Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoiesis, oleh karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin yang berkurang. Anemia defisiensi besi ini adalah
anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik,
Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia. Hasil
survai rumah tangga tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah
menderita ADB. Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi
antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang
terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. Oleh karena itu masalah ini
memerlukan cara penanganan dan pencegahan yang tepat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
adanya gejala pucat menahun tanpa disertai perdarahan maupun organomali. Pemeriksaan darah
tepi menunjukkan anemia mikrositer hipokrom, sedangkan jumlah leukosit, trombosit dan hitung
jenis normal. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan kadar besi dalam serum. Pemberian
preparat besi secara selama 3-5 bulan ditujukan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan
persediaan besi di dalam tubuh ke keadaan normal. Mencari dan mengatasi penyebab merupakan
hal yang penting untuk mencegah kekambuhan. Antisipasi harus di lakukan sejak pasien dalam
stadium I (stadium deplesi besi) dan stadium II (stadium kekurangan besi). Dianjurkan pula
untuk memberikan preparat besi pada individu dengan risiko tinggi untuk terjadinya ADB antara
lain untuk individu dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah.

B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan laporan ini diharapkan mahasiswa :


1. Mengetahui definisi dari ADB
2. Mengetahui etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan komplikasi dari anemia defisiensi
besi.
3. Mengetahui dasar penegakkan diagnosis dan tata laksana anemia defisiensi besi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh
penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan
konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.

Gambar 2.1. Diagram Hubungan Antara Defisiensi Besi, Anemia Defisiensi Besi, dan Anemia
(sumber: Adaptasi dari Yip R. Iron Nutritional Status Defined. In: Filer IJ, ed. Dietary Iron:
Birth To Two Years. New York, Raven Press, 1989:19-36; World Health Organization, 2001).

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis
hemoglobin dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan
masalah kesehatan yang paling besar diseluruh dunia terutama di Negara sedang berkembang
termasuk Indonesia.
Dari hasil SKRT 1992 diperoleh prevalensi ADB pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%.
Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan
hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh
kembang yang terlambat dan gangguan fungsi imun pada anak.
Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak sekolah dan masa
remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah,
penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang.

B. ETIOLOGI
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta
kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :

Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis,
hemoroid, dan infeksi cacing tambang.

Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia.

Saluran kemih : hematuria

Saluran napas : hemoptoe.

2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah
daging).
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan
kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab
utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di
negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling
sering karena menormetrorhagia.

Penyebab Anemia Defisiensi Menurut Umur


1. Bayi di bawah umur 1 tahun
o Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir kembar.
2. Anak berumur 1-2 tahun
o Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan (hanya
minum susu)
o Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
o Malabsorbsi
o Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
divertikulum Meckeli.
3. Anak berumur 2-5 tahun
o Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme
o Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun.
o Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
divertikulum Meckeli.
4. Anak berumur 5 tahun masa remaja

o Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
poliposis.
5. Usia remaja dewasa
o Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.

C. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah
ADB dan terutama mengenai bayi,anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih
merupakan masalah gizi utama selain kekurangaan kalori protein, vitamin A dan yodium.
Penelitian diIndonesia mendapatkan prevalensI ADB pada anak balita sekita 30-40%, pada anak sekolah
25-35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 55,5%. ADB mempunyai
dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan
daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi
belajar disekolah.

D. PATOGENESIS
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat
akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.

Gambar 2.5. Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C., 1999. Disorders of
iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap
deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.
Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan
kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan
reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis
semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun (Tabel 1.2). Akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).
Tabel 1.1 Distribusi normal komponen besi pada pria dan wanita (mg/kg)

Tabel 1.2. Perbandingan tahap keseimbangan zat besi yang negative

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 1998. Recommendations to Prevent and
Control Iron Deficiency in the United States. Morb Mortal Wkly Rep; 47: 1-36.

E. MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala Umum Anemia


Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada
anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan
lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta,
2006). Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejalagejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.

2. Gejala Khas Defisiensi Besi


Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain
adalah:
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan
menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
1). Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan yang cepat,
menstruasi, dan infeksi kronis
b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak adekuat malabsorpsi
besi
c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis
ulserativa)
2). Pucat, lemah, lesu, gejala pika
2. Pemeriksaan fisis
a. anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
b. stomatitis angularis, atrofi papil lidah
c. ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
3. Pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
9

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang
beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan
Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan
minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin
parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi
yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan
membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl
dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg
dan makrositik > 31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin
dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan
pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.
4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru,
dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak
kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan
10

zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah
bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan
apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
5. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah
dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP
adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap
variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik
klinis masih jarang.
6. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis
sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah
maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi.
Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang
spesifik.
7. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum
transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator
yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit
peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan
11

indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat
besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan
besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan
populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti
kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan
zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang
benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk
usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria,
yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada
dekade kedua, dan tetap stabil atau naik
secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan
mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan
penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara
dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan
suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi,
keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay
immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
B. Pemeriksaan sumsum tulang
aktifitas eritropoitik meningkat Akibat anemia Defisiensi Besi Akibat-kibat yang merugikan
kesehatan pada individu yang menderita anemi gizi besi adalah :
1. Bagi bayi dan anak (0-9 tahun)
a. Gangguan perkembangan motorik dan koordinasi.
12

b.

Gangguan perkembangan dan kemampuan belajar.

c. Gangguan pada psikologis dan perilaku


2. Remaja (10-19 tahun)
a. Gangguan kemampuan belajar
b. Penurunan kemampuan bekerja dan aktivitas fisik
c. Dampak negatif terhadap system pertahanan tubuh dalam melawan penyakit
infeksi
3.Orang dewasa pria dan wanita
a. Penurunan kerja fisik dan pendapatan.
b. Penurunan daya tahan terhadap keletihan
4.Wanita hamil
a. Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu
b. Peningkatan angka kesakitan dan kematian janin
c. Peningkatan resiko janin dengan berat badan lahir rendah

G. PENATALAKSANAAN
Upaya yang dilakukan dalam pencegahan dan penanggulangan anemia adalah :
a. Suplementasi tabet Fe
b. Fortifikasi makanan dengan besi
c. Mengubah kebiasaan pola makanan dengan menambahkan konsumsi pangan yang
memudahkan absorbsi besi seperti menambahkan vitamin C.
d. Penurunan kehilangan besi dengan pemberantasan cacing.Dalam upaya mencegah dan
menanggulangi anemia adalah dengan mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti
dari berbagai penelitian bahwa suplementasi, zat besi dapat meningkatkan kadar
Hemoglobin.
e. Pengobatan Anemia Defisiensi Besi Sejak tahun 1997 pemerintah telah merintis langkah
baru dalam mencegah dan menanggulangi anemia, salah satu pilihannya adalah
mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti dari berbagai peneltian bahwa
suplemen zat besi dapat meningkatkan hemoglobin.
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi
Dapat dilakukan antara lain dengan cara:
13

a. Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan Mengkonsumsi pangan hewani dalam
jumlah cukup. Namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit
menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi
besi. Memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi
termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C.
Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan
penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber
vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak.Mengurangi
konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat,
tannin.
b. Suplementasi zat besi Pemberian suplemen besi menguntungkan karena dapat
memperbaiki status hemoglobin dalam waktu yang relatif singkat. Di Indonesia pil besi
yang umum digunakan dalam suplementasi zat besi adalah frrous sulfat.
Pemantauan
Terapi
a. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu
b. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
c. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastrointestinal
misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain
dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
Tumbuh Kembang
a. Penimbangan berat badan setiap bulan
b. Perubahan tingkah laku
c. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke
ahli psikologi
d. Aktifitas motorik

14

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki zat besi yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena kurangnya zat besi
merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan
yang paling besar diseluruh dunia terutama di Negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah
ADB dan terutama mengenai bayi,anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Defisiensi zat besi
terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen tersebut melampaui kecepatan
asimilasinya.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Perdarahan menahun yang
menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh
sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut
keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini
ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Gejala khas ADB adalah Koilonychia, Atrofi
papil lidah, Stomatitis angularis (cheilosis), Disfagia.

Saran

15

Kita sebagai tenaga medis,harus mampu dalam menganalisa dan mengdiagnosa keadaan
pasien,agar mampu memilih tindakan apa yang akan dilakukan.

16

Anda mungkin juga menyukai