Anda di halaman 1dari 8

Perilaku dan pola makan remaja.

Pola makan remaja seringkali tidak menentu yang merupakan risiko terjadinya
masalah nutrisi. Bila tidak ada masalah ekonomi ataupun keterbatasan pangan, maka faktor
psiko-sosial merupakan penentu dalam memilih makanan. Gambaran khas pada remaja yaitu :
pencarian identitas, upaya untuk ketidaktergantungan dan diterima lingkungannya, kepedulian
akan penampilan, rentan terhadap masalah komersial dan tekanan dari teman sekelompok (peer
group) serta kurang peduli akan masalah kesehatan, akan mendorong remaja kepada pola makan
yang tidak menentu tersebut. Kebiasaan makan yang sering terlihat pada remaja antara lain
ngemil (biasanya makanan padat kalori), melewatkan waktu makan terutama sarapan pagi, waktu
makan tidak teratur, sering makan fast foods, jarang mengonsumsi sayur dan buah ataupun
produk peternakan (dairy foods) serta diet yang salah pada remaja perempuan. Hal tersebut dapt
mengakibatkan asupan makanan tidak sesuai kebutuhan dan gizi seimbang dengan akibatnya
terjadi gizi kurang atau malahan sebaliknya asupan makanan berlebihan menjadi obesitas.
Remaja perempuan cenderung pada asupan makanan yang kurang, terlebih bila terjadi
kehamilan.
Di negara berkembang, sering terjadi gangguan perilaku makan seperti anoreksia nervosa dan
bulimia terutama pada perempuan yang berkorelasi dengan body image yang negatif. Karenanya
penting membangun body image dan self esteem yang positif pada remaja dalam upaya promosi
kesehatan dan gizi serta pencegahan obesitas.
karakteristik perilaku makan yang dimiliki remaja :
1.Kebiasaan malas makan pagi dan malas minum air putih .
2.Gadis remaja sering terjebak dengan pola makan tak sehat, menginginkan penurunan berat
badan secara drastis, bahkan sampai gangguan pola makan. Hal ini dikarenakan remaja
memiliki body image (citra diri) yang mengacu pada idola mereka yang biasanya adalah para
artis, peragawati, selebriti yang cenderung memiliki tubuh kurus, tinggi, semampai.
3.Kebiasaan ngemil yang rendah gizi (kurang kalori, protein, vitamin, dan mineral) seperti
makanan ringan, kerupuk, dan chips.
4.Kebiasaan makan makanan siap saji ( fast food ) yang komposisi gizinya tidak seimbang
yaitu terlalu tinggi kandungan energinya, seperti pasta, fried chicken, dan biasanya juga
disertai dengan mengonsumsi minuman bersoda yang berlebihan.

Masalah Gizi pada Remaja


Permasalahan gizi yang timbul pada masa remaja dipicu oleh beberapa factor, diantaranya :
1. Kebiasaan makan yang buruk
2. Pemahaman gizi yang salah
3. Kesukaan berlebihan terhadap makanan tertentu
4. Promosi yang berlebihan di media massa tentang produk makanan
5. Maraknya produk makanan impor
Beberapa masalah yang berkaitan dengan gizi yang ditemukan pada remaja antara lain adalah
Indeks Massa Tubuh (IMT) kurang dari batas normal atau sebaliknya, memiliki IMT yang
berlebih (obesitas), dan anemia serta yang berhubungan dengan gangguan perilaku berupa
anoreksia nervosa dan bulminia.
1. Anemia
Anemia merupakan masalah gizi yang paling utama yang disebabkan karena kekurangan
zat gizi besi. Anemia memberikan dampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia,
karena kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik
sel tubuh maupun sel otak. Kurangnya kadar hemoglobin dalam darah menimbulkan gejala
lemah, letih, lesu sehingga akan mempengaruhi prestasi dan produktivitas kerja serta
menurunkan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi (Depkes RI, 2003).
Anemia zat gizi terjadi karena tiga hal penyebab utama yaitu, karena kekurangan zat besi, sel
darah merah mudah pecah, dan kekurangan vitamin B12 dan asam folat. Selain itu vitamin C
berpengaruh terhadap kejadian anemia karena vitamin C membantu dalam memperkuat daya
tahan tubuh dan membantu melawan infeksi, serta membantu dalam penyerapan zat besi
(Budiyanto, 2002).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan tahun 2004 menyatakan
bahwa prevalensi anemia gizi pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu nifas 45,1%, remaja putri
usia 10-18 tahun 57,1% dan usia 19-45 tahun 39,5%. Berdasarkan hasil penelitian terhadap
wanita usia subur (WUS) tentang kejadian anemia di Indonesia didapatkan hasil sebanyak 65,3%
mengalami anemia, 53,3% tergolong anemia tingkat ringan dan 12% masuk dalam anemia
sedang (Argana, 2004). Dari semua kelompok umur tersebut, wanita mempunyai risiko paling

tinggi untuk menderita anemia terutama remaja putri. Remaja memerlukan banyak besi dan
wanita memerlukan besi untuk menganti besi yang hilang saat haid (Arisman, 2004).
Remaja putri rawan terkena anemia dibandingkan anak-anak dan usia dewasa karena
remaja berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang tinggi termasuk zat gizi
besi (Lynch,2000). Remaja putri kebanyakan lebih menjaga bentuk tubuh, sehingga banyak yang
membatasi konsumsi makanan dan melakukan pantangan terhadap banyak makanan
(Sediaoetomo, 1992). Remaja putri lebih rentan terkena anemia karena remaja berada pada masa
pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi. Adanya siklus
menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab remaja putri mudah terkena
anemia defisiensi besi. Akibat jangka panjang anemia defisiensi besi ini pada remaja putri adalah
apabila remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi
dirinya dan juga janin dalam kandungannya serta pada masa kehamilannya anemia ini dapat
meningkatkan frekuensi komplikasi, resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan
angka kematian perinatal (Sihotang, 2012).
Di Indonesia prevalensi anemia pada remaja putri tahun 2006, yaitu 28% (Depkes RI,
2007). Hasil survei anemia Depkes Provinsi Jawa Tengah pada wanita usia subur sekitar 0,1%
sampai dengan 73,6% dengan status anemia terendah di Kota Surakarta dan tertinggi di
Kabupaten Sragen. Kejadian anemia pada remaja putri sebanyak 1,016% di Kota Surakarta, dan
51,1% di Kabupaten Batang (Depkes Provinsi Jawa Tengah, 2002).
Akibat terjadinya anemia pada remaja diantaranya dapat menurunkan daya tahan tubuh
sehingga mudah terkena penyakit, menurunkan aktivitas remaja yang berkaitan dengan
kemampuan kerja fisik dan prestasi belajar serta menurunkan kebugaran remaja, sehingga
menghambat prestasi olahraga dan produktivitas. Anemia yang terjadi pada remaja putri juga
merupakan risiko terjadinya gangguan fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko
terjadinya gangguan pada saat kehamilan (Arisman, 2004).
Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat,
misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko melahirkan bayi dengan BBLR, penurunan
kesegaran jasmani. Status gizi baik di usia remaja sangat diperlukan terutama remaja putri agar
di masa kehamilannya nanti sehat dan pertambahan berat badannya adekuat. Pertumbuhan
normal tubuh memerlukan nutrisi yang memadai, kecukupan energi, protein, lemak dan suplai
semua nutrien esensial yang menjadi basis pertumbuhan (Soekirman, 2006).

2.Overweight
Walaupun kebutuhan energi dan zat-zat gizi lebih besar pada remaja daripada dewasa,
tetapi ada sebagian remaja yang makannya terlalu banyak melebihi kebutuhannya sehingga
menjadi gemuk. Aktif berolah raga dan melakukan pengaturan makan adalah cara untuk
menurunkan berat badan. Diet tinggi serat sangat sesuai untuk para remaja yang sedang
melakukan penurunan berat badan. Pada umumnya makanan yang serat tinggi mengandung
sedikit energi, dengan demikian dapat membantu menurunkan berat badan, disamping itu serat
dapat menimbulkan rasa kenyang sehingga dapat menghindari ngemil makanan/kue-kue.
Overweight pada anak laki-laki meningkat pada tahun 2000 sebesar 14,0% menjadi
18,6% pada tahun 2010 dan overweight pada anak perempuan juga mengalami peningkatan dari
13,8% menjadi 15,0% (CDC/NCHS, 2012). Berdasarkan hasil penelitian National Health and
Nutrition Examination Survey tahun 2009-2010 di Amerika persentase overweight dan obesitas
berdasarkan kelompok umur, anak usia 2-5 tahun sebesar 26,7%, usia 6-11 tahun sebesar 32,6%
dan usia 12-19 tahun sebesar 33,6%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi overweight dan
obesitas tertinggi pada anak remaja usia 12-19 tahun. Pada tahun 2009-2010 Asia memiliki
prevalensi overweight sebesar 26,4% pada anak laki-laki dan 16,8% pada anak perempuan
(NOO, 2011).
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa, prevalensi gizi lebih secara nasional
pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10,8%, terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5%
sangat gemuk atau obesitas. Prevalensi gizi lebih pada remaja umur 16-18 tahun mengalami
peningkatan yang signifikan dari tahun 2007 sebesar 1,4% menjadi 7,3% pada tahun 2013
(Depkes, 2013). Berdasarkan data Riskesdas 2010, kejadian Overweight di Jawa Tengah pada
remaja usia 15 tahun keatas mencapai 18,4% sedangkan kejadian Overweight di Kota Surakarta
sebanyak 10,7%.
Kegemukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler dan
mempunyai kontribusi pada terjadinya penyakit-penyakit lain, seperti hipertensi, diabetes
mellitus, batu empedu dan lain-lain. Dampak kegemukan pada masa anak beresiko tinggi
menjadi gizi lebih pada usia dewasa. Remaja yang mengalami overweight memiliki resiko
sebanyak 70% untuk mengalami overweight atau obesitas pada saat dewasa (Soegih dan
Wiramihardja, 2009).

Penyebab kegemukan multifaktorial artinya banyak sekali faktor yang menyebabkan


kegemukan terjadi. Beberapa faktor penyebab terjadinya kegemukan seperti faktor genetik,
kesehatan, obat-obatan, lingkungan, psikologis (Brown 2005 dalam Soegih dan Wiramihardja,
2009), pengetahuan tentang gizi, hormonal dan tingkat sosial ekonomi (Nirwana, 2012). Faktor
lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti, lingkungan ini termasuk pola
makan dan aktivitas fisik (Soegih dan Wiramihardja, 2009).
Tingkat pengetahuan gizi remaja adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
gizi lebih pada remaja (Suryaputra dkk, 2012). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2007). Pengetahuan
gizi yang kurang pada sebagian besar remaja yang mengalami kegemukan memungkinkan
remaja kurang dapat memilih menu makanan yang bergizi. Sebagian besar kejadian masalah gizi
lebih dapat dihindari apabila remaja mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup tentang
memelihara gizi dan mengatur makan (Suryaputra dkk, 2012).
Kegemukan merupakan dampak dari terjadinya kelebihan asupan energi dibandingkan
dengan yang diperlukan tubuh, sehingga kelebihan asupan energi tersebut disimpan dalam
bentuk lemak. Makanan cepat saji atau fast food mengandung energi, lemak dan karbohidrat
yang tinggi. Apabila asupan karbohidrat dan lemak berlebih, maka karbohidrat akan disimpan
sebagai glikogen dalam jumlah terbatas, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak tubuh.
Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas, sehingga jika konsumsi
lemak tinggi maka resiko terjadinya kegemukan semakin besar (Soegih dan Wiramihardja,
2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2008) dalam Zulfa (2011) di Tasikmalaya,
menunjukkan bahwa remaja yang mengunjungi restoran fast food rata-rata masih berpendidikan
SD, SMP dan SMU dan berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Frekuensi remaja
dalam konsumsi fast food rata-rata 1-2 kali seminggu. Jenis fast food yang sering dikonsumsi
remaja adalah fried chicken, french fries dan soft drink. Hasil penelitian Muwakhidah dan Tri
(2008) menunjukkan bahwa remaja SMA Batik di Surakarta 55% sering mengkonsumsi fast
food. Sebuah penelitian yang dilakukan di 6 kota di Indonesia, menyatakan bahwa sekitar
15,20% remaja mengkonsumsi fast food sebagai santapan siangnya (Khomsan, 2003). Hasil
Penelitian Badjeber, dkk (2009) di Manado menunjukkan bahwa pada anak yang mengkonsumsi

fast food lebih dari 3 kali per minggu mempunyai risiko 3,28 kali lebih besar menjadi gizi lebih
dibandingkan dengan yang jarang atau 1-2 kali per minggu mengkonsumsi fast food.
Dampak kemajuan teknologi menyebabkan anak-anak cenderung menggemari permainan
yang kurang menggunakan energi, seperti menonton televisi, permainan dengan menggunakan
remote control, play station atau game di komputer. Anak yang kurang melakukan aktivitas fisik
sehari-hari, menyebabkan tubuhnya kurang menggunakan energi. Oleh karena itu, jika asupan
energi berlebihan tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik yang seimbang maka seorang anak akan
mudah menderita kegemukan (Soegih dan Wiramihardja, 2009).
Hasil penelitian Suryaputra (2012) di Surabaya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna aktivitas fisik antara remaja pada kelompok obesitas dan non obesitas, dimana
sebagian besar remaja obesitas hanya memiliki aktivitas ringan, sedangkan remaja non obesitas
memiliki aktivitas sedang. Dengan demikian tingkat aktivitas remaja obesitas lebih rendah bila
dibandingkan dengan remaja non obesitas. Hal ini senada dengan penelitian Azhari, dkk (2009)
menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas. Siswa yang
tidak aktif mempunyai risiko untuk menjadi obesitas sebesar 2,58 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan siswa yang aktif.
3.Kurang Energi Kronis
Pada remaja badan kurus atau disebut Kurang Energi Kronis tidak selalu berupa
akibat terlalu banyak olah raga atau aktivitas fisik. Pada umumnya adalah karena makan terlalu
sedikit. Remaja perempuan yang menurunkan berat badan secara drastis erat hubungannya
dengan faktor emosional seperti takut gemuk seperti ibunya atau dipandang lawan jenis kurang
seksi.
Menurut FAO (1988), jika seseorang mengalami sekali atau lebih kekurangan energi,
maka dapat terjadi penurunan berat badan dengan aktivitas ringan sekalipun dan pada tingkat
permintaan energi BMR yang rendah sehingga harus mengurangi sejumlah aktivitas untuk
menyeimbangkan masukan energy yang lebih rendah tersebut. Ketidak seimbangan energi yang
memicu rendahnya berat badan dan simpanan energi dalam tubuh akan menyebabkan kurang
energi kronis. Guyton dan hall (2008) menyatakan asupan protein yang cukup berkaitan dengan
gizi normal yaitu memperkecil faktor risiko terjadinya kurang energi kronis yang berhubungan

dengan LLA. Terkait dengan tingkat kecukupan konsumsi protein maka protein akan berfungsi
sebagai energi alternatif yang menunjukan dominasi protein sebagai sumber energi akan
dilakukan sebagai kompensasi apabila terjadi deficit energi. Terjadi peningkatan zat gizi pada
remaja putri berkaitan dengan percepatan pertumbuhan yang dialaminya, dimana zat gizi yang
diserap tubuh digunakan untuk meningkatkan berat badan dan tinggi badan, disertai dengan
meningkatnya jumlah ukuran jaringan sel tubuh untuk mencapai pertumbuhan yang optimal
(Waryono, 2009). Banyak remaja yang bertubuh sangat kurus akibat kekurangan gizi atau sering
disebut gizi buruk, jika sudah terlalu lama maka akan terjadi kurang energi kronik
(KEK) ( Wuryani, 2007). Kurang energi kronis merupakan keadaan dimana seseorang menderita
kurang asupan gizi energi dan protein yang berlangsung lama atau menahun. Seseorang
dikatakan menderita risiko kurang energi kronis bilamana lingkar lengan atas LLA <23,5 cm.
Kurang energi kronis mengacu pada lebih rendahnya masukan energi, dibandingkan besarnya
energi yang dibutuhkan yang berlangsung pada periode tertentu, bulan hingga tahun
(Syahnimar, 2004).
Menurut Gibson (2005) dalam pengukuran LLA dapat melihat perubahan secara pararel
dalam masa otot sehingga bermanfaat untuk mendiagnosis pada saat kekurangan
gizi. Hasil pengukuran lingkar lengan atas (LLA) ada dua kemungkinan yaitu kurang dari 23,5
cm atau sama dengan 23,5 cm. Apabila hasil pengukuran < 23,5 cm berarti berisiko BBLR dan
23,5 cm berarti tidak berisiko BBLR (Lubis, 2003).

Sihotang, S.D., dan Febriany. 2012. Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Anemia
Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara:
Medan.

Skripsi

diterbitkan

Universitas

Sumatera

Utara.

Avalaible

at

jurnal.usu.ac.id/index.php/jkh/article/view/185, diakses pada 24 Januari 2013.


Soekirman. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Primedia
Pustaka: Jakarta.

Arisman. 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
FAO. 1988. Gizi dan Makanan.Baharata Karya Aksara. Jakarta.
Guyton, Hall, 2008. Bahan Ajar Fisiology Kedokteran. EGC. Jakarta.
Gibson,R, S. 2005. Principle Of Nutritional and Assesment Oxford University Press. Newyork

Anda mungkin juga menyukai