Anda di halaman 1dari 17

J/17THN/LAKI-LAKI DATANG KE UGD RS ERNALDI BAHAR DENGAN KELUHAN

UTAMA KAKU SELURUH TUBUH


Dokter Jaga IGD: dr. Seiska Mega
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. J

Tempat/ tgl lahir

: 17 November 1999

Suku

: Komering

Agama

: Islam

Status pernikahan

: Belum menikah

Pendidikan terakhir : SD
Alamat

: Prabumulih

MRS

: 29 Desember 2016 pukul 10.25 WIB

Penanggung Jawab : Hopandi


Hubungan

: Kakak Misan

Alamat

: Prabumulih

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama:
Kaku Seluruh Tubuh
2. Riwayat Perjalanan Penyakit:
Alloanamnesis:
5 jam SMRS, pasien tiba-tiba tidak bisa berjalan, seluruh tubuh pasien kaku, mengeluh
sulit menelan makanan, banyak keluar air liur, gemetaran, dan sulit menggerakkan
tangan dan kaki. Pasien hanya minum kopi manis banyaknya 1 gelas.
10 jam SMRS, pasien hanya dapat memakan nasi sebanyak 1 sendok makan.
Sebelumnya pasien makan seperti biasa. BAK dan BAB seperti biasa.
3 hari SMRS, pasien mulai tidak bisa tidur, berjalan seperti robot, pandangan mata
lurus ke depan, sulit menoleh, gemetar, gerakan sendi tubuh terbatas. Pasien masih dapat
mengurus diri. Selama ini, pasien tinggal bersama nenek pasien.
Autoanamnesis:
Pasien sulit berbicara, mengeluhkan seluruh badannya kaku, nafas sedikit sesak, sendi
terasa sakit saat digerakkan tapi pasien masih dapat menggerakkan jari tangan dan kaki

ketika diperintah. Kadang-kadang pasien gemetaran yang tidak bisa dihentikan,


mengaku banyak air liur sehingga mau berludah terus.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat kaku sebelumnya disangkal
- Riwayat Pengobatan:
Pasien dirawatinapkan pada tanggal 18 Agustus 2016 dengan keluhan utama
mengamuk yang semakin berat sejak 2 minggu SMRS. Sejak 2 tahun SMRS pasien
mulai berubah perilaku menjadi lebih sering bicara sendiri dan tertawa tanpa sebab
sejak Ibu dan Bapak pasien meninggal. Pasien didiagnosis gangguan mental perilaku
akibat penyalahgunaan zat dan diagnosis banding Skizofrenia tak terinci. Pasien
mendapat tatalaksana awal:
o Injeksi Diazepam 1 ampul IM
o Injeksi Haloperidol 1 ampul IM
o Chlorpromazin 1x50mg
o Haloperidol 2x2,5mg
o Trihexyphenidil 2x2mg
Pasien pulang tanggal 1 Oktober dengan tidak ada keluhan, diagnosis skizofrenia
paranoid, dan dibekali Risperidon 2x2mg, Trihexyphenidil 2x2mg, Haloperidol
2x5mg dan Diazepam 1x2,5mg untuk 1 minggu.
Kemudian pasien kontrol after care pada tanggal 13 Oktober dengan tidak ada
keluhan, diagnosis skizofrenia paranoid dan mendapat obat Risperidon 2x2mg,
Trihexyphenidil 2x2mg, Haloperidol 2x5mg dan Diazepam 1x2,5mg.
Riwayat berobat terakhir di Poli Jiwa pada tanggal 19 November 2016 dengan tidak
ada keluhan, diagnosis skizofrenia paranoid dan mendapatkan obat Risperidon
2x2mg, Trihexyphenidil 2x2mg, dan Haloperidol 2x5mg. Pasien mendapat obat
untuk 1 bulan. Pasien mengaku terakhir minum obat tanpa obat berwarna putih pada
pukul 19.00 tanggal 28 Desember 2016. Pasien kurang teratur minum obat.
-

Riwayat Napza dan alkohol:


o Menghisap lem aibon kurang lebih satu tahun yang lalu
o Menghisap ganja kurang lebih satu tahun yang lalu
o Minum minuman beralkohol terakhir kurang lebih satu tahun yang lalu
Riwayat merokok 1-2 batang/hari
Riwayat kejang disangkal
Riwayat pingsan sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit kronis lain seperti hipertensi, diabetes, asma, dan lain-lain
disangkal.

- Riwayat alergi baik obat maupun makanan disangkal.


4. Riwayat Penyakit Pada Keluarga
- Riwayat gangguan jiwa pada keluarga disangkal.
- Riwayat Diabetes Melitus pada ibu pasien.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tidak bekerja, selama ini tinggal dengan nenek os. Kesan ekonomi kurang.
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Interna:
KU
: Tampak sakit sedang
Sensorium
: Compos mentis
Tekanan Darah
: 139/84 mmHg
Nafas
: 24 x/m, reguler, penggunaan otot nafas tambahan (-), dangkal.
Nadi
Temperatur
Kepala

SpO2 96% O2 5l/m SpO2 100%.


: 90 x/m, isi dan tegangan cukup
: 37,6OC
: Sklera ikterik -/-, Konjungtiva palpebra pucat -/-, krisis

Leher
Thorax

okulogirik -/: JVP (5-2)cmHg, KGB dbn, muscular spasm


: cor (BJ I/II + N, murmur -, gallop -); Pulmo (Vesikular +N,

rhonki -/-, wheezing -/-), turgor baik


Abdomen
: Bising usus (+)N.
Ekstremitas
: edema -/-, akral hangat, CRT <2det
2. Status Neurologi:
Sens
: GCS 15 (E4V5M6)
Pupil
: bulat, isokor, diameter 3mm, RC +/+
GRM
: kaku kuduk (-)
R. patologis
: R. Babinski (-)
Motorik
: rigiditas (+), tremor (+)
Nn. Craniales
: dalam batas normal
3. Status Psikiatrikus:
- Deskripsi Umum
o Penampilan : Tampak seorang pria berusia 17 tahun, wajah sesuai umur.
Memakai baju kaos lengan pendek warna merah dan celana panjang
berwarna hitam. Rambut cepak warna hitam.
o Kesadaran : Compos mentis, kontak adekuat
o Perilaku dan aktivitas psikomotor : Tremor, rigiditas, bradikinesia
o Pembicaraan : agak lambat, kurang lancar, dan kurang jelas
o Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
-

Keadaan Afektif, Perasaan, dan Empati:

o Mood

: Eutimik

o Afek

:Tumpul

o Keserasian : Serasi
o Empati
-

: Dapat diraba-rasakan

Fungsi Intelektual (kognitif)


o Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan : Sulit dinilai
o Daya konsentrasi : sulit dinilai
o Orientasi

: pasien masih tahu tempat, waktu dan orang

Waktu

: Baik

Tempat

: Baik

Orang

: Baik

Daya ingat : baik

Gangguan Persepsi
o Halusinasi visual

: disangkal

o Halusinasi auditorik: disangkal

o Ilusi

: tidak ada

o Depersonalisasi

: tidak ada

o Derealisasi

: tidak ada

Proses Berpikir
o Produktivitas

: Kurang

o Kontiniuitas

: Relevan

o Hendaya berbahasa

: Tidak ada

Isi pikiran :
o Preokupasi

: tidak ada

o Gangguan isi pikiran

: tidak ada

Pengendalian Impuls : cukup

Tilikan (insight) : derajat 6 (sadar bahwa dirinya sakit dan perlu pengobatan)

Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya

PANSS EC: 10

Gaduh gelisah: 2 (Minimal. Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal)
Permusuhan: 1 (Definisi tidak terpenuhi)
Ketegangan: 3 (Postur dan gerakan-gerakan menunjukkan kekhawatiran ringan
seperti rigiditas yang ringan, ketidaktenangan yang sekali-sekali, perubahan posisi
atau tremor tangan yang halus dan cepat).
Ketidakkooperatifan: 2 (Minimal. Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim
dari batasan normal)
Pengendalian impuls yang buruk: 2 (Minimal. Patologis diragukan; mungkin suatu
ujung ekstrim dari batasan normal)

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hemoglobin
: 14,4 gr%
Leukosit
: 8.440 mm3
Laju endap darah
: 5 mm/jam
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Stab/Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
Gula darah sewaktu
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT

:0
:0
:0
: 51
: 20
: 29
: 40%
: 284.000 mm3
: 4,4 juta/mm3
: 96 mg/dL
: 26 mg/dL
: 1,0 mg/dL
: 25 U/L
: 15 U/L

V. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Diagnosis aksis I: Skizofrenia Paranoid
Diagnosis aksis II: Tidak ada diagnosis
Diagnosis aksis III: Sindrom Ekstrapiramidal e.c. Antipsikotik
Diagnosis aksis IV: Masalah psikososial (orang tua pasien meninggal)

Diagnosis aksis V: GAF Scale pasien saat ini adalah 50-41 = beberapa gejala berat (serious),
disabilitas berat.

VI.TATALAKSANA
- Injeksi Diphenhydramin 20mg/2ml IM
- IVFD RL:NaCl=1:1 gtt XV/mnt
- O2 via kanul nasal 5 l/m
- Risperidon 2x2mg
- Trihexyphenidil 2x2mg
- Observasi ketat per 30 menit
- Konsul SpKJ
VII. FOLLOW UP
Tanggal
Follow up
29 Desember 2016 S: Pasien melepas infus dan selang oksigen, jalan mondar-mandir di ruangan,
pukul 16.30

mengatakan ingin pulang, kaku berkurang.


O: CM, TD:130/85, N: 96 x/m, RR: 22x/m, T: 36,8oC. Kontak (+) adekuat, cukup
kooperatif
A: Sindrom ekstrapiramidal ec. Antipsikotik + Skizofrenia paranoid

1 Januari 2017

P: Observasi intake per oral, monitoring TTV


S: Pasien mengatakan sudah lebih baik, os agak sedikit meriang, mengatakan ingin
pulang, kaku (-).
O: CM, TD:120/80, N: 88 x/m, RR: 20x/m, T: 36,7 oC CM, kontak (+) adekuat,
kooperatif, halusinasi saat ini tidak ada, verbal spontan lancar dan jelas, eutimik,
emosi stabil, impuls terkendali, koheren. Tremor (-), rigid (-), hipersalivasi (-).
A: Sindrom Ekstrapiramidal ec. Antipsikotik + skizofrenia paranoid dengan
perbaikan
P: Observasi KU, TTV, dan intake per oral
Risperidon 2x2mg

2 Januari 2017

Trihexyphenidil 2x2mg
S: Kaku (-), gemetar (-), pasien mengatakan ada suara yang menyuruh jaga malam
O: CM, TD:120/80, N: 86 x/m, RR: 22x/m, T: 36,6 oC, CM, kontak (+) adekuat,
kooperatif, halusinasi akustik (+).
A: Sindrom Ekstrapiramidal ec. Antipsikotik + skizofrenia paranoid dengan
perbaikan

P: Terapi teruskan

ANALISIS KASUS
Obat antipsikotik generasi pertama mempunyai keterbatasan, berupa efek samping
ekstrapiramidal (EPS), misalnya parkinsonisme, diskinesia, akatisia, dan distonia yang sangat
mengganggu. EPS dapat muncul sejak awal pemberian obat antipsikotik tergantung dari
besarnya dosis. Untuk mengatasi EPS dapat diberikan obat antikolinergik, misalnya sulfas
atrofin, difenhidramin, dan triheksifenidil.
Dalam kasus ini, seorang laki-laki berumur 17 tahun mengeluh kaku seluruh tubuh yang
memberat sejak 5 jam SMRS, gejala mulai dirasakan sejak 3 hari SMRS. Pasien juga
mengeluhkan adanya air ludah yang keluar berlebihan, gemetaran, berjalan seperti robot, dan
kaku. Pasien sebelumnya sudah pernah menjalani rawat inap di RS Ernaldi Bahar sekitar 4 bulan
yang lalu selama 45 hari. Selama dirawat pasien mendapatkan terapi antipsikotik, setelah pulang
pasien kontrol di Poli Jiwa walaupun terlambat. Sebelumnya pasien belum pernah mengeluhkan
gejala seperti ini. Parien memiliki riwayat narkoba dan alkohol yang diketahui terakhir 1 tahun
yang lalu namun pasien menyangkal pernah menggunakan narkoba. Riwayat narkoba akhir-akhir
ini tidak diketahui. Pasien merupakan pasien JAMSOSKES. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
nafas pada batas atas normal, tampak dangkal namun tidak ada usaha otot tambahan nafas, SpO 2
96%, sehingga pasien diberikan O2 sebanyak 5 l/m dan SpO2 meningkat menjadi 100%. Pasien
juga menunjukkan gejala seperti tremor (gerakan ritmik 3-5 kali/detik, saat istirahat, terutama di
jari, lengan, dan dagu), hipersalivasi dan rigiditas (peningkatan tonus otot terhadap gerakan
pasif). Pasien mengaku terakhir minum obat tanpa obat berwarna putih pada pukul 19.00 tanggal
28 Desember 2016.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat disimpulkan bahwa pasien saat ini mengalami
Sindrom Ekstrapiramidal ec. Antipsikotik. Pasien ditatalaksana dengan pemberian Difenhidramin
2 ampul (10mg/ml per ampul) intramuskular, gejala berkurang setelah lebih kurang 6 jam setelah
injeksi. Pasien diberikan IVFD RL:NaCl=1:1 untuk maintain cairan karena intake kurang dan
maintain elektrolit. Kemudian 6 jam setelah MRS, pasien melepas selang infus dan oksigen.
Pasien mengatakan mau pulang. KU dan vital sign stabil. Pasien diberikan antipsikotik berupa
Risperidon 2x2 mg dan antikolinergik triheksifenidil 2x2mg. Pasien mengeluhkan ada suara
tanpa sumber yang menyuruh os jaga malam yang merupakan gejala skizofrenia paranoid yang

terlebih dahulu pasien alami. Risperidon dipilih karena efek sampingnya lebih ringan
sebagaimana ditunjukkan oleh tabel berikut.

Dan triheksifenidil dipilih karena berdasarkan konsensus WHO tahun 1990 menetapkan
penggunaan triheksifenidil dalam mengatasi EPS.

EPS ditandai dengan distonia, parkinsonisme, akathisia, rabbit syndrome (jarang), dan diskinesia
tardive. Distonia ditandai dengan adanya spasme otot involunter yang meliputi krisis okulogirik,
protrusi lidah, trismus, tortikolis, kontriksi laring-faring, atau posisi aneh badan dan anggota
gerak. Kadang-kadang gejala ini didiagnosis hysteria atau malingering. Parkinsonisme yang
disebabkan oleh antipsikotik meliputi trias parkinson yaitu termor, rigiditas, dan bradikinesia.
Tremor yang terjadi terutama pada saat istirahat. Rigiditas diperiksa adanya peningkatan tonus
saat pemeriksaan motorik. Bradikinesia merupakan penurunan aktivitas spontan motor seperti
ekspresi wajah, penurunan gerakan saat berjalan dan menggerakkan anggota tubuh. Jika salah
satu saja gejala sudah muncul maka sudah cukup untuk diagnosis parkinsonisme yang
disebabkan obat.Akathisisa adalah perasaan subjektif dan atau tanda objektif dari kegelisahan.
Manifestasi motorik yang tampak adalah aktivitas repetitif yang tidak bertujuan. Rabbit
syndrome adalah gerakan ritmik pada bibir dan perioral. Diskinesia tardive adalah gerakan
abnormal yang lambat, biasanya bermanifestasi sebagai gerakan mengunyah, terkadang protusi
lidah, mengecapkan bibir, gerakan choreiformis minor dari jari dan jempol dan kadang juga pada
ekstremitas besar dan badan.

SINDROMA EKSTRAPIRAMIDAL
BATASAN/DEFINISI
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak
bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari
sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari
pons dan medulla dan di target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks,
gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Istilah gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok
atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau
panjang dari medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak
gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas,
tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal). Namun,
nama ini agak menyesatkan karena beberapa gejala (contohnya akatisia)

kemungkinan sama sekali tidak merupakan masalah motorik. Beberapa gejala


ekstrapiramidal dapat ditemukan bersamaan pada seorang pasien dan saling
menutupi satu dengan yang lainnya. Gejala Ektrapiramidal merupakan efek
samping yang sering terjadi pada pemberian obat antipsikotik. Antipsikotik
adalah obat yang digunakan untuk mengobati kelainan psikotik seperti
skizofrenia dan gangguan skizoafektif.
ETIOLOGI
Sindroma ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang
menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan
dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala
ekstrapiramidalnya sebagai berikut :
Antipsikosis

Chlorpromazine
Thioridazine

Dosis (mg/hr)

Gej. ekstrapiramidal

150-1600

++

100-900

8-48

+++

5-60

+++

5-60

+++

2-100

++++

2-6

++

25-100

75-100

200-1600

2-9

50-400

Perphenazine
trifluoperazine
Fluphenazine
Haloperidol
Pimozide
Clozapine
Zotepine
Sulpride
Risperidon
Quetapine

Olanzapine

10-20

Aripiprazole

10-20

PATOFISIOLOGI
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum ,globus palidus, inti-inti
talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang
otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6
dan area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain
oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan
yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum
merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka
lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal
utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan
segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan
korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus
dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah
diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan
hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan
korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan
ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani
sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik.
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratumglobus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan
yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan
akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari
striatum-subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transimisi dopaminergik di ganglia basalis.
Beberapa neuroleptik (contoh haloperidol, fluphenazine) merupaka inhibitor
dopamine ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya
menyebabkan efek samping EPS yang lebih menonjol.
GEJALA KLINIS

a.

Akut

Efek samping muncul setelah pemakaian obat antipsikotik dalam hitungan hari
sampai minggu.
1.

Parkinsonism yang diinduksi obat

Sindrom parkinsonism timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering
terjadi pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia,
dosis obat, riwayat parkinsonism sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Manifestasi klinis yaitu gerakan spontan yang menurun (bradikinesia),
meningkatkan tonus otot (muscular rigidity) dan resting tremor.
2. Distonia
Distonia adalah kontraksi otot yang singkat atau lama, biasanya menyebabkan
gerakan atau postur yang abnormal, termasuk krisis okulorigik, prostrusi
lidah, trismus, tortikolis, distonia laring-faring, dan postur distonik pada anggota
gerak dan batang tubuh.
Distonia lebih banyak diakibatkan oleh APG I terutama yang mempunyai potensi
tinggi, dan umumnya terjadi di awal pengobatan (beberapa jam sampai
beberapa hari pengobatan) atau pada peningkatan dosis secara bermakna.
Gejala distonia berupa gerakan distonik yang disebabkan oleh kontraksi atau
spasme otot, onset yang tiba-tiba dan terus menerus, hingga terjadi kontraksi
otot yang tidak terkontrol. Otot yang paling sering mengalami spasme adalah
otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing),
lidah (protrusion, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus).
Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan
disartria, disfagia, kesulitan bernapas, hingga sianosis. Spasme otot dan postur
yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala
dan leher, tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Distonisa laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Sering terjadi pada
penderita usia muda (usia belasan atau dua puluhan) dan kebanyakan pada
laki-laki.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik
menurut DSM- IV adalah sebagai berikut :
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang
tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan

dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan


untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan
dengan medikasi neuroleptik :
1)

Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh

(misalnya tortikolis)
2)

Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)

3)

Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-

faring, disfonia)
4)

Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar

(disartria, makroglosia)
5)

Penonjolan lidah atau disfungsi lidah

6)

Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)

7)

Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh

B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah
memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau
menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala
ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental
(misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala
mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan
pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan
neuroleptik atau pemberian antikolinergik)

D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi


neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi
medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan
medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat
diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
3. Akatisia
Merupakan bentuk yang paling sering dari sindroma ekstrapiramidal yang
diinduksi oleh obat antipsikotik. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif
kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah,
umumnya kaki yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak
mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia
terkadang sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan ansietas atau agitasi
dari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang.
b.

Kronik (late)

1.
1.

Tardive dyskinesia

Terjadi setelah menggunakan antipsikotik minimal selama 3 bulan atau setelah


pemakaian antipsikotik dihentikan selama 4 minggu untuk oral dan 8 minggu
untuk injeksi depot, maupun setelah pemakaian dalam jangka waktu yang lama
(umumnya setelah 6 bulan atau lebih). Penderita yang menggunakan APG I
dalam jangka waktu yang lama sekitar 20-30% akan berkembang
menjadi tardive dyskinesia. Seluruh APG I dihubungkan dengan risiko tardive
dyskinesia.
Umumnya berupa gerakan involunter dari mulut, lidah, batang tubuh, dan
ekstremitas yang abnormal dan konsisten. Gerakan oral-facial meliputi
mengecap-ngecap bibir (lip smacking), menghisap (sucking), dan mengerutkan
bibir (puckering) atau seperti facial grimacing. Gerakan lain meliputi gerakan
irregular dari limbs, terutama gerakan lambat seperti koreoatetoid dari jari
tangan dan kaki, gerakan menggeliat dari batang tubuh.
2. Tardive distonia
Ini merupakan tipe kedua yang paling sering dari sindroma tardive. Gerakan
distonik adalah lambat, berubah terus menerus, dan involunter serta
mempengaruhi daerah tungkai dan lengan, batang tubuh, leher (contoh

torticolis, spasmodic disfonia) atau wajah (contoh meiges syndrome). Tidak


mirip benar dengan distonia akut.
3. Tardive akatisia
Mirip dengan bentuk akatisia akut tetapi berbeda dalam respons terapi dengan
menggunakan antikolinergik. Pada tardive akatisia pemberian antikolinergik
memperberat keluhan yang telah ada.
4. Tardive tics
Sindroma tics multiple, rentang dari motorik tic ringan sampai kompleks
dengan involuntary vocazations (tardive gilles de la tourettes syndrome).
5. Tardive myoclonus
Singkat, tidak stereotipik, umumnya otot rahang tidak sinkron. Gangguan ini
jarang dijumpai.
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik
neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan
distonia simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk
mendeteksi adanya antipsikotik tidak tersedia secara luas. Selain itu,
kandungan obat dalam serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi dengan
baik dengan keparahan klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada
pengobatan akut. Pemeriksaan rutin elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin
darah, glukosa darah, dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi,
fungsi ginjal, status asam basa, dan termasuk hipoglikemi sebagai penyebab
kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot yang
terlihat dari pningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM.
Perusakan otot juga menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga
menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi memperburuk penyerapan ini.
Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.

DIAGNOSIS BANDING

Sindroma putus obat

Parkinson Disease

Distonia primer

Tetanus

Gangguan gerak ekstrapiramidal primer

PENYULIT
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu

sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas.

Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.

Gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan


mengalami fraktur.

PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut masih baik bila
gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada EPS yang
kronik lebih buruk. Pasien dengan tardive distonia sangat buruk. Sekali terkena,
kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan
neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.

PENATALAKSANAAN
Mulai dengan penurunan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan
trihexyphenidil (THP) atau antikolinergik lainnya, 4-6mg per hari selama 4-6
minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap
minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi
terhadap efek samping EPS. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai
dosis minimal yang efektif. Pedoman penatalaksanaan adalah sebagai berikut:
1.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli


menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien
dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten
dosis tinggi.

2.

Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat


menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya
menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan,

konstipasi dan retensi urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi gejala


psikotik.
3.

Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan


untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama
terhadap kembalinya gejala.

Antikolinergik merupakan terapi distonia akut bentuk primer dan praterapi


dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan
obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg 2xsehari (BID)
sampai 3x sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin
mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan distonia akut
dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena rasa melayang
yang mereka dapat daripadanya. Seorang pasien yang ditemukan dengan
distonia akut berat harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan
jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV.
Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg
intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.
Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan banyak
eksperimen. Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan
amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir
bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya
klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.
Pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen
antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada
pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek
sampingnya yang berat. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan
involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gammaaminobutirat-ergik. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja
terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih
memerlukan pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai