jenis sebaran yang
paling sesuai dengan data hujan. Uji sebaran dilakukan dengan uji keselarasan
distribusi yang
dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah
dipilih, dapat mewakili dari distribusi statistik sample data yang dianalisis
(Soemarto,1999).
Ada dua jenis uji keselarasan (Goodness of fit test), yaitu uji keselarasan
Chi Square dan Smirnov Kolmogorof. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah
hasil perhitungan yang diharapkan.
1. Uji Keselarasan ChiSsquare (Chi-Kuadrat)
Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan
yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data
pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut, atau dengan
membandingkan nilai chi square (X2) dengan nilai chi square kritis (X2cr). Uji
keselarasan chi square menggunakan rumus (Soewarno,1995):
N

X 2=
i=1

( OiEi )2
..............................................................................(2.19)
Ei

dimana :
X2

= harga chi square terhitung

II-22

Oi

= jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i

Ei

= jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i

= jumlah data

Suatu distrisbusi dikatakan selaras jika nilai X2 hitung < X2 kritis. Nilai X2 kritis
dapat dilihat di Tabel 2.8. Dari hasil pengamatan yang didapat dicari
penyimpangannya dengan chi square kritis paling kecil. Untuk suatu nilai
nyata tertentu (level of significant) yang sering diambil adalah 5 %. Derajat
kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut
(Soewarno,1995) :
DK =K(P+1) ................................................................................(2.20)

di mana :
Dk

= derajat kebebasan

= banyaknya data

Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut :


a. Apabila peluang lebih dari 5% maka persamaan dirtibusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
b. Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
c. Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, perlu penambahan data
Tabel 2.8 Nilai kritis untuk distribusi Chi-Square
Dk

Derajat kepercayan
0,995

0,99

0,975

0,05

0,025

0,01

0,005

3,841

5,024

6,635

7,879

0,0506

0,95
0,0039
3
0,103

0,0000393

0,000157

0,000982

0,01

0,0201

5,991

7,378

9,21

10,597

0,0717

0,115

0,216

0,352

7,815

9,348

11,345

12,838

0,207

0,297

0,484

0,711

9,488

11,143

13,277

14,86

0,412

0,554

0,831

1,145

11,07

12,832

15,086

16,75

0,676

0,872

1,237

1,635

12,592

14,449

16,812

18,548

0,989

1,239

1,69

2,167

14,067

16,013

18,475

20,278

1,344

1,646

2,18

2,733

15,507

17,535

20,09

21,955

1,735

2,088

2,7

3,325

16,919

19,023

21,666

23,589

II-23

10

2,156

2,558

3,247

3,94

18,307

20,483

23,209

25,188

11

2,603

3,053

3,816

4,575

19,675

21,92

24,725

26,757

12

3,074

3,571

4,404

5,226

21,026

23,337

26,217

28,3

13

3,565

4,107

5,009

5,892

22,362

24,736

27,688

29,819

14

4,075

4,66

5,629

6,571

23,685

26,119

29,141

31,319

15

4,601

5,229

6,262

7,261

24,996

27,488

30,578

32,801

16

5,142

5,812

6,908

7,962

26,296

28,845

32

34,267

17

5,697

6,408

7,564

8,672

27,587

30,191

33,409

35,718

18

6,265

7,015

8,231

9,39

28,869

31,526

34,805

37,156

19

6,844

7,633

8,907

10,117

30,144

32,852

36,191

38,582

20

7,434

8,26

9,591

10,851

31,41

34,17

37,566

39,997

21

8,034

8,897

10,283

11,591

32,671

35,479

38,932

41,401

22

8,643

9,542

10,982

12,338

33,924

36,781

40,289

42,796

23

9,26

10,196

11,689

13,091

36,172

38,076

41,683

44,181

24

9,886

10,856

12,401

13,848

36,415

39,364

42,98

45,558

25

10,52

11,524

13,12

14,611

37,652

40,646

44,314

46,928

26

11,16

12,198

13,844

15,379

38,885

41,923

45,642

48,29

27

11,808

12,879

14,573

16,151

40,113

43,194

46,963

49,645

28

12,461

13,565

15,308

16,928

41,337

44,461

48,278

50,993

29

13,121

14,256

16,047

17,708

42,557

45,722

49,588

52,336

30
13,787
14,953
Sumber : Soewarno, 1995

16,791

18,493

43,773

46,979

50,892

53,672

2. Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorof


Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorof, sering juga disebut uji keselarasan non
parametrik (non parametrik test), karena pengujiannya tidak menggunakan
fungsi distribusi tertentu. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
Rumus yang dipakai (Soewarno, 1995)
P max P(xi )
=

..................................................................... (2.21)
P( x) Cr
a. Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya nilai
masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data ( persamaan
distribusinya) :
X1 P(X1)
X2 P(X2)
Xm P(Xm)
Xn P(Xn)
b. Berdasarkan tabel nilai kritis ( Smirnov Kolmogorof test ) tentukan harga
Do (Tabel 2.9) menggunakan grafis.

II-24

Tabel 2.9 Nilai delta kritis untuk uji keselarasan Smirnov Kolmogorof
derajat kepercayaan

Jumlah
data n

0,2

0,1

0,05

0,01

0,45

0,51

0,56

0,67

10

0,32

0,37

0,41

0,49

15

0,27

0,3

0,34

0,4

20

0,23

0,26

0,29

0,36

25

0,21

0,24

0,27

0,32

30

0,19

0,22

0,24

0,29

35

0,18

0,2

0,23

0,27

40

0,17

0,19

0,21

0,25

45

0,16

0,18

0,2

0,24

50

0,15

0,17

0,19

0,23

1,36/n

1,63/n

n>50
1,07/n
1,22/n
Sumber : Soewarno,1995

2.3 Debit Banjir Rancangan


2.3.1
Penentuan Batas DAS
DAS adalah suatu bentang alam yang dibatasi oleh pemisah alami berupa
puncak puncak gunung dan punggung punggung bukit. Bentang alam tersebut
menerima dan menyimpan curah hujan yang jatuh di atasnya dan kemudian
mengaturnya secara langsung dan tidak langsung beserta muatan sedimen dan
bahan bahan lainnya ke sungai utama beserta anak anak sungai yang
bersangkutan yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut. Pada peta topografi
dapat ditentukan cara menentukan DAS dengan membuat garis imajiner yang
menghubungkan titik yang mempunyai elevasi kontur tertinggi dari sebelah kiri
dan kanan sungai yang ditinjau. Untuk menentukan luas daerah aliran sungai
dapat digunakan planimeter atau program AutoCAD. Dengan pengertian tersebut
bentuk dan ukuran suatu das dapat dikenali secara geografis, sebuah sistem DAS
yang besar biasanya terdiri dari beberapa Sub DAS sesuai dengan jumlah dan
hierarki percabangan sungai utamanya. Istilah asing untuk DAS adalah drainage
area atau river basin dipakai juga istilah watershed.
Adapun cara yang dapat dilakukan untuk menentukan batas DAS, yaitu :
1. Pada peta topografi, carilah sungai dan arah aliranya.
2. Akan terlihat pola kontur yang mengikuti kemiringan permukaan tanah.

II-25

3. Kontur yang mempunyai arah ke hulu pada sungai menunjukkan posisi


lembah, sedangkan kontur yang mempunyai arah sebaliknya (arah ke hilir)
adalah punggung.
4. Tentukanlah titik outlet untuk DAS dimaksud, dimulai dari titik outlet, tariklah
garis yang menghubungkan punggung pembatas.

Gambar 2.13 contoh penentuan batas DAS

2.3.2
Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi, (Tc) adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan
air hujan dari titik terjauh menuju suatu titik tertentu ditinjau pada daerah
pengaliran. Umumnya waktu konsentrasi terdiri dari waktu yang diperlukan oleh air
untuk mengalir pada permukaan tanah menuju saluran terdekat (To) dan waktu
untuk mengalir dalam saluran ke suatu tempat yang ditinjau (Td).

II-26

Gambar 2.14 Lintasan aliran waktu inlet time (to) dan conduit time (td)

Waktu konsentrasi besarnya sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh


faktorfaktor berikut ini:
a.
b.
c.
d.

Luas daerah pengaliran


Panjang saluran drainase
Kemiringan dasar saluran
Debit dan kecepatan aliran
Harga Tc ditentukan dengan menggunakan rumus seperti berikut ini:
T c =T o +T d ........................................................................................(2.22)
Dengan metode Rasional, waktu konsentrasi To dapat pula didekati dengan

Rumus Kirpich sebagai berikut :


2
n
T o= 3,28 L
3
S

0,167

................................................................(2.23)

T d=L/60. V ......................................................................................(2.24)

Di mana :
Tc

= Waktu konsentrasi durasi hujan (menit)


II-27

Td

= Waktu pengaliran dalam saluran (menit)

To

= Waktu pengaliran pada permukaan saluran (menit)

= Panjang saluran (m)

= Angka kekasaran lahan

= Kemiringan lahan (%)

= Kecepatan aliran air dalam saluran (m/dt)


Tabel 2.10 Kecepatan Izin
No
.

Jenis Bahan

1.

Pasir halus

0,45

2.

Lempung kepasiran

0,50

3.

Lahan Alluvial

0,60

4.

Kerikil halus

0,75

5.

Lempung kokoh

1,10

6.

Lempung padat

1,20

7.

Batu - batu besar

1,50

8.

Pasangan batu

1,50

9.

Beton

1,50

Vizin (m/dt)

2.3.3
Intensitas Hujan
Data yang digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan adalah
curah hujan jangka pendek yang dinyatakan dalam intensitas per jam yang
disebut intensitas curah hujan (mm/jam). Besarnya intensitas curah hujan itu
berbeda-beda yang disebabkan oleh lamanya curah hujan atau frekuensi
kejadiannya.
Untuk mengestimasi intensitas curah hujan, dalam perencanaan ini
biasanya digunakan salah satu dari rumus di bawah ini :
a. Rumus Talbot
Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Talbot pada tahun 1881 yang dijabarkan
sebagai
berikut:
I=

a
.............................................................................................(2.25)
t +b

II-28

Dimana nilai a dan b didapatkan dengan cara sebagai berikut (Metode Least
Square)
a=

[ I t ] [ I 2 ] [ I 2t ] [ I ]
N [ I 2 ] [ I ][ I ]

I t ] [ I ] N [ I 2t ]
[
b=
N [ I 2 ] [ I ] [ I ]

.............................................................................(2.26)

...............................................................................(2.27)

di mana:
I

= Intensitas Curah Hujan (mm/jam)

= Lamanya curah hujan (menit)

a,b

= Tetapan

[]

= Jumlah angka-angka dalam setiap suku

= Banyaknya data

b. Rumus Sherman
Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Sherman pada tahun 1905 yang dijabarkan
seperti berikut :
I=

a
................................................................................................(2.28)
tn

Dimana nilai a dan n dapat diperoleh dengan persamaan di bawah ini (Metode
Least Square)

[ log I ] [ ( log t )2 ][ log I . log t ][ log t ]


log a=
............................................(2.29)
2
N [ ( log t ) ] [ log t ] . [ log t ]

n=

[ log I ][ log t ]N [ log I . log t ]


..........................................................(2.30)
N [ ( logt )2 ][ log t ] . [ log t ]

di mana :
I

= Intensitas Curah Hujan (mm/jam)

II-29

= Lamanya curah hujan (menit)

a,b

= Tetapan

[]

= Jumlah angka-angka dalam setiap suku

= Banyaknya data

c. Rumus Ishiguro
Rumus ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro pada tahun 1953 yang dijabarkan
sebagai berikut:
a
I=
..........................................................................................(2.31)
t +b
Dimana nilai a dan b dapat diperoleh dengan persamaan di bawah ini (Metode
Least Square).

a=

[ I . t ] [ I 2 ][ I 2 . t ] [ I ]
N [ I 2 ] [ I ][ I ]

....................................................................(2.32)

[ I . t ] [ I 2 ][ I 2 ] [ I ]
b=
.........................................................................(2.33)
N [ I 2 ][ I ][ I ]
di mana :
I

= Intensitas Curah Hujan (mm/jam)

= Lamanya curah hujan (menit)

a,b

= Tetapan

[]

= Jumlah angka-angka dalam setiap suku

= Banyaknya data

Dari ketiga rumus diatas hasilnya dapat ditabelkan, kemudian dipilih salah
satu persamaan yang mempunyai deviasi paling rendah. Kemudian dipakai
sebagai rumus intensitas curah hujan yang dapat ditampilkan sebagai persamaan
kurva durasi intensitas curah hujan.
d. Rumus Mononobe
Metode ini diperkenalkan oleh Dr. Mononobe yang dijabarkan sebagai
berikut :
Rumus :

II-30

R24
24

2/ 3

( )( )

I=

24
t

................................................................................(2.34)

Di mana:
I

= Intensitas curah hujan (mm/jam)

= Lamanya waktu konsentrasi (jam)

R24

= Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

2.3.4
Debit Banjir Rancangan
Metode yang biasa digunakan untuk menghitung debit banjir rancangan
pada suatu ruas sungai atau saluran ada beberapa metode, diantaranya:
1. Metode Rasional
Rumus yang dipakai :
Qr=

R=

C .R. A
=0,278. C . I . A ..............................................................(2.35)
3,6
R 24
24

2/3

( )( )
24
t

................................................................................(2.36)

T c =L/W ..........................................................................................(2.37)

[ ]

H
W =72
L

0,6

....................................................................................(2.38)

Dimana :
Q = Debit maksimum (m3/dtk)
C = Koefisien pengaliran
R = Intensitas hujan selama t jam (mm/jam)
A = Luas Daerah Aliran ( DAS ) sampai 100 km 2
Tc = Waktu Konsentrasi
L = Panjang sungai ( km )
H = Beda tinggi ( km )
W = Kecepatan perambatan banjir ( km/jam )
Koefisien pengaliran C tergantung dari faktor-faktor daerah pengalirannya,
seperti jenis tanah, kemiringan, vegetasi, luas, bentuk daerah pengaliran
sungai. Untuk menentukan koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel 2.10

II-31

Tabel 2.11 Angka kekasaran permukaan lahan


Tata guna lahan

Kedap air

0,02

Timbunan tanah

0,10

Tanaman pangan/ tegalan dengan sedikit


rumput pada tanah gundul yang kasar dan
lunak

0,20

Padang rumput

0,40

Tanah gundul yang kasar dengan runtuhan


dedaunan

0,60

Hutan dan sejumlah semak belukar

0,80

Sumber : Bambang T, 2008


Tabel 2.12 Koefisien pengaliran (C)
Perumputan

Business
Perumahan

Industri

Tipe Daerah Pengaliran

Harga C

Tanah pasir, datar, 2%

0,05-0,10

Tanah pasir, rata-rata 2-7%

0,10-0,15

Tanah pasir, curam 7%

0,15-0,20

Tanah gemuk, datar 2%

0,13-0,17

Tanah gemuk rata-rata 2-7%

0,18-0,22

Tanah gemuk, curam 7%

0,25-0,35

Daerah kota lama

0,75-0,95

Daerah pinggiran

0,50-0,70

Daerah single family

0,30-0,50

multi unitterpisah-pisah

0,40-0,60

multi unittertutup

0,60-0,75

sub urban

0,25-0,40

daerah rumah-rumah apartemen

0,50-0,70

Daerah ringan

0,50-0,80

Daerah berat

0,60-0,90

Pertamanan

0,10-0,25

Tempat bermain

0,20-0,35

Halaman kereta api


Aspal dan beton

0,20-0,40
0,70-0,95

Batu bata dan Paving

0,50-0,70

Perkerasan

Sumber : (Loebis, 1987)

2. Metode Weduwen
II-32

Persamaan dasar yang dikembangkan untuk daerah aliran sungai sebagai


berikut (Soewarno,1991). Rumus ini digunakan bila luas Daerah Pengaliran
Sungai < 100 km2.
Q= . . q . f .....................................................................................(2.39)

Di mana :
Q = Debit banjir rencana (m3/dtk)
= Koefisien aliran
= Koefisien reduksi
q = Hujan maksimum setempat dalam sehari (Point Rainfall) (m3/km2/dt)
f = Luas daerah aliran (km2)
Pada penerapan metode ini langkah perhitungan debit puncak banjirnya
adalah sebagai berikut:

=1

4,1
( q+7 )

................................................................................(2.40)

[ ]

( t+1 )
f
.............................................................................(2.41)
( t+9 )
120+f

120+
=

q=

67,64
......................................................................................(2.42)
(t +1,45 )

Di mana :
= Koefisien aliran
= Koefisien reduksi
T = Lamanya hujan maksimum (1/6 sampai 12 jam)
q = Curah hujan maksimum (m3/km2/dt)
f = Luas DPS (km2) kurang dari 100 km2
Waktu konsentrasi dihitung dengan rumus :
II-33

t c=

i=

L
8Q

0,125

i 0,25

................................................................................(2.43)

H
............................................................................................(2.44)
0,9 L

Di mana :
tc = Waktu konsentrasi (menit)
L = Panjang sungai (m)
i

= Kemiringan

Pada penerapan metode Weduwen, pertama-tama ditentukan harga t


perkiraan
untuk menghitung harga , kemudian hitung harga q dan , kemudian hitung
harga t perhitungan, dengan rumus sebagai berikut :
0,375

t c=

0,467 f
......................................................................(2.45)
( q )0,125 i 0,25

Di mana :
a. Apabila harga t perkiraan belum sama dengan t perhitungan maka
tentukan t yang lain.
b. Apabila harga t perkiraan sudah sama dengan t perhitungan maka debit
puncak banjirnya dapat dihitung.
3. Metode Haspers
Rumus :
Q= . . q . f .....................................................................................(2.46)
Di mana :
Q = Debit banjir rencana (m3/dtk)
= Koefisien aliran
= Koefisien reduksi
q = Hujan maksimum setempat dalam sehari (Point Rainfall) (m3/km2/dt)
f = Luas daerah aliran (km2)

II-34

Pada penerapan metode ini langkah perhitungan debit puncak banjirnya


adalah sebagai berikut:
0,7

1+ 0,012. f
0,7 ................................................................................(2.47)
1+ 0,075. f

=1+

t +3,7.100,4t
t 2 +15

f 0,75
12

)( )

...............................................................(2.48)

q=r /3,6 t .........................................................................................(2.49)


Dimana :
= Intensitas curah hujan (m3/dtk/km2)

=
=

t . R24
2

t +10,008. ( 260R24 ) . ( 2t )
t . R 24
t +1

untuk t 2 jam

untuk 2 jam t 19 jam

= 0,707. R 24 . ( t+1 )

untuk 19 jam t 30 hari

R24

= Curah hujan = R + .SH

= Lamanya hujan (jam) = 0,1.I 0,8 .I 0,3

= Panjangnya aliran sungai

= Kemiringan sungai

Adapun langkah-langkah dalam menghitung debit puncak adalah sebagai


berikut (Loebis, 1987) :
a. Menentukan besarnya curah hujan sehari (Rh rencana) untuk periode
ulang rencana yang dipilih
b. Menentukan koefisien runoff untuk daerah aliran sungai
c. Menghitung luas daerah pengaliran, panjang sungai dan gradien sungai
untuk daerah aliran sungai
d. Menghitung nilai waktu konsentrasi
e. Menghitung koefisien reduksi, intensitas hujan, debit persatuan luas dan
debit rencana.
4. Metode FSR Jawa-Sumatera

II-35

Pada tahun 1982-1983 IOH (Institute of Hydrology), Wallingford, Oxon, Inggris


bersama-sama dengan DPMA (Direktorat Penyelidikan Masalah Air), telah
melaksanakan penelitian untuk menghitung debit puncak banjir yang
diharapkan terjadi pada peluang atau periode ulang tertentu berdasarkan
ketersediaan data debit banjir dengan cara analisis statistik untuk Jawa dan
Sumatra.

Rumus rumus dan notasi yang digunakan dalam metode

FSR ini adalah:


Q=GF (T , AREA) MAF ........................................................................(2.50)

Gambar 2.15 Daerah Pengaliran Sungai (DPS)

Di mana :
Q

= Debit banjir rencana (m3/dt)

= Faktor pembesar regional

= Periode ulang tertentu (tahun)

AREA

= Luas DPS (km2)

MAF

= Puncak banjir rata-rata (m3/dt)


= 8.106 * AREAV * APBRA2,445 * SIMS 0,117 * (1 + LAKE)0,85

SIMS

= Indeks kemiringan (m/km)

LAKE

= Indeks danau

= 1,02 ( 0,0275 * log AREA )

APBRA = Hujan rata-rata tahunan (mm)

II-36

= PBRA * ARF
ARF

= Faktor reduksi
= 0,99 untuk 1 < DPS < 10 km2
= 0,97 untuk 10 < DPS < 30 km2
= 1,152 0,1233 * log AREA untuk > 30 km 2
Tabel 2.13 Growth Factor (GF)
Periode Ulang
(Tahun)

Luas DAS (Km2)


100

300

600

900

1200

>1500

1.28

1.27

1.24

1.22

1.19

1.17

10

1.56

1.54

1.48

1.44

1.41

1.37

20

1.88

1.88

1.75

1.70

1.64

1.59

50

2.55

2.30

2.18

2.10

2.03

1.95

100

2.78

2.72

2.57

2.47

2.37

2.27

200

3.27

3.20

3.01

2.89

2.78

2.66

500

4.01

3.92

3.70

3.56

3.41

3.27

4.68
4.58
Sumber : Soewarno,1995

4.32

4.16

4.01

3.85

1000

Perkiraan debit puncak banjir tahunan rata-rata, berdasarkan ketersediaan


data
dari suatu DPS, dengan ketentuan :
a. Apabila tersedia data debit, minimal 10 tahun data runtut waktu maka,
MAF dihitung berdasarkan data serial debit puncak banjir tahunan.
b. Apabila tersedia data debit kurang dari 10 tahun data runtut waktu, maka
MAF dihitung berdasarkan metode puncak banjir di atas ambang (Peak
over a threshold = POT).
c. Apabila dari DPS tersebut, belum tersedia data debit, maka MAF
ditentukan dengan persamaan regresi, berdasarkan data luas DPS
(AREA), rata-rata tahunan dari curah hujan terbesar dalam satu hari
(APBAR), kemiringan sungai (SIMS), dan indeks dari luas genangan
seperti luas danau, genangan air, waduk (LAKE).
5. Metode Melchior
Digunakan untuk Luas DAS > 100 km2, (Loebis, 1987) :

II-37

Rumus :
Q= . . qn. A ..................................................................................(2.51)

a. Koefisien Runn Off ()


Koefisien ini merupakan perbandingan antara runnoff dengan hujan.
Rumus : 0,42 0,62 (diambil 0,52)
b. Koefisien Reduksi ()
Koefisien ini digunakan untuk mendapatkan hujan rata-rata dari hujan
maksimum. Rumus :
f =( 1970/ ( 0,12 ) ) 3960+172 ................................................(2.52)
c. Waktu Konsentrasi (t)
0,2

t=0,186. L . Q

.I

0,4

...............................................................(2.53)

dimana :
t

= waktu konsentrasi ( jam)

= panjang sungai (km)

= debit punck (m3/det)

= kemiringan rata-rata sungai

6. Metode Hidograf Satuan Sistetis Gamma I


Parameter-parameter hidrograf satuan Gamma I berdasarkan peta topografi
yang merupakan parameter DTA yang secara hidrologik mudah dijelaskan
pengaruhnya terhadap hidrograf. Parameter-parameter yang dimaksud dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Faktor sumber (SF) yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungaisungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai-sungai semua tingkat.
b. Frekwensi sumber (SN), yaitu perbandingan antara jumlah pangsa sungaisungai tingkat satu dengan jumlah pangsa sungai-sungai semua tingkat.
c. Faktor lebar (WF), yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur di
titik sungai yang berjarak 0,75 L dengan lebar DAS yang diukur di titik
sungai yang berjarak 0,25 L dari stasiun hidrometri.

II-38

d. Luas DAS sebelah hulu (RUA), yaitu perbandingan antara luas DAS yang
diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun
hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS, melewati
titik tersebut.
e. Faktor simetri (SIM), yaitu hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas
DAS sebelah hulu (RUA).
f. Jumlah pertemuan sungai (JN) adalah jumlah semua pertemuan sungai di
dalam DAS tersebut. JN = jumlah pangsa sungai tingkat satu dikurangi
satu.
g. Kerapatan jaringan kuras (D), yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat
tiap satuan luas DAS.
Penetapan parameter-parameter yang disebutkan di atas, dapat ditentukan
dengan menggunakan peta topografi skala 1:50.000. Selanjutnya, hidrograf
satuan diberikan dalam empat variabel pokok, yaitu waktu naik (TR), debit
puncak (Qp), waktu dasar (TB) dan koefisien tampungan (K) dengan
persamaan-persamaan berikut ini.
t / k

Qt=Qp . e

.....................................................................................(2.54)

L
+1,0665+1,2775 ..............................................(2.55)
100. SF

TR=0,43

QP=0,1836 A

0,5886

TB=27,4123 TR
K=0,5617 A

. TR

0,1457

0,1798

0,4008

0,0986

.S

0,1446

.S

. JN

. SN

. SF

.................................................(2.56)

0,2381

0,7344

1,0897

.D

. RUA .......................................(2.57)

0,0452

...........................................(2.58)

Koordinat hidrograf satuan sintetis gamma dintetukan sebagai berikut :


a. Waktu hujan ( t ) yaitu waktu hujan dalam sehari selama 24 jam dan
terdapat waktu puncak (TR), dalam satuan jam.
b. Unit hidrograf (Qt) yaitu persamaan debit unit hidrograf pada waktu hujan
terjadi, ditunjukkan pada waktu kurva naik (0 < t < tp) Qt = t. (Qp/TR) dan
pada saat kurva turun (tp < t < TR) Qt = Qp. e -(t/TR)/k
2.4 Limbah Pemukiman
Debit Air Limbah Buangan adalah semua cairan yang dibuang, baik yang
mengandung kotoran manusia maupun yang mengandung sisa-sisa proses
industri.
II-39

Air Buangan dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu :


a. Air Kotor
Air buangan yang berasal dari kloset, peturasan, bidet dan air buangan yang
mengandung kotoran manusia yang berasal dari alat-alat plambing.
b. Air Bekas
Air buangan yang berasal dari alat-alat plambing lainnya seperti bak mandi,
baik cuci tangan, bak dapur dan lain-lain.
c. Air Hujan
Air buangan yang berasal dari atap bangunan, halaman dan sebagainya.
d. Air Buangan Khusus
Air buangan yang mengandung gas, racun atau bahan-bahan berbahaya
seperti berasal dari pabrik, air buangan laboratorium, tempat pengobatan,
tempat pemeriksaan di rumah sakit, rumah pemotongan hewan, air buangan
yang bersifat radioaktif yang dibuang dari pusat Listrik Tenaga Nuklir.
Debit air limbah rumah tangga didapat dari 60% - 70% suplai air bersih setiap
orang, diambil debit limbah rumah tangga 70% dan sisanya dipakai pada proses
industri, penyiraman kebun-kebun dan lain-lain.
Debit air kotor ini dapat dihitung menggunakan rumus :
Qratarata =( 70 Kosumsi Air Bersih/Orang Jumlah Penduduk FP ) liter /hari
liter
Qair kotor
detik
Q air kotor =
( m3 / detik )
3
m
detik
1000
.(24 jam .60 menit .60 detik )
liter
hari
Tabel 2.14 Kebutuhan air bersih
N
o

Sumber

Satuan

Jumlah Aliran
(1/unit/orang)
Antara

Rata-Rata

Rumah

Orang

20 - 280

220

Pondok

Orang

130 - 190

160

Kantin

Pengunjung

4 - 10

Pekerja

30 - 50

40

Perkemahan

Orang

80 - 150

120

Penjual Minuman Buah

Tempat duduk

50 - 100

75

Buffet (Coffee Shop)

Pengunjung

15 - 30

20

Pekerja

30 - 50

40

II-40

Perkemahan anak-anak

Pekerja

250 - 500

400

Tempat Perkumpulan

Pekerja

40 - 60

50

Orang

40 -60

50

Ruang makan

Pengunjung

15 - 40

30

10

Asrama/perumahan

Orang

75 - 175

150

11

Hotel

Orang

150 - 240

200

12

Tempat cuci otomatis

Mesin

1800 - 2600

2200

13

Toko

Pengunjung

5 - 20

10

Pekerja

30 - 50

40

Pengunjung

20 - 50

40

Pekerja

30 - 50

40

Tempat duduk

10 - 15

10

Pengunjung

15 - 30

20

14
15

Kolam renang
Gedung bioskop

16 Pusat keramaian
Sumber : Gunadarma 2011

2.5 Kapasitas Saluran


Kapasitas aliran akibat hujan harus dialirkan melalui saluran drainase sampai
ketitik hilir. Debit hujan yang di analisa menjadi debit aliran untuk mendimensi
saluran, maka apabila dimensi drainase diketahui untuk menghitung debit saluran
digunakan persamaan 2.59.
Debit saluran dalam rumus Manning :
Q=V . A ...........................................................................................(2.59)
1
V = R 2/ 3 So1 /2 ...................................................................................(2.60)
n
Dimana :
Q

= debit saluran (m3/det)

= kecepatan aliran (m/det)

= luas penampang basah (m2)

= jari-jari hidrolis = A/P

= panjang penampang basah (m)

= koefisien kekasaran manning

= kemiringan dasar saluran

Besarnya nilai kekasaran dasar berdasarkan Manning dapat dilihat pada tabel
2.13 :
Tabel 2.15 Koefisien Kekasaran Manning

II-41

Jenis Saluran
1
.

2
.

Saluran Galian
a
.
Saluran Tanah
b
.
Saluran pada batuan, digali merata
Saluran dengan Lapisan Perkerasan
a
.
Lapisan beton seluruhnya
b
.
Lapisan beton pada kedua sisi saluran
c
.
Lapisan blok beron pracetak
d
.
Pasangan batu di plester
e Pasangan batu, diplester pada kedua sisi
.
saluran
f. Pasangan batu, disiar
g
.
Pasangan batu kosong

Koefisien Manning
(n)

0,022
0,035

0,015
0,020
0,017
0,020
0,022
0,025
0,030

3
.

Saluran Alam
a
.
Berumput
b
.
Semak-semak
c
.
Tak beraturan, banyak semak dan pohon,
batang pohon banyak jatuh ke saluran
Sumber : Notodihardjo, 1998

0,027
0,050
0,015

2.6 Hidrolika
Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat lain melalui bangunan pembawa
alamiah maupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat terbuka maupun
tertutup bagian atasnya. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut saluran
tertutup (closed conduits), sedangkan yang terbuka bagian atasnya disebut
saluran
terbuka (open channels).
Pada sistem pengaliran melalui saluran terbuka terdapat permukaan air yang
bebas (free surface) di mana permukaan bebas ini dipengaruhi oleh tekanan
udara luar secara langsung, saluran terbuka umumnya digunakan pada lahan
yang masih memungkinkan (luas), lalu lintas pejalan kakinya relatif jarang, beban
kiri dan kanan saluran relatif ringan. Pada sistem pengaliran melalui saluran
tertutup (pipa flow) seluruh pipa diisi dengan air sehingga tidak terdapat
permukaan yang bebas, oleh karena itu permukaan tidak secara langsung
dipengaruhi oleh tekanan udara luar, saluran tertutup umumnya digunakan pada
II-42

daerah yang lahannya terbatas (pasar, pertokoan), daerah yang lalu lintas pejalan
kakinya relatif padat, lahan yang dipakai untuk lapangan parkir.
Berdasarkan konsistensi bentuk penampang dan kemiringan dasarnya
saluran terbuka dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Saluran prismatik (prismatic channel), yaitu saluran yang bentuk penampang
melintang dan kemiringan dasarnya tetap.
Contoh : saluran drainase, saluran irigasi.
b. Saluran non prismatik (non prismatic channel), yaitu saluran yang bentuk
penampang melintang dan kemiringan dasarnya berubah-ubah.
Contoh : sungai.
Aliran pada saluran terbuka terdiri dari saluran alam (natural channel), seperti
sungai-sungai kecil di daerah hulu (pegunungan) hingga sungai besar di muara,
dan saluran buatan (artificial channel), seperti saluran drainase tepi jalan, saluran
irigasi untuk mengairi persawahan, saluran pembuangan, saluran untuk membawa
air ke pembangkit listrik tenaga air, saluran untuk supply air minum, dan saluran
banjir. Saluran buatan dapat berbentuk segitiga, trapesium, segi empat, bulat,
setengah lingkaran, dan bentuk tersusun (Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Bentuk-bentuk Profil Saluran

2.6.1
Dimensi Saluran
Perhitungan dimensi saluran didasarkan pada debit harus ditampung oleh
saluran (Qs dalam m3/det) lebih besar atau sama dengan debit rencana yang
diakibatkan oleh hujan rencana (QT dalam m3/det). Kondisi demikian dapat
dirumuskan dengan persamaan berikut:

II-43

QS QT .............................................................................................(2.61)
Debit yang mampu ditampung oleh saluran (Qs) dapat diperoleh dengan
rumus seperti di bawah ini:
Qs= AsV ........................................................................................(2.62)
Di mana:
As

= luas penampang saluran (m2)

= Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)


a. Penampang saluran segiempat
Penampang saluran segiempat dapat berupa saluran segiempat terbuka dan
segiempat tertutup. Bila perbandingan antar lebar saluran (b) dan tinggi air
(h) sama dengan satu b/h =1 b = h.
Luas penampang basah (A) = b * h = h2
Keliling basah (P)
=b+2h=3h
Jari-jari hidrolis (R)
= A/P = h2 / 3h = 0.333 h
Tinggi jagaan (freeboard)
= 25% h
H = tinggi saluran
= h + tinggi jagaan

Gambar 2.17 Gambar Penampang Saluran Segi Empat

b. Penampang saluran trapesium


Bila kemiringan dinding saluran (m) = 1 : 1.5 (berdasarkan criteria)

II-44

Perbandingan antara lebar saluran (b) dan tinggi air (h) sama dengan satu
b/h = 1 b = h
Luas penampang basah (A) = (b+mh) * h = (h+1.5h)*h = 2.5 h2
Keliling basah (P)
= b + 2 h (1+m2)
= b + 2 h (1+1.52)
= 4.606 h
Jari-jari hidrolis (R)
= A/P
= 2.5 h2/ 4.606 h
= 0.543 h
Tinggi jagaan (freeboard)
= 25 % h
H = tinggi saluran
= h + tinggi jagaan

Gambar 2.18 Gambar Penampang Saluran Trapesium

2.6.2
Bangunan Pelengkap
Dalam perancangan Drainase Perkotaan, diperlukan pula bermacammacam bangunan yang berfungsi sebagai sarana untuk :
1. Memperlancar surutnya genangan yang mubkin timbul diatas permukaan
jalan, karena Q hujan dan Q rencana.
2. Memperlancar arus saluran.
3. Mengamanakan terhadap bahaya degradasi pada dasar saluran.
4. Mengatur saluran terhadap pasang surut, khususnya diadaerah pantai.
Adapun bangunan-bangunan sebagaimana tersebut diatas adalah :
a. Inlet-tegak
Bangunan Inlet-tegak ditempatkan pada jarak-jarak tertentu disepanjang tepi
jalan (Kerb) atau pada pertemuan kerb diperempatan-jalan. Perlu diperhatikan
bahwa tinggi jagaan (F) minimal harus dipertahankan sehingga air dalam
saluran tidak keluar lagi kepermukaan tepi jalan melewati inlet-tegak tersebut.

II-45

Gambar 2.19 Bangunan Inlet-tegak

b. Inlet-datar
Bangunan inlet-datar ditempatkan pada pertigaan jalan, dimana pada arah
melintang jalan terdapat saluran. Perlu diperhatikan bahwa tinggi jagaan (F)
minimal harus dipertahankan sehingga air dalam saluran tidak sampai meluap
melalui inlet-datar tersebut.

Gambar 2.20 Bangunan Inlet-datar

c. Grill
Bangunan grill ditempatkan pada perempatan melintang jalan, dimana
dibawahnya terdapat saluran, yang berfungsi menerima air yang lewat grill
tersebut. perlu diketahui penempatan grill tersebut harus berada pada tempat
yang terendah dari jalan yang menurun (BE). Persyaratan tinggi jagaan
minimum (F) juga harus dipertahankan. Kecuali itu permukaan atas dari grill
harus sama dengan permukaan jalan, sehingga nyaman bagi pengendara
yang lewat.

II-46

Gambar 2.21 Bangunan Grill


d.

Manhole
Bangunan manhole diletakan pada jarak-jarak tertentu disepanjang trotoar.
Perlu diperhatikan bahwa ukuran manhole harus cukup untuk keluar masuk
orang ke saluran, sehingga mudah dalam pemeliharaan saluran. Kecuali itu
berat tutup manhole juga harus dengan mudah diangkat maksimum oleh dua
orang.

Gambar 2.22 Bangunan Manhole


e.

Gorong-gorong
Bangunan gorong-gorong biasanya dibuat untuk mengubungkan saluran
dikaki bukit melintang jalan dibawahnya dan berakhir disisi bawah dari
bangunan penahan tanah yang mendukung struktur jalan tersebut. perlu
diperhatikan bahwa tinggi air (h) dari gorong-gorong tinggi air (h) saluran
sehingga aliran tidak penuh.

II-47

Gambar 2.23 Bangunan gorong-gorong


f.

Jembatan
Bangunan jembatan dimaksudkan untuk mendukung pipa (saluran air/minyak)
atau jalan yang melintang saluran drainase. Perlu diperhatikan bahwa tinggi
jagaan (F) harus dipertahankan sesuai persyaratan yang direncanakan,
supaya sampah yang terapung diatas permukaan air saluran tidak tersangkut
oleh jembatan.

Gambar 2.24 Bangunan jembatan


g.

Bangunan terjun
Bangunan terjun diperlukan bila penempatan saluran terpaksa harus melewati
jalur dengan kemiringan dasar (S) yang cukup besar.

II-48

Gambar 2.25 Bangunan jembatan


h.

Ground sill
Bangunan ground sill ditempatkan melintang saluran pada jarak-jarak tertentu
sehingga dapat berfungsi sebagai pengaman terhadap bahaya degradasi
terhadap dasar saluran.

Gambar 2.26 Bangunan ground sill

i.

Pintu air
Bangunan pintu air dapat berupa pintu air mnual dan pintu air otomatis,
berfungsi sebagai penahan air pasang atau air banjir dari sungai.

II-49

Gambar 2.27 Bangunan pintu air

II-50

Anda mungkin juga menyukai