Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

HEMOPTISIS

DISUSUN OLEH:
Nama

: Riko Kuswara

NIM

: I11112068

PEMBIMBING:
dr. Eva Lydia Ingan R. M., Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM KETAPANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2016

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1.

Vaskularisasi Paru

2.2.

Hemoptisis

2.2.1. Definisi

2.2.2. Etiologi

2.2.3. Patofisiologi 10
2.2.4. Klasifikasi

12

2.2.5. Manifestasi Klinik

14

2.2.6. Penegakkan Diagnosis


2.2.7. Penatalaksanaan
2.2.8. Komplikasi

23

2.2.9. Prognosis

24

15

18

2.2.10. Bagan 25
BAB III PENUTUP 27
3.1.

Kesimpulan 27

DAFTAR PUSTAKA

28

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang
Batuk merupakan reflek pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan

trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk


membersihkan saluran napas bagian bawah. Batuk juga merupakan gejala tersering
penyakit pernapasan. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah
rangsangan mekanik, kimia dan peradangan. Batuk dapat bersifat produktif, pendek
dan tidak produktif, keras dan parau, sering, jarang, atau paroksismal.1
Batuk darah (hemoptisis) adalah darah atau dahak bercampur darah yang
dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke arah
distal). Batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan / mengerikan yang
menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga
menyebabkan takut untuk berobat ke dokter. Biasanya penderita menahan batuk
karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga menyebabkan
penyumbatan karena bekuan darah. Batuk darah pada dasarnya akan berhenti sendiri
asal tidak ada robekan pembuluh darah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan
penyakit dasar.Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda suatu penyakit infeksi.
Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah
minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.1
Angka kejadian hemoptisis di klinik paru berkisar antara 10 sampai 15 persen
dan untuk negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang tinggi merupakan
penyebab terjadinya hemoptisis masif

sebesar 20 persen. Sedangkan yang

disebabkan oleh bronkiektasis sebesar 45 persen dan pada tumor sebesar 10 persen.1
Komplikasi yang sering terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah yang banyak
dalam waktu singkat dan penyebaran penyakit ke jaringan paru yang sehat. Batuk
darah sendiri terkadang sulit didiagnosis, salah satu faktor penyebabnya adalah akibat
ketakutan pasien mengenai gejala ini hingga terkadang pasien akan menahan
3

batuknya, hal ini akan memperburuk keadaan karena akan timbul penyulit. Oleh
sebab itu pengertian yang seksama mengenai hemoptisis diharapkan mampu
memberikan penatalaksanaan yang optimal pada penderita.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Vaskularisasi Paru

Gambar 2.1. Vaskularisasi Paru 3


Setiap paru-paru memiliki artery pulmonary besar yang mensuplai darah ke
paru-paru dan vena pulmonary yang mengeluarkan darah dari paru-paru.Artery
pulmonary kanan dan kiri berasal dari pulmonary trunk dan membawa darah yang
miskin O2 ke paru-paru untuk oksigenisasi. Secara anatomy gambar artery pulmonary
berwarna biru. Setiap artery pulmonary menjadi bagian root dari paru-paru dan
mengeluarkan cabang pertamanya ke superior lobe sebelum memasuki hilum. Di
dalam paru-paru setiap artery descend ke bagian posterolateral bronkus utama dan
terbagi menjadi arteri lobar dan arteri segmental. Kemudian cabang tersebut terus
bercabang ke setiap lobe dan segment bronchopulmonary paru-paru. Arteri dan
bronchi berpasangan di paru-paru. Di daerah duktus alveoli, cabang-cabang arteri
tersebut membentuk jalinan kapiler di dalam septum inter alveolaris. 3

Darah yang teroksigenasi kembali ke jantung terjadi dengan melewati 4 vena


pulmonary yang mengalirkan ke atrium kiri.Vena pulmonary membawa darah yang
kaya O2 dari paru-paru ke atrium kiri jantung. Secara anatomy gambar vena
pulmonary berwarna merah. Vena pulmonary mengalir pada arteri dan bronchi, yang
menerima darah dari segment-segment berdekatan ketika sedang mengalir kehilum.
Vena dari pleura visceral mengalir ke vena pulmonary dan vena dari pleura parietal
bergabung dengan vena sistemic pada bagian dinding thoracic yang berdekatan. 3

Gambar 2.2. Anatomi dan Fisiologi Paru 3


Arteri Bronchial
Mensuplai darah untuk menutrisi struktur-struktur yang membentuk root paruparu, jaringan penyokong paru-paru dan pleura visceralTerbagi menjadi :
a. Arteri bronchial kiri
b. Arteri bronchial kanan

: berasal dari superior thoracic aorta


: berasal dari arteri intercostal posterior kanan

(biasanya yang ke-3), common trunk bersama arteri bronchial superior, atau
aorta.
Vena Bronchial
6

Mengalir ke kapiler proksimal yang disuplai oleh arteri bronchial dan vena
pulmonary.Terbagi menjadi :
a. Vena bronchial kanan
b. Vena bronchial kiri

: mengalir ke vena azygous


: mengalir ke vena hemiazygous accessory atau

vena intercostalsuperior kiri.


2.2. Hemoptisis
2.2.1. Definisi
Batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal dari
saluran nafas di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah hemoptoe atau
hemoptisis. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit yang
mendasari sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang seksama.5
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang paling sering
terjadi diantara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat kegawatan dari hemoptisis
ditentukan oleh 3 faktor:
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di dalam saluran
pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak tergantung pada jumlah perdarahan yang
terjadi, akan tetapi ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau terjadinya efek
psikis dimana pasien takut dengan perdarahan yang terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat menimbulkan
renjatan hipovolemik (hypovolemic shock). Bila perdarahan yang terjadi cukup
banyak, maka hemoptisis tersebut digolongkan ke dalam hemoptisis masif walaupun
terdapat beberapa kriteria, antara lain:
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila jumlah
perdarahan yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24 jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila jumlah
perdarahan yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.

c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi beberapa jam atau
beberapa hari setelah perdarahan. Keadaan ini merupakan keadaan yang gawat, oleh
karena baik bagian jalan napas maupun bagian fungsionil paru tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya akibat terjadinya obstruksi total. 6
2.2.2. Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : 2
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh
karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Tabel 2.1. Penyebab batuk darah menurut penyelidikan Osler A. Abbott

Etiologi lain hemoptisis adalah sebagai berikut :7,8


1. Batuk darah idiopatik
Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya,
dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan antara pria dan wanita adalah
2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50 tahun kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti
spontan dengan suportif terapi.
2. Batuk darah sekunder
Batuk darah sekunder adalah batuk darah yang diketahui penyebabnya.
a. Oleh karena peradangan, ditandai vaskularisasi arteri bronkiale > 4% (normal1%)
1) TB:batuk sedikit-sedikit, masif perdarahannya dan bergumpal.
2) Bronkiektasis : bercampur purulen.
3) Abses paru : bercampur purulen.
4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih.
5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir.
b. Neoplasma
1) Karsinoma paru.
2) Adenoma.
c. Lain-lain
1) Trombo emboli paru infark paru.
2) Mitral stenosis.
3) Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat.
1) ASD
2) VSD
4) Trauma dada.
Berdasarkan usia penderita, Pursel membagi batuk darah menjadi:9
1. Anak-anak dan remaja:
a. Bronkiektasis
b. Stenosis mitral
9

c. Tuberkulosis
2. Umur 20 40 tahun:
a. Tuberkulosis
b. Bronkiektasis
c. Stenosis mitral
3. Umur lebih dari 40 tahun:
a. Karsinoma bronkogen
b. Tuberkulosis
c. Bronkiektasis
2.2.3. Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi
dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan untuk memberikan nutrisi pada
jaringan paru,juga bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan
fungsinya untuk pertukaran gas.6
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :7,8
1. Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena:
a. Adanya Rasmussens aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini telah lama
dianut, tetapi beberapa laporan otopsi lebih membuktikan terdapat hipervaskularisasi
bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan
asal dari perdarahan. Setelah berkembangnya arteriografi dapat dibuktikan bahwa
pada setiap proses paru terjadi hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis
yang berperan memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh karena itu
terdapatnya Rasmussen aneurisma pada kaverna tuberculosis yang merupakan asal
perdarahan diragukan.
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia dari basil
tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru.
2. Batuk darah pada karsinoma paru.
10

Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus atau berasal
dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya pembuluh darah kecil pada
area tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner.
3. Batuk darah pada bronkiektasis:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk
menyebabkan perdarahan.
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal dan juga
terjadi aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus yang
mengalami ektasis.
4. Batuk darah pada bronchitis kronis:
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang, terobek oleh
mekanisme batuk.
5. Batuk darah pada abses paru:
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar menutup, maka
pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat trauma pada saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis, karena
tekanan dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan rupture vena pulmonalis
atau distensi kapiler sehingga butir darah merah masuk ke alveoli.
b. Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di mukosa
bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis dan vena bronkialis yang
hebat sehingga tampak seperti varises.
7. Batuk darah pada infark paru:
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi anastomose.
Selain itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut, akibatnya terjadi
daerah nekrosis dimana butir-butir darah masuk ke alveoli dan terjadi batuk darah.
8. Batuk darah pada Good Pasture syndrome:
11

Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu terbentuknya


antibody to glomerular basement membrane (anti GBM Ab) lebih spesifiknya
kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat hilangnya keutuhan membranan basalis
epithelial-endotelial dan memudahkan masuknya sel darah merah dan netrofil masuk
ke dalam alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur:
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan antikoagulan
serta enzim proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10. Batuk darah pada batuk keras:
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak bercampur di
dalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi pada bronkus
yang berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
11. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi
ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
2.2.4. Klasifikasi
Tabel 2.2. Klasifikasi menurut Pusel 2

12

Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.2


1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darah yang lebih besar. Biasanya
pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring)
atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan
(factitious).
Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah darah yang keluar
menjadi:10
1. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7 hari.
2. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7 hari dengan
interval 2 sampai 3 hari.
3. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptisis
selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga
kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptisis juga mempunyai
kelemahan oleh karena:8,9
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang
dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk menentukan jumlah darah yang
hilang sesungguhnya.

13

b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama dengan tinja,


sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh:11
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai
dengan adanya iskemia miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan
mekanik jantung, maupun aliran darah serebral.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:12
a. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b. Lamanya perdarahan
c. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran.
2.2.5. Manifestasi Klinik
Tabel 2.3. Perbedaan batuk darah dan muntah darah 9

14

Kriteria batuk darah: 8


1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah
sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang diajukan
Busroh (1978) :9
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi
lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan
batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi
lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama
pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah
tersebut tidak berhenti.
2.2.6. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain
perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik
maupun penunjang sehinggapenanganannya dapat disesuaikan.7,8
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:7,10
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.

15

f. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan


batuk
g. Wheezing
h. Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
i. Perokok berat dan telah berlangsung lama
j. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
k. Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
2. Pemeriksaan fisik 7,8
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
a. Kemungkinan menonjolkan lokasi.
b. Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca,
bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan keganasan intratorakal
dan supurasi intratorakal (abses paru, bronkiektasis).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita
hemoptisis

masif.

Gambaran

opasitas

dapat

menunjukkan

tempat

perdarahannya. 2 Pemeriksan foto thoraks merupakan salah satu komponen


penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab perdarahan terutama
kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan dengan kaviti, tumor, infiltrat
dan atelektasis. Perdarahan intra-alveolar menimbulkan pola infiltrat
retikulonedular. Namun demikian gambaran foto thoraks bisa normal ataupun
tidak informatif.12
16

b. Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab


sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto
toraks.2
c. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat
diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak langsung). 2
Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk pemeriksaan bakteri
pewarnaan gram, basil tahan asam (BTA). Pemeriksaan dahak sitologi
dilakukan apabila penderita berusia >40 tahun dan perokok. Biakan kuman
juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan jamur.12
d. Laboratorium11
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
-

Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut

Leukosit meningkat infeksi

Trombositopeni koagulopati

Trombositosis kanker paru

b. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau pasien
menerima warfarain/heparin
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang jelas dan
sianosis.
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan
sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi
penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena
dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.2,10
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : 10
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik

17

Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi


perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya
merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa
perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga
dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase
dengan bronkoskop fiberoptik dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang mutlak
untuk menentukan lokasi perdarahan.10 Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus
superior, bronkoskop serat optic jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal
sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta
mengambil benda asing,disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon
khusus di tempat terjadinya perdarahan.10

Gambar 2.3 Bronkoskopi 13


2.2.7. Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah:9
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
18

3. Mengobati penyebab utama perdarahan.


Langkah-langkah: 9
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan

dan

tatalaksana

hipotensi,

anemia

dan

kolaps

expander

dan

darah

kardiovaskuler.
b. Pemberian

oksigen,

cairan

plasma

dipertimbangkan sejak awal.


c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan
bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan

kateter

balon

oklusi

forgarty

untuk

tamponade

perdarahan.
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan.
Sasaran-sasaran

terapi

yang

utama

adalah

memberikan

support

kardiopulmoner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang


merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. 6,9
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dalam saluran
napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptisis
paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam
jumlahkecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam
jumlahbanyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik.6,9
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif
Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut :7,8,9
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas

19

Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan dalam
posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa
menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas
dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan dalam
posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit
trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat
penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang menyumbat,
sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang
tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan sukar
berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein10 -20 mg. Penderita batuk
darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha
menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat diberikan sedatif ringan
(Valium) supaya penderita lebih kooperatif.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam
kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Pemberian
kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresin (Pitrissin), ascorbic acid dikatakan
khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan darah,
lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus.
Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat hemostasis), misalnya
vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
20

Di beberapa rumah sakit masih memberikan Hemostatika (Adona Decynone)


intravena 3 -4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas, paling
sedikit dapat memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat.
d.

Mengobati penyakit yang mendasarinya(underlyingdisease)


Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu

diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika


yang sesuai.
2. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif
yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak
ada kontraindikasi bedah.5
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan
operasi ini dilakukan atas pertimbangan: 5
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada
perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan
operasi.
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptisis
yang berulang dapat dicegah.
Tindakan bedah meliputi: 5,14
1. Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan akibat
penyakit dasarnya. Macam reseksi:
- Pneumonektomi: reseksi satu paru seluruhnya
- Bilobektomi : reseksi dua lobus
- Lobektomi : reseksi satu lobus
- Wedgeresection: reseksi sebagian kecil jaringan paru
- Enukleasi : bila kelainan patologis kecil dan jinak
- Segmentektomi: reseksi segmen bronkopulmonal

21

Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru, luasnya operasi


dapat ditentukan sebelum operasi. Prinsipnya adalah mempertahankan
sebanyak mungkin jaringan paru yang dianggap sehat. Luas dan jenis lesi
(proses inflamasi, abses atau kavitas) menentukan jenis reseksi yang akan
dilaksanakan.
2. Terapi kolaps: pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisia, torakoplasti,
frenikolisis (membuat paralise N. phrenicus).
Terapi kolaps bertujuan untuk mengistirahatkan bagian paru yang sakit
dengan cara membuat kolaps jaringan paru yang sakit tersebut. Pendapat ini
benar untuk kelainan berbentuk kavitas, tetapi cara ini banyak ditinggalkan
karena komplikasinya banyak.
Prosedur yang termasuk dalam kelompok terapi kolaps:
- Pneumotoraks artificial yaitu dengan memasukkan udara ke rongga pleura
kemudian secara bertahap ditambahkan udara sehingga teracapai kolaps
pada jaringan paru yang sakit. Bila paru kolaps maka bagian tersebut
dapat istirahat sehingga mempercepat proses penyembuhan. Bila terdapat
adhesi dan paru tidak dapat kolaps dilakukan intrapleuralpneumonolysis
(operasi Jacoboes), tetapi sering terjadi komplikasi perdarahan. Karena
sering terjadi empyema setelah pneumotorak artifisial, tindakan ini sudah
-

tidak dilakukan lagi.


Pneumoperitoneum yaitu tindakan memasukkan udara ke rongga
peritoneum dengan tujuan menaikkan diafragma agar terjadi kolaps pada

jaringan paru dengan harapan lesi di apikal akan menyembuh.


Paralise nervus phrenicus yaitu dengan cara anestesi local nervus
phrenicus dibebaskan dari perlekatannya di M. scalenus anterior kemudian
saraf dirusak (crushed) sehingga timbul paralise diafragma. Akibatnya
akan terjadi elevasi diafragma dan diharapkan apeks paru dapat

diistirahatkan sehingga, terjadi proses penyembuhan.


Torakoplasti yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps paru terjadi dengan
cara menghilangkan supporting framework-nya, misalkan dengan
membuang tulang iga dari dinding dada. Indikasi torakoplasti:

22

Dulu: torakoplasti hamper selalu dilakukan setelah lobektomi atau


pneumonektomi dengan tujuan meminimalisasi kemungkinan terjadinya
over distensi parenkim paru yang tersisa selain itu dead space akan segera
menutup (obliterasi) sehimgga resiko terbentuknya fistula bronkopleural
dan empyema dapat dikurangi.
Sekarang: kebutuhan torakoplasti

diragukan

dan

dilakukan

bila

direncanakan reseksi lebih dari 1 lobus atau mengatasi komplikasi


tindakan reseksi seperti fistula bronkopleura dan empiema.
3. Lain-lain: embolisasi artifisial.
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery Embolization (BAE) adalah
penyuntikan gel foam atau polivinil alcohol melalui katerisasi pada arteri
bronkialis. Menurut Ingbar embolisasi berhasil menghentikan perdarahan 95%.
Dengan meningkatnya penggunaan embolisasi arteriografi, sekarang penggunaan
tindakan pembedahan untuk pengelolaan batuk darah massif mulai ditinggalkan.
2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah asfiksia, sufokasi
dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam waktu singkat.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran penyakit ke sisi paru yang
sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan saluran napas
sehingga paru bagian distal akan mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.14
Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor:6
1. Terjadinya asfiksia karena adanya pembekuan darah dalam saluran
pernapasan. Pada dasarnya asfiksia tergantung dari:
a. Frekuensi batuk darah
b. Jumlah darah yang dikeluarkan
c. Kecemasan penderita
d. Siklus inspirasi
e. Reflek batuk yang buruk
f. Posisi penderita

23

2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk darah dapat


menimbulkan syok hipovolemik. Bila jumlah perdarahan banyak maka
digolongkan dalam massive hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis menurut
Yeoh adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam sedangkan menurut Sdeo adalah
perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.
3. Aspirasi pneumonia
Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah
perdarahan. Aspirasi adalah masuknya bekuan darah ke dalam jaringan paru
yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Meliputi bagian yang luas dari paru
b. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih kecil
c. Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh masuknya cairan
lambung ke dalam paru karena penutupan glottis yang tidak sempurna
d. Dapat diikuti sekunder infeksi.
Aspirasi pneumonia merupakan keadaan berat karena saluran napas
dan bagian fungsional paru tidak dapat berfungsi dengan baik.
2.2.9. Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada
beberapa faktor yang menentukan prognosis : 2,6,7
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.
a. Hemoptisis <200ml/24jam prognosa baik
b. Profuse massive>600cc/24jamprognosa jelek 85% meninggal
2.2.10. Bagan
24

Gambar 2.4. Alur tatalaksana pasien dengan hemoptisis massif 15

25

Gambar 2.5. Alur tatalaksana pasien dengan hemoptisis non massif 15,16,17
Pada Gambar 2.4. Pada bagan tersebut disebutkan harus dilakukan
pemeriksaan Foto thorax untuk menentukan lokasi dari perdarahan. MDCTA (Multi
Detector Computed Tomography Angiography) harus segera dilakukan walaupun
dalam kondisi emergensi, tanpa melihat dari hasil dari foto thorax, dikarenakan bisa
menilai lebih baik dalam pengobatan. Jika kasus yang diterima adalah kasus trauma
dada/rupture pembuluh darah arteri paru, gold standard yang paling bisa digunakan
adalah pembedahan. Ketika dari semua kasus dengan MDCTA positif, DSA (Digital
Subtraction Angiography)

dengan arterial endovascular embolization digunakan

untuk mentatalaksana massive dan hemoptisis berulang. Pada kasus emergensi pasien
hemoptisis massif dilakukan endovascular embolization, ketika pasien sudah stabil
tindakan pembedahan dapat dilakukan. Jika MDCTA negative, atau hanya lesi di
daerah bronkus, bronchoscopy dapat dilakukan, jika hasilnya positif dapat dilakukan
arterial endovascular embolization dan kemudian dilakukan pembedahan. Jika hasil
bronchoscopy negative dapat disebut hanya cryptogenic hemoptisis.
Gambar 2.5. pemeriksaan Ro thorax harus dilakukan sebagai langkah
pertama, jika didapatkan gangguan pada bagian pleura yang disebabkan oleh
hemoptisis, harus dilakukan tatalaksana sesuai dengan keluhan (seperti pemberian
antibiotic). Jika tidak ada perbaikan dalam pengobatan dapat direncanakan arterial
endovascular embolization dan pembedahan. Jika hasil Ro thorax negative dapat
dilakukan MDCTA. Jika MDCTA mendapatkan hasil penyebab dari hemoptisis,
standard diagnosis dan pengobatan harus dilakukan. Jika MDCTA mendapatkan hasil
negative dan hemoptisis sudah tertangani bisa di hentikan pemeriksaan. Jika pada saat
pemeriksaan bronchoscopy didapatkan hasil positif dilakukan tatalaksana sesuai
dengan keadaan pasien. Jika hasilnya negative maka itu tersebut hanya cryptogenic
hemoptisis.

26

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Batuk darah (hemoptisis) adalah darah atau dahak bercampur darah yang

dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke arah
distal). Batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan / mengerikan yang
menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga
menyebabkan takut untuk berobat ke dokter.
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari
nasofaring atau gastrointestinal. Tujuan pokok terapi hemoptisis ialah mencegah
asfiksia, menghentikan perdarahan dan mengobati penyebab utama perdarahan.
27

Prognosis dari hemoptisis ditentukan oleh tingkatan hemoptisis, macam


penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Price

SA.Wilson

LM.

2012.Patofisiologi

Konsep

Klinik

Proses-proses

Penyakited.6, Jakarta: EGC.


2. Arief, N. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI.
3. Meltyza, E. 2013. Vaskularisasi Paru. https://www.scribd.com/doc/86879353/
Vaskularisasi-Paru. Diakses tanggal 7 Desember 2016.
4. Google image. Anatomi Pulmo. Diakses tanggal 7 Desember 2016.
5. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.
6. Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II,
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

28

7. PAPDI. 2012. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna
U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
8. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam buku at a
glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.
9. Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal : 94-95
10. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press.
11. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care
Med 2010; 28(5):1642-7
12. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal. 2013.
Prognosis of bronchial artery embolization in the management of hemoptysis.
Respiration 67:412-6
13. Google image. Bronkoskopi. Diakses tanggal 9 Desember 2016.
14. Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan tatalaksana
kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta : Sagung Seto, 2008.
15. Rita AL, et al. Diagnosis and management of hemoptysis. Diagn Interv Radiol.
Turkish Society of Radiology. 2014.
16. Lee YJ, Lee SM, Park JS, et al. The clinical implications of bronchoscopy in
hemoptysis patients with no explainable lesions in computed tomography. Respir
Med 2012; 106:413419.
17. Ianniello A, Carrafiello G, Nicotera P, Vaghi A, Cazzulani A. Endovascular
treatment of a ruptured pulmonary artery aneurysm in a patient with Behcets
disease using the Amplatzer Vascular Plug 4. Korean J Radiol 2013; 14:283286.

29

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Ii Minipro
    Bab Ii Minipro
    Dokumen14 halaman
    Bab Ii Minipro
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 11 April 19
    MR 11 April 19
    Dokumen3 halaman
    MR 11 April 19
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Dr. Arif - Kul - Pengantar KV
    Dr. Arif - Kul - Pengantar KV
    Dokumen9 halaman
    Dr. Arif - Kul - Pengantar KV
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Dr. Arif - Kul - Pengantar KV
    Dr. Arif - Kul - Pengantar KV
    Dokumen9 halaman
    Dr. Arif - Kul - Pengantar KV
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 12 Maret 19
    MR 12 Maret 19
    Dokumen3 halaman
    MR 12 Maret 19
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 16 April 2019
    MR 16 April 2019
    Dokumen3 halaman
    MR 16 April 2019
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • BPKM KV 14
    BPKM KV 14
    Dokumen14 halaman
    BPKM KV 14
    Andri Hendratno
    Belum ada peringkat
  • MR 17 April 2019
    MR 17 April 2019
    Dokumen3 halaman
    MR 17 April 2019
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 4 Maret 19
    MR 4 Maret 19
    Dokumen3 halaman
    MR 4 Maret 19
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 4 Maret 19
    MR 4 Maret 19
    Dokumen4 halaman
    MR 4 Maret 19
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 17 Maret 19
    MR 17 Maret 19
    Dokumen4 halaman
    MR 17 Maret 19
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen29 halaman
    Refer at
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen18 halaman
    Refer at
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Referat Hemoptisis
    Referat Hemoptisis
    Dokumen29 halaman
    Referat Hemoptisis
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen29 halaman
    Refer at
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen1 halaman
    Refer at
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Tambahan Referat
    Tambahan Referat
    Dokumen20 halaman
    Tambahan Referat
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Tambahan Referat
    Tambahan Referat
    Dokumen13 halaman
    Tambahan Referat
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen36 halaman
    Referat
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Genitouri
    Genitouri
    Dokumen22 halaman
    Genitouri
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Pembekalan Koas 9-15
    Pembekalan Koas 9-15
    Dokumen18 halaman
    Pembekalan Koas 9-15
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 7 Maret 19
    MR 7 Maret 19
    Dokumen4 halaman
    MR 7 Maret 19
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Referat ALL
    Referat ALL
    Dokumen67 halaman
    Referat ALL
    Riko Kuswara
    100% (1)
  • Rangkuman Pertanyaan
    Rangkuman Pertanyaan
    Dokumen3 halaman
    Rangkuman Pertanyaan
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • MR 4 Maret 19
    MR 4 Maret 19
    Dokumen3 halaman
    MR 4 Maret 19
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Slide Lapkas Fix
    Slide Lapkas Fix
    Dokumen109 halaman
    Slide Lapkas Fix
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Fawaid Akbar Alfaizi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Riko Kuswara
    Belum ada peringkat