Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mutilasi merupakan merupakan suatu bentuk kejahatan susulan
dari sebuah kejahatan pembunuhan, dengan maksud untuk menutupi
kejahatan pembunuhan. Modus operasi kejahatan mutilasi umumnya
tidak lahir dari pemikiran sendiri, tetapi meniru kejahatan mutilasi yang
sebelumnya pernah terjadi.
yang

pernah

terjadi,

lalu

Pelaku berkaca pada peristiwa pidana


mempertimbangkan

cara-cara

yang

berlangsung di dalamnya untuk diterapkan.1

Kebanyakan pelaku mutilasi berasal dari orang-orang yang dikenal oleh


korban, mulai dari suami, anak, teman dekat, ataupun rekan kerja.

Korban

mutilasipun berasal dari berbagai macam kelompok usia, mulai dari anak-anak
hingga dewasa. Potongan-potongan tubuh korban dapat ditemukan di berbagai
tempat seperti selokan, sungai, kebun, sawah, jalan raya dan di rumah tempat
tinggal korban itu sendiri.1
Banyaknya kasus pembunuhan dan mutilasi yang terjadi di Indonesia
akhir-akhir ini disebabkan oleh berbagai faktor baik karena keadaan psikis
pelaku (masalah kejiwaan), lingkungan masyarakat, sosial, ekonomi, dan
maraknya tayangan kriminal di televisi.2
Dalam mengungkap kasus mutilasi ini penyidik seringkali membutuhkan
bantuan dokter untuk membantu mengidentifikasi potongan tubuh korban yang
ditemukan. Hal ini melatarbelakangi penulis untuk membahas mengenai mutilasi
dan bagaimana peranan dokter dalam mengidentifikasi korban pada kasus
mutilasi.
1.2

Tujuan
Tujuan penulisan referat ini ialah meningkatkan pemahaman tentang

penanganan kasus mutilasi dan mengetahu cara-cara identifikasi korban mutilasi.

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MUTILASI
2.1.1 DEFINISI MUTILASI
Dari sisi ilmu kriminologi, yang dimaksud dengan mutilasi
adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh
lainnya oleh sebab yang tidak wajar dengan tujuan untuk membuat
relasi antara dirinya dengan korban terputus dan agar jati diri korban
tidak

dikenali

dengan

alasan-alasan

tertentu.

Modus

operasi

kejahatan mutilasi umumnya tidak lahir dari pemikiran sendiri, tetapi


meniru kejahatan mutilasi yang sebelumnya pernah terjadi. Pelaku
berkaca

pada

peristiwa

pidana

yang

pernah

terjadi

lalu

mempertimbangkan cara-cara yang berlangsung di dalamnya untuk


diterapkan. Perilaku semacam ini dinamakan imitation of crime
model. Menurut kriminolog sekaligus sosiolog Perancis, Gabriel Tarde
(1842-1904), manusia itu pada dasarnya individualis, tetapi berkat
kemampuan

untuk

meniru

(imitasi),

berbagai

peniruan

yang

dilakukannya membentuk jalinan interaksi sosial dan pada gilirannya


tersusun kehidupan sosial.

Imitasi
Mengingat

imitasi

merupakan

salah

satu

bentuk

aspek

kegiatan belajar meniru perilaku orang lain. Manusia mengimitasi


hampir

semua

hal

yang

sanggup

ditiru,

termasuk

kejahatan.Menurut Chorus, proses imitasi memerlukan beberapa


syarat yaitu Pertama, adanya minat atau perhatian yang cukup
besar

terhadap

apa

yang

akan

diimitasi.Kedua,

ada

sikap

menjunjung tinggi atau mengagumi apa yang akan diimitasi. Dan,


ketiga, tergantung pada pengertian, tingkat perkembangan, dan
tingkat pengetahuan individu yang akan mengimitasi.
Peranan Media
Semakin kaya informasi, semakin mudah melakukan peniruan.
Di sinilah media massa mempunyai peranan penting.Pemberitaan
kejahatan yang membeberkan detail-detail pelaksanaannya akan
melahirkan proses imitasi untuk kejahatan sejenis. Akibatnya media
2

dapat menjadi transmisi modus operasi kejahatan. Padahal, karena


faktor persaingan media, tidak jarang peristiwa kejahatan yang
diberitakan sengaja didramatisasi secara berlebihan.
Motif
Pemilihan modus mutilasi juga didasari berbagai motif. Pertama,
untuk menghilangkan jejak. Kedua, ringkas dalam membawa korban.
Ketiga,

pergulatan

kebencian,

dan

kejiwaan

yang

emosi-emosi

lain

dikuasai
yang

oleh

tak

kemarahan,

terkendali.

Pada

pembunuhan yang diliputi motif ini, mutilasi merupakan ekspresi


kemarahan atau kebencian. Keempat, karena gangguan kejiwaan
yang relatif permanen, seperti psikopatis dan sadisme. Dalam motif
ini, mutilasi merupakan bentuk pemuasan bahkan kenikmatan.
Kelima, mutilasi merupakan ritual untuk meningkatkan keandalan
ilmu hitam yang dipelajari.
2.1.2

JENIS-JENIS MUTILASI
Mutilasi memiliki beberapa unsur, seperti unsur perencanaan

(direncanakan-tidak direncanakan), unsur pelaku (individu-kolektif),


dan unsur ritual atau inisiasi, serta unsur kesehatan atau medis. Dari
berbagai macam jenis mutilasi,

secara

umum

setidaknya

tindak

pidana mutilasi dibagi menjadi dua bagian yaitu:


a. Mutilasi defensif (defensive mutilation), atau disebut juga sebagai
pemotongan atau pemisahan anggota badan dengan tujuan
untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Motif
rasional dari pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban
sebagai

barang

bukti

atau

untuk

menghalangi

diidentifikasikannya potongan tubuh korban.


b. Mutilasi ofensif (offensive mutilation), adalah suatu tindakan
irasional yang dilakukan dalam keadaan mengamuk, frenzied
state of mind.

Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh

korban.
2.1.3HUKUM MUTILASI
Di Indonesia tidak ada peraturan yang secara khusus mengatur
3

tentang kejahatan dengan cara mutilasi.

Pengaturan mutilasi

akhirnya disamakan dengan pengaturan tindak pidana terhadap


nyawa pada umumnya, yaitu dengan berpedoman pada pasal 338 dan
340 KUHP. Pada kenyataannya, mutilasi dapat dilakukan siapapun
selama pelaku mempunyai kemampuan psikologis dan adanya kondisi
situasional yang memungkinkan terjadinya hal tersebut dengan tujuan
untuk menghilangkan jejak maupun karena rasa dendam si pelaku. Di
sinilah hukum pidana berfungsi dalam menentukan penjatuhan
hukuman yang sesuai terhadap pelaku mutilasi.3
Apapun alasan yang dikembangkan mengenai

kejahatan

mutilasi, seharusnya pelaku kejahatan ini dihukum dengan hukuman


mati seperti yang diatur dalam pasal 340 KUHP (tentang pembunuhan
berencana), aparat penegak hukum diharapkan dapat menafsirkan
dan

mempersamakan

kejahatan

mutilasi

dengan

kejahatan

pembunuhan berencana walaupun dalam melakukan mutilasi setelah


si korban mati terlebih dahulu.

Mengingat bahwa pengaturan dan

batasan pengertian tentang kejahatan ini tidak dijelaskan secara


spesifik dantegas di dalam Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.4
Tindak pidana pembunuhan memang sudah lama dikenal oleh
hukum nasional melalui kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bab XIX
Buku II KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa seseorang. Jenis
pembunuhan yang diatur dalam bab ini meliputi pembunuhan dengan
sengaja (pasal 338), pembunuhan dengan rencana (pasal 340),
pembunuhan anak setelah lahir oleh Ibu (pasal 341-342), dan
pengguguran kandungan (pasal 346-349). Tidak terdapat satu pasal
pun

yang

mengatur

tindak

pemotongan tubuh korban.


masalah

hukum

tentang

pidana

pembunuhan

yang

diikuti

Keadaan ini tentu dapat menimbulkan


kepastian

hukum

dan

keadilan

bagi

masyarakat. Dapatlah diambil beberapa pertanyaan, pertama apakah


tindakan pemotongan tubuh korban mutilasi dapat disebut sebagai
kejahatan dan kedua apakah ada ketentuan hukum pidana yang dapat
dikenakan pada tindak mutilasi.3
Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana sebuah tindakan
4

haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah


tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang
baik secara formiil atau materiil. pembagian tindakan yang terlarang
secara formiil atau materiil ini sebenarnya mengikuti KUHP sebagai
buku Induk dari semua ketentuan hukum pidana Nasional yang
belaku.

KUHP

membedakan

tindak

pidana

dalam

dua

bentuk,

kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). sebuah


tindakan dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan
unsur jahat dan tercela seperti yang di tentukan dalam undangundang.3
Sedangkan

tindakan

dapat

dikatakan

sebagai

pelanggaran

karena pada sifat perbuatan itu yang menciderai ketentuan hukum


yang berguna untuk menjamin ketertiban umum (biasanya aturan dari
Penguasa). Blacks Law Dictionary (Bryan Garner:1999) memberikan
definisi mutilasi (mutilation) sebagai the act of cutting off maliciously
a persons body, esp. to impair or destroy the vistims capacity for
self-defense.5 Apabila di kaji secara mendalam, tindak mutilasi ini
terbatas

pada

korban

yang

berwujud

manusia

alamiah

baik

perseorangan maupun kelompok dan bukanlah binatang. tindakan ini


bisa dilakukan oleh pelaku pada korban pada waktu masih bernyawa
atau pun pada mayat korban. tindakan pemotongan manusia secara
hidup-hidup (sadis) ataupun mayat jelas merupakan tindakan yang
sangat di cela oleh masyarakat dan dianggap sebagai tindakan yang
sangat jahat. oleh karena itu, menurut penulis tindak mutilasi
sangatlah tepat jika di golongkan ke dalam kejahatan dan bukan
pelanggaran.

Hal ini juga di dasarkan atas fungsi hukum pidana

sebagai hukum publik yang melindungi dan menjamin rasa keadilan


dan kepastian hukum masyarakat luas.
1. Mutilasi pada Korban yang Masih Hidup
Dalam bahasan ini difokuskan pada mutilasi sebagai bentuk
kejahatan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Mutilasi
berarti pemotongan anggota tubuh korban, ini berarti termasuk
dalam penganiyaan berat. Pasal 90 KUHP menjelaskan luka berat
sebagai luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
5

sekali/bahaya

maut;

tidak

mampu

terus-menerus

untuk

menjalankan pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca


indera; cacat berat (verminking); sakit lumpuh; terganggunya daya
pikir selama minimal 4 minggu;gugurnya kandungan seorang
perempuan.
a. Pasal 351 ayat (2) KUHP : tindakan mutilasi pada ketentuan ini
jelas mengacu pada tindakan untuk membuat orang lain
merasakan atau menderita sakit secara fisik. hanya saja
tindakan

penganiayaan

ini

dilakukan

oleh

pelaku

secara

langsung tanpa ada rencana yang berakibat luka berat. sanksi


pidana : penjara max 5 tahun.
b. Pasal 353 ayat (1) KUHP : tindakan mutilasi ini dapat dikatakan
sebagai rangkaian atau salah satu dari beberapa tindakan
penganiayaan pada korban yang masih hidup. Berbeda dengan
Pasal

351

perencanaan

KUHP,

Pasal

pelaku

ini

untuk

lebih

menitik

melakukan

beratkan

tindakan

pada

tersebut

sehingga berakibat akhir luka berat pada korban. sanksi pidana:


penjara max. 7 tahun.
c. Pasal 354 (1) KUHP : secara khusus sebenarnya KUHP sudah
memberikan

ketentuan

yang

melarang

tindakan

yang

mengakibatkan luka berat. kekhususan pasal ini tampak pada


kesengajaan pelaku dalam melakukan mutilasi yang timbul dari
niat agar korban menderita luka berat. sanksi: pidana penjara
max. 8 tahun.
d. Pasal 355 ayat (1) KUHP : dari sejak awal pelaku telah
melakukan mutilasi sebagai tindakan penganiayaan dia dan
sudah direncanakan terlebih dahulu. sanksi: pidana penjara
max. 12 tahun.
e. Pasal 356 KUHP : pemberatan sanksi pidana karena pelaku
adalah keluarga korban, pejabat, memberikan bahan berbahaya.
sanksi: pidana penjara +1/3 dari sanksi pidana yang di
ancamkan.
Sedangkan

pokok

bahasan

lain

yang

terkait

adalah

penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban. Ada beberapa


ketentuan pasal yang mengatur masalah ini.
pasal 351 ayat (3) KUHP sanksi pidana penjara: max 7 tahun
6

pasal 353 ayat (3) KUHP sanksi: pidana penjara: max 9 tahun
pasal 354 ayat (2) KUHP penganiayaan berat, sanksi: pidana

penjara max. 10 tahun


pasal 355 ayat (2) KUHP penganiayaan berat dengan rencana,

sanksi: pidana penjara max. 15 tahun


pasal 356 KUHP pemberatan sanksi +1/3

2. Mutilasi Sebagai Bentuk Kejahatan Terhadap Nyawa


Tindakan mutilasi di sini dapat dipahami sebagai tindakan
pelaku melakukan pemotongan tubuh korban untuk mengakibatkan
si korban mati. sangat berbeda dengan penganiayaan, dimana
matinya korban tidak di rencanakan atau di harapkan sebelumnya.
pada golongan ini, tindakan mutilasi ini jelas-jelas ditujukan untuk
matinya korban. misalnya, dengan menebas kepala korban dengan
celurit, memotong tubuh korban secara langsung dengan gergaji
mesin, dll.
a. Pasal 338 KUHP perbuatan mutilasi yang dilakukan serta merta
dan berakibat matinya korban. Sanksi: pidana penjara max. 15
tahun.
b. Pasal 340

KUHP

perbuatan

mutilasi

sebelumnya

telah

direncanakan terlebih dahulu dan setelah dijalankan berakibat


matinya korban. Sanksi: pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup.
3. Mutilasi pada Mayat Korban
Perlu diketahui KUHP memandang

mayat

bukan

sebagai

manusia alamiah yang hidup namun hanya sebagai benda yang


sudah tidak bernyawa lagi. mengenai hal ini dapat kita kaji pasal
180 KUHP tentang perbuatan melawan hukum menggali dan
mengambil jenazah, pelaku di ancam dengan pidana penjara
maksimal 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal 300 rupiah. hal ini
sangat berbeda jauh jika di bandingkan dengan pasal penculikan
orang (pasal 328 misalnya) memberikan sanksi pidana penjara
maksimal 12 tahun.
Jika di bandingkan

terhadap

pasal

pencurian

barang

pun

sebenarnya juga sangat jauh berbeda, pasal 362 KUHP sangat


memandang serius tindakan pencurian barang dan mengancam
7

pelaku dengan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun penjara.


oleh karena itu dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa pengaturan
tentang mayat atau jenazah di dalam KUHP masih sebatas pada
benda yang sudah tidak bernyawa lagi.
a. Pasal 406 KUHP : penghancuran atau perusakan barang yang
menjadi kepunyaan orang lain. istilah kepunyaan orang lain ini
sangatlah berbeda dengan kepemilikan dari orang terhadap
barang miliknya. pengertian kepunyaan ini sangatlah luas
tidak hanya semata-mata hak milik tetapi juga tanggung jawab
yang telah diberikan dalam undang-undang. Jenazah tidak
dapat dimiliki oleh jenazah itu sendiri, karena hak milik
mensyaratkan subyeknya orang yang bernyawa. si ahli warislah
yang menjadi penanggung jawab atas jenazah tersebut seperti
tanggung jawab yang telah diberikan Undang-undang tentang
hukum keluarga. Sanksi: penjara 2 tahun 8 bulan.
b. Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP : penghancuran benda-benda
yang dapat dijadikan barang bukti tindak pidana. Sanksi:
pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah.
c. Pasal 222 KUHP : pencegahan atau menghalang-halangi
pemeriksaan mayat Sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau
denda max. 300 rupiah.
Sampai saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana
yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas.
namun tidak berarti pelaku dapat dengan bebas melakukan
perbuatannnya

tanpa

ada

hukuman.

tindak

mutilasi

pada

hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk


meniadakan identitas korban atau penyiksaan terhadapnya. oleh
karena itu sangatlah jelas dan benar jika tindak mutilasi ini
dikelompokan sebagai tindak pidana bentuk kejahatan.
Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP
sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya
mutilasi sebagai salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan
berat atau tindak pembunuhan. Hanya saja memang sangat diakui
dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang pelaku melakukan
mutilasi bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi seringkali
8

terjadi

sebagai

rangkaian

tindakan

lanjutan

dari

tindakan

pembunuhan dengan tujuan agar bukti (mayat) tidak diketahui


identitasnya.
Pada titik ini seringkali aparat kepolisian hanya menganggap
tindakan mutilasi sebagai tindakan menghilangkan barang bukti
dengan demikian rasa keadilan masyarakat tidak terfasilitasi.
Adalah tugas hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup di
masyarakat

dalam

rangka

membuat

Yurisprudensi

yang

menetapkan tindakan mutilasi sebagai bentuk kejahatan.


2.1.4 PERAN DOKTER DALAM PENANGANAN KASUS MUTILASI
Dalam menangani suatu perkara pembunuhan tim penyidik tidak
berdiri sendiri, melainkan didukung oleh unsur dukungan laboratorium
kriminalistik dan kedokteran forensik. Untuk menemukan kebenaran
materiil, maka dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli, dapat diminta
bantuannya untuk memberikan keterangannya. Tujuannya sudah jelas,
yaitu pada tingkat penyidikan membantu penyidik menentukan apakah
suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan, sedangkan pada
tingkat penyidikan membantu penyidik mengumpulkan buktibukti
supaya dengan bukti itu perkaranya menjadi jelas dan pelakunya dapat
ditangkap.
2.1.4.1 Tingkat Penyelidikan
Penyelidikan

adalah

serangkaian

tindakan

penyelidik

untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak


pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penbyidikan
menurut cara yang diatur sesuai dengan undang undang (KUHAP).
Penyelidikan dilakukan dengan maksud untuk mencari keterangan
tentang peristiwa yang dilaporkan apakah merupakan suatu tindak
pidana atau bukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyelidikan dan
dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan dokter, dalam
kapasitasnya
pemeriksaan

sebagai
jenazah

ahli.
di

Bantruan

rumah

sakit

tersebut
dan

dapat

dapat

berupa

pula

berupa

pemeriksaan jenazah di tempat kejadian perkara. Tujuan utamanya


9

adalah

untuk

mengumpulkan

fakta

fakta

medik

yang

dapat

menentukan peristiwa itu merupakan tindak pidana atau bukan.


Tentunya

pengumpulan

fakta

medik

yang

paling

baik

adalah

pemeriksaan jenazah di TKP, mengingat manfaatnya yaitu :


1. Dapat memastikan korban sudah mati atau belum. Hal ini sangat
penting sebab belkum tentu korban yang trergeletak tidak
bernapas dan tidak bergerak itu sudah mati. Kehadiran dokter
juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan pertolongan yang
tepat jika ternyata korban masih hidup.
2. Dapat menentukan cara kematiannya.

Yang dapat dilakukan

dokter adalah memeriksa kondisi jenazah dan juga kondisi di


sekitarnya di TKP.
3. Dapat membantu mencari, mengumpulkan dan menyelamatkan
barang bukti (trace evidence) bagi pemeriksaan selanjutnya. Hal
ini juga penting sebab semakin banyak barang bukti ditemukan,
termasuk barang bukti medik, akan semakin mempermudah
penegak hukum membuat tentang perkara pidana. Barang bukti
medik tersebut harus diselamatkan dari kerusakan dan dokter
memang memiliki kemampuan untuk itu.
Penyelidikan

adalah

serangkaian

tindakan

penyelidik

untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak


pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penbyidikan
menurut cara yang diatur sesuai dengan undang undang (KUHAP).
Penyelidikan dilakukan dengan maksud untuk mencari keterangan
tentang peristiwa yang dilaporkan apakah merupakan suatu tindak
pidana atau bukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyelidikan dan
dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan dokter, dalam
kapasitasnya
pemeriksaan

sebagai
jenazah

ahli.
di

Bantruan

rumah

sakit

tersebut
dan

dapat

berupa

pula

berupa

dapat

pemeriksaan jenazah di tempat kejadian perkara. Tujuan utamanya


adalah

untuk

mengumpulkan

fakta

fakta

medik

yang

dapat

menentukan peristiwa itu merupakan tindak pidana atau bukan.


Tentunya

pengumpulan

fakta

medik

yang

paling

baik

pemeriksaan jenazah di TKP, mengingat manfaatnya yaitu :


10

adalah

1. Dapat memastikan korban sudah mati atau belum. Hal ini sangat
penting sebab belum tentu korban yang tergeletak tidak bernapas
dan tidak bergerak itu sudah mati. Kehadiran dokter juga dapat
dimanfaatkan untuk memberikan pertolongan yang tepat jika
ternyata korban masih hidup.
2. Dapat menentukan cara kematiannya. Yang dapat dilakukan
dokter adalah memeriksa kondisi jenazah dan juga kondisi di
sekitarnya di TKP.
3. Dapat membantu mencari, mengumpulkan dan menyelamatkan
barang bukti (trace evidence) bagi pemeriksaan selanjutnya. Hal
ini juga penting sebab semakin banyak barang bukti ditemukan,
termasuk barang bukti medik, akan semakin mempermudah
penegak hukum membuat tentang perkara pidana. Barang bukti
medik tersebut harus diselamatkan dari kerusakan dan dokter
memang memiliki kemampuan untuk itu.
2.1.4.2 Tingkat Penyidikan
Tindakan penyidikan dilakukan menyusul selesainya tindakan
penyelidikan yang menghasilkan kesimpulan bahwa peristiwa yang
diselidiki itu merupakan peristiwa pidana. Tujuannya adalah untuk
mengumpulkan bukti-bukti supaya dengan bukti itu poerkaranya
menjadi jelas dan pelakunya dapat ditangkap. Menjadi jelas artinya
identitas korban

dapat diketahui, proses

kejadiannya terungkap

(meliputi kapan dilakukan, dimana dilakukan, dengan benda apa


dilakukan dan bagaimana caranya serta bagaimana caranya serta
akibatnya dan identitas pelakunya dikenali). Untuk keperluan tersebut
maka bantuan dokter sangat diperlukan.
Pada hakekatnya bantuan tersebut berupa pemberian keterangan
tentang :
1. Suatu objek yang diajukan kepadanya untuk diperiksa
a. Obyek tersangka atau terdakwa
Tersangka

atau

terdakwa

yang

diduga

menderita

kelainan jiwa yang menyebabkan tidak mampu bertanggung


jawab terhadap perbuatannya. Tidak tertutup kemungkinan
mereka berpura pura gila untuk menghindari hukuman, sebab
11

kalau benar gila maka berdasarkan pasal 44 KUHP tidak dapat


dihukum. Bantuan dokter disini untuk membuktikan :

Betul menderita gangguan jiwa atau tidak

Kalau betul apa jenisnya

Apakah

jenis

gangguan

jiwa

tersebut

menyebabkan

ketidakmampuan bertanggung jawab atau tidak.


b. Obyek Korban
Jenazah/korban mati, ditemukannya jenazah akibat atau
diduga akibat pembunuhan, penganiayaan, mutilasi, dan
sebagainya, penegak hukum perlu meminta dpkter sebagai
kapasitasnya sebagai ahli untuk melakukan otopsi agar dapat
diketahui :
Identitasnya, yaitu identitas personal atau umum.
Prosesnya :
o

Waktu

Tempat

Alat dan cara melakukannya

Identitas Pelakunya (Jika mungkin)


c. Objek lain
Jika

penegak

hukum

yang

menangani

perkara

menemukan barang bukti yang merupakan atau diduga


merupakan bagian dari tubuh manusia atau menemukan
barang bukti yang berasal dari tubuh manusia, maka sudah
seharusnya

jika

barang

bukti

tersebut

dimintakan

pemeriksaan kepada dokter atau ahli lain. Tidak tertutup


kemungkinan justru dari hasil pemeriksaan tersebut akan
dapat diungkap banyak hal, antara lain :

Identitas pemilik dari potongan bagian tubuh itu, yaitu :


jenis kelamin, umur, tinggi badan, golongan darah, ras,
dll.

Bagian tubuh tersebut merupakan bagian dari tubuh


korban atau orang lain.
12

2. Suatu masalah yang bersifat hipotetik


Bila penyidik atau hakim yang menangani perkara pidana
menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis maka
ia dapat meminta dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli untuk
menjelaskannya, sebab dokter memiliki ilmu pengetahuan yang
dapat digunakan untuk menjawabnya.
2.1.4.3 Tingkat Peradilan
Keterangan

dokter

dalam

kapasitasnya

sebagai

ahli

dapat

dikategorikan sebagai ahli jika memenuhi syarat-syarat syahnya atau


bukti, yaitu syarat formal dan materiil, syarat formal adalah syarat
yang berkaitan dengan cara dokter memberikan keterangannya, yakni
sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak. Sedangkan syarat
materiil adalah syarat yang berkaitan dengan isi, yaitu :
1. Sesuai dengan kenyataan yang ada pada obyek yang
diperiksa.
2. Tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji
kebenarannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka hendaknya setiap
keterangan dokter sebagi ahli dapat diupayakan menjadi ketrangan
yang dapat berkualitas sebagai alat bukti (baik alat bukti kategori
keterangan ahli atau surat) atau paling tidak sebagai keterangan yang
dapat disamakan nilainya dengan alat bukti.
2.1.4.4.Peranan Dokter di TKP
Tempat kejadian perkara atau TKP adalah tempat ditemukannya
benda bukti dan atau tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang
diduga

kejahatan

menurut

suatu

kesaksian.

Dalam

perkara

pembunuhan biasanya ditempat ini ditemukan barang bukti korban


manusia ataupun bagian dari manusia serta barang barang bukti
lainnya. Tempat dimana korban ditemukan dapat disebut sebagai TKP
pertama ( primary crime scan), yang bukan selalu merupakan tempat

13

dimana sesungguhnya peristiwa tersebut telah terjadi. Dalam kasus


pembunuhan kadang kadang masih dapat ditemukan lokasi lain
dimana barang bukti penting lain dapat ditemukan dengan demikian
TKP ini merupakan TKP ganda (multiple ).
Peranan

dokter

di

TKP

adalah

pembantu

penyidik

dalam

mengungkap kasus dari sudut kedokteran forensik. Pada dasarnya


semua dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di TKP, namun
dengan perkembangan lebih spesialisasi dalam ilmu kedokteran adalah
lebih baik bila dokter ahli forensik atau dokter kepolisian yang hadir.
Dasar pemeriksaan adalah hexameter, yaitu menjawab 6 pertanyaan:
apa yang terjadi, siapa yang tersangkut, dimana dan kapan terjadi,
bagaimana terjadinya, dan dengan apa melakukannya, serta kenapa
terjadi peristiwa tersebut. Pemeriksaan kedokteran forensik di TKP
harus mengikuti ketentuan yang berlaku umum pada penyidikan di
TKP, sebagaimana sesuai yang tersebut dibawah ini:
1. Menjaga agar tidak mengubah keadaan TKP, sesuai dengan
motto: to touch as little as possible and to displace
anything :.
2. Semua benda

bukti

laboraturium

setelah

yang

ditemukan

sebelumnya

agar

dikirim

diamankan

ke

sesuai

prosedur.
3. Jangan meletakkan barang milik pribadi di TKP.
4. Benda bukti yang mengandung sidik jari, harus diperlakukan
hati hati dan disidik dulu oleh polisi.
2.1.4.5 Pelaksanaan Pemeriksaan di TKP
Dalam hal adanya permintaan penyidik ke TKP maka seorang
dokter memerlukan beberapa peralatan, antara lain yaitu:
1. Pinset anatomis
2. Skalpel ( pisau bedah )
3. Loop
4. Sarung tangan
5. Termometer
6. Kertas saring
7. Pipet
8. Senter kecil
9. Mistar dan meteran gulung
10.Botol plastik spesimen
14

11.Alat tulis untuk memberi label benda bukti


12.Larutan salin (NaCl 0,9%)
13.Formalin
14.Ciran pengetes darah
Tindakan tindakan yang dilakukan oleh dokter di TKP, antara
lain :

Membuat sketsa dari keadaan TKP dan foto.


Foto sebaiknya diambil dari panorama situasi secara umum
dan kemudian dibuat spot foto disesuaikan dengan keadaan
posisi korban saat ditemukan. Untuk kelainan pada tubuh

korban dapat diambil dari 3 arah.


Identidikasi potongan tubuh korban untuk menentukan
taksiran tinggi badan dan berata badan, sex, umur, ras.
Cara memindahkan mayat/ potongan mayat ke ambulance
- Mayat / potongan mayat hendaknya diletakkan dalam
selembar plastik putih untuk menghindarkan hilangnya

barang bukti
- Diberi label dan segel
Mengadakan koordinasi dengan penyidik sesudah pemeriksaan
selesai untuk memberikan hasil pemeriksaannya atau pendapat
tentang cara kematian berdasarkan fakta yang ditemukannya.
2.2

ANTROPOLOGI FORENSIK
Antropologi merupakan bidang studi sains tentang asal usul, perilaku, fisik,

sosial dan pengembangan lingkungan manusia. Antropologi forensik merupakan


bidang ilmu untuk physical anthropologists yang mengaplikasikan ilmunya dalam
bidang biologi, sains, dan budaya dalam proses hukum dengan tujuan untuk
penegakan keadilan. Antropologi forensik adalah pemeriksaan pada sisa-sisa
rangka. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai langkah pertama untuk
menentukan apakah sisa-sisa tersebut berasal dari manusia.
Menurut American Board of Forensic Anthropology, antropologi forensik
adalah aplikasi ilmu pengetahuan dari antropologi fisik untuk proses hukum.
Identifikasi dari kerangka, atau sediaan lain dari sisasisa jasad (dugaan manusia)
yang tidak teridentifikasi penting untuk alasan hukum maupun alasan
kemanusiaan. Forensik antropologi mengaplikasikan tehnik sains sederhana yang

15

berdasarkan antropologi fisik untuk mengidentifikasi sisa sisa jasad manusia dan
mengungkap tindak kejahatan.
Antropologi forensik meliputi penggalian arkeologis; pemeriksaan rambut,
serangga, plant materials dan jejak kaki; penentuan waktu kematian; facial
reproduction; photographic superimposition; detection of anatomical variants;
dan analisa mengenai cedera masa lalu dan penanganan medis. Namun, pada
pelaksanaannya forensik antropologi terutama untuk menentukan identitas jasad
berdasar bukti yang tersedia, yaitu menentukan jenis kelamin, perkiraan usia,
bentuk tubuh, dan pertalian ras.6,7
Gambar 1.
Anatomi
tulang
manusia.

Ruang
lingkup
pemeriksaan
antropologi
forensik
meliputi :
1. Oste
ologi

Osteologi, merupakan satu dari teknik yang paling bermakna pada


pemeriksaan antropologi forensik, karena antropologi forensik berhubungan
dengan pemeriksaan sisa-sisa tulang maupun tulang yang utuh. Pemeriksa
dapat menentukan perkiraan usia, jenis kelamin, pertalian ras, tampilan fisik
saat hidup. Tengkorak merupakan bagian dari rangka manusia yang paling
informatif. Namun, jarang sekali tengkorak ditemukan dalam keadaan utuh
ataupun baik. Oleh karena itu osteologis harus dapat memanfaatkan apapun
tulang yang tersedia.

16

Osteologi harus mengerti mengenai kerangka manusia. Langkah


pertama pertama dari osteologi menentukan sisa rangka yang ditemukan
apakah dari manusia atau bukan. Walaupun banyak sekali variasi yang
terdapat pada manusia atau hewan, namun terdapat persamaan-persamaan
umum pada setiap spesies. Jika tengkorak tidak ditemukan, tulang manusia
dapat dibedakan dari hewan berdasarkan bentuk, ukuran dan perbedaan
densitas tulang. Penentuan spesies akan sangat sulit jika tulang yang
ditemukan berupa pecahan-pecahan. Ada dua tipe sifat yang dapat
ditemukan dari sisa-sisa rangka yaitu metrik dan nonmetrik. Tipe metrik
adalah variasi ukuran tulang. Contohnya panjang dari humerus pada
seseorang dapat lebih panjang dari orang lain yang mempunyai tinggi badan
yang sama. Sifat nonmetrik adalah perbedaan antara tulang-tulang 6
seseorang yang tidak dapat diukur. Contohnya penyatuan pada tulang
seseorang dapat berbeda dengan orang lainnya.7
2. Dentisi
Dentisi merupakan ilmu yang mempelajari sisa-sisa gigi. Analisa dari
sisa-sisa gigi dapat digunakan untuk menentukan beberapa aspek pada
antropologi

forensik.

Digunakan

bersama

dengan

osteologi

untuk

menentukan usia, jenis kelamin dan diet. Pada orang dewasa terdapat 32
gigi yang pada masing-masing sisinya, pada rahang atas dan bawah terdapat
dua insisivus, satu kaninus, dan dua atau tiga molar. Pada anak-anak
terdapat dua puluh gigi dengan dua insisivus dan satu kaninus serta dua
molar pada masing-masing kuadran.7
3. Etnobotani
Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari tentang serbuk sari dan
tanaman dari masa lalu. Ini berguna untuk menentukan waktu sejak
kematian dan menentukan diet dari sisi arkeologi.7

Antropologi forensik dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin,


perkiraan umur, tinggi badan, dan pertalian ras. Pemeriksaan juga dapat
digunakan untuk memperkirakan waktu kematian, dan dugaan penyebab
kematian.6
17

A.

Penentuan Jenis Kelamin


Jenis kelamin dapat ditentukan dengan beberapa cara dari bagian-bagian

yang berbeda pada rangka. Penentuan jenis kelamin hanya mungkin pada rangka
orang dewasa. Salah satu cara yang umum dilakukan yaitu dengan mengukur
ukuran tulang, dimana pada pria ukuran rangka lebih besar. Sedangkan rangka
wanita mempunyai bentuk dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan
rangka seorang pria. Untuk menentukan jenis kelamin dari tulang panjang, dapat
dilihat dari karakteristik tulang panjang tersebut. Pada pria umumnya memiliki
tulang yang lebih panjang, lebih berat, dan lebih kasar, serta impresinya lebih
banyak. Tulang paha merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam
penentuan jenis kelamin. Ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%.9
Pelvis atau tulang panggul adalah tulang yang paling umum digunakan
untuk menentukan jenis kelamin. Dari pemeriksaan panggul secara tersendiri
tanpa pemeriksaan lain, jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90%
kasus. Perbedaan yang sangat jelas antara tulang panggul laki-laki dan perempuan
disebabkan oleh karena adaptasi tulang panggul perempuan untuk fungsi
melahirkan anak. Otot laki-laki yang lebih kuat menyebabkan tulang menjadi
lebih tebal dan jejas-jejas pada tulang lebih jelas.

18

Gambar 2. Tulang panggul laki-laki (A) dan tulang panggul perempuan (B).

Adapun perbedaan tulang panggul laki-laki dan perempuan adalah:11


1. Pintu atas panggul (apertura pelvis superior) berbentuk oval pada perempuan,
tetapi pada laki-laki berbentuk hati. Hal ini karena adanya penonjolan
promontorium pada laki-laki.
2. Cavitas pelvis pada perempuan lebih lapang dibandingkan laki-laki dan jarak
antara pintu atas panggul dan pintu bawah panggul (apertura pelvis inferior)
lebih pendek.
3. Pintu bawah panggul lebih lebar pada perempuan daripada laki-laki. Tuber
ichiadicum pada perempuan lebih menonjol keluar dan pada laki-laki
menonjol ke dalam.
4. Sudut subpubis atau arcus pubicus pada wanita lebih lebar, biasanya lebih
dari 900 dibandingkan laki-laki.
5. Sakrum lebih pendek, lebih lebar, dan lebih rata pada perempuan dibandi
laki-laki.
6. Acetabulum, yang merupakan tempat perlekatan kepala femur dengan os
pubis, khasnya lebih besar dan dalam pada pria dibandingkan wanita.
Gambar 3.
Perbedaan
Tulang Panggul
Pria dan
Wanita.

Kranium
atau tengkorak merupakan tulang yang juga berguna untuk menentukan jenis
kelamin. Dagu pada pria cenderung lebih petak dan lebih lancip pada wanita. Dahi
pada pria cenderung lebih landai sedangkan pada wanita dahinya lebih lurus. Pria
memiliki lengkungan alis yang lebih tinggi daripada wanita.6,7

19

Gambar 4.
Perbedaan
tulang
tengkorak
pria dan
wanita.

B.
Perkiraan
Waktu Kematian
Memperkirakan waktu kematian sangat sulit. Biasanya diperkirakan
berdasarkan jumlah dan kondisi dari jaringan lunak seperti otot, kulit, dan
ligamen, keadaan tulang yang masih baik, luas yang berhubungan dengan
pertumbuhan akar tanaman, bau busuk, dan aktivitas karnivora maupun serangga
pada jasad. Namun banyak variabel yang harus dipertimbangkan, seperti suhu saat
kematian, luka tusuk, kelembapan, ph tanah, dan kadar air. Semakin lama waktu
kematian semakin sulit menentukan interval waktu kematian.
1. Faktor lingkungan jauh lebih berperan daripada waktu dalam mempengaruhi
keadaan tulang.
2. Dalam menentukan umur tulang dapat berdasarkan:
Tes Fisika (fluoresensi dengan sinar ultraviolet)
Tes Serologi
Tes Kimia (Penentuan kandungan Nitrogen dan Asam amino)
3. Untuk penentuan lama kematian individu adalah dengan menghitung selisih
umur tulang dengan umur individu. Dan juga dari gambaran fisik tulang seperti
bau, warna, dan kepadatan tulang.8
C.

Pertalian Ras
Pertanyaan mengenai pertalian ras sulit untuk dijawab karena walaupun

klasifikasi ras memiliki komponen biologis yang sama, tetap didasari dari
hubungan sosial. Namun, beberapa rincian anatomis, terutama di wajah, sering
menunjukkan ras individual. Pada ras kulit putih memiliki wajah yang menyempit

20

dengan hidung yang agak meninggi dan dagu yang menonjol. Ras kulit hitam
memiliki hidung yang lebar dan subnasal yang berlekuk. Indian Amerika dan Asia
memilki bentuk tulang pipi yang menonjol dan tekstur gigi yang khas.6,7
Gambar 5.
Perbedaan tulang
tengkorak
berdasarkan ras.

D.

Bukti Trauma
Setelah tanah dan kotoran lainnya dibersihkan dari tulang dengan

menggunakan air dan sikat yang halus, maka jejas trauma yang halus sekalipun,
akan terlihat. 6,7
E.

Menentukan Tinggi badan


Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaan dimana yang harus

diperiksa adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka,
atau sebagian dari tulang saja.
Penentuan taksiran tinggi badan dapat ditentukan dengan menggunakan
kalkulator TI-82, dengan menggunakan persamaan y=mx + b. Tinggi merupakan
persamaan linear dari berbagai panjang tulang, yaitu humerus, radius, femur dan
tibia. 6,7
2.3

IDENTIFIKASI FORENSIK
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan

membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal


sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata.
Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan
karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Peran ilmu
kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal,
jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masal,
bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta
potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga
berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar,
atau diragukan orangtuanya. Penentuan identitas personal dapat menggunakan
21

metode identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian dan perhiasan, medik,
gigi, serologik dan secara eksklusi. Akhir-akhir ini dikembangkan pula metode
identifikasi DNA.9

2.3.1

Identifikasi Kerangka untuk perkiraan umur


Walaupun umur sebenarnya tidak dapat ditentukan dari tulang,

namun

perkiraan

umur

seseorang

dapat

ditentukan.

Biasanya

pemeriksaan dari os pubis, sakroiliac joint, cranium, artritis pada spinal


dan pemeriksaan mikroskopis dari tulang dan gigi memberikan
informasi yang mendekati perkiraan umur. Untuk memperkirakan usia,
bagian yang berbeda dari rangka lebih berguna untuk menentukan
perkiraan usia pada range usia yang berbeda. Range usia meliputi usia
perinatal, neonatus, bayi dan anak kecil, usia kanak-kanak lanjut, usia
remaja, dewasa muda dan dewasa tua.

Pemeriksaan terhadap pusat penulangan (osifikasi) dan penyatuan epifisis


tulang sering digunakan untuk perkiraan umur pada tahun-tahun pertama
kehidupan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan menggunakan foto radiologis atau
dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap pusat penulangan pada tulang.
Pemeriksaan terhadap penutupan sutura pada tulang-tulang atap tengkorak
guna perkiraan umur sudah lama diteliti dan telah berkembang berbagai metode,
namun pada akhirnya hampir semua ahli menyatakan bahwa cara ini tidak akurat
dan hanya dipakai dalam lingkup dekade (umur 20-30-40 tahun) atau mid-dekade
(umur 25-35-45 tahun) saja.
Gambar 6.
Penutupan sutura
tulang tengkorak.

Umur
dalam tiga tahapan
:
22

1. Bayi baru dilahirkan


Neonatus, bayi yang belum mempunyai gigi, sangat sulit
untuk menentukan usianya karena pengaruh proses
pengembangan

yang

berbeda

pada

masing-masing

individu. Bayi dan anak kecil biasanya telah memiliki gigi.


Pembentukan

gigi

sering

kali

digunakan

untuk

memperkirakan usia. Gigi permanen mulai terbentuk saat


kelahiran,
permanen

dengan

demikian

merupakan

pembentukan

indikator

yang

dari

baik

gigi
untuk

menentukan usia. Beberapa proses penulangan mulai


terbentuk pada usia dini, ini berarti bagian-bagian yang
lunak dari tulang mulai menjadi keras. Namun, ini bukan
faktor penentuan yang baik. Pengukuran tinggi badan
diukur :
Streeter : tinggi badan dari puncak kepala sampai
tulang ekor
Haase : tinggi badan diukur dari puncak kepala sampai
tumit
1
2
3
4
5

Umur
bulan
bulan
bulan
bulan
bulan

Panjang
1 cm
4 cm
9 cm
16 cm
25 cm

Umur
6 bulan
7 bulan
8 bulan
9 bulan
10 bulan

Panjang
30 cm
35 cm
40 cm
45 cm
50 cm

2. Anak dan dewasa sampai umur 30 tahun


Masa kanak-kanak lanjut dimulai saat gigi permanen
mulai

tumbuh.

mengeras.

Semakin

Masa

remaja

banyak

tulang

menunjukkan

yang

mulai

pertumbuhan

tulang panjang dan penyatuan pada ujungnya. Penyatuan


ini merupakan teknik yang berguna dalam penentuan
usia. Masing-massing epifisis akan menyatu pada diafisis
pada usia-usia tertentu. Dewasa muda dan dewasa tua
mempunyai

metode-metode

yang

berbeda

dalam

penentuan usia; penutupan sutura cranium; morfologi dari


ujung iga, permukaana urikula dan simfisis pubis; struktur
mikro dari tulang dan gigi.
23

Persambungan speno-oksipital terjadi pada umur 17


25 tahun.
Tulang selangka merupakan tulang panjang terakhir
unifikasi.
Unifikasi dimulai umur 18 25 tahun.
Unifikasi lengkap 25 30 tahun, usia lebih dari 31
tahun sudah lengkap
Tulang belakang sebelum 30 tahun menunjukkan alur
yang dalam dan radier pada permukaan atas dan
bawah.
3. Dewasa > 30 tahun
Sutura kranium (persendiannon-moveable pada kepala)
perlahan-perlahan menyatu. Walaupun ini sudah diketahui
sejak lama, namun hubungan penyatuan sutura dengan
penentuan umur kurang valid. Morfologi pada ujung iga
berubah sesuai dengan umur. Iga berhubungan dengan
sternum melalui tulang rawan. Ujung iga saat mulai
terbentuk tulang rawan awalnya berbentuk datar, namun
selama proses penuaan ujung iga mulai menjadi kasar
dan tulang rawan menjadi berbintik-bintik. Iregularitas
dari ujung iga mulai ditemukan saat usia menua.

Gambar 7. Perkembangan Tengkorak Berdasarkan Umur


Pemeriksaan tengkorak :
Pemeriksaan sutura, penutupan tabula interna
mendahului eksterna
Sutura sagitalis, koronarius dan sutura lambdoideus
mulai menutup umur 20 30 tahun
Sutura parieto-mastoid dan squamaeus 25 35 tahun
tetapi dapat tetap terbuka sebagian pada umur 60
tahun.
24

Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan menutup


sampai umur 70 tahun.

Pemeriksaan permukaan simfisis pubis dapat memberikan skala umur dari


18 tahun hingga 50 tahun, baik yang dikemukakan oleh Todd maupun oleh
Mokern dan Stewart. Mokern dan Stewart membagi simfisis pubis menjadi 3
komponen yang masing-masing diberi nilai. Jumlah nilai tersebut menunjukkan
umur berdasarkan sebuah tabel.Schranz mengajukan cara pemeriksaan tulang
humerus dan femur guna penentuan umur.
Demikian pula tulang klavikula, sternum, tulang iga dan tulang belakang
mempunyai ciri yang dapat digunakan untuk memperkirakan umur. Nemeskeri,
Harsanyi dan Ascadi menggabungkan pemeriksaan penutupan sutura endokranial,
relief permukan simfisis pubis dan struktur spongiosa humerus proksimal/epifise
femur, dan mereka dapat menentukan umur dengan kesalahan sekitar 2,55 tahun.
Perkiraan umur dari gigi dilakukan dengan melihat pertumbuhan dan
perkembangan gigi (intrauterin, gigi susu 6 bulan-3 tahun, masa statis gigi susu 36 tahun, geligi campuran 6-12 tahun). Selain itu dapat juga digunakan metode
Gustafson

yang

memperhatikan

atrisi

(keausan),

penurunan

tepi

gusi,

pembentukan dentin sekunder, semen sekunder, transparasi dentin dan


penyempitan/penutupan foramen apikalis.
Ketika tidak ada yang dapat diidentifikasi, gigi dapat membantu untuk
membedakan usia seseorang, jenis kelamin, dan ras. Hal ini dapat membantu
untuk

membatasi

korban

yang

sedang

dicari

atau

untuk

membenarkan/memperkuat identitas korban. Perkembangan gigi secara regular


terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini
memberikan hasil yang yang lebih baik dari pada pemeriksaan antropologi lainnya
pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6
intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 16 minggu dan berlanjut setelah
bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang
mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis
tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal

25

line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika
ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah
pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya
secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari
struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan
penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar
dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 16 tahun. Ini bukan
referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara
klinis dan radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi.

Gambar 8. X-ray gigi pada anak anak.

26

Gambar diatas memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak.


a) Gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan
perkembangan pada usia 9 tahun (padausia 6 tahun terjadi erupsi dari akar
gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh).
b) Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler pada
gambar (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.
Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar
tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi
degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang
lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.10
2.3.2 Identifikasi Korban
Untuk memastikan korban masih hidup atau sudah mati saat di mutilasi oleh
pelaku ada beberapa cara untuk membedakannya yaitu:
Mutilasi pada Korban yang Mutilasi
Perdarahan

Masih Hidup
- Sumber
-

gumpalan

karena

dari vena
Darah
biasanya

tidak menggumpal
Perdarahan sedikit
Ditemukan sedikit

faktor

pembekuan darah masih


-

Korban

yang sudah Meninggal


perdarahan
- Sumber perdarahan

arteri
Terbentuk
darah

pada

aktif
Perdarahan yang masiv
Terdapat resapan darah

atau

tidak

sekali

yang luas dan dalam

sama
resapan

darah

yang tidak bisa dicuci


Tepi luka

dengan air
Tepi luka terbuka lebar
(menganga)

Reaksi umum

bengkak
Pada korban

dan
hidup

ditemukan tanda-tanda
inflamasi, infeksi, dan

27

Tepi

luka

tidak

bengkak
-

Tidak ditemukan

ditemukan

jaringan

Histokimia darah

granulasi
Ditemukan sitokin pro

Gambaran

inflamasi leukotrin B4
Peningkatan platelet
Infiltrasi RBC, WBC

mikroskopis

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

pada jaringan luka


2.4 Contoh Laporan Kasus
Penelitian Psikologi mengenai perilaku memutilasi di Indonesia pernah
dilakukan oleh Markum dkk (2010). Penelitian ini mengambil contoh pada kasus
Ajo (nama samaran) yang menjadi pembunuh berantai. Ada 11 korban
pembunuhan Ajo dan satu tubuh korbanya yang dimutilasi. Kasus Ajo sdiambil
menjadi bahan penelitian dikarenakan motif yang dialakukan Ajo termasuk
lengkap yaitu kombinasi dari menguasi harta, masalah percintaan, cemburu,
ekonomi dan tujuan menghilangkan jejak.
Mengapa Ajo berperilaku agresif atau melakukan tindakan kekerasan
(violence) sampai menghilangkan nyawa orang lain. Ada berbagai teori yang
menjelaskan perilaku agresif, di antaranya teori naluri (instinct) dari Sigmund
Freud dengan konsep thanatos atau naluri kematian, dan teori frustrationaggression dari Dollard, Miller, Doob, Mowerer dan Sears. Demikian juga halnya
dengan teori frustration-aggression yang menyatakan bahwa perilaku agresif
selalu didahului oleh kondisi frustrasi (terhalangnya tujuan yang ingin dicapai).
Anggapan ini terbukti tidak tepat karena orang bisa berperilaku agresif tanpa
mengalami frustrasi lebih dahulu, misalnya, seorang anak kecil yang berperilaku
agresif semata-mata karena mengikuti atau meniru perilaku agresif kakaknya;
demikian pula tentara di medan perang akan bertindak agresif karena perintah
komandannya. Meskipun teori frustration-aggression ini dianggap lemah, namun
kondisi frustrasi sampai saat ini masih dipertimbangkan dalam mencegah atau
mengurangi perilaku agresif. Pada kasus Ajo (penganggur dengan gaya hidup
konsumptif, yang tidak dapat dipenuhinya) merupakan faktor awal (antecedent)
dari perilaku agresifnya (dalam hal ini menghabisi nyawa korban)
28

Teori yang lebih modern yang dapat menjelaskan kenapa seseorang dapat
melakukan suatu tindakan agresif dan kejam adalah Teori Integrated Cognitive
Antisocial Potential (ICAP). Konstruk utama teori ini adalah Antisocial Potential
(AP), yang mengasumsikan bahwa perubahan dari antisocial potential menjadi
tindakan antisosial dan kekerasan bergantung para proses kognitif (berpikir dan
pengambilan keputusan) yang juga memperhitungkan kesempatan (criminal
opportunity) dan adanya korban (victim). Yang dimaksud dengan AP adalah
potensi untuk melakukan tindakan antisosial, termasuk tindakan kekerasan. AP
terbagi dua, jangka panjang (long term) dan jangka pendek (short term). Masingmasing individu memiliki perbedaan dalam AP jangka panjang dan AP jangka
pendek. Pada AP jangka panjang, faktor=faktor yang berpengaruh adalah
impulsiveness, tekanan (strain), tokoh panutan (modeling) dan proses sosialisasi,
dan pengalaman hidup. Sementara pada AP jangka pendek bergantung pada
motivasi dan faktor situasional. Teori ICAP mengemukakan bahwa faktor
keluarga, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan, akan berpengaruh terhadap
potensi individu untuk melakukan tindak kekerasan. Motif utama yang dapat
memberikan kekuatan (energizer) timbulnya AP jangka panjang yang tinggi
adalah keinginan memiliki materi, status sosial dalam penjara, kegembiraan, dan
kepuasan seksual.
Pengalaman Ajo telah menimbulkan Potensi Antisosial yang akan
berkembang menjadi ICAP. Ajo pada masa kecil orang taunya bercerai karena
sang Ayah selingkuh, bahkan Ajo melihat sendiri orang tuanya bersenggama
dengan selingkuhannya. Saat kecil jika Ajo melakukan kesalahn maka Ibunya
akan menghukumnya dengan keras. Pengalaman inipun membuat orientasi
seksual ajo menjadi homoseksual. Dari hasil wawancara, pengalaman hidup Ajo
diliputi oleh kekecewaan, antara lain, habisnya harta keluarga, menyaksikan
perselingkuhan orangtuanya, kebingunan akan identitas diri sebagai gay, dan
penolakan oleh orang-orang yang dicintainya (orangtua, guru, dan teman sekolah).
Uraian di atas menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi Long Term
Antisocial Potential pada Ajo sehingga ia memiliki predisposisi tinggi bagi
pembentukan perilaku antisosial.
29

Pada penelitian Markum dkk (2010) juga menuliskan bahwa para pakar
meyakini adanya peran besar dari media massa yang dapat menimbulkan tindakan
mutilasi khususnya mutilasi defensive. Pada tahun 1989 terjadi kasus mutilasi
dimana pelaku mengakui bahwa perbuatannya terinspirasi oleh pemberitaan
media. Pada saat itu tersangka pelaku mutilasi mengatakan : "Ketika mulai panik
mau dikemanakan mayat itu, tiba-tiba kami ingat berita di koran tentang mayat
terpotong 13 yang ditemukan di Jalan Sudirman. Lalu terlintas pikiran, kalau
mayat itu saya potongpotong, tentu polisi sulit melacak."
Kasus Mutilasi lain yang terjadi di Melawi yang dilakukan oleh seorang
polisi kepada kedua anaknya. Pada hasil pemeriksaan psikiatri ternyata pelaku
mengalami skizofrenia yang telah berlangsung selama 4 tahun. Pelaku mengaku
mendengar bisikan yang memerintahkan dirinya membunuh kedua anaknya
(halusinasi).

BAB III
KESIMPULAN
Mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota
tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar dengan tujuan untuk
membuat relasi antara dirinya dengan korban terputus dan agar jati
diri korban tidak dikenali dengan alasan-alasan tertentu. Tindak
30

pidana mutilasi dibagi menjadi dua bagian yaitu: mutilasi defensif


(defensive mutilation) dan mutilasi ofensif (offensive mutilation).
Pengaturan mutilasi disamakan dengan pengaturan tindak pidana
terhadap nyawa pada umumnya, yaitu dengan berpedoman pada pasal
338 (pembunuhan dengan sengaja) dan pasal 340 (pembunuhan
dengan rencana) KUHP.
Dalam menangani suatu perkara pembunuhan tim penyidik tidak
berdiri sendiri, melainkan didukung oleh unsur dukungan laboratorium
kriminalistik dan kedokteran forensik. Untuk menemukan kebenaran
materiil, maka dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli, dapat diminta
bantuannya untuk memberikan keterangannya yang pada tingkat
penyidikan untuk membantu penyidik menentukan apakah suatu
peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan, sedangkan pada
tingkat penyidikan membantu penyidik mengumpulkan buktibukti
supaya dengan bukti itu perkaranya menjadi jelas dan pelakunya dapat
ditangkap.

Menurut American Board of Forensic Anthropology, antropologi forensik


adalah aplikasi ilmu pengetahuan dari antropologi fisik untuk proses hukum.
Antropologi forensik meliputi penggalian arkeologis; pemeriksaan rambut,
serangga, plant materials dan jejak kaki; penentuan waktu kematian; facial
reproduction; photographic superimposition; detection of anatomical variants;
dan analisa mengenai cedera masa lalu dan penanganan medis. Namun, pada
pelaksanaannya forensik antropologi terutama untuk menentukan identitas jasad
berdasar bukti yang tersedia, yaitu menentukan jenis kelamin, perkiraan usia,
bentuk tubuh, dan pertalian ras.
Jenis kelamin dapat ditentukan dengan beberapa cara dari bagian-bagian
yang berbeda pada rangka yaitu pada tulang panggul dan tulang tengkorak. Pelvis
atau tulang panggul adalah tulang yang paling umum digunakan untuk
menentukan jenis kelamin. Adapun perbedaan tulang panggul laki-laki dan
perempuan adalah pintu atas panggul (apertura pelvis superior) berbentuk oval
pada perempuan dan laki-laki berbentuk hati, cavitas pelvis pada perempuan lebih

31

lapang dibandingkan laki-laki, pintu bawah panggul lebih lebar pada perempuan
daripada laki-laki, tuber ichiadicum pada perempuan lebih menonjol keluar dan
pada laki-laki menonjol ke dalam, sudut subpubis atau arcus pubicus pada wanita
lebih lebar, biasanya lebih dari 900 dibandingkan laki-laki, sakrum lebih pendek,
lebih lebar, dan lebih rata pada perempuan dibandi laki-laki, dan acetabulum
khasnya lebih besar dan dalam pada pria dibandingkan wanita. Sedangkan
penentuan jenis kelamin pada tulang tengkorak dilihat dari dagu pria yang
cenderung lebih petak dan lebih lancip pada wanita,, dahi pada pria cenderung
lebih landai sedangkan pada wanita dahinya lebih lurus. Selain itu, pria memiliki
lengkungan alis yang lebih tinggi daripada wanita.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

Simanjuntak, Noach. 1984. Kriminologi. Bandung: Penerbit tarsito.


Chazawi, Adami. 2000. Kejahatan Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
3.
Yuwono, Soesilo. 1982. Penyelesaiaan Perkara Pidana Berdasarkan
4.

KUHAP. Alumni Bandung.


Prakoso, Djoko. 1987. POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum.

5.
6.

Jakarta: Bina aksara.


Garner, Bryan. 1999. Black Law Dictionary. Oxford University.
Mann RW. The Forensic Anthropologist. http://www.crimeandclues.com
32

7.

Wibowo BF, Rita R, & Destylya D. 2009. Antropologi Forensik. Fakultas

8.

Pekanbaru: Kedokteran Universitas Riau.


Ritonga, Mistar. 2004. Penentuan Lama Kematian Dilihat dari Keadaan

9.

Tulang. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


Idris AM. 2009. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta:

10.

Bina Rupa Aksara.


Clark, D. H. 1992. Practical Forensic Odontology. Butterworth-Heinemann

11.
12.

Ltd Melksham. Great Britain.


Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Markum ME, Putra IE, & Primadlhi A. 2010. Prilaku Memutilasi
di Indonesia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. INSAN 12:1. Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai