Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH MERDEKA

Sejarah Indonesia Sebelum Merdeka


Sebelum merdeka, negara Indonesia merasakan

pahitnya penjajahan oleh

beberapa negara asing. Dimulai dari


portugis yang pertama kali tiba di
Malaka
pada
tahun
1509.
Portugis
berhasil menguasai Malaka pada 10
Agustus
1511
yang
dipimpin
oleh
Alfonso
de
Albuquerque.
Setelah
menguasai
Malaka,
portugis
mulai
bergerak
dari
Madura
sampai
ke
Ternate. Bangsa Indonesia melakukan
berbagai
perlawanan
terhadap
Portugis. Salah satu perlawan yang
terkenal adalah perlawan Fatahillah
yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah
berhasil memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda
Kelapa.
Setelah itu nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
Masa penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda masuk
ke Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah
pimpinan Cornelius de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempahrempah di Indonesia dengan mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie
(VOC) di Banten pada tahun 1602. Karena pasar di Banten mendapat
saingan dari pedagang tionghoa dan inggris maka kantor VOC pindah ke
Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC mendapat perlawanan dari
Sultan Hasanuddin. Berbagai perjanjian dibuat. Salah satunya adalah
perjanjian Bongaya. Akan tetapi, Sultan Hasanuddin tidak mematuhi
perjanjian tersebut dan melawan Belanda. Setelah berpindah-pindah
tempat, akhirnya VOC sampai d Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC
menandatangani perjanjian Giyanti yang isinya adalah Belanda mengakui
mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1.
Perjanjian Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC dibubarkan pada
tanggal 1 Januari 1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.
Setelah VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda
menunjuk Daendels sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa
Deandels, masyarakat Indonesia dipaksa untuk membuat jalan raya dari
Anyer sampai Panarukan. Namun masa pemerintahan Daendels tidak
berlangsung lama dan digantikan oleh Johannes van den Bosch. Van den
Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Dalam sistem
tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk
ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini
akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
dipastikan (20%) dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Setelah 350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda di
Indonesia digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat
kepada jepang melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942.
Masa pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17
agustus 1945. Di Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi.
Organisasi yang dibuat Jepang antara lain adalah PETA (Pembela Tanah

Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan Jepang), PUTERA, Jawa Hokokai


(pengganti Putera).
Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa
daerah di Indonesia. Di daerah Cot Plieng aceh perlawanan terhadap
Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang guru ngaji di daerah
tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil,
sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat
sedang
melaksanakan
shalat
Subuh.
Dengan
persenjataan
sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil
memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga
dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada
serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara
pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri
dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang shalat.
Perlawanan lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di daerah
Blitar, Jawa Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi,
Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena
persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara
paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para
pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap
para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajuritprajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang
terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel
Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan
pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga
lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil
meloloskan diri.
Pemerintahan Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari
tentara sekutu di Perang Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima
dan Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara sekutu. Setelah mendengar adanya
kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh
Radjiman Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk lebih
menegaskan keinginan dan tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat
sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk
bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang
sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah
mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI,
dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat,
Sutan
Syahrir
mendesak
agar
Soekarno
segera
memproklamasikan
kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu
muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada
Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara
yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang
hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang
telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat
menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat
fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan
Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena
itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan

proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan hadiah dari Jepang.


Setelah mendengar Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945,
golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru.
Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat
proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke rumah
Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut
kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di
Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih
menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta
segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan
Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang
menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak
dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16
Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta
tidak
muncul.
Peserta
rapat
tidak
tahu
telah
terjadiperistiwa
Rengasdengklok. Perisiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan
terhadap Soekarno dan Hatta oleh golongan muda untuk mempercepat
pelaksanaan proklamasi. Setelah kembali ke Jakarta dari Rengasdenglok,
Soekarno dan Hatta menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda
yang dibantu oleh Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M.
Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Setelah konsep selesai, Sayuti
Melik menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan
proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan
keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.

Sejarah Setelah Kemerdekaan Indonesia


Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus
2605 menurut Tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh
Drs.Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom
atomdijatuhkan di atas kota Hirosima Jepang
olehAmerika Serikat yang mulai menurunkan
moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia.
Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha
Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia
BPUPKI , atau "Dokuritsu Junbi Cosakai",
berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia) atau disebut jugaDokuritsu Junbi
Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai
kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di
atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan
sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya.

Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI danRadjiman Wedyodiningrat sebagai mantan
ketuaBPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk
bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang
kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia,
pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrirtelah mendengar berita lewat radio bahwa
Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan
sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melaluiMarsekal Terauchi di Dalat, Vietnam,
mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat
dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.
Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari
Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan
karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang
setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam
kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang
hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan
proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan
dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan
Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah
hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap
PPKI adalah badan buatan
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut
Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan
kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh
mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal
bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak
menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan
dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah
sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha
bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh
konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda
Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda
menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.
Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya
di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
persiapan

Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh
Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI
pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.
Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok.

Anda mungkin juga menyukai