Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan (agency theory) membahas tentang adanya hubungan
keagenan antara principal dan agen. Perspektif hubungan keagenan menjadi dasar
yang digunakan untuk memahami corporate governance dan earnings
management. Hubungan keagenan tercermin antara pihak manajemen (agen)
dengan investor (prinsipal). Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan
adalah sebuah kontrak antara manajemen (agen) dengan pemilik (prinsipal). Agar
hubungan kontraktual ini dapat berjalan lancar, pemilik akan mendelegasikan
otoritas pembuatan keputusan kepada manajer. Perencanaan kontrak yang tepat
bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan manajer dan pemilik dalam hal
konflik dan kepentingan, hal ini merupakan inti dari teori keagenan.
Bentuk

hubungan keagenan menurut

positive accounting theory

(Hendriksen dan Breda, 2001: 228), ada tiga macam bentuk keagenan :
1) Antara pemilik dengan manajemen (bonus plan hypotesis)
2) Antara kreditur dengan manajemen (debt/equity hypotesis)
3) Antara masyarakat dengan manajemen (political cost hypothesis)
Ali (dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007), menyatakan bahwa munculnya
earnings management dapat dijelaskan dengan teori keagenan. Sebagai agen,
manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para
pemilik (prinsipal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai

10

dengan kontrak (Jensen dan Meckling, 1976). Namun dalam kenyataannya, yang
sering terjadi baik manajemen atau manajer perusahaan sering mempunyai tujuan
yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama antara pihak
prinsipal. Permasalahan yang timbul akibat adanya konflik kepentingan antara
para manajer dan pemegang saham disebut dengan agency problem.
Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1) Adverse selection, adalah para manajer serta orang-orang dalam lainnya
yang pada dasarnya mengetahui lebih banyak keadaan dan prospek
perusahaan dibandingkan para pemegang saham atau pihak luar. Informasi
yang mengandung fakta yang akan digunakan pemegang saham untuk
mengambil kepeutusan tidak diberikan secara detail oleh manajer.
2) Moral hazard, adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak
seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman.
Sehingga manajer dapat melakukan tindakan di luar sepengetahuan
pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika
atau etika tidak layak dilakukan.
Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa konflik keagenan
disebabkan oleh pembuatan keputusan aktivitas pencairan dana (financing
decision) dan pembuatan keputusan bagaimana dana tersebut diinvestasikan.
Selain itu, perspektif teori agensi laba sangat rentan terhadap manipulasi oleh
manajemen. Informasi laporan keuangan yang disampaikan tepat waktu akan
mengurangi asimetri informasi yang berkaitan erat dengan agency theory.
Sehingga dalam hubungan keagenan, manajemen diharapkan dalam mengambil

11

kebijakan perusahaan terutama kebijakan keuangan yang menguntungkan pemilik


perusahaan. Oleh sebab itu sebagai pengelola, manajemen (agen) berkewajiban
memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan terhadap pemilik (prinsipal).
Masalah agensi disebabkan karena adanya konflik kepentingan dan
asimetri informasi, maka perusahaan harus menanggung biaya keagenan (agency
cost). Jensen dan Meckling (1976), menjelaskan biaya keagenan dalam tiga jenis
yaitu:
1) Biaya Monitoring (monitoring cost), merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan
oleh agen.
2) Biaya Bonding (bonding cost), merupakan biaya untuk menjamin bahwa
agen tidak akan bertindak merugikan principal, atau dengan kata lain
untuk meyakinkan agen, bahwa principal akan memberikan kompensasi
jika agen benar-benar melakukan tindakan tersebut.
3) Biaya Kerugian Residual (residual loss), yaitu nilai uang yang ekuivalen
dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh principal akibat
perbedaan kepeningan.
Untuk meminimalkan agency problem, dapat digunakan kontrak antara
agen dan principal. Adanya sistem informasi yang memadai dapat pula digunakan
untuk meminimalkan agency problem ini. Dengan adanya kontrak atau perjanjian
dan informasi yang memadai ini maka agen akan bertindak sesuai kepentingan
principal.

12

2.1.2 Teori Sinyal (Signal Theory)


Teori

Sinyal

(Signal

Theory)

menjelaskan

mengapa

perusahaan

mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak


eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat
asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar (Linandarini, 2010). Asimetri
informasi dapat terjadi di antara dua kondisi ekstrem yaitu perbedaan informasi
yang kecil sehingga tidak mempengaruhi manajemen, atau perbedaan yang sangat
signifikan sehingga dapat berpengaruh terhadap manajemen dan harga saham
(Sartono, 1996).
Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah
perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal
ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk
merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi
lainnya yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada
perusahaan lainnya (Machfoedz, 1999).

2.1.3 Good Corporate Governance


2.1.3.1 Latar Belakang Munculnya Good Corporate Governance
Kehancuran perusahaan besar seperti Enron Corporation pada awal
dekade 2000 membuat dunia bisnis terperangah. Perusahaan yang tadinya
merupakan pebisnis terkemuka, hancur dalam sekejap setelah diketahui terjadi
penghancuran dokumen yang disinyalir untuk menghilangkan jejak setelah adanya
pemeriksaan dalam laporan keuangannya, kemudian diketahui diciptakannya
beberapa partnership untuk mengalihkan utang-utang Enron, juga terjadi conflict

13

of interest oleh accounting firm, dan yang terakhir terjadi misleading yaitu pada
saat-saat terakhir pengumuman bangkrut, pihak manajemen masih memberikan
keyakinan kepada para karyawan tentang prospek perusahaan yang baik padahal
harga saham Enron merosot ke harga di bawah $1 per lembar (Emirzon, 2007).
Hal serupa juga terjadi pada beberapa perusahaan terkemuka lainnya. Sejumlah
sumber berkesimpulan penyebab hancurnya perusahaan adalah akibat lemahnya di
dalam menerapkan good corporate governance.

2.1.3.2 Definisi Good Corporate Governance


Good corporate governance merupakan salah satu strategi dalam
membatasi aktivitas manajemen laba dengan memberdayakan korporasi, baik
perusahaan milik pemerintah maupun swasta. Hal ini juga dikemukakan oleh
Watts (2003) menyatakan bahwa salah satu cara yang digunakan untuk memonitor
masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah
corporate governance. Definisi corporate governance dirumuskan oleh Jill dan
Aris Solomon (2005), pada bukunya yang berjudul Corporate Governance and
Accountability, yaitu corporate governance adalah sistem pengawasan dan
keseimbangan baik internal maupun eksternal kepada perusahaan, yang menjamin
bahwa perusahaan akan melaksanakan kewajibannya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) dan bertindak dengan tanggung
jawab sosial dalam segala bidang dari bisnis perusahaan yang bersangkutan.
Definisi Good Corporate Governance yang dirumuskan dalam Task Force
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance Bab II adalah suatu proses
dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai

14

tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi


pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.

2.1.3.3 Prinsip Good Corporate Governance


Salah satu pilar penting dalam good corporate governance di perbankan
adalah komitmen penuh dari seluruh jajaran pengurus bank hingga pegawai yang
terendah untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Maka dari itu seluruh karyawan
wajib untuk menjunjung tinggi prinsip good corporate governance. Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tahun 2006 mendefinisikan lima prinsip
utama penting yang ada dalam corporate governance yaitu :
1) Transparency (Keterbukaan)
Transparansi adalah bentuk keterbukaan perusahaan dalam kegiatan mulai
dari proses pengambilan keputusan sampai dengan keterbukaan dalam
mengungkapkan informasi materil yang ada di dalam perusahaan.
2) Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah kejelasan sebuah fungsi dan pertanggungjawaban
seluruh organ yang ada di dalam perusahaan sehingga dalam pengelolaan
kegiatan perusahaan dapat berjalan secara efektif.
3) Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban memberikan kewajiban perusahaan untuk mematuhi
semua hukum dan undang-undang, termasuk hukum korporasi.

15

4) Indepedency ( Kemandirian)
Kemandirian adalah keadaan dimana perusahaan dalam pengelolaannya di
jalankan secara professional tanpa adanya kepentingan dan tekanan dari
suatu pihak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang.
5) Fairness (Kewajaran)
Kewajaran merupakan suatu bentuk sikap adil dan kesetaraan yang
dibentuk untuk memenuhi dan melindungi hak-hak stakeholder yang
timbul berdasarkan perjanjian didalam peraturan perundangan yang
berlaku.
Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance minimal harus
diwujudkan dalam:
(1) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi.
(2) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian internal bank.
(3) Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal.
(4) Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal.
(5) Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar.
(6) Rencana strategis Bank.
(7) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Konsep di atas tidak jauh berbeda dengan tujuan penerapan good
corporate governance dalam perbankan, yaitu menciptakan nilai tambah bagi
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) sebagai bentuk pelaksanaan
dalam mewujudkan perbankan yang sehat (Priambodo dan Supriayatno, 2007).

16

2.1.3.4 Manfaat dan Tujuan Good Corporate Governance


GCG

dapat

memberikan

kerangka

acuan

yang

memungkinkan

pengawasan berjalan efektif, sehingga dapat tercipta mekanisme checks and


balance di perusahaan. Menurut Forum Corporate Governance in Indonesia
(FCGI) ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil dari penerapan GCG yang
baik, antara lain:
1) Meningkatkan kinerja perusahaan
2) Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang
pada akhirnya akan meningkatkan corporate value
3) Mengembalikan kepercayaan investor untuk kembali menanamkan
modalnya di Indonesia
4) Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena
sekaligus akan meningkatkan Shareholderss value dan deviden.
Pelaksanaan Corporate Governance yang baik adalah merupakan langkah
penting dalam membangun kepercayaan pasar (market convidence) dan
mendorong arus investasi internasional yang lebih stabil, bersifat jangka panjang.
Menurut Bassel Committee on Banking Supervision, tujuan dan manfaat good
corporate governance antara lain sebagai berikut:
1) Mengurangi agency cost, biaya yang timbul karena penyalahgunaan
wewenang, ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk
mencegah timbulnya suatu masalah.
2) Mengurangi biaya modal yang timbul dari manajemen yang baik, yang
mampu meminimalisir resiko.

17

3) Memaksimalkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat meningkatkan


citra perusahaan dimata publik dalam jangka panjang.
4) Mendorong pengelolaan perbankan secara profesional, transparan, efisien
serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian dewan
komisaris, direksi dan RUPS.
5) Mendorong dewan komisaris, anggota direksi, pemegang saham dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi moral yang tinggi
dan kepatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku.
6) Menjaga Going Concern perusahaan.

2.1.3.5 Penerapan Good Corporate Governance


Keberhasilan penerapan GCG juga memiliki prasyarat tersendiri. Ada dua
faktor yang memegang peranan, yakni faktor eksternal dan internal.
1) Faktor Eksternal
Yang dimaksud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari
luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG.
Diantaranya:
(1) Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin
berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
(2) Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor

publik / lembaga

pemerintahan yang diharapkan dapat pula melaksanakan good


governance dan clean governance yang sebenarnya.

18

(3) Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices)


yang dapat menjadi standar pelaksanaan GCG yang efektif dan
professional. Dengan kata lain semacam brenchmark (acuan)
(4) Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan
GCG di masyarakat. Ini penting karena melalui sistem ini diharapkan
timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk
mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.
(5) Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan
implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat
anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik dimana
perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan
dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa
perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan rating
perusahaan dalam implementasi GCG.
2) Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanan praktek
GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor yang dimaksud
antara lain:
(1) Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung
penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di
perusahaan
(2) Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan
mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG

19

(3) Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada


kaidah standar GCG
(4) Terdapatnya

sistem

audit

(pemeriksaan)

yang

efektif

dalam

perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin


akan terjadi.
(5) Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami
setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga
kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah
perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Berdasarkan Bassle Committee on Banking Supervision, 1999 (dalam
Oktapiyani, 2009) menerangkan bahwa setidaknya terdapat tujuh standar yang
harus digunakan dalam menerapkan GCG secara efektif pada industri perbankan,
antara lain:
1) Bank harus menerapkan sasaran strategis dan serangkaian nilai
perusahaan yang dikomunikasikan ke setiap jenjang jabatan pada
organisasi.
2) Bank harus menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada
setiap jenjang jabatan pada organisasi.
3) Bank harus memastikan bahwa pengurus bank memiliki kompetensi
yang memadai dan integritas yang tinggi. Serta memahami peranannya
dalam mengelola bank yang sehat, dan independen terhadap pengaruh
pihak eksternal.

20

4) Bank harus memastikan keberadaan pengawasan yang tepat oleh


direksi.
5) Bank harus mengoptimalkan efektifitas peranan fungsi auditor eksternal
dan satuan kerja audit intern.
6) Bank harus memastikan bahwa kebijakan remunerasi telah konsisten
dengan nilai etik, sasaran, strategi, dan lingkungan pengendalian bank.
7) Bank harus menerapkan praktek-praktek transparansi kondisi keuangan
dan non keuangan kepada publik.

2.1.3.5 Corporate Governance Perception Index


Corporate governance Perception Index (CGPI) merupakan sebuah
bentuk penilaian yang dihasilkan dalam bentuk pemeringkatan yang dibuat
berdasarkan penerapan good corporate governance pada perusahaan yang ada di
Indonesia. Penilaian ini dilakukan melalui sebuah riset yang dibuat untuk menilai
penerapan konsep corporate governance yang ada disebuah perusahaan dengan
melalui perbaikan yang berkesinambungan dan evaluasi melalui benchmarking.
Di Indonesia penelitian CGPI dilaksanakan oleh The Indonesian Insitute For
Corporate Governance (IICG) bekerjasama dengan majalah SWA.
Program penelitian CGPI ini sudah berlangsung sejak 2001. Dalam
pemeringkatan CGPI ini nantinya di setiap akhir tahun akan diberikan suatu
bentuk apresiasi penghargaan terhadap inisiatif dari upaya perusahaan dalam
mewujudkan bisnis yang sesuai dengan corporate governance melalui CGPI
Awards dan penobatan sebagai perusahaan terpercaya yang hasil dari penghargaan
ini akan di umumkan di majalah SWA sebagai sajian utama.

21

Perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam CGPI pada tahun 2012 sudah


diikuti oleh perusahaan swasta, perusahaan publik, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan perbankan. Untuk menjadi
peserta dari CGPI perusahaan dapat mengajukan diri sendiri, sehingga nantinya
akan adanya dukungan dari setiap aspek stakeholder perusahaan dalam memenuhi
pelaksanaan GCPI, sehingga dengan adanya CGPI mendorong perusahaan untuk
melakukan peningkatan praktik corporate governance di lingkungannya.
Menurut Corporate Governance Preception Index (2008) alat ukur yang
digunakan oleh IICG untuk meneliti CGPI adalah :
1) Komitmen
Merupakan sebuah bentuk kesungguhan perusahaan dalam merumuskan
inisiatif dan strategi segala kebijakan yang ada di perusahaan dalam
penerapan corporate governance.
2) Transparansi
Merupakan sebuah bentuk kesungguhan perusahaan dalam menyampaikan
berbagai informasi internal perusahaan secara tepat waktu dan akurat.
Informasi

yang

disampaikan

mulai

dari

proses,

merumuskan

mengimplementasi dan evaluasi kebijakan perusahaan.


3) Akuntabilitas
Merupakan

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

mempertanggungjawabkan segala bentuk hasil yang telah dicapai oleh


perusahaan, pertanggungjawaban yang dimaksud adalah mulai dari proses
perumusahan, implementasi, hasil dan kinerja perusahaan.

22

4) Responsibilitas
Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan untuk menjamin akan taatnya
perusahaan

pada

peraturan

perundang-undangan,

lingkungan

dan

tanggungjawab terhadap masyarakat.


5) Indepedensi
Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan dalam menjamin tidak
adanya intervensi yang dapat mempengaruhi perusahaan dalam proses
merumuskan, implementasi dan evaluasi hasil strategi dari perusahaan.
6) Keadilan
Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan dalam upaya memberikan
perlakuan yang setara dan adil kepada pemegang saham termasuk
didalamnya mempertimbangkan kepentingan pemegang saham terkait
perumusan, impelementasi dan evaluasi hasil.
7) Kompensasi
Merupakan

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

menggunakan

kemampuan perusahaan sesuai dengan peran, inovasi dan kreatif termasuk


dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi hasil.
8) Kepemimpinan
Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan untuk menunjukan berbagai
macam tipe kepemimpinan yang dapat memberikan arah perubahan yang
lebih baik untuk perusahaan termasuk kepemimpinan yang dapat
membimbing staff perusahaan dalam perumusan, implementasi, dan
evaluasi hasil.

23

9) Kemampuan bekerjasama
Merupakan bentuk kesungguhan perusahaan untuk membentuk suatu
kerjasama agar tercapai tujuan bersama dalam perusahaan secara
bermartabat, termasuk dalam membangun kerjasama dalam perumusan,
implemenasi dan evaluasi hasil.
10) Penyertaan Visi, Misi dan tata nilai
Acuan dan pandangan perusahaan dalam mewujudkan cita-cita untuk
memahami pokok-pokok yang terkandung dalam pernyataan visi, misi dan
tata kelola perusahaan dalam perumusan, implementasi, dan hasil evaluasi.
11) Moral dan etika
Merupakan

suatu

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

selalu

menerapkan moral dan etika dalam sebuah kegiatan perusahaan termasuk


didalamnya penggunaan moral dan etika mulai dari perumusan,
implementasi dan hasil evaluasi.
12) Strategi
Merupakan

suatu

bentuk

kesungguhan

perusahaan

untuk

dapat

mengimplementasikan strategi yang telah dibuat sesuai dengan prinsip


corporate governance sebagai respon terhadap perubahaan lingkungan
perusahaan untuk dapat mempertahankan kinerja perusahaan.
Hasil penelitian yang dilakukan untuk menilai CGPI yaitu setelah
melakukan penilaian maka IICG akan memberikan penilaian yang dilakukan
dengan cara memberikan nilai skor kepada perusahaan peserta, besaran nilai skor
ini dibuat berdasarkan acuan yang telah dibuat IICG. Skor ini diambil hasilnya

24

berdasarkan hasil kuisioner penelitian yang diberikan ke perusahaan peserta.


Berikut bobot nilai yang digunakan untuk mengukur CGPI.
Tabel 2.1 Bobot Penilaian CGPI
No
Indikator
1
Self Assessment
2
Kelengkapan dokumen
3
Penyusunan makalah dan presentasi
4
Observasi ke perusahaan
Sumber : Majalah SWA

Bobot (%)
25
23
17
35

Penilaian proses riset dalam penentuan nilai penerapan corporate


governance dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Self Assessment
Pada tahap awal ini perusahaan harus mengisi self assessment terkait
penerapan corporate governance yang sudah di implementasikan dalam
perusahaannya.
2) Kelengkapan dokumen
Pada tahap ini perusahaan harus melengkapi dokumen-dokumen terkait
pelakasanaan corporate governance di perusahaan.
3) Makalah
Pada tahap ini perusahaan harus membuat uraian penjelasan terkait
penerapan corporate governance di perusahaan yang dibentuk dalam
makalah dengan memperhatikan sistematika yang telah ditentukan.

25

4) Observasi
Dalam tahap ini peneliti CGPI akan datang langsung ke perusahaan untuk
melihat secara pasti penerapan prinsip corporate governance di
perusahaan.
Perusahaan yang telah melalui tahap terakhir observasi hanya tinggal
menunggu proses penilaian yang akan dilakukan oleh tim CGPI berdasarkan hasil
penilaian yang telah di dapat dari perusahaan. Nilai CGPI dihitung berdasarkan
jumlah nilai akhir yang didapatkan dari setiap proses diatas. Setelah nilai CGPI
dari setiap perusahaan keluar maka selanjutnya nilai CGPI perusahaan secara
keseluruhan akan dibahas di Forum Panel untuk menentukan pemeringkatan
CGPI.
Hasil penelitian CGPI akan dijadikan acuan untuk menentukan peringkat
perusahaan yang memiliki skor tertinggi sampai terendah. Setelah hasil
pemeringkatan perusahaan jadi kemudian hasilnya akan diumumkan pada tahun
berikutnya. Hasil pemeringkatan CGPI di golongkan menjadi 3 kategori
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah seperti dalam Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Pemeringkatan CGPI


Skor

Level Terpercaya

85-100

Sangat Terpercaya

70-84

Terpercaya

55-69

Cukup Terpercaya

Sumber : Corporate Governance Perception Index

26

2.1.4 Manajemen Laba


2.1.4.1 Pengertian Manajemen Laba
Manajemen laba sebagai suatu proses pengambilan langkah yang
disengaja dalam batas prinsip akuntansi yang berterima umum baik didalam
maupun diluar batas General Accepted Accounting Prinsip (GAAP). Menurut
Sugiri (1998) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:
1) Definisi sempit
Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode
akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai
perilaku manajer untuk bermain dengan komponen discretionary accrual
dalam menentukan besarnya laba.
2) Definisi luas
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan
(mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit usaha dimana
manajer

bertanggung

jawab,

tanpa

mengakibatkan

peningkatan

(penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.


Pengertian manajemen laba oleh Scoot (2000) adalah sebagai pemilihan
kebijakan akuntansi oleh manajer. Scoot mengungkapkan terdapat dua cara untuk
memahami manajemen laba. Pertama, sebagai perilaku oportunistik manajemen
untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi,
kontrak utang dan biaya politik. Kedua, memandang manajemen laba dari
perspektif kontrak efisien, dimana manajemen laba memberi manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi

27

kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat


dalam kontrak.

2.1.4.2 Faktor-Faktor Manajemen Laba


Berdasarkan yang dilakukan oleh Watts dan Zimmerman (1986) secara
empiris membuktikan bahwa hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh
angka akuntansi. Hal ini memacu agen untuk memikirkan bagaimana angka
akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan
kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agen tersebut adalah manajemen laba.
Faktor-faktor yang diajukan oleh Watt dan Zimmerman adalah:
1) Hipotesis Bonus Plan.
Perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode
akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini.
2) Debt To Equity Hypothesis.
Bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka
manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi
yang akan meningkatakan pendapatan atau laba.
3) Political Cost Hypothesis
Bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya
menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi
laba yang dilaporkan.

28

2.1.4.3 Motivasi Manajemen Laba


Scott (2009) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen
laba, yaitu:
1) Bonus purposes
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan
bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan
memaksimalkan laba saat ini.
2) Political motivation
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang
dilaporkan

karena

adanya

tekanan

publik

yang mengakibatkan

pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.


3) Taxation motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang
paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan untuk
penghematan pajak pendapatan.
4) Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiuan akan cenderung menaikkan
pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan
buruk,

mereka

akan

memaksimalkan

diberhentikan.

29

pendapatan

agar

tidak

5) Initial Public Offering (IPO)


Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai dasar, dan
menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan
manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham
perusahaan.
6) Pentingnya memberi informasi kepada investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada
investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap
menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.1.4.4 Pola Manajemen Laba


Menurut Scott (2009) manajemen laba dilakukan dengan pola sebagai
berikut :
1) Taking a bath adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara
menjadikan laba perusahaan pada periode berjalan menjadi sangat
ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat ekstrim tinggi dibandingkan
dengan laba pada periode sebelumnya atau sesudahnya.
2) Minimalisasi laba (income minimization) adalah pola manajemen laba
yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan
periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya.
3) Maksimisasi laba (income maximization) adalah pola manajemen laba
yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan
periode berjalan lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.

30

4) Perataan laba (income smoothing) adalah pola manajemen laba yang


dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periodeperiode tertentu menunjukkan fluktuasi yang normal dalam rangka
mencapai kecenderungan atau tingkat laba yang diinginkan.

2.1.4.5 Bentuk Manajemen Laba


Bentuk manajemen laba menurut Rachmawati (2008) adalah sebagai
berikut:
1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap
estimasi akuntansi antara lain: estimasi tingkat piutang tidak tertagih,
estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak
berwujud, dan estimasi biaya garansi.
2) Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu
transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode
depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3) Menggeser periode biaya atau pendapatan
Beberapa orang menyebut rekayasa jenis ini sebagai manipulasi
keputusan operasional (Fischer dan Rosenzweig, 1995). Contoh rekayasa
periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda
pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya (Daley
dan Vigeland, 1993), mempercepat atau menunda pengeluaran promosi
sampai periode akuntansi berikutnya, kerja sama dengan vendor untuk

31

mempercepat atau menunda pengiriman tagihan sampai periode


akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke
pelanggan, menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba,
mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai (Bartov,
1993). Perusahaan yang mencatat persediaan menggunakan asumsi
LIFO, juga dapat merekayasa peningkatan laba melalui pengaturan saldo
persediaan (Frankel dan Trezervant, 1994).

2.1.5 Definisi Obligasi


Obligasi adalah surat utang jangka menengah-panjang yang dapat
dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar
imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada
waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut (Bursa Efek
Indonesia). Obligasi menjadi salah satu sumber pendanaan (financing) bagi
pemerintah dan perusahaan, yang dapat diperoleh dari pasar modal. Secara
sederhana, obligasi merupakan suatu surat berharga yang dikeluarkan oleh
penerbit (issuer) kepada investor (bondholder), dimana penerbit akan memberikan
suatu imbal hasil (return) berupa kupon yang dibayarkan secara berkala dan nilai
pokok (principal) ketika obligasi tersebut mengalami jatuh tempo (Manurung et
al., 2009).
Fabozzi (2000) mendefinisikan obligasi sebagai suatu instrumen utang
yang ditawarkan oleh penerbit (issuer) yang juga disebut debitor atau peminjam
(borrower) untuk membayar kembali kepada investor (lender) sejumlah yang
dipinjam ditambah bunga selama tahun yang ditentukan. Obligasi berisi kontrak

32

antara pemberi pinjaman (investor) dengan yang diberi pinjaman (issuer) atau
pihak yang disebut emiten.
Obligasi merupakan suatu instrumen pendapatan tetap (fixed income
securities) yang dikeluarkan oleh penerbit (issuer) dengan menjanjikan suatu
tingkat pengembalian kepada pemegang obligasi (bondholder) atas dana yang
diinvestasikan investor berupa kupon yang dibayarkan secara berkala dan nilai
pokok (principal) ketika obligasi tersebut jatuh tempo (Manurung et al., 2009).
Obligasi memberikan pendapatan tetap kepada pemiliknya selama jangka waktu
berlakunya surat utang tersebut. Hal ini disebabkan pendapatan yang diterima
pemilik obligasi (pokok dan bunga) tidak terpengaruh oleh perubahan harga
sekuritas utang yang bersangkutan (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006).

2.1.5.1 Peringkat Obligasi


Peringkat obligasi merupakan indikator ketepatwaktuan pembayaran
pokok dan bunga utang obligasi yang mencerminkan skala risiko dari obligasi
yang diperdagangkan (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006). Peringkat obligasi
menggambarkan skala risiko dari obligasi yang diperdagangkan. Skala ini
menunjukkan seberapa aman suatu obligasi bagi pemodal yang ditunjukan oleh
kemampuannya dalam membayar bunga dan pokok pinjaman.
Menurut Baker dan Mansi (2001) peringkat obligasi adalah salah satu
indikator penting mengenai kualitas kredit perusahaan, sedangkan menurut Galil
(2003) peringkat adalah pendapat mengenai creditworthiness dari obligor
mengenai sekuritas utang tertentu. Pemeringkatan rating dilakukan untuk
memperkirakan kemampuan dari penerbit obligasi untuk membayar bunga dan

33

pokok utang berdasarkan analisis keuangan dan kemampuan membayar kredit.


Semakin tinggi tingkat rating, maka hal tersebut menunjukkan tingginya
kemampuan penerbit obligasi untuk membayar utangnya (Manurung et al., 2009).
Obligasi yang diperdagangkan diperingkat oleh lembaga pemeringkat
independen. Di indonesia terdapat dua lembaga pemeringkat obligasi yaitu PT
Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia) dan PT Kasnic Credit Rating Indonesia.
Kedua lembaga tersebut mempunyai kegiatan menganalisa kekuatan posisi
keuangan dari perusahaan penerbit obligasi. Berikut adalah definisi peringkat
obligasi yang dikeluarkan oleh PT Pefindo.

Tabel 2.3 Definisi Peringkat Obligasi PT Pefindo


Obligasi idAAA merupakan obligasi dengan peringkat paling
idAAA

tinggi. Obligor memiliki kapasitas yang superior, yaitu dalam


kemampuan memenuhi kewajiban jangka panjangnya jika
dibandingkan obligor Indonesia lainnya.
Obligasi dengan peringkat

idAA

perbedaan dengan obligasi

idAA

hanya memiliki sedikit

idAAA.

Dalam pemenuhan

kewajiban keuangan jangka panjang, obligor memiliki


kapasitas sangat kuat (very strong).
Obligasi

idA

idA

mengindikasikan bahwa obligornya memiliki

kapasitas yang kuat (strong) dalam memenuhi kewajiban


keuangan jangka panjang dan mudah terkena dampak
perubahan ekonomi.
Obligor yang memiliki peringkat idBBB memiliki kapasitas

idBBB

yang cukup memadai (adequate) dalam memenuhi kewajiban


keuangan jangka panjang, tetapi lebih mudah terpengaruh
oleh perubahan kondisi perekonomian.

34

Obligasi dengan peringkat

idBB

memiliki kapasitas yang

relatif agak lemah (somewhat weak) dalam pemenuhan


idBB

kewajiban keuangan jangka panjang. Obligor sangat rentan


terpengaruh kondisi ekonomi yang tidak menentu dan dapat
memperlemah kapasitas pemenuhan kewajiban keuangan.
Obligasi

idB

idB

memiliki kapasitas yang lemah (weak), akan

tetapi masih dapat memenuhi kewajiban keuangan jangka


panjangnya. Kapasitas obligor

idB

dapat diperlemah oleh

perubahan kondisi bisnis dan perekonomian.


Obligasi dengan peringkat idCCC sangat rentan (vulnerable)
idCCC

untuk tidak melakukan pembayaran kewajiban keuangan


jangka panjang, dan mudah terpengaruh kepada kondisi bisnis
dan perekonomian.
Obligasi diberikan peringkat idD apabila telah terjadi gagal

idD

bayar (default) dan otomatis diberikan pada saat obligor


pertama kali gagal bayar kewajiban finansial jangka
panjangnya.

Sumber: www.pefindo.com

Peringkat dari idAA hingga idB dapat dimodifikasi dengan penambahan


plus (+) atau minus (-). Tanda plus (+) ataupun minus (-) digunakan untuk
menunjukkan kekuatan relatif dari kategori peringkat (www.pefindo.com).
Agen pemeringkat berfungsi sebagai perantara informasi dan berperan
dalam memperbaiki efisiensi pasar modal dengan meningkatkan transparansi
sekuritas, sehingga dapat mengurangi asimetri informasi antara investor dan
penerbit obligasi. Jasa ini sangat bernilai bagi investor kecil yang menghadapi
tingginya biaya (relatif terhadap investasinya) dalam menilai creditworthiness

35

obligasi. Oleh karena itu agen pemeringkat menyediakan jasa yang lebih efisien
(Beaver et al., 2004).
Investor

bisa

menentukan

kualitas

dari

suatu

obligasi

dengan

memperhatikan peringkat yang dikeluarkan lembaga-lembaga tersebut. Rating


obligasi bisa membantu investor dalam mengukur tingkat risiko dari suatu
obligasi. Semakin tinggi rating sebuah obligasi maka semakin aman pula obligasi
tersebut. Sebaliknya, semakin rendah peringkatnya, maka semakin tinggi risiko
suatu obligasi. Rating atau peringkat, merupakan sebuah pernyataan tentang
keadaan penghutang dan kemungkinan apa yang bisa dan akan dilakukan
sehubungan utang yang dimiliki, sehingga dapat dikatakan bahwa rating mencoba
mengukur risiko default, emiten atau peminjam akan mengalami kondisi tidak
mampu memenuhi kewajiban keuangannya. Dengan mengetahui peringkat
obligasi investor dapat mengukur risiko/kemungkinan dari penerbit obligasi tidak
dapat melakukan pembayaran kupon dan atau pokok obligasi tepat waktu atau
yang disebut dengan default risk (Bursa Efek Indonesia).

36

2.1.6 Leverage
Struktur keuangan perusahaan memiliki kaitan yang erat dengan informasi
keuangan yang akan disampaikan kepada penyedia dana. Struktur ini juga
mencakup leverage. Leverage dalam Van Horne (2007) adalah penggunaan biaya
tetap dalam usaha untuk meningkatkan profitabilitas. Leverage merupakan pedang
bermata dua menurut Van Horne (2007) yang mana jika laba perusahaan dapat
diperbesar, maka begitu pula dengan kerugiannya. Dengan kata lain, penggunaan
leverage dalam perusahaan bisa saja meningkatkan laba perusahaan, tetapi bila
terjadi sesuatu yang tidak sesuai harapan, maka perusahaan dapat mengalami
kerugian yang sama dengan persentase laba yang diharapkan, bahkan mungkin
saja lebih besar. Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai
dengan hutang. Hutang yang digunakan untuk membiayai aktiva berasal dari
kreditur, bukan dari pemegang saham maupun investor (Sudarmaji dan Sularto,
2007).
Leverage dalam konteks bisnis terdiri atas dua macam yaitu leverage
operasional (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Van
Horne (2007) juga menyatakan bahwa leverage ini menjadi tahapan dalam proses
pembesaran laba perusahaan. Sebagai tahap pertama yaitu leverage operasional,
yang akan memperbesar pengaruh perubahan dalam penjualan atas perubahan laba
operasional. Dalam tahap kedua, manajer keuangan memiliki pilihan untuk
menggunakan leverage keuangan agar dapat makin memperbesar pengaruh
perubahan apa pun yang dihasilkan dalam laba operasional atas perubahan EPS
(Earnings Per Share).

37

Leverage keuangan digunakan dengan harapan dapat meningkatkan


pengembalian ke para pemegang saham biasa. Leverage yang menguntungkan
(favourable) atau positif terjadi jika perusahaan dapat menghasilkan pendapatan
yang lebih tinggi dengan menggunakan dana yang didapat dalam bentuk biaya
tetap tersebut (dana yang didapat dengan menerbitkan utang bersuku bunga tetap
atau saham preferen dengan tingkat dividen yang konstan) daripada biaya
pendanaan tetap yang harus dibayar, berapa pun laba yang tersisa setelah
pemenuhan biaya pendanaan tetap, akan menjadi milik para pemegang saham
biasa. Leverage yang tidak menguntungkan (unfavourable) atau negatif terjadi
ketika perusahaan tidak memiliki hasil sebanyak biaya pendanaan tetapnya (Van
Horne, 2007).

38

2.2 Rumusan Hipotesis


2.2.1 Pengaruh peringkat obligasi pada manajemen Laba
Penelitian Caton et al. (2008) dalam Kartika Sari (2011) menunjukan
bahwa issuer melakukan window dressing pada kinerja sebelumnya sampai saat
penerbitan. Peningkatan peringkat obligasi merupakan kondisi yang penting dari
upaya manajemen laba untuk menyesatkan lembaga pemeringkat dan pasar. Hal
ini menunjukan adanya peningkatan pengelolaan laba pada periode setelah
penurunan dengan mengelola laba secara agresif terkait informasi yang disoroti.
Penelitian Ashbaugh-Skaite et al. (2006) yang menemukan bukti bahwa peringkat
obligasi secara signifikan berhubungan terhadap pelaporan laba.
Berdasarkan penjelasan di atas yang telah didukung oleh beberapa
penelitian sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang digunakan adalah :
H1 : Peringkat obligasi berpengaruh pada manajemen laba

2.2.2 Pengaruh leverage pada manajemen laba


Besarnya tingkat hutang perusahaan (leverage) dapat mempengaruhi
tindakan manajemen laba. Menurut Husnan (2001) menyatakan bahwa leverage
yang tinggi yang disebabkan kesalahan manajemen dalam mengelola keuangan
perusahaan atau penerapan strategi yang kurang tepat dari pihak manajemen.
Mengacu pada hipotesis yang melatarbelakangi tindakan manajemen laba
yaitu debt covenanant hypotesis yang menyatakan bahwa jika suatu perusahaan
menyimpang perjanjian hutang yang telah dibuat berdasarkan laba akuntansi,
maka semakin besar kemungkinan manajemen perusahaan memilih prosedur

39

akuntansi yang menggeser laba akuntansi dari periode mendatang ke periode


sekarang (Watt dan Zimmerman,1986).
Sweeney (dalam Veronica dan Bachtiar, 2004) manajemen perusahaan
melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk meningkatkan laba bersih
perusahaan sebelum ditemukan pelanggaran perjanjian hutang. Penelitian Astuti
(2004) menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap praktik
manajemen laba. Hasil Penelitian Indrayani (2009) dan Nurlatifiyanti (2008)
leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, Hasil penelitian yang
dilakukan Indriani (2010), juga menyatakan bahwa leverage tidak berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba. Sehingga, berdasarkan penelitian ini
leverage berpengaruh negatif pada manajemen laba. Dengan demikian maka
hipotesis yang dapat dikembangkan yaitu :
H2 : Leverage berpengaruh pada manajemen laba

2.2.3 Pengaruh good corporate governance pada hubungan antara peringkat


obligasi dan manajemen laba
Penelitian Bhojraj dan Sengupta (2003) dalam Nasarud (2010:21)
dikatakan bahwa corporate governance mempunyai hubungan positif dengan
peringkat obligasi dan berhubungan negatif dengan yield obligasi. Mekanisme CG
dapat mengurangi resiko gagal bayar (default risk) dengan cara mengurangi biaya
agensi (agency cost) yaitu dengan memonitor kinerja manajemen dan mengurangi
asimetri informasi antara perusahaan dengan kreditur. Mereka juga menemukan
bahwa perusahaan dengan kepemilikan institusional dan komposisi komisaris
independen yang besar memiliki peringkat surat utang yang tinggi dan bond yield

40

yang rendah. Adanya GCG dalam hubungan peringkat obligasi dengan


manajemen laba membuat manajemen tersebut akan memberikan pengaruh pada
manajemen sehingga tingkat rating peringkat obligasi tersebut rendah dengan itu
kurangnya kepercayaan dan meminimalkan minat investor kepada perusahaan
tersebut.
Penelitian yang dilakukan Sunarjanto dan Tulasi (2010) dalam Jelita
(2014) penelitian ini memberikan hasil bahwa corporate governance tidak
berpengaruh terhadap peringkat obligasi dengan sampel perusahaan consumer
goods periode 2007-2009 dengan analisis multiple logistic regression.
Berdasarkan penjelasan di atas yang telah didukung oleh beberapa
penelitian sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang digunakan adalah :
H3 : Good corporate governance mempengaruhi hubungan antara peringkat
obligasi dan manajemen laba.
2.2.4 Pengaruh good corporate governance pada hubungan antara leverage
dan manajemen laba
Semakin banyaknya hutang maka manajemen harus dapat lebih
meyakinkan pihak kreditur bahwa perusahaan tetap dapat mengembalikan pokok
pinjaman beserta bunganya. Leverage yang tinggi akan berpengaruh dengan nilai
pembiayaan yang juga tinggi dengan maksud untuk mempertahankan kinerja
keuangan perusahaan dalam jangka panjang, dengan mempertahankan kinerja
perusahaan tersebut, diharapkan kreditur juga akan tetap memiliki kepercayaan
terhadap manajemen perusahaan (Subhan, 2011). Hal ini menyebabkan
perusahaan meminjam dana pada pihak lain sehingga jalannya perusahaan

41

sebagian besar didanai oleh hutang. Kurangnya pengawasan yang menyebabkan


leverage yang tinggi, juga akan meningkatkan tindakan oppurtunistic seperti
manajemen laba untuk mempertahankan kinerjanya di mata pemegang saham dan
publik. Dengan leverage yang tinggi ini menandakan kurangnya tata kelola
perusahaan yang baik, untuk itu diperlukan pengendalian tata kelola perusahaan
yang disebut good corporate governance. Adanya penerapan GCG ini diharapkan
mampu menurunkan tingkat leverage yang tinggi dan meminimalisir adanya
tindakan manajemen laba.
Penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara indikator-indikator good corporate
governance dengan manajemen laba dan penelitian yang dilakukan oleh
Widyaningdyah (2001) menyimpulkan bahwa leverage berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba.
Berdasarkan penjelasan di atas yang telah didukung oleh beberapa
penelitian sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang digunakan adalah :
H4 : Good corporate governance mempengaruhi hubungan antara leverage
dan manajemen laba.

42

Anda mungkin juga menyukai