Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang sangat
besar. Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi fungsi tersebut. Ada
tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia, astigmatisme, atau campuran kelainankelainan tersebut. Diantara kelainan refraksi tresebut, pengobatan astigmatisma lebih sulit
dilakukan(1).
Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacam- macam
derajat refraksi pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang datang pada mata
akan difokuskan pada berbagai macam fokus pula. Setiap meridian mata memiliki titik fokus
tersendiri yang mungkin letaknya teratur (pada astigmatisma regularis) ataupun tak teratur
(pada astigmatisma iregularis).(1)
Astigmatisma idiopatik lebih sering. Secara klinis astigmatisma refraktif ditemukan
sebanyak 95% mata. Insidensi astigmatisma yang signifikan secara klinis dilaporkan 7,575%, bergantung pada specific study dan defenisi derajat astigmatisma yang signifikan secara
klinis. Kira-kira 44% dari populasi umum memiliki astigmatisma lebiih dari 0.50 D, 10%
lebih dari 1.00 D, dan 8% lebih dari 1.50 D.(1)
Secara garis besar terdapat 3 penatalaksanaan astigmatisma, yaitu dengan menggunakan
kaca mata silinder, lensa kontak, dan pembedahan. Teknik pembedahan menggunakan metode
LASIK, photorefractive keratotomy, dan radial keratotomy.(7,8)
1.2 Batasan masalah
Tinjauan kepustakaan ini membahas definisi, gambaran klinik, penegakkan diagnosis,
dan tatalaksana astigmatisma.
1.3 Tujuan penulisan
1. Untuk memahami lebih lanjut definisi, gambaran klinik, penegakkan diagnosis, dan
tatalaksana astigmatisma.
2. Untuk meningkatkan kemampuan dalam menulis tulisan ilmiah di dalam bidang
kedokteran khususnya bagian ilmu penyakit mata
1

3. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
penyakit mata Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta
1.4 Metode penulisan
Penulisan tinjauan kepustakaan ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu kepada beberapa literatur.

BAB II
ASTIGMATISMA
2

2.1 Definisi
Astigmatisma (dari bahasa Yunani "a" berarti tidak ada dan "stigma" yang berarti
titik) adalah kesalahan bias (ametropia) yang terjadi ketika sinar paralel cahaya memasuki
(mata tanpa akomodasi) tidak terfokus pada retina. (1) Astigmatisma terjadi ketika sinar cahaya
insiden tidak berkumpul di satu titik fokus. Kornea mata normal memiliki lengkungan
seragam, dengan menghasilkan daya pembiasan sama atas seluruh permukaan. Pada beberapa
individu, kornea tidak seragam dan kelengkungan lebih besar dalam satu meridian. Sinar
cahaya dibiaskan oleh kornea ini tidak dibawa ke fokus titik tunggal, dan gambar retina dari
benda baik jauh maupun dekat yang kabur dan muncul dalam bentuk memanjang. Kesalahan
bias inilah yang disebut astigmatisma.(1)
Hal yang sama dikemukakan PERDAMI, jika tajam penglihatan dengan lensa sferis
saja tidak tercapai tajam penglihatan 6/6, harus dipikirkan adanya suatu astigmat, di mana
sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan pada
banyak titik.(2) Dengan kata lain, astigmatisma terjadi jika kekuatan optik kornea di bidang
yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh
ke titik fokus yang berbeda.(3,4,5,6,7,8,9)
2.2 Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3 milyar. Di
Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus
kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah
penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta
jiwa.3,4
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur, negara, jenis
kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor lainnya. Prevalensi miopia bervariasi
berdasar negara dan kelompok etnis, hingga mencapai 70-90% di beberapa negara.
Sedangkan menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian
astigmat bervariasi antara 30%-70%.

2.3 Anatomi Dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi bola mata.


Bola mata bentuknya merupai kistik yang dipertahankan oleh adanya tekanan
didalamnya. Walaupun secara umum bola mata dikatakan bentuknya bulat atau globe namun
bentuknya tidak bulat sempurna. Orbita adalah tulang-tulang rongga mata yang didalamnya
terdapat bola mata, otot-otot ekstraokular, nervus, lemak dan pembuluh darah. Tiap-tiap
tulang orbita berbentuk menyerupai buah pear, yang bagian posteriornya meruncing pada
daerah apeks dan optik kanal.1
2.3.1 Media Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas
kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca). Pada orang normal
susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang
sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula
lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan
benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat
jauh.1,2

2.3.2 Fisiologi Refraksi

Gambar 2. Fisiologi refraksi.


Berkas-berkas cahaya mencapai mata harus dibelokkan ke arah dalam untuk
difokuskan kembali ke sebuah titik peka-cahaya di retina agar dihasilkan suatu bayangan
yang akurat mengenai sumber cahaya. Pembelokan suatu berkas cahaya (refraksi) terjadi
ketika berkas berpindah dari satu medium dengankepadatan (densitas) tertentu ke medium
dengan kepadatan yang berbeda.
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan lainnya
misalnya : kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium dengan densitas yang
lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya juga berlaku). Berkas cahaya mengubah
arah perjalanannya jika mengenai medium baru pada tiap sudut selain tegak lurus.
Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2 media (semakin besar
perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya berkas cahaya di
medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan). Dua struktur yang paling
penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea,
struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu masuk mata, yang melengkung berperan besar
dalam reftraktif total karena perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar dari
pada perbedaan densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Kemampuan refraksi
kornea seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak pernah berubah.
Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan mengubah kelengkungannya
sesuai keperluan untuk melihat dekat/jauh.2
Struktur-struktur refraksi pada mata harus membawa bayangan cahaya terfokus
diretina agara penglihatan jelas. Apabila bayangan sudah terfokus sebelum bayangan
mencapai retina atau belum terfokus sebelum mencapai retina ,bayangan tersebut tampak
kabur. Berkas-berkas cahaya yang berasal dari benda dekat lebih divergen sewaktu mencapai
5

mata daripada berkas-berkas dari sumber jauh. Berkas dari sumber cahaya yang terletak lebih
dari 6 meter (20 kaki) dianggap sejajar saat mencapai mata.
Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya dekat memerlukan jarak yang
lebih besar di belakang lensa agar dapat memfokuskan daripada sumber cahaya jauh, karena
berkas dari sumber cahaya dekat masih berdivergensi sewaktu mencapai mata. Untuk mata
tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu sama. Untuk membawa sumber cahaya jauhdan
dekat terfokus di retina (dalam jarak yang sama), harus dipergunakan lensa yang lebih kuat
untuks umber dekat. Kekuatan lensa dapat disesuaikan melalui proses akomodasi.3
2.4 Etiologi
Selain idiopatik sebagai penyebab umum dari astigmatisma, secara klinis, mata
astigmat terdeteksi sebanyak 95%.(8) Sekitar 44% dari populasi umum memiliki lebih dari
0,50 D, 10% memiliki lebih dari 1,00 D, dan 8% memiliki 1,50 D atau lebih. (8) Penyebab lain
dari astigmatisma adalah iatrogenik yang dapat terjadi akibat pasca berbagai jenis operasi
mata, termasuk ekstraksi katarak, penetrating keratoplasty, operasi lainnya di daerah kornea
dan segmen anterior, serta trabekulektomi.(5) Astigmatisma minimal 1.00 D sering merupakan
hasil setelah ekstra kapsular ekstraksi katarak (ECCE) dan minimal 3.00 D terjadi sebanyak
20% kasus dengan 10 mm sayatan dari ECCE.(5) Bahkan prosedur fakoemulsifikasi dengan
menggunakan teknik kornea jelas, dilaporkan menyebabkan astigmatisma pasca operasi,
sehingga membimbing ahli bedah katarak dengan pendekatan berupa penempatan kornea
yang tepat.(5)
Astigmatisma yang tinggi biasanya hasil setelah memasukkan keratoplasty.(5)
Penyebab umum astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea.(4) Lensa kristalina juga dapat
berperan, dalam terminology lensa kontak, astigmatisma lentikular disebut astigmatisma
residual karena dapat dikoreksi dengan lensa kontak sferis yang keras, yang dapat
mengoreksi astigmatisma kornea Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada
lensa. Semakin bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat
menyebabkan astigmatismus.(4)
Astigmatisma dapat disebabkan oleh asimetri berbagai struktur di mata, seperti kornea
anterior (paling umum), kornea posterior, lensa atau retina. Struktur asimetris kemudian
mengubah optik mata sehingga menciptakan distorsi visual. Sebagian besar asimetri ini
dibuat oleh variasi normal pada jaringan okular, dan, secara umum, variasi ini diterjemahkan
menjadi astigmatisma reguler. Astigmatisma juga bisa disebabkan oleh patologi dari struktur
atau oleh perubahan sebagai akibat dari trauma. Sebuah contoh yang relatif umum dari
6

patologi kornea yang menginduksi banyaknya astigmatisma regular dan ireguler adalah
keratoconus. Ketidakteraturan lenticular yang dihasilkan dari perubahan yang berhubungan
dengan perkembangan katarak juga dapat menciptakan astigmatisma.(8)
2.5 Patofisiologi
Media bias mata astigmatik tidak bulat, tetapi membiaskan berbeda sepanjang satu
meridian dibandingkan sepanjang meridian tegak lurus. Ini menghasilkan dua titik fokus.
Oleh karena itu, objek punctiform direpresentasikan sebagai segmen garis tajam yang
didefinisikan pada titik fokus dari meridian pertama, tetapi juga muncul sebagai segmen garis
tajam yang didefinisikan diputar 90 derajat pada titik fokus dari meridian kedua. (7) Tengahtengah antara kedua titik fokus adalah apa yang dikenal sebagai "lingkaran paling bingung."
Ini mengacu pada lokasi di mana foto tersebut sama terdistorsi ke segala arah, yaitu lokasi
dengan sedikit kehilangan definisi gambar. Sistem agregat tidak memiliki titik fokus.
Gabungan komponen astigmatik dari semua media bias merupakan total astigmatisma dimana
media-media ini meliputi(7):
a. Permukaan anterior kornea.
b. Permukaan posterior kornea.
c. Permukaan anterior lensa.
d. Permukaan posterior lensa.
Walaupun jarang, kelengkungan non sferis dari retina juga dapat menyebabkan astigmatisma.
(7)

2.6 Klasifikasi
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai berikut:
1) Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang yang
saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu bidang memiliki daya
bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain. Astigmatisme jenis ini, jika mendapat
koreksi lensa cylindris yang tepat, akan bisa menghasilkan tajam penglihatan normal.
Tentunya jika tidak disertai dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.

Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular ini dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu:
i.

Astigmatisme With the Rule


Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang
horizontal.

ii.

Astigmatisme Against the Rule


Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang
vertikal.

2) Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi sebagai
berikut:
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada
tepat pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias terkuat sedangkan
titik B adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola ukuran lensa koreksi
astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y
memiliki angka yang sama.

Gambar 3. Astigmatisme Miopia Simpleks

2. Astigmatisme Hiperopia Simpleks

Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B
berada di belakang retina.

Gambar 4. Astigmatisme Hiperopia Simpleks


3. Astigmatisme Miopia Kompositus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada
di antara titik A dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah
Sph -X Cyl -Y.

Gambar 5. Astigmatisme Miopia Kompositus

4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus

Astigmatisme jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A


berada di antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini
adalah Sph +X Cyl +Y.

Gambar 6. Astigmatisme Hiperopia Kompositus


5. Astigmatisme Mixtus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada
di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph +X
Cyl -Y, atau Sph -X Cyl +Y, di mana ukuran tersebut tidak dapat ditransposisi hingga
nilai X menjadi nol, atau notasi X dan Y menjadi sama - sama + atau -.

Gambar 7. Astigmatisme Mixtus

Berdasarkan tingkat kekuatan Dioptri :


10

1. Astigmatismus Rendah
Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya astigmatis-mus
rendah tidak perlu menggunakan koreksi kacamata. Akan tetapi jika timbul keluhan pada
penderita maka koreksi kacamata sangat perlu diberikan.
2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75 Dioptri. Pada
astigmatismus ini pasien sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
3. Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini sangat
mutlak diberikan kacamata koreksi.
2.7 Diagnosis
Adapun untuk menegakkan diagnosis astigmatisma berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena astigmatisma adalah suatu kondisi dimana bias permukaan kornea
tidak bulat, dapat menurunkan ketajaman visual dengan membentuk gambar yang terdistorsi
karena gambar cahaya fokus pada 2 titik terpisah di mata. (5) Maka manifestasi klinis
astigmatisma adalah penglihatan yang kabur. Gejala lain yang umum adalah fenomena streak
atau sinar di sekitar titik sumber cahaya, yang paling nyata dalam lingkungan gelap. Jika
besarnya astigmatisma tinggi, hal itu dapat membayangi atau mencoreng tulisan; dalam
jumlah yang sangat tinggi, dapat menyebabkan diplopia.(8) Pasien dengan astigmatisma,
melihat segala sesuatu terdistorsi. Upaya untuk mengimbangi kesalahan bias oleh akomodasi
dapat menyebabkan gejala asthenopic seperti sensasi terbakar di mata atau sakit kepala.(7)
Pada umumnya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi menyebabkan gejalagejala sebagai berikut :
-

Memiringkan kepala atau disebut dengan titling his head, pada umunya keluhan ini

sering terjadi pada penderita astigmatismus oblique yang tinggi.


Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.
Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita astigmatismus juga
menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti membaca.
11

Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan mendekati mata,
seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk memperbesar bayangan,
meskipun bayangan di retina tampak buram.

Sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai dengan gejalagejala


sebagai berikut :
-

Sakit kepala pada bagian frontal.


Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat, biasanya penderita akan
mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau mengucek-ucek mata.

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis astigmatisma


antara lain:
a. Cara subyektif dengan pemeriksaan tajam penglihatan, dipakai kartu Snellen yang
berisikan berbagai huruf atau angka. Untuk anak kecil yang belum bisa membaca
digunakan kartu Snellen berbentuk huruf E atau gambar-gambar benda/binatang yang
mudah dikenal. Kartu Snellen ini ditempatkan pada jarak 6 meter di depan penderita
dengan pencahayaan yang cukup tetapi tidak menyilaukan.(2)
Adapun pemeriksaan tajam penglihatan lainnya untuk astigmatisma, meliputi:
1) Uji lubang kecil (pin hole test)
Untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang kurang disebabkan oleh kelainan
refraksi atau bukan. Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan dengan menggunakan
pin hole berarti ada kelainan refraksi; sebaliknya bila terjadi kemunduran tajam
penglihatan berarti terdapat gangguan pada media penglihatan.(2)
2) Cara coba-coba (trial and error technique)
Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 feet dengan menggunakan kartu Snellen yang
diletakkan setinggi mata penderita. Mata diperiksa satu persatu. Ditentukan visus
masing-masing mata. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa silinder
negatif/positif dengan axis diputar 0o sampai 180o. Kadang-kadang perlu kombinasi
dengan lensa sferis negative atau positif.(3), sampai tercapai tajam penglihatan yang
lebih baik, bila mungkin sampai 5/5.(2,9)
3) Uji pengkabutan (fogging test)
12

Pemeriksaan ini menggunakan lensa positif untuk mengistirahatkan akomodasi.


Dengan mata istirahat, pasien melihat ke arah juring astigmat (gambar ruji-ruji), bila
garis vertikal terlihat jelas berarti garis ini terproyeksi dengan baik di retina dan
diperlukan koreksi bidang vertikal menggunakan lensa silinder negatif dengan sumbu
(axis) 180o; kekuatan lensa silinder ditambahkan hingga garis-garis pada juring
astigmat tampak sama jelas.(2,9)
4) Uji celah stenopik
Untuk mengetahui adanya astigmat, sumbu koreksi, serta ukuran astigmat, digunakan
celah selebar 1 mm yang terdapat pada lempeng uji.(2)
5) Uji silinder silang (cross-cylinder Jackson)
Dua lensa silinder yang sama tetapi dengan kekuatan yang berlawanan misalnya
silinder - 0.25 dan + 0.25 diletakkan dengan sumbu saling tegak lurus sehingga
ekivalen sferisnya nihil. Digunakan untuk melihat koreksi silinder pada kelainan
astigmatisma sudah cukup atau belum.(2,9).
6) Keratometer
Karena

sebagian

besar

astigmat

disebabkan

oleh

kornea,

maka

dengan

mempergunakan keratometer, derajat astigmat dapat diketahui, sehingga setelah


dipasang lensa silinder yang sesuai hanya dibutuhkan tambahan lensa sferik saja,
untuk mendapatkan tajam penglihatan terbaik.(2,9)
b. Cara obyektif, dapat ditentukan dengan:
1)

Skiaskopi (2)

2)

Retinoskopi garis (streak retinoscopy)


Dengan lensa sferis + 2.00, pemeriksa mengamati refleksi fundus, bila berlawanan
dengan gerakan retinoskop (against movement) dikoreksi dengan lensa sferis negatig,
sedangkan bila searah dengan gerakan retinoskop (with movement) dikoreksi dengan
lensa sferis positif. Meridian yang netral dikoreksi dengan lensa silinder positif
sampai tercapai netralisasi. Hasil akhirnya dilakukan transposisi.(3,9)

3)

Autorefraktometri (2)
13

c. Pemeriksaan bola mata


Terutama pemeriksaan segmen anterior yakni pada kornea. Diameter kornea normal
adalah 12 mm. Kornea normal adalah jernih, dengan permukaan licin dan rata diyakini
dengan melakukan uji placid; lingkaran konsentris berarti permukaan kornea licin dan
regular, lingkaran lonjong menunjukkan adanya astigmat kornea, garis lingkaran tidak
beraturan dapat terjadi pada astigmat irregular akibat infiltrate atau parut kornea.(2)
2.8

Penatalaksanaan
Pada astigmatisma yang sudah terdapat anak-anak, koreksi dini sangatlah penting

untuk mencegah terjadinya ambliopia karena gambar yang tajam tidak diproyeksikan tepat
pada retina. Pada astigmatisma regular, tujuan koreksi adalah untuk membawa garis focus
dari dua meridian utama bersama di satu titik. (7) Untuk memperoleh tajam penglihatan
terbaik, dipergunakan lensa silinder.(2) Sinar dalam bidang melalui sumbu lensa silinder tidak
terbias. Sinar dalam bidang tegak lurus terhadap sumbu, dibias seperti lensa sferis positif.
Jadi pada lensa silinder baik positif maupun negatif, terdapat dua daya pembiasan utama,
yaitu daya pembiasan pada bidang yang melalui sumbu (tidak dibias) dan pada bidang tegak
lurus terhadap sumbu (dibias secara positif atau negatif). Agar kelainan refraksi demikian
dapat diperoleh tajam penglihatan terbaik, diusahakan supaya semua titik-titik pembiasan
jatuh pada macula lutea.(2,9)
Pada astigmatisma regular, diberikan kacamata sesuai kelainan yang didapatkan, yaitu
dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa kombinasi lensa sferis.
Pada astigmatisma ireguler, bila derajat ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak keras,
tetapi bila berat, maka dilakukan transplantasi kornea.(3,9)
Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dariRadial keratotomy (RK)dimana
pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral. Bagian yang lemah dan curam
pada permukaan kornea dibuat rata. Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona
optik, angka dan kedalaman dari insisi. Photorefractive keratectomy (PRK) adalah prosedur
dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada pusat kornea. Kornea yang keruh
adalah keadaan yang biasa terjadi setelah photorefractive keratectomy dan setelah beberapa
bulan akan kembali jernih. Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang menyatakan
penglihatannya lebih baik pada waktu sebelum operasi. 8,9

14

BAB III
KESIMPULAN
Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacam- macam
derajat refraksi pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang datang pada mata
akan difokuskan pada berbagai macam fokus pula. Terdapat berbagai macam astigmatisma,
antara lain simple astigmatisma, mixed astigmatisma dan compound astigmatisma.
15

Terdapat 2 etiologi, yaitu kelainan pada lensa dan kelainan pada kornea. Adapun
gejala klinis dari astigmatisme adalah penglihatan kabur atau terjadi distorsi. Pasien juga
sering mengeluhkan penglihatan mendua atau melihat objek berbayang-bayang. Sebahagian
juga mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri pada mata.
Koreksi dengan lensa silinder akan memperbaiki visus pasien. Selain lensa terdapat
juga pilihan bedah yaitu dengan Radial keratotomy (RK) dan Photorefractive keratectomy
(PRK).

DAFTAR PUSTAKA
1. Miller KM, Albert DL, Asbell PA, Atebara NH Clinical Optics. Amaerican Academy
of Opthalmology; 2006; p. 116-119.
2. PERDAMI. Astigmat. Dalam: Ilyas S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman RR, eds.
Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2.
Jakarta:Sagung Seto;2002. hal 49-55.

16

3. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata. Astigmatism. Dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata.. Surabaya: Rumah Sakit
Umum Dokter Soetomo; 2006. hal.179-180.
4. Vaughan AT. Kelainan refraksi. Dalam: Ssuanto D, editor. Oftalmologi umum. Edisi
-17. Jakarta: EGC;2009.hal. 394-395.
5. Roque MR, Limbonsiong R, Roque BL. PRK Astigmatism Treatment & Management.
Edisi
Februari
2012
(diunduh
27
Januari
2014).
Diakses
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1220845.
6. Kaimbo DKW. Astigmatism Definition, Etiology, Classification, Diagnosis and
Non-Surgical Treatment. 2012 (diunduh 27 Januari 2014). Diakses dari
http://www.intechopen.com/books/astigmatism-optics-physiology-andmanagement/astigmatism-definition-etiology-classification-diagnosis-and-nonsurgical-treatment
7. Christoph W S, Lang GK. Optics and Refractive Errors. Dalam: Lang GK, editor.
Ophtalmology a Short Textbook. Newy York: Thieme; 2000; p. 440-444.
8. Hardten DR. LASIK Astigmatism Treatment & Management (diunduh 27 Januari
2014). Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1220489.
9. James B, Chew C, Bron A. Optika klinis. Dalam: Safitri A, editor. Lecture note
oftalmologi. Edisi-9. Jakarta: Erlangga; 2006. hal 35.
10. Cox MJ. Astigmatism. Dalam: Dart DA, Bex P, Dana R, Eds. Ocular Periphery and
Disorders. Oxford:Elsevier; 2011.p. 506-516.
11. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eyes, Fourth Edition. London: BMJ
Publishing Group; 2004. p. 15-20.

17

Anda mungkin juga menyukai