Anda di halaman 1dari 28

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Vitamin C
Vitamin C termasuk vitamin yang larut dalam air. Sejarah vitamin C dimulai
pada tahun 1928 oleh Szent-Gyorgyi yang mengisolasi suatu senyawa pereduksi
dalam bentuk murni dari kol dan kelenjar adrenal. Pada tahun 1932, Waugh dan King
mengidentifikasi senyawa yang ditemukan Szent-Gyorgyi sebagai faktor antiskorbut
aktif dalam jus lemon. Kemudian struktur zat kimia tersebut ditetapkan di beberapa
laboratorium dan diberi nama kimia trivial asam askorbat. Pemberian nama asam
askorbat karena menunjukkan fungsinya dalam mencegah skorbut (Goodman and
Gilman, 2012).
Vitamin C atau disebut juga asam askorbat disintesis secara alami baik dalam
tanaman maupun hewan, dan mudah dibuat secara sintetis dari gula. Pada manusia,
primata lain, marmut, ikan, kelelawar dan unggas tertentu ternyata tidak mampu
mensintesis asam askorbat sendiri sehingga membutuhkan dari luar tubuh.
Ketidakmampuan membentuk asam askorbat sebenarnya disebabkan oleh kelainan
umum karena tidak adanya enzim mikrosomal L-gulonolakton oksidase (Winarno,
1995).

1)

Sifat Fisika dan Kimia


Asam askorbat memiliki berat molekul sebesar 176,13, berbentuk serbuk atau

hablur, berwarna putih agak kekuningan, tidak berbau, bersifat asam, larut baik dalam
air, sukar larut dalam etanol serta tidak larut dalam kloroform, eter dan benzene.
Asam askorbat sangat dipengaruhi oleh cahaya sehingga bila terkena cahaya akan
berubah warna menjadi gelap. Dalam keadaan kering asam askorbat stabil di udara
sedangkan jika dalam larutan cepat teroksidasi. Karena mudah dioksidasi, maka asam
askorbat merupakan suatu reduktor yang kuat. Titik leburnya pada suhu kurang lebih
190oC dan mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C 6H8O6.
Rumus bangun asam askorbat adalah sebagai berikut: (Ditjen POM, 1995)

Gambar 2.1 Rumus Bangun Asam askorbat


Asam askorbat adalah suatu ketolakton enam-karbon yang strukturnya mirip
glukosa dan heksosa lain. Asam askorbat memiliki atom karbon yang aktif secara
optis dan aktivitas antiskorbut hampir seluruhnya dimiliki oleh asam isomer L.
Isomer lainnya, seperti asam eritorbat (asam D-isoaskorbat, asam D-araboaskorbat),
memiliki kerja antiskorbut yang sangat lemah tetapi memiliki potensi redoks yang

sama. Penyebab hilangnya kerja antiskorbut yang lebih kuat pada asam eritorbat
kemungkinan merupakan akibat ketidakmampuan jaringan untuk menyimpan zat
tersebut dalam jumlah yang setara dengan jumlah asam askorbat yang disimpan.
(Goodman and Gilman, 2012).
Asam askorbat dapat berbentuk sebagai asam L-askorbat dan asam Ldehidroaskorbat yang keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam
askorbat sangat mudah teroksidasi secara reversibel menjadi asam L-dehidroaskorbat.
Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan
lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C
lagi lalu teroksidasi hingga menjadi asam oksalat dan asam teronik. Reaksi
metabolisme vitamin C dapat terlihat sebagai berikut: (Winarno, 1995)

Gambar 2.2 Reaksi Metabolisme Vitamin C

2)

Fungsi Vitamin C
Fungsi utama vitamin C adalah dalam pembentukkan kolagen interseluler.

Kolagen merupakan senyawa protein yang banyak terdapat dalam tulang rawan, kulit
bagian dalam tulang, dentin dan vasculair endhothelium.
Asam askorbat sangat penting perannya dalam proses hidroksilasi dua asam
amino prolin dan lisin menjadi hidroksi prolin dan hidroksilisin. Kedua senyawa ini
merupakan komponen kolagen yang penting. Penjagaan agar fungsi ini tetap stabil
banyak dipengaruhi oleh cukup tidaknya kandungan vitamin C dalam tubuh.
Peranannya adalah dalam proses penyembuhan luka serta daya tahan tubuh melawan
infeksi dan stress.
Vitamin C juga banyak hubungannya dengan berbagai fungsi yang melibatkan
respirasi sel dan kerja enzim yang mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti. Di
antara peranan-peranan itu adalah oksidasi fenilalanin menjadi tirosin, reduksi ion feri
menjadi fero dalam saluran pencernaan sehingga besi lebih mudah terserap,
melepaskan besi dari transferin dalam plasma agar dapat bergabung ke dalam feritin
jaringan, serta pengubahan asam folat menjadi bentuk yang aktif asam folinat.
Diperkirakan vitamin C berperan juga dalam pembentukan hormone steroid dari
kolesterol (Winarno, 1995).
Vitamin C merupakan reduktor kuat. Dengan demikkian vitamin C juga
berperan menghambat reaksi-reaksi oksidasi dalam tubuh yang berlebihan dengan
bertindak sebagai inhibitor. Vitamin C merupakan vitamin yang esensial untuk

memelihara fungsi normal semua unit sel termasuk struktur-struktur subsel seperti
ribosom dan mitokondria (Poedjiadi, 2005).
Vitamin C disebut juga sebagai antioksidan kerena dengan mendonorkan
elektronnya ia mencegah zat-zat komposisi yang lain teroksidasi. Akibat dari reaksi
ini secara alamiah vitamin C juga akan teroksidasi. Setelah vitamin C mendonorkan
elektronnya maka ia akan menghilang dan digantikan oleh radikal bebas asam
semidehydroaskorbik atau radikal askorbat, yang merupakan zat yang terbentuk
akibat asam askorbat kehilangan 1 elektronnya. Bila dibandingkan dengan radikal
bebas yang lain, radikal askorbat ini relatif stabil dan tidak reaktif. Hal inilah yang
menyebabkan asam askorbat menjadi antioksidan pilihan karena radikal bebas yang
reaktif dan berbahaya dapat berinteraksi dengan asam askorbat, lalu direduksi dan
radikal askorbat yang kemudian terbentuk menggantikannya ternyata kurang reaktif
bila dibandingkan dengan radikal bebas tersebut (Siregar, 2009).
3)

Kebutuhan Vitamin C
Asupan harian asam askorbat harus seimbang dengan jumlah yang

diekskresikan atau yang dirusak melalui oksidasi. Asam askorbat siap diabsopsi jika
jumlah yang masuk kecil. Jika jumlah yang masuk berlebihan, peneyerapan lewat
usus menjadi terbatas. Asam askorbat yang terabsopsi, secara cepat mencapai
keseimbangan dengan cadangan vitamin tersebut dalam tubuh. Manusia dewasa yang
sehat kehilangan 3-4% cadangan asam askorbat dalam tubuh mereka per hari. Untuk
mempertahankan cadangan asam askorbat dalam tubuh, manusia dewasa menerima

10

masukan vitamin C sebesar 1500 mg atau lebih, tubuh perlu menyerap kira-kira 60
mg per hari (Goodman and Gilman, 2012).
Pada percobaan neraca asam askorbat isotopik dan kajian farmakokinetik
memperlihatkan

bahwa

masukan

60

mg

asam

askorbat

per

hari

akan

mempertahankan cadangan tubuh kira-kira 1,5 gram. Cadangan tubuh yang lebih
besar dapat tercapai dengan masukan vitamin C yang lebih banyak. Jika cadangan
tubuh jenuh, kelebihan vitamin C yang diserap akan dimetabolisme atau
diekskresikan melalui urin. Dalam keadaan ini, tingkat konsentrasi asam askorbat
plasma tinggal sekitar 1,5 mg per desiliter. Urin berisi sejumlah metabolit asam-asam
askorbat yang teridentifikasi anata lain asam dehidroaskorbat, asam diketogulonat,
askorbat-2-sulfat, oksalat, metilaskorbat, dan 2-ketoaskorbitol. Ekskresi asam
askorbat dalam urin menurun hingga tingkat yang tidak dapat dideteksi yaitu pada
keadaan masukan yang tidak cukup atau pada kasus sariawan.
Sariawan pada manusia dapat ditunda dan dihilangkan dengan masukan 10
mg asam askorbat tiap hari. Tingkat masukan ini, bagaimanapun, sedikit atau sama
sekali tidak menghasilkan cadangan. National Research Council menyarankan
kebutuhan yang dianjurkan untuk vitamin C adalah 60 mg per hari untuk wanita dan
pria. Tingkat masukan ini akan mempertahankan tingkat askorbat serum sekitar 0,75
mg per desiliter dan menyumbang 1500 mg untuk cadangan tubuh, dan

akan

meningkatkan pencegahan gejala-gejala klinis sariawan pada pria dewasa setidaknya


satu bulan. Tingkat masukan vitamin C ini, juga memperbesar penyerapan besi dan
memperbaiki status gizi pada beberapa orang (Sauberlich,1987).

11

Pada keadaan khusus, lebih banyak asam askorbat diperlukan untuk mencapai
konsentrasi normal dalam plasma. Kadar vitamin C dalam plasma yang lebih rendah
ditentukan pada perokok akibat laju pergantian metabolisme vitamin C yang
meningkat. Jadi, untuk menjamin status vitamin yang memadai, RDA untuk perokok
ditetapkan sebesar 100 mg/hari. Konsentrasi asam askorbat dalam plasma juga dapat
berkurang kerena penggunaan obat-obat kontrasepsi oral. Kebutuhan dapat meningkat
pada penyakit-penyakit tertentu, khususnya penyakit-penyakit infeksi dan juga
setelah operasi (Goodman and Gilman, 2012). Beberapa obat diduga dapat
mempercepat ekskresi vitamin C misalnya tetrasiklin, fenobarbital dan salisilat
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2009).
4)

Defisiensi Vitamin C
Kekurangan vitamin C akan menyebabkan penyakit sariawan atau skorbut.

Penyakit skorbut biasanya jarang terjadi pada bayi, bila terjadi pada anak, biasanya
pada usia setelah 6 bulan dan di bawah 12 bulan. Pada orang dewasa skorbut terjadi
setelah beberapa bulan menderita kekurangan vitamin C dalam makanannya. Gejalagejalanya ialah pembengkakan dan pendarahan pada gusi, gingivalis, kaki menjadi
empuk, anemia dan deformasi tulang. Akibat yang parah dari keadaan ini ialah gigi
menjadi goyah dan dapat lepas. Penyakit sariawan yang akut dapat disembuhkan
dalam beberapa waktu dengan pemberian 100-200 mg vitamin C per hari. Bila
penyakit sudah kronik diperlukan waktu lebih lama untuk penyembuhannya
(Winarno, 1995).

12

Gejala awal hipovitaminosis C adalah malaise, mudah tersinggung, gangguan


emosi, atralgia, hyperkeratosis folikel rambut dan perdarahan hidung. Skorbut terlihat
bila kadar vitamin C pada leukosit dan trombosit < 2 mg/dL dan ini terjadi setelah
mendapat diet yang tidak mengandung vitamin C selama 3-5 bulan. Orang tua
alkoholisme, pasien penyakit menahun sangat peka terhadap timbulnya skorbut.
Gangguan terlihat pada sebagian besar jaringan terutama yang berasal dari
mesodermal seperti kolagen, tulang yang sedang tumbuh dan pembuluh darah. Pada
tulang yang sedang tumbuh dapat terjadi gangguan pertumbuhan, pembengkakan
pada ujung tulang panjang akibat perdarahan subperiosteum serta osteoporosis pada
orang dewasa. Gigi geligi mengalami resorpsi dan atrofi dentin serta terjadi gangguan
pada alveoli gigi yang mengakibatkan gigi mudah lepas. Gusi melunak, mudah
berdarah dan membengkak hingga menutupi bagian gigi. Gangguan pada dinding
pembuluh darah mengakibatkan fragilitas pembuluh darah meningkat, sehingga
trauma ringan mudah menimbulkan perdarahan kulit, otot, gusi dan tulang. Anemia
normositik atau makrositik (sebabnya dapat multifactorial) sering didapatkan. Bila
skorbut tidak diobati dapat terjadi kejang, koma dan kematian (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik, 2009).
5)

Sumber Bahan Makanan


Sumber vitamin C sebagian besar berasal dari sayuran dan buah-buahan,

terutama sayuran dan buah-buahan yang segar. Karena itu vitamin C sering disebut
Fresh Food Vitamin. Buah yang masih mentah lebih banyak kandungan vitamin C
dibandingkan dengan yang sudah matang.

13

Buah jeruk, baik yang dibekukan maupun yang dikalengkan merupakan


sumber vitamin C yang tinggi. Demikian juga halnya berries, nenas dan jambu.
Beberapa buah tergolong buah yang tidak asam seperti pisang, apel, pear dan peach
rendah kandungan vitamin C-nya, apalagi bila produk tersebut dikalengkan.
Bayam, brokoli, cabe hijau dan kubis juga merupakan sumber yang baik,
bahkan juga setelah dimasak. Sebaliknya beberapa jenis bahan pangan hewani seperti
susu, telur, daging, ikan dan ungags sedikit sekali kandungan vitamin C. Air susu ibu
yang sehat mengandung enam kali lebih banyak vitamin C dibandingkan susu sapi.
Vitamin C mudah larut dalam air dan mudah rusak oleh oksidasi, panas dan
alkali. Karena itu agar vitamin C tidak banyak hilang, sebaiknya pengirisan dan
penghancuran yang berlebihan dihindari. Pemasakan dengan air sedikit dan ditutup
rapat sehingga empuk dapat banyak merusak vitamin C. Penambahan baking soda
untuk mencegah hilangnya warna vitamin C selama pemasakan akan menurunkan
kandungan vitamin C dan mengubah rasa sayuran (Winarno, 1995).
2.1.2

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)


Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut High

Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan teknik pemisahan yang


luas digunakan untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel
baik di bidang farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri makanan
(Gandjar, 2012). KCKT adalah suatu teknik pemisahan dengan menggunakan padatan
sebagai fase diam (stationary phase) dan cairan sebagai fase gerak (mobile phase)
(USP XXX).

14

KCKT umumnya digunakan untuk pemisahan sejumlah senyawa organik,


anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian (impurities); analisis
senyawa tidak menguap (non-volatil); penentuan molekul netral, ionik, maupun
zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan senyawa dengan struktur
hampir sama; pemisahan senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam
jumlah banyak, dan dalam skala industri. Metode KCKT tidak bersifat destruktif
sehingga cocok untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Gandjar, 2012).
Sebagai metode analisis modern, KCKT memiliki banyak kelebihan yang
diantaranya yaitu:
a. Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran.
b. Mudah pelaksanaannya.
c. Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi.
d. Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/ kerusakan bahan yang di analisis.
e. Resolusi yang baik.
f. Dapat digunakan berbagai macam detektor.
g. Kolom dapat digunakan kembali.
h. Mudah melakukan sample recovery (Putra, 2004).

Selain memiliki kelebihan, ada beberapa keuntungan dari KCKT yaitu:


a. Cepat : Waktu analisis umumnya kurang dari 1 jam. Banyak analisis yang dapat
diselesaikan sekitar 15 30 menit. Untuk analisis yang tidak rumit
(uncomplicated), waktu analisis dapat dicapai dalam waktu kurang dari 5 menit.
b. Resolusi : Kemampuan zat padat berinteraksi secara spesifik dengan fase diam
dan fase gerak pada KCKT memberikan parameter tambahan untuk mencapai
pemisahan yang diinginkan.

15

c. Sensitivitas detektor : Detektor UV yang biasa digunakan dalam KCKT dapat


mendeteksi kadar dalam jumlah nanogram (10-9 gram) dari bermacam-macam zat.
d. Kolom dapat digunakan kembali (reusable)
e. Ideal untuk zat bermolekul besar dan berionik
f. Mudah rekoveri sampel : Umumnya detektor yang digunakan pada KCKT tidak
menyebabkan destruktif (kerusakan) pada komponen sampel yang diperiksa. Oleh
karena itu, komponen sampel tersebut dapat dengan mudah dikumpulkan setelah
melewati detektor (Putra, 2004).
1)

Jenis-jenis KCKT
Hampir semua jenis campuran solut dapat dipisahkan dengan KCKT karena

banyaknya fase diam yang tersedia dan selektifitas yang dapat ditingkatkan dengan
mengatur fase gerak. Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase
terbalik tergantung pada polaritas relatif fase diam dan fase gerak (Gandjar, 2012).
Terdapat tiga bentuk KCKT yang paling banyak digunakan yaitu kromatografi
penukar ion, partisi dan adsorpsi. Kromatografi penukar ion digunakan untuk
pemisahan zat-zat larut dalam air yang ionik atau yang dapat terionisasi dengan bobot
molekul kurang dari 1500 (Depkes, 1995). Fase diam pada kromatografi penukar ion
dapat menukar kation atau anion dengan suatu fase gerak. Ada banyak penukar ion
yang beredar di pasaran, yang paling luas penggunaannya adalah polistiren resin
(Gandjar, 2012). Pada resin penukar kation terdapat gugus aktif yang bermuatan
negatif dan resin ini digunakan untuk pemisahan zat-zat bersifat basa, misalnya
amina. Sebaliknya pada resin penukar anion terdapat gugus aktif bermuatan positif,
yang akan menarik zat-zat dengan gugus fosfat, sulfonat atau karboksilat, yang

16

bermuatan negatif. Senyawa larut air yang ionik atau yang dapat terionisasi akan
mengalami tarikan oleh resin dan perbedaan dalam afinitas akan menyebabkan
terjadinya pemisahan kromatografi (Depkes, 1995).
Kromatografi partisi disebut juga dengan kromatografi fase terikat.
Kebanyakan fase diam kromatografi ini adalah silika yang dimodifikasi secara
kimiawi. Fase diam yang paling populer digunakan adalah oktadesilsilana (ODS atau
C18) dan kebanyakan pemisahannya adalah fase terbalik. Sebagai fase gerak adalah
campuran metanol atau asetonitril dengan air atau dengan larutan bufer. Untuk solut
yang bersifat asam lemah atau basa lemah, peranan pH sangat krusial kerena kalau
pH fase gerak tidak diatur maka solute akan mengalami ionisasi. Terbentuknya
spesises yang terionisasi ini menyebabkan ikatannya dengan fase diam menjadi lemah
dibandingkan jika solut dalam bentuk spesies yang tidak terionisasi karenanya spesies
yang mengalami ionisasi akan terelusi lebih cepat (Gandjar, 2012).
Pada pemisahan kromatografi adsorpsi biasanya menggunakan fase normal
dengan fase diam silika gel dan alumina. Pada silika dan alumina terdapat gugus
hidroksi yang akan berinteraksi dengan solut. Gugus silanol pada silika mempunyai
reaktifitas yang berbeda, karenanya solut dapat terikat secara kuat sehingga dapat
menyebabkan puncak yang berekor (tailing). Fese gerak yang digunakan untuk fase
diam silika atau alumina berupa pelarut non polar yang ditambah dengan pelarut
polar seperti air atau alkohol rantai pendek untuk meningkatkan kemampuan elusinya
sehingga tidak timbul pengekoran puncak, misalnya n-heksana ditambah dengan
metanol. Pemilihan fase gerak pada kromatografi adsorpsi ini terbatas jika detektor

17

yang digunakan adalah spektrofotometer UV. Solut-solut akan tertahan karena adanya
adsorpsi pada permukaan gugus aktif silanol dan akan terelusi sesuai dengan urutan
polaritasnya. Tetapi jenis KCKT ini kurang luas penggunaannya, meskipun demikian
jenis KCKT ini sesuai untuk pmisahan-pemisahan campuran isomer struktur dan
untuk pemisahan solut dengan gugus fungisional yang berbeda (Gandjar, 2012).
2)

Instrumen KCKT
Instrumen KCKT pada dasarnya terdiri atas beberapa komponen pokok yaitu

wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak (pompa), alat untuk memasukkan
sampel (injektor), kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, dan suatu
komputer atau integrator atau perekam (Gandjar, 2012).

18

a.

Gambar 2.3 Diagram Blok Sistem KCKT secara Umum


(Sumber : Settle, 1997)
Wadah Fase Gerak
Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut kosong

ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini
biasanya dapat menampung fase gerak 1 sampai 2 liter pelarut. Pada saat membuat
pelarut untuk fase gerak, maka sangat dianjurkan untuk menggunakan pelarut, buffer,
dan reagen dengan kemurnian yang tinggi. Adanya pengotor dalam reagen dapat
menyebabkan gangguan pada sistem kromatografi. Partikel yang kecil dapat
terkumpul dalam kolom atau tabung yang sempit, sehingga dapat mengakibatkan
suatu kekosongan pada kolom atau tabung tersebut. Karenanya, fase gerak sebelum
digunakan harus disaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil ini
(Gandjar, 2012).
b.
Pompa (Pump)
Pompa yang digunakan untuk KCKT harus inert terhadap fase gerak. Bahan
yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan panas, teflon dan batu
nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu membeikan tekanan sampai 5000
psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit. Untuk
tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mempu mengalirkan fase gerak
dengan kecepatan alir 20 mL/menit (Gandjar, 2012). Sebagian besar pompa HPLC
mempunyai tekanan 1000-6000 psi dan mampu menghasilkan aliran sampai 20
mL/menit (Khopkar, 2010).
Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk
menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reprodusibel,
konstan, dan bebas dari gangguan (Gandjar, 2012).

Ada dua tipe pompa yang

19

digunakan, yaitu kinerja konstan (constant pressure) dan pemindahan konstan


(constant displacement). Pemindahan konstan dapat dibagi menjadi dua yaitu pompa
reciprocating dan pompa syringe. Pompa reciprocating menghasilkan suatu aliran
yang berdenyut teratur, oleh karena itu memerlukan peredam pulsa atau peredam
elektronik untuk menghasilkan garis dasar (base line) detektor yang stabil, bila
detektor sensitif terhadap aliran. Keuntungan dari pompa reciprocating ialah ukuran
reservoir tidak terbatas. Keuntungan dari pompa syringe adalah memberikan aliran
yang tidak berdenyut, tetapi reservoirnya terbatas (Putra, 2004).
c.
Injektor (Injector)
Sampel-sampel cair dan larutan disuntikan melalui injektor secara langsung ke
dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom. Injektor terbuat
dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel
(sample loop) internal dan eksternal. Kelebihan pengisian sampel ini akan
dikeluarkan ke pembuang (Gandjar, 2012).
Injektor berfungsi untuk memasukan sampel, ada tiga tipe injektor yang dapat
digunakan :
(1)
Stop-Flow
Aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan
aliran dilanjutkan kembali. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam cairan
kecil dan resolusi tidak dipengaruhi (Putra, 2004).
(2)
Septum
Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60 70 atmosfir. Tetapi
septum itu tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Partikel kecil

20

dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat meyebabkan penyumbatan
(Putra, 2004).
(3)
Loop Valve
Tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar
dari 10 dan dilakukan dengan cara automatis (dengan menggunakan adaptor yang
sesuai, volume yang lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi
LOAD, sampel diisi ke dalam loop pada kinerja atmosfir, bila VALVE difungsikan,
maka sampel akan masuk ke dalam kolom (Putra, 2014).
d.
Kolom (Column)
Kolom dapat berupa gelas atau baja tidak berkarat. Kolom gelas dapat
menahan tekanan sampai 600 psi. Panjang kolom bervariasi dari 15-150 cm. Pengisi
kolom biasanya adalah silika gel, alumina dan elit. Pengisi kolom seperti partikel
pellicular, yaitu butiran gelas yang dilapisis dengan meteri berpori (Khopkar, 2010).
Kolom dibagi menjadi dua jenis yaitu kolom konvensional dan kolom mikrobor.
Kolom mikrobor mempunyai tiga keuntungan yang utama dibanding dengan kolom
konvensional, yaitu:
(1) Konsumsi fase gerak kolom mikrobor hanya 80% atau lebih kecil dibanding
dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir fase
gerak lebih lambat (10-100 L/menit).
(2) Adanya aliran fase gerak yang lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih
ideal jika digabung dengan spektrometer massa.
(3) Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solut lebih pekat, karenanya
jenis kolom jenis ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas misalnya
sampel klinis (Gandjar, 2012).

21

Berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan
kondisi percobaan yang sesuai. Kolom biasanya dioperasikan pada temperatur kamar,
tetapi bisa juga digunakan pada temperatur tinggi.
e.
Detektor (Detector)
Detektor digunakan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di dalam
kolom (analisi kualitatif) dan menghitung kadarnya (analisis kuantitatif)(Putra, 2004).
Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu:
(1) Detektor Universal
Detektor yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik,
dan tidak bersifat selektif seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri
massa.
(2) Detektor Spesifik
Detektor yang spesifik hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan
selektif seperti detektor UV-Vis, detektor fluorescensi, dan elektrokimia (Gandjar,
2012).
Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel.
2. Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada
kadar yang sangat kecil.
3. Stabil dalam pengoperasian.
4. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran
pita.
5. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada
kisaran yang luas (kisaran dinamis linier).
6. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak (Gandjar,
2012).
Beberapa detektor yang paling sering digunakan pada KCKT diringakas pada
tabel sebagai berikut: (Gandjar, 2012)

22

Tabel 2.1 Karekteristik Detektor Pada KCKT


(sumber: Kealey and Haines, 2002)
Detektor
Absorbansi UV-Vis
Fotometer filter
Spektrofotometer
Spektrometer
photodiode array
Fluoresensi

Indeks bias

Elektrokimia
Konduktimetri
Amperometri

f.

Sensitivitas

Kisaran linier

5 x 10-10
5 x 10-10
>2 x 10-10

104
105
105

10-12

104

5 x 10-7

104

10-8
10-12

104
105

Karakteristik
Sensitivitas bagus, paling sering
digunakan, selektif terhadap
gugus-gugus dan strukturstruktur yang tidak jenuh.
Sensitivitas sangat bagus,
selektif, tidak peka terhadap
perubahan suhu dan kecepatan
alir fase gerak.
Hampir bersifat universal akan
tetapi sensitivitasnya sedang.
Sangat sensitif terhadap suhu
dan tidak dapat digunakan pada
elusi bergradien.
Peka terhadap perubahan suhu
dan kecemapatan alir fase gerak,
tidak dapat digunakan pada
elusi bergradien. Hanya
mendeteksi solut-solut ionik.
Sensitifitas sangat bagus,
selektif tetapi timbul masalah
dengan adanya kontaminasi
elektroda.

Komputer, Integrator Atau Rekorder


Alat pengumpul data seperti komputer, integrator atau rekorder dihubungkan

dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh

23

detektor lalu mem-plotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat


dievaluasi oleh seorang analis (pengguna) (Gandjar, 2012).
Rekorder

saat

ini

jarang

digunakan

karena

rekorder

tidak

dapat

mengintegrasikan data, sementara itu baik integrator maupun komputer mampu


mengintegrasikan puncak-puncak dalam kromatogram. Komputer mempunyai
keuntungan

lebih

karena

komputer

secara

elektronik

mampu

menyimpan

kromatogram untuk evaluasi kemudian hari (Gandjar, 2012).


3)

Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat

bercampur yang secara secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi.
Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas
fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Gandjar, 2012). Fase gerak harus
memiliki sifat-sifat diantaranya adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Murni, tidak terdapat kontaminan.


Tidak bereaksi dengan wadah.
Sesuai dengan detektor.
Melarutkan sampel.
Memiliki viscositas rendah.
Bila diperlukan, memudahkan sample recovery
Diperdagangkan, dapat diperoleh dengan harga murah (reasonable price)
(Putra,2004).
Ada dua macam fase gerak dan fase diam berdasarkan kepolarannya yaitu fase

norml dan fase terbalik. Fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak),
kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Untuk
pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah

24

campuran pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau


menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol. Pemisahan fase normal ini kurang umum
dibandingkan dengan fase terbalik (Gandjar, 2012).
Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak),
kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase gerak yang
paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran
larutan bufer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril (Gandjar, 2012).
Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak teteap
selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak berubah-ubah
selama elusi). Elusi bergradien digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran
yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas
(Gandjar, 2012).
4)

Fase Diam
Kebanyakan fase gerak KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara

kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi atau polimer-polimer stiren dan divinil
benzene. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena residu gugus silanol
(Si-OH). Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi dengan menggunakan reagenreagen seperti klorosilan. Hasil reaksi yang diperoleh disebut dengan silika fase
terikat yang stabil terhadap hidrolisis karena terbentuk ikatan-ikatan siloksan (Si-OO-Si). Silika yang dimodifikasi ini mempunyai karakteristik kromatografik dan
selektifitas yang berbeda jika dibandingkan dengan silika yang tidak dimodifikasi
(Gandjar, 2012).

25

Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak
digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang
rendah, sedang maupun tinggi. Oktil atau rantai alkil yang lebih pendek lagi lebih
sesuai untuk solut yang polar. Silika-silika aminopropil dan sianopropil (nitril) lebih
cocok sebagai pengganti silika yang tidak dimodifikasi. Silika yang tidak
dimodifikasi akan memberikan waktu retensi yang bervariasi disebabkan karena
adanya kandungan air yang digunakan (Gandjar, 2012).
Solut-solut yang polar, terutama yang bersifat basa, akan memberiakan
puncak yang mengekor (tailing peak) pada penggunaan fase diam silika fase terikat.
Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi adsorpsi antara solut-solut ini dengan residu
silanol dan pengotor logam yang terdapat pada silika. Masalah ini dapat diatasi
dengan end-capping yakni suatu proses menutup residu silanol ini dengan gugusgugus trimetilsilil dan menggunakan silika dengan kemurnian yang tinggi
(kandungan logam < 1 ppm) (Gandjar, 2012).

5)

Penggunaan KCKT Dalam Analisi Farmasi


Metode KCKT merupakan metode yang sangat populer untuk menetapakan

kadar senyawa obat baik dalam bentuk sediaan atau sampel hayati. Hal ini disebabkan
KCKT merupakan metode yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
(Gandjar, 2012).

26

Selain untuk penetapan kadar, KCKT dapat digunakan sebagai uji identifikasi
dan uji kemurnian. Sampel yang dianalisis adalah senyawa-senyawaa yang tidak
mudah menguap dan tidak stabil pada suhu tinggi. Banyak senyawa yang dapat
dianalisis dengan KCKT mulai dari senyawa ion anorganik sampai senyawa organic
makromolekul (Putra, 2004).

2.1.3 Validasi Metode Analisis


Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter
tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter
tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).
Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa
parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis,
karenanya suatu metode harus divalidasi, ketika:
a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu.
b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena
munculnya suatu problem yamg mengarahkan bahwa metode baku tersebut harus
direvisi.
c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah
seiring dengan jalannya waktu.
d. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh analisis
yang berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda.
e. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antara 2 metode, seperti anatara metode
baru dan metode baku (Gandjar dan Abdul Rohman, 2012).

27

Parameter analisis yang ditentukan pada validasi adalah akurasi (kecermatan),


presisis, batas deteksi (limit of detection, LOD), batas kuantifikasi (limit of
quantification, LOQ), dan linieritas.
1)
Ketepatan (akurasi)
Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai
terukur dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya atau nilai
rujukan. Ada dua metode untuk mengukur akurasi yaitu metode simulasi dan
penambahan baku. Metode simulasi dilakukan dengan cara sejumlah analit bahan
murni ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (placebo)
lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang
sebenarnya. Sedangkan metode penambahan baku dilakukan dengan cara sampel
dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel
kemudian dicampur dan dianalisis kembali (Harmita, 2004).
Untuk mendokumentasikan akurasi, ICH merekomendasikan pengumpulan
data dari 9 kali penetapan kadar dengan 3 konsentrasi yang berbeda (misal 3
konsentrasi dengan 3 kali replikasi). Data harus dilaporkan sebagai persentase
perolehan kembali (Gandjar dan Rohman, 2007).
2)

Presisi
Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya

diekspresikan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda
signifikan secara statistik. Sesuai dengan ICH, presisi harus dilakukan pada 3
tingkatan

yang

berbeda

yaitu:

keterulangan

(repeatability),

presisi

antara

28

(intermediate precision) dan ketertiruan (reproducibility). Dokumentasi presisi


seharusnya mencakup: simpangan baku, simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien
variasi (CV) dan kisaran kepercayaan.
Pengujian presisi pada saat awal validasi metode seringkali hanya
menggunakan 2 parameter yang pertama, yaitu: keterulangan dan presisi antara.
Ketertiruan biasanya dilakukan ketika akan melakukan uji banding antar
laboratorium. Presisi seringkali diekspresikan dengan standar deviasi (SD) atau
standar deviasi relatif (RSD) dari serangkaian data. Untuk menghitung SD dengan
rumus:

Sedangkan untuk rumus RSD dengan rumus:


RSD =

100 x SD
, yang mana X merupakan rata-rata data dan SD adalah standar
X

deviasi serangkaian data.


Data untuk menguji presisi biasanya replikasi 6-15 dilakukan pada sampel
tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi. Pada pengujian dengan KCKT, nilai RSD anatara
1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang
banyak, sedangkan untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit, RSD berkisar
antara 5-15% (Gandjar dan Rohman, 2007).

29

3)

Batas Deteksi (Limit of Detection, LoD) dan Batas Kuantifikasi (Limit of


Quantification, LoQ)
Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel

yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LoD
merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit di atas atau di
bawah nilai tertentu. Sedangkan batas kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi
analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang
dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.
Penentuan batas deteksi dan kuantifikasi suatu metode berbeda-beda
tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis
yang tidak menggunakan instrument batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi
analit data, sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas
deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung
simpangan baku respon blangko dengan rumus:

Keterangan:
Q = batas deteksi (LoD) atau batas kuantifikasi (LoQ)
k = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantifikasi
Sb = simpangan baku respon analitik dari blangko
SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi =
slope (b pada persamaan garis y = a + bx)

30

Batas deteksi dan kuantifikasi dapat dihitung secara statistik melalui garis
regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada
persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blangko sama dengan
simpangan baku residual (Sy/x) (Harmita, 2004).
a.

Batas deteksi (Q)


Karena k = 3
Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka

b.

Batas kuantifikasi (Q)


Karena k = 10
Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka

Cara lain untuk menentukan batas deteksi dan kuantifikasi adalah melalui
penentuan rasio S/N (signal to noise ratio). Nilai LoD untuk KCKT didasarkan pada
S/N yaitu sebesar 3:1, sedangkan untuk LoQ yaitu sebesar 10:1.
4)

Linieritas
Liniearitas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-

hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran
yang diberikan. Linieritas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva
kalibrasi yang menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Linieritas
dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang berbedabeda. Cara mengukur linieritas adalah pertama kali menentukan variasi konsentrasi

31

lalu diukur absorbansi kemudian diplot kedalam grafik, sehingga disebut persamaan
garis regresi linier dengan rumus:
y = a + bx
Keterangan:
y = menyatakan absorbansi
x = konsentrasi
b = koefisien regresi (juga menyatakan slope = kemiringan)
a = tetepan regresi dan juga disebut dengan intersep
Koefisien regresi (b) dapat dicari dengan metode kuadrat terkecil yaitu dengan rumus:

Selanjutnya a dihitung dengan hubungan a = y bx.


Sebelum dilakukan perhitungan analisis lebih lanjut berdasarkan persamaan
regresi linier yang didapat, terlebih dulu harus ditentukan apakah ada korelasi yang
bermakna antara kedua besaran yang diukur. Untuk ini perlu dihitung besarnya
koefisien korelasi (r) dan dibandingkan dengan r-tabel (r-kritik). Apabila r-hitung lebih kecil
daripada r-tabel maka dikatakan korelasi tidak bermakna dan persamaan regresi tidak
dapat digunakan untuk menghitung besaran yang dicari. Sebaliknya kalau r- hitung lebih
besar daripada r-tabel, berarti korelasi bermakna (signifikan) dan besaran yang dicari
dapat dihitung dengan persamaan regresi yang ada. Besarnya koefisien korelasi (r)
dapat dihitung berdasarkan rumus:

32

Harga r dapat mempunyai nilai antara -1 r 1, nilai r = -1 menggambarkan korelasi


negatif sempurna yakni semua titik percobaan terletak pada satu garis lurus yang
kemiringannya (slope-nya) negatif, demikian juga jika r = +1 menggambarkan
korelasi positif sempurna yakni semua titik percobaan terletak pada satu garis lurus
yang kemiringannya positif. Sedangkan nilai r = 0 menyatakan tidak ada korelasi
sama sekali antara x dan y (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2

Kerangka Konsep
Vitamin C dalam
minuman kemasan

Pengukuran kadar dengan


metode Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT)

Anda mungkin juga menyukai