Anda di halaman 1dari 39

1

PENDAHULUAN
Penggunaan obat-obatan pada bidang peternakan sangat dibutuhkan untuk
hasil produksi yang optimal. Untuk memenuhi tuntutan produksi ternak yang
tinggi, maka ketersediaan obat hewan sangat diperlukan, disamping penggunaan
bibit unggul dan pemuliaan yang memakan waktu yang relatif lama.(11)
Antibiotik pada bidang peternakan digunakan untuk pengobatan dan
sebagai tambahan pakan agar hewan ternak tersebut bebas dari penyakit sehingga
pertumbuhan badannya tidak terhambat. Pada faktor keamanan pemakaian
antibiotik pada hewan ternak harus dipertimbangkan, karena pemakaian antibiotik
yang tidak beraturan menyebabkan residu dalam jaringan organ dan resistensi
yang berbahaya bagi kesehatan manusia. (21)
Antibiotik yang digunakan pada ternak khususnya pada ayam secara
prevalensi menggunakan antibiotik dari golongan tetrasiklin. Penggunaan
antibiotik tetrasiklin masih dipergunakan secara ekstensif oleh peternak ayam. (21)
Antibiotik golongan tetrasiklin merupakan salah satu golongan antibiotik yang
sering digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi respirasi kronis yang
disebabkan oleh Mycoplasma galliseticum, sinovitis yang disebabkan oleh
Mycoplasma sinovae dan kolera unggas pada ayam.(4)
Pemakaian obat-obatan yang tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan,
misalnya pada waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong.
Tentu akan menyebabkan obat tertinggal di dalam jaringan/organ tubuh yang
selanjutnya disebut sebagai residu yang kemudian terakumulasi dalam
jaringan/organ tubuh dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan residu obat
yang melewati batas maksimum (BMR) yang ditetapkan dapat menimbulkan

rekasi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis


pada manusia. Waktu henti pada golongan antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5
hari menjelang ternak dipotong. Menurut SNI 01-6366-2000, BMR antibiotik
golongan tetrasiklin dalam daging tidak melebihi 100 ppb.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya residu
tetrasiklin yang terdapat pada ayam broiler, serta mengetahui kadar residu
tetrasiklin yang terdapat pada ayam broiler di Pasar Ciawitali, Garut. Metode
yang digunakan untuk penentuan kadar residu tetrasiklin menggunakan
Spektrofotometri Ultraviolet secara adisi standar untuk mengetahui kadar residu
tetrasiklin dalam daging ayam broiler di pasaran dengan membandingkan
ketentuan penetapan BMR menurut SNI 01-6366-2000. Untuk menguji keabsahan
dari metode yang dikerjakan maka pada akhir penelitian ini dilakukan validasi.
Parameter validasi yang dilakukan akurasi dan presisi.
Manfaat dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan bermanfaat bagi
produsen ayam broiler yang sering dikonsumsi oleh masyarakat agar
memperhatikan penggunaan antibiotik yang digunakan pada ayam.

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Budidaya Ayam Pedaging (Broiler)


Ayam merupakan unggas penghasil daging yang sangat populer
dimasyarakat Indonesia, karena usaha peternakan ayam masih menjadi

sektor kegiatan yang paling cepat dan paling efisien untuk memenuhi
kebutuhan daging bagi masyarakat. Ayam pedaging (broiler) mampu
tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif
singkat (4-5 minggu). Daging ayam mempunyai peranan yang penting
sebagai sumber protein hewani asal ternak. (12)
Ayam pedaging merupakan hasil perkawinan silang dan sistem
yang berkelanjutan sehingga mutu genetiknya bisa dikatakan baik. Mutu
genetik yang baik akan muncul secara maksimal sebagai penampilan
produksi jika ternak tersebut diberi faktor lingkungan yang mendukung,
misalnya pakan yang berkualitas tinggi, sistem perkandangan yang baik,
serta perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit. (17)
Pakan adalah hal yang paling utama untuk ternak ayam pedaging,
harus mengandung nilai gizi yang perlu dicampur dengan bahan pakan lain
dengan proporsi tertentu untuk mendapatkan pakan seimbang dan
memenuhi kebutuhan zat gizi ayam ras pedaging. Pakan yang diberikan
harus mengandung nutrisi yang dibutuhkan ayam, yaitu karbohidrat, protein,
lemak, vitamin dan mineral. Pemberian pakan dengan sistem ad libitum
(selalu tersedia atau tidak dibatasi). (12)
1.1.1 Taksonomi

Gambar 1.1 Ayam Pedaging (Broiler)


Kingdom
Filum
Kelas
Subkelas

:
:
:
:

Animalia
Chordata
Aves
Neornithes
3

Ordo
Genus
Spesies

: Galiformis
: Gallus
: Gallus domesticus(7)

1.2 Antibiotika
Antibiotik adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan
bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat
ini, yang dibuat secara semi-sintesis dan sintesis dengan khasiat antibakteri.
Antibiotik merupakan obat yang sangat penting dan dipakai untuk
memberantas berbagai penyakit infeksi, misalnya radang paru-paru, typhus,
luka berat, dan lain-lain. Penggunaan antibiotika harus dibawah pengawasan
seorang dokter, karena dapat menimbulkan efek yang dikehendaki dan
kerugian yang cukup besar jika pemakaiannya tidak dikontrol dengan baik.
(20)

1.2.1

Golongan Antibiotik
1. Golongan Penisilin
Penisilin diklasifikasikan sebagai obat -laktam karena
cincin laktam yang unik. Penisilin memiliki ciri-ciri kimiawi,
mekanismen kerja, farmakologi, efek klinis dan karakteristik
imunologi yang mirip dengan sefalosporin, monobaktam,
karbapenem, -laktamase inhibitor yang juga merupakan
senyawa -laktam.(8)
2. Golongan Sefalosporin dan Sefamisin
Sefalosporin dengan penisilin secara kimiawi, cara kerja
dan toksisitas. Hanya saja sefalosporin lebih stabil terhadap
banyak beta-laktamase bakteri sehingga memiliki spektrum

yang lebih lebar. Sefalosporin tidak aktif terhadap bakteri


enterokokus dan L. Monocytogenes.(8)
3. Golongan Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan inhibitor

yang

potensial

terhadap sintesis protein mikroba. Kloramfenikol bersifat


bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan aktif terhadap
masing-masing bakteri gram positif.(8)
4. Golongan Tetrasiklin
Golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama untuk
mengobati infeksi dari M.pneumonia, klamidia, riketsia dan
beberapa infeksi dari spirokaeta. Tetrasiklin juga digunakan
untuk mengobati ulkus peptikum yang disebabkan oleh H.pylori.
Tetrasiklin menembus plasenta kemudian diekskresi melalui
ASI, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan
gigi pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium.
Tetrasiklin diekskresi melalui urin dan cairan empedu.(8)
Khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya melalui injeksi
intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah.
Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein
kuman. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci
Gram-positif dan Gram-negatif.(20)
a. Sifat Fisikokimia Tetrasiklin HCl
Tetrasiklin berwarna kuning dan bersifat amfoter,
garamnya dengan klorida/fosfat paling banyak digunakan.
Larutan garam tersebut hanya stabil pada pH < 2 dan terurai
pesat pada pH lebih tinggi. Begitu pula pada kapsul yang

disimpan di tempat panas dan lembab mudah terurai,


terutama dibawah pengaruh cahaya.(20)
Tetrasiklin HCl mudah larut dalam air, larut dalam
larutan alkali hidroksida dan dalam larutan karbonat, larut
dalam metanol, etanol, praktis tidak larut dalam kloroform
dan dalam eter. Bersifat stabil di udara tetapi pada
pemaparan terhadap cahaya matahari yang kuat dalam udara
lembab menjadi gelap. Dalam larutan dengan pH lebih kecil
2, potensi berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali
hidroksida serta memiliki suhu lebur 24oC. Rumus struktur
Tetrasiklin HCl, dapat dilihat pada gambar 2.(3)

Gambar 1.2 Struktur Tetrasiklin HCl


b. Mekanisme Kerja Tetrasiklin
Tetrasiklin bersifat bakteriostatik

dengan

jalan

menghambat sintesis protein. Hal ini dilakukan dengan cara


mengikat unit ribosom sel bakteri 30 S sehingga t-RNA
tidak menempel pada ribosom yang mengakibatkan tidak
terbentuknya amino asetil RNA. Antibiotik ini dilaporkan
juga berperan dalam mengikat ion Fe dan ion Mg.
Meskipun tetrasiklin dapat menembus sel mamalia, namun
pada umumnya tidak menyebabkan keracunan pada
individu yang menerimanya.(12)
6

Ada 2 proses masuknya antibiotik ke dalam ribosom


bakteri gram negatif, pertama yang disebut difusi pasif
melalui kanal hidrofilik, kedua yaitu sistem transport aktif.
Setelah masuk maka antibiotik berikatan dengan ribosom
30S dan menghalangi masuknya t-RNA asam amino pada
lokasi asam amino.(12)
5. Golongan Makrolida
Eritromisin merupakan bentuk

prototipe

dari obat

golongan makrolida yang disintesis dari S.erythreus. Eritromisin


efektif terhadap bakteri gram positif terutama pneumokokus,
strepkokus,

stafilokokus

dan

korinebakterium.

Aktifitas

antibakterial eritromisin bersifat bakterisidal dan meningkat pH


basa.(8)
6. Golongan Aminoglikosida
Termasuk golongan

aminoglikosida,

antara

lain

streptomisin, neomisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin dan


lain-lain. Golongan aminoglikosida pada umumnya digunakan
untuk mengobati infeksi akibat bakteri gram negatif enterik,
terutama pada bakteremia dan sepsis, dalam kombinasi dengan
vankomisin atau penisilin untuk mengobati endokritis dan
pengobatan tuberkolosis.(8)
7. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim
Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang
mekanisme kerjanya menghambat sintesis asam folat bakteri
yang akhirnya berujung kepada tidak terbentuknya basa purin
dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan

sulfametoxazole merupakan pengobatan yang sangat efektif


terhadap

pneumonia akibat P.jiroveci, sigellosis, infeksi

salmonela sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis dan


beberapa infeksi mikobakterium non-tuberkulosis.(8)
8. Golongan Flurokuinon
Golongan flurokuinon termasuk di dalamnya asam
nalidixat, siprofloxasin, norfloxasin, ofloxasin dan levofloxasin.
Golongan flurokuinon aktif terhadap bakteri gram negatif dan
efektif mengobati infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh
pseudomonas. Golongan ini juga aktif mengobati diare yang
disebabkan oleh shigella, salmonella, E.coli dan Campilobacter.
(8)

1.3 Pemakaian Tetrasiklin pada Ternak


Telah banyak antibiotika yang dipergunakan untuk mengobati
penyakit infeksi, baik yang dibuat secara alami ataupun dari hasil sintesa
dan banyak pula yang diproduksi dalam suatu industri. Pengobatan dengan
antibiotik pada ternak diharapkan dapat mengurangi resiko kematian,
menghambat penyebaran penyakit ke lingkungan, baik ke manusia maupun
ternak lainnya. Terlebih lagi apabila ternak ada dalam kelompok dengan
jumlah besar sehingga penularan penyakit infeksi mudah terjadi.
Penggunaan antibiotika yang dapat memberikan hasil penyembuhan yang
cepat sangat diperlukan, karena ternak diharapkan cepat kembali

berproduksi secara optimal sehingga kerugian ekonomi yang besar dapat


dihindari.(11)
Tetrasiklin yang digunakan pada unggas biasanya untuk pengobatan
Chromic Respiratory Disease (CRD) atau ngorok, air sacculitis,
hexamitiasis dan bleucomb, sinusitis dan sinivovitis dengan dosis 200-400
mg/galon air minum, sedangkan untuk pencegahan CRD diberikan dosis
100-200 mg/galon air minum. Tetrasiklin juga digunakan sebagai pemacu
pertumbuhan (antibiotic growth promotors/AGP), selain antibiotika
golongan penisilin, makrolida, linkomisin dan virginiamycin.(19) (20)
1.4 Residu Tetrasiklin pada Ternak
Residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan
penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit serta
penggunaannya sebagai imbuhan pakan. Sebagai imbuhan pakan, antibiotik
dapat memacu pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih besar dan lebih
cepat serta dapat mencegah terjadinya infeksi bakteri. (14) Penambahan obat
hewan antibakteri (antibiotik) ke dalam ransum pakan ternak bertujuan
meningkatkan laju pertumbuhan.(18)
Penggunaan antibiotik yang berlebihan serta tidak dipatuhinya waktu
henti obat menyebabkan timbulnya residu di dalam daging ternak, telur,
susu atau produk ternak lainnya. Waktu henti adalah kurun waktu dari saat
pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat
dikonsumsi. Waktu henti pemakaian antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5
hari menjelang ternak dipotong.(5)
Penggunaan obat-obatan tersebut meningkat tajam khususnya bagi
ternak sapi pedaging dan ayam pedaging agar laju pertumbuhan badannya

10

semakin cepat. Antibiotik pada ternak juga diberikan dalam bentuk suntikan.
Apabila hewan ternak yang baru saja mendapatkan suntikan antibiotik atau
ransum tersebut segera dipotong, dapat meninggalkan residu obat-obatan di
dalam daging ternak, telur, susu atau produk ternak lainnya.(18) Keberadaan
residu antibiotik dalam pangan asal hewan dapat mengakibatkan efek yang
buruk bagi manusia, diantaranya alergi, keracunan, karsinogen dan
resistensi terhadap antibiotik tertentu.(13)
1.5 Dampak Residu Antibiotika Dalam Produk Ternak Terhadap
Kesehatan
Pemakaian antibiotika sebagai pengobatan atau terapi sebagai pakan
yang dapat meningkatkan produksi ternak sehingga dapat mengejar target
yang diinginkan bagi para peternak. Disisi lain pemakaian antibiotika dapat
menyebabkan beberapa masalah, apabila pemberian antibiotika tidak
beraturan yang dapat menyebabkan residu dalam jaringan-jaringan atau
organ hewan. Residu dapat membahayakan bagi kesehatan manusia yang
mengkonsumsinya sehingga menyebabkan reaksi alergi yaitu dapat
mengakibatkan peningkatan kepekaan, kemudian reaksi resistensi akibat
mengkonsumsi dalam konsentrasi rendah dalam jangka waktu yang lama.(21)
Bahayanya efek residu terhadap kesehatan, maka ada ketentuan nilai
Batas Maksimum Residu (BMR) dalam produk ternak untuk masing-masing
antibiotika yang berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI, 2001). Pada
ketentuan SNI tertera daftar jenis antibiotika dan metabolitnya, serta diikuti
dengan nilai BMR dalam masing-masing produk ternak (daging, susu dan
telur). Ketentuan ini dapat mengetahui efek keberadaan residu dalam produk
ternak, apakah masih aman untuk dikonsumsi apabila dibawah nilai BMR
10

11

atau berbahaya bagi kesehatan manusia, apabila kandungan residu sudah


melewati nilai BMR.(21)
1.6 Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik
yang memakai sumber REM (Radiasi Elektromagnetik) ultraviolet dekat
(190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen
spektrofotometer. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik
yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri
UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan
kualitatif.(9) Radiasi ultraviolet diabsorpsi oleh molekul organik aromatik,
molekul yang mengandung elektron- terkonjungsi dan/atau atom yang
mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya
dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih
tinggi.(16)
Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebat dan hanya sedikit
informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi
spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif.
Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur
absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum
Lambert-Beer.(16)
Gugus atau atom dalam molekul organik yang mampu menyerap sinar
ultraviolet dan sinar tampak disebut kromofor (misalnya C=C, C=O dan
NO2) sedangkan auksokrom (misalnya OH, -NH2 dan -OCH3) merupakan
gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas sehingga mampu
memberikan transisi n. Terikatnya gugus ini pada gugus kromofor akan

11

12

mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang


yang lebih besar (pergeseran merah atau pergeseran batokromik) disertai
dengan peningkatan intensitas (efek hiperkromik).(6)
1.6.1 Prinsip Kerja Spektrofotometri Ultraviolet
Prinsip kerja spektrofotometri ultraviolet adalah interaksi yang
terjadi antara energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber
sinar dengan materi yang berupa molekul. Spektrofotometri UV
mengacu pada hukum Lambert-Beer. Apabila cahaya monokromatik
melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut akan
diserap, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi akan dipancarkan.(16)
Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan
cahaya yang hamburkan diukur sebagai transmitasi (T), dinyatakan
dengan Hukum Lambert-Beer, berbunyi : Jumlah radiasi cahaya
tampak (ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau
ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen
dari konsentrasi zat dan tebal kuvet. Rumus yang diturunkan dari
Hukum Lamber-Beer, yaitu :
A= a . b . c atau A = . b . c
Keterangan :
A = absorbansi
a = tetapan absorptivitas (jika konsentrasi larutan yang diukur
b
c

yang dalam ppm)


= tebal kuvet (tebal kuvet umumnya 1 cm)
= konsentrasi larutan yang diukur
= tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan yang
diukur dalam molar)

12

13

Penyimpangan
1.6.2

Jenis Transisi
1. Transisi * : Jauh,
energi >, maks kecil < 150 nm, uv
Konsentrasi
Gambar 1.3 Kurva Hukum Lambert-Beer
vakum, sukar diamati. Contoh : CH4 C-C, C-H maks = 125 nm
2. Transisi n * : Senyawa jenuh, e tak berpasangan, energi <
150 nm 250 nm, rendah. Contoh : metanol maks = 184 nm,

1.6.3

= 15
3. Transisi n * : E kecil, panjang 200-700 nm, = 10-100
4. Transisi -* : Senyawa tak jenuh = 1000-10.000
Analisis Kuantitaif
Analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometer uv dapat
digolongkan dua macam pelaksanaannya, yaitu :
1. Analisis Kuantitatif Zat Tunggal (Analisis Satu Komponen)
Analisis kuantitatif zat tunggal dilakukan dengan
pengukuran harga A pada panjang gelombang maksimum atau
dilakukan pengukuran %T pada panjang gelombang minimum.
Dilakukan pengukuran pada panjang gelombang maksimum
karena perubahan absorban untuk setiap satuan konsentrasi adalah
paling besar pada panjang gelombang maksimal, sehingga akan
diperoleh kepekaan analisis yang maksimal. Pita serapan di
sekitar panjang gelombang maksimal datar dan pengukuran ulang
dengan kesalahan yang kecil dengan demikian akan memenuhi
hukum Lambert-Beer.
Ada 4 cara pelaksanaan analisis kuantitatif zat tunggal, yaitu :

13

14

a. Pertama dengan membandingkan absorban atau persen


transmitan zat yang dianalisis dengan reference standart pada
panjang maksimal.
Keterangan :
A(S)
. C(S) =sampel
A(R.S) . C(R.S)
A(S) = absorban
larutan
C(S) = konsentrasi larutan sampel
A(R.S)= absorban reference standart
C(R.S) = konsentrasi larutan reference standart
b. Kedua dengan memakai kurva baku dari larutan standar
dengan pelarut tertentu pada panjang gelombang maksimum.
Dibuat grafik sistem koordinat Cartesian dimana sebagai
ordinat adalah absorban dan sebagai absis adalah konsentrasi.
c. Ketiga dengan cara menghitung harga absorbansi larutan
sampel pada pelarut tertentu dan dibandingkan dengan
absorbansi zat yang dianalisis yang tertera pada buku resmi.
d. Keempat dengan memakai perhitungan nilai ekstensi molat
(absorbansi molar ) sama dengan cara yang ketiga hanya
saja pada perhitungan absorbansi molar lebih tepat karena
melibatkan massa molekul relatif (Mr).(1)
2. Analisis Kuantitatif Campuran Dua atau Lebih Zat (Analisis
Multikomponen)
a. Larutan yang mendukung dua komponen yang menyerap, x
dan y, serapan diukur pada dua panjang gelombang. Ketelitian
yang tinggi didapatkan dengan memilih maks, karena dengan
pergeseran sedikit pada kurva serapan tidak banyak
pengaruhnya terhadap serapan.
b. Jumlah komponen dalam campuran dapat mencapai 8
komponen

dengan

14

syarat

selisih

panjang

gelombang

15

maksimum antar komponen minimal 5 nm. Jika jumlah


komponen dalam sampel lebih dari 3 maka untuk menghitung
kadar

digunakan

software

multikomponen

pada

alat

spektrofotometer uv.
c. Prinsip dasar analisis multikomponen dengan spektrometri
molekuler adalah total absorbansi dari larutan adalah jumlah
absorbansi dari tiap-tiap komponen. Anggap suatu larutan
terdiri dari komponen X dan Y, maka hasil absorpsi akan
tampak seperti dibawah ini.

Gambar 1.4 Panjang Gelombang


Pada 1, A1 = ax1Cx + ay1Cy
Pada 2, A2 = ax2Cx + ay2Cy
Keterangan : A1 adalah absorbansi pada 1, A2 adalah absorbansi
pada 2, ax1 adalah absorptivitas zat x pada 1, ax2 adalah
absorptivitas zat x pada 2, ay1 adalah absorptivitas zat y pada 1,
ay2 adalah absorptivitas zat y pada 2. Jika ax1, ax2, ay1 dan ay2
diketahui, maka dengan pengukuran A1 dan A2, dapat dihitung Cx
dan Cy.(15)

15

16

Cara modern dalam perhitungan analisis muti komponen


adalah cara pembanding spektra pada setiap interval panjang
gelombang yang sempit (2 nm) pada rentang panjang gelombang
pengukuran. Perhitungan kadar masing-masing komponen dapat
dilakukan dengan dua cara statistik yaitu : cara LSQ (Least
Squares Methods) atau dengan MLH (Maximum Likelihood).
Kedua metode tersebut tidak memerlukan kurva baku standar
murni. Semua perhitungan LSQ dan terseleksi dapat diperoleh
dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti prisma. Suatu
spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak yang
kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel
dan blanko ataupun pembanding.(1)
1. Sumber Radiasi
Sumber radiasi yang biasa digunakan pada spektroskopi
absorpsi adalah lampu wolfram. Arus cahaya tergantung pada
tegangan lampu, i = arus cahaya, V = tegangan, n = eksponen
(3-4 pada lampu wolfram), variasi tegangan masih dapat
diterima 0,2% pada suatu sumber DC, misalkan : baterai.
Lampu hidrogen atau lampu deuterium digunakan untuk
sumber pada daerah uv, untuk memperoleh tegangan yang
stabil dapat digunakan transformator. Jika potensial tidak
stabil, kita akan mendapatkan energi yang bervariasi, untuk
mengkonpensasi

hal

16

ini

maka

dilakukan

pengukuran

17

transmitan larutan sampel selalu disertai larutan pembanding.


(1)

2. Monokromator
Memperoleh sinar yang monokromatis. Alatnya dapat
berupa

prisma

ataupun

grating.

Mengarahkan

sinar

monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini


dapat digunakan celah. Jika celah posisinya tetap, maka
prisma atau gratingnya yang digunakan dirotasikan untuk
mendapatkan yang diinginkan. Ada dua tipe prisma yaitu
susunan Cornu dan susunan Littrow.
Secara umum tipe Cornu menggunakan sudut 60o,
sedangkan tipe Litrrow menggunakan prisma di mana pada
sisinya tegak lurus dengan arah sinar yang berlapis
alumunium serta mempunyai sudut optik 30o.(1)
3. Sel Absorpsi
Pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau
kuvet kaca corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran
pada daerah uv harus menggunakan sel kuarsa gelas tidak
tembus daerah cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal
kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang
lebih besar dapat digunakan. Sel yang digunakan biasanya
berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga
digunakan. Pelarut organik dapat menggunakan kuvet yang
tertutup. Sel yang baik adalah kuarsa atau gelas hasil leburan
1.6.4

serta seragam keseluruhannya.(1)


Aplikasi Spektrofotometri UV
1. Syarat Pengukuran

17

18

Syarat pengukuran dengan spektrofotometer uv :


a. Sampel dalam larutan menyerap sinar uv (180-350 nm);
b. Molekul senyawanya memiliki ikatan rangkap atau elektron
non-bonding (transisi n-*, -*, n-*);
c. Larutan bening dapat tidak berwarna;
2. Analisis
a. Analisis kuantitatif dengan metode perbandingan :
A (sampel)/A (standar) = C (sampel)/C (standar)
A masing-masing terukur, C standar diketahui, C sampel
dapat ditentukan.
b. Analisis kuantitatif dengan metode kalibrasi
Keterangan : A = absorbansi
A= bC
= absorptivitas
b = tebal larutan
C = konsentrasi
1.7 Validasi Metode
Validasi adalah konfirmasi melalui pengujian dan penyediaan bukti
objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud khusus telah
dipenuhi. Jadi validasi metode merupakan suatu proses yang menunjukkan
bahwa prosedur analitik telah sesuai dengan penggunaan yang dikehendaki.
Validasi dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan
akurat, spesifik, reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan
dianalisis. Menurut United States of Pharmacopeia (USP) ada 8 langkah
dalam validasi metode analisis, yakni akurasi, presisi, batas deteksi, batas
kuantifikasi, spesifisitas, linieritas dan rentang, kekasaran (ruggedness) dan
ketahanan (robutness).(6)
1. Akurasi
Akurasi (ketepatan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi
dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (% recovery) analit yang
ditambahkan. Persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara

18

19

hasil

yang

diperoleh

dengan

hasil

yang

sebenarnya

dengan

perhitungannya,(10) yaitu :
AB
Keterangan : A = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah
% Perolehan kembali =
x
C
penambahan baku
B = konsentrasi sampel sebelum penambahan baku
C = konsentrasi sampel baku yang ditambahkan
2. Presisi (keseksamaan)
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian
antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual
dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampelsampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi dapat
dilakukan pada 3 tingkatan yang berbeda, yaitu keterulangan
(repeatibility), presisi antara (intermediate precision), dan ketertiruan
(reproducibility). Keterulangan yaitu presisi pada kondisi percobaan
yang sama (berulang), baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun
waktunya. Presisi antara adalah presisi pada kondisi percobaan yang
berbeda, baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya.
Ketertiruan merujuk pada hasil-hasil dari laboratorium yang lain.(6)
Simpangan baku atau standar deviasi (SD) merupakan akar
jumlah kuadrat deviasi masing-masing hasil penetapan terhadap mean
dibagi dengan derajat kebebasannya yang dinyatakan dalam rumus,
yaitu :

Keterangan : X

( x x )2
n1

= nilai dari masing-masing pengukuran

19

20

X
n

rata-rata (mean) dari pengukuran

= frekuensi penetapan

n-1 = derajat kebebasan


Simpangan baku relatif atau standar deviasi relatif (RSD)
merupakan ukuran ketepatan relatif yang umumnya dinyatakan dalam
persen. RSD dirumuskan dengan persamaan, yaitu :
SD
x

RSD =

x 100 %

Keterangan : RSD = Relative Standart Deviation (%)


S

= Standart Deviation
x

= rata-rata

3. Batas Deteksi (limit of detection/LOD)


Batas deteksi (limit of detection) merupakan sebagai konsentrasi
analit terendah dalam sampel yang masih dapat terdeteksi, meskipun
tidak selalu dapat dikuantifikasi. Batas deteksi dapat dihitung dengan
rumus, yaitu :

3 x S ( y / x)
Batas deteksi =
b
Keterangan : S (y/x) = simpangan baku residual
b

= slope

4. Batas Kuantitasi (limit of quantitaion/LOQ)


Batas kuantitas (limit of quantitation) merupakan sebagai
konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan

20

21

presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional


metode

yang

digunakan.(10)

Batas

kuantitasi

dihitung

dengan

menggunakan rumus, yaitu :


Batas deteksi =

10 x S ( y / x)
b

Keterangan : S (y/x) = simpangan baku residual


b

= slope

5. Spesifitas (selektivitas)
Spesifisitas dari suatu metode analisis adalah kemampuannya
untuk mengukur analit secara khusus dengan akurat, disamping
komponen lain yang terdapat dalam matriks sampel. Spesifisitas metode
ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang
mengandung cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing
lainnya atau pembawa plasebo dengan hasil analisis sampel tanpa
penambahan bahan-bahan tadi. Penyimpangan hasil jika ada merupakan
selisih dari hasil uji keduanya.(10)
6. Linieritas dan Rentang
Linieritas suatu metode analisis adalah kemampuan untuk
menunjukkan bahwa nilai hasil uji langsung untuk setelah diolah secara
matematika, proporsional dengan konsentrasi analit dalam sampel batas
rentang konsentrasi tertentu. Rentang metode adalah pernyataan batas
terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan
dengan akurasi, presisi, dan linieritas yang dapat diterima.(8)
Linieritas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah
garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang

21

22

diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi
analit. Pengujian linieritas secara matematik melalui persamaan garis
lurus dengan metode kuadrat terkecil antara hasil analisis terhadap
konsentrasi analit dengan rumus,(10) yaitu :

Keterangan : y = absorban kurva kalibrasi


x = kadar larutan standar
y = ax + b
b = slope
a = intercept

BAB II
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada analisis kadar residu antibiotik tetrasiklin
dalam ayam broiler di Pasar Ciawitali Garut dilakukan dengan metode
spektrofotometri UV. Pertama yang dilakukan yaitu dilakukan simulasi sampel
pada ayam broiler, kemudian pengumpulan sampel daging ayam telah dipilih,
persiapan daging ayam dihaluskan dan ditambahkan dengan pelarut. Dilanjutkan
dengan uji kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV untuk mengetahui
22

23

berapa besar kadar residu antibiotik tetrasiklin dalam sampel ayam jika hasil
menunjukkan positif.

BAB III
ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam peneltian ini adalah batang pengaduk,
gelas kimia, blender, botol semprot, gelas ukur, hot plate, kaca arloji, labu
ukur, magnetic stirrer, neraca analitik, pipet tetes,

pipet volume 10 ml,

spatel, Spektrofotometer UV, sentrifugator PLC Series dan tabung reaksi.


3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air suling, asam
klorida, asam nitrat monohidrat, dinatrium hidrogen fosfat anhidrat, dinatrium
edetat dihidrat, daging ayam potong segar dan tetrasiklin hidroklorida.

23

24

BAB IV
PROSEDUR PENELITIAN
4.1 Pengumpulan Sampel
Pengumpulan sampel ayam dilakukan dengan menggunakan teknik
quota sampling yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan atas dasar
jumlah atau jatah yang ditentukan. Sampel ayam broiler yang memiliki
kriteria dimungkinkan mengandung residu tetrasiklin yang beredar di Pasar
Ciawitali, Garut.

4.2 Simulasi Sampel


Dilakukan simulasi sampel yang bertujuan untuk menyerupakan suatu
metode yaitu mengambil beberapa sampel ayam dan diberi perlakuan
pemberian dosis antibiotik sampai pada tahap pemotongan pada usia ayam
31-33 hari, kemudian mengambil sampel daging ayam yang beredar di Pasar
Ciawitali. Pertama yang dilakukan yaitu siapkan kandang atau wadah box
yang diberikan lampu 5 watt, tempat makan dan minum untuk anak ayam.
Anak ayam yang baru menetas 1 hari dipindahkan dalam kandang atau box
khusus yang telah disiapkan. Berikan vitamin dan pakan khusus untuk anak
ayam selama 1-26 hari. Pada umur 27 hari diberikan antibiotik tetrasiklin
sebelum dilakukan pemanenan atau penyembelihan anak ayam. Anak ayam
yang berumur 31-33 hari dilakukan penyembelihan. Ayam yang sudah
disembelih, dibersihkan dan dilakukan perendaman dengan air panas untuk
dilakukan pencabutan bulu dari daging ayam. Ayam yang direndam dengan

24

25

air panas, dicabut bulunya kemudian cuci dengan air mengalir sampai bersih.
Dilakukan pemotongan mulai paha dan dada kemudian dilakukan preparasi
sampel dan pengujian selanjutnya.
4.3 Preparasi sampel
Preparasi sampel bertujuan untuk menyiapkan sampel agar bisa
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Proses preparasi sampel
dimulai dari pemilihan sampel ayam yang segar, pencucian, pemotongan
bagian ayam yang digunakan untuk pengujian analisis kadarnya yaitu dada
dan paha Proses penghalusan sampel dengan menggunakan blender untuk
memudahkan saat pengujian analisis kadarnya, penimbangan hingga
penarikan zat yang diinginkan pada sampel.
4.4 Pembuatan Larutan
1) Larutan HCl
a) Disiapkan HCl pekat sebanyak 8,4 ml
b) Diencerkan dengan air suling dalam labu ukur 1000 ml hingga tanda
batas
2) Larutan Besi (III) klorida 1%
a) Ditimbang sebanyak 1 g besi (III) klorida
b) Dilarutkan dalam air suling hingga 10 ml dan disaring

3) Pembuatan Larutan Buffer Mcllvaine pH 4


a) Ditimbang 7,1025 g dinatrium hidrogen pospat anhidrat dan
dilarutkan dengan air suling hingga garis tanda dalam labu ukur 250
ml.

25

26

b) Dibuat larutan asam sitrat dengan melarutkan 5,2525 g asam sitrat


monohidrat dengan air suling hingga tanda batas di dalam labu ukur
250 ml.
c) Buffer Mcllvaine dibuat dengan mencampurkan 200 ml larutan asam
sitrat dengan 125 ml larutan fosfat. Kemudian di cek pH-nya.
4) Pembuatan Larutan Buffer Mcllvaine-EDTA
a) Ditimbang 12,98 g dinatrium EDTA dihidrat.
b) Dilarutkan ke dalam 325 ml buffer Mcllvaine.
4.5 Pembuatan Larutan Induk Tetrasiklin HCl
1) Ditimbang tetrasiklin 25 mg, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml;
2) Dilarutkan dengan asam klorida (HCl) 0,1 N tanda batas dikocok hingga
homogen, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 g/ml,
larutan ini disebut larutan induk baku (LIB I);
3) Dipipet 5 ml LIB I, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, lalu
diencerkan dengan HCl 0,1 H hingga tanda batas dan diperoleh
konsentrasi 50 g/ml (LIB II).
4.6 Uji Kualitatif
1) Menggunakan pereaksi H2SO4 pekat
a) Ditimbang sampel 10 g, lalu dilarutkan dengan aquadest 100 ml
kemudian disaring.
b) Dipipet 2 ml larutan ditambahkan H2SO4 pekat, terbentuk warna
jingga
2) Menggunakan pereaksi FeCl3 1%
a) Ditimbang sampel 10 g, lalu dilarutkan dengan aquadest 100 ml
kemudian disaring.
b) Ditambahkan dengan NaHCO3 atau HCl (dinetralkan).
c) Direaksikan dengan 2 tetes FeCl3 1 % sehingga warna berubah
menjadi merah sampai ungu.
3) Menggunakan pereaksi HNO3
a) Ditimbang sampel 10 g, lalu dilarutkan dengan aquadest 100 ml.

26

27

b) Disaring, lalu diambil larutan sebanyak 2 ml dan direaksikan dengan


HNO3 pekat warna berubah menjadi jingga.

4.7 Uji Kuantitatif dengan Metode Spektrofotometri UV


4.7.1 Penentuan Panjang Gelombang () Maksimum
1) Dipipet 5 ml larutan induk baku (LIB) II (50 g/ml);
2) Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml;
3) Diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda (10 g/ml).
Dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan dengan

4.7.2

konsentrasi 10 g/ml;
4) Diukur serapan pada panjang gelombang 200-400 nm.
Ekstraksi sampel
1) Sampel yang telah dihaluskan, ditimbang sebanyak 20 g;
2) Ditambahkan 40 ml buffer Mcllvaine-EDTA (pH 4) lalu
dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer dan hot
plate selama 10 menit;
3) Disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 15 oC selama
10 menit. Larutan supernatan diambil dan diendapkan;
4) Ditambahkan lagi dengan 20 ml buffer Mcllvaine-EDTA dan
disentrifugasi lagi dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 15 oC
selama 10 menit. Supernatan diambil dan endapan ditambahkan
lagi dengan 20 ml buffer Mcllvaine-EDTA dan disentrifugasi lagi
dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 15oC selama 10 menit;
5) Supernatan yang diperoleh dikumpulkan dan disentrifugasi lagi
dengan 5000 rpm selama 20 menit pada suhu 15oC;
6) Dimasukkan supernatan yang telah disentrifugasi ke dalam labu
ukur 100 ml dan dicukupkan dengan HCl 0,1 N hingga baris tanda
batas (larutan sampel).

27

28

4.7.3

Penentuan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Ayam Pedaging


1) Disiapkan masing-masing 1,6 ml larutan sampel dan dipipet ke
dalam 5 labu ukur 10 ml;
2) Ditambahkan berturut-turut 0,00; 2,50; 3,75; 5,00 dan 6,25 ml LIB
II, dengan HCl 0,1 N hingga tanda batas;
3) Diperoleh masing-masing larutan tetrasiklin

baku

dengan

konsentrasi 0,0; 5,0; 7,5; 10,0; dan 12,5 g/ml. Absorbansi dari
masing-masing larutan diukur pada panjang gelombang 270 nm;
4) Dibuat grafik absorbansi dan konsentrasi standar.
4.8 Validasi Metode
Mengekstrapolasikan garis pada sumbu X (garis memotong sumbu X)
atau mensubstitusikan absorbansi (Y) = 0 pada persamaan regresi yang
diperoleh maka konsentrasi residu tetrasiklin dalam larutan sampel yang
diukur (Cx). Rumus perhitungan kadar residu tetrasiklin dalam sampel ditulis
sebagai berikut :
Kadar residu tetrasiklin dalam sampel (g/g sampel) =

Cx

( gml ) x Faktor pengenceran x Volume sampel (ml )


Berat penimbangan sampel (g)

28

29

4.8.1

Analisi Data Penetapan Kadar Secara Statistik


Data perhitungan kadar residu tetrasiklin, dianalisis secara
statistik menggunakan uji t. Rumus yang digunakan untuk menghitung
simpangan baku adalah :
Sedangkan untuk mendapatkan thitung digunakan
rumus :
(Xi X )2
SD =
n1

Xi X
SD = SD / n
Data diterima jika ttabel < thitung < ttabel pada interval kepercayaan 95%
dengan nilai = 0,05.
Untuk menghitung kadar residu tetrasiklin dalam sampel secara
statistik digunakan rumus :
Keterangan :

Kadar residu
tetrasiklin
= X baku (t x SD /
SD = standart
deviation
/ simpangan
Xi = kadar residu tetrasiklin
X
= kadar rata-rata residu tetrasiklin

4.8.2

n )

n = jumlah pengulangan
t = harga ttabel sesuai derajat kepercayaan
Uji Presisi
Presisi metode penelitian dinyatakan oleh simpangan baku relatif
(Relative Standart Deviation/RSD) dari serangkaian data uji perolehan
kembali. RSD dapat dirumuskan sebagai berikut :

SD
RSD
=
X X 100%
Keterangan : SD = Standart Deviation
/ simpangan baku
X

4.8.3

= Kadar rerata tetrasiklin dalam sampel yang di uji

Uji Akurasi

29

30

Akurasi ditentukan dengan menggunakan metode penambahan


baku (the method of standart additives), yakni ke dalam sampel daging
ayam ditambahkan tetrasiklin HCl baku banyak 100% dari kadar
tetrasiklin yang diketahui terdapat dalam sampel, kemudian dianalisis
dengan prosuder yang sama seperti pada sampel.

% Perolehan kembali =

C A
C F C A

X 100%

Keterangan :
CF

kadar analit yang diperoleh setelah penambahan tetrasiklin

baku

CA

kadar analit sebelum penambahan tetrasiklin baku

C A
= kadar tetrasiklin baku yang ditambahkan

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2007, Modul Kuliah Spektroskopi Fakultas Farmasi Universitas


Sanata Dharma, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

30

31

2. Budavari, S., 2001, The Merck Index. An Encyclopedia of Chemicals,


Drug, and Biologicals, Edisis ke-13, Merck & Co., Inc, New Jersey, hal.
1641
3. Cherlet, M., S. Baere., dan P. Backer., 2003, Quantitative Analysis of
Oxytetracycline and Its 4-epimer in Calf by High-Performane Liquid
Chromatography Combined with Positive Electrospray Ionization Mass
Spectrometry, Analyst, 128 : 871-878
4. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 1993, Indeks Obat
Hewan Indonesia, Edisi III, Jakarta.
5. Gandjar, I.G., dan Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis, Cetakan ke
IV, Pustaka Belajar, Yogyakarta, hal. 229-231, 252-254.
6. Hanifah A., 2010, Taksonomi Ayam, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas
Maret, Solo
7. Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, No.1 Vol. 3, hal. 117-135
8. Katzung , B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi ke VI, Buku
Kedokteran EG, Jakarta, hal. 286
9. Lastari, P., Krisyanto, E.H., Pracoyo, N.I, 1987, Analisis Residu Tetrasiklin
dalam Ayam Broiler, Cermin Dunia Kedokteran, 46: 28-30
10. Mukti, Kusnanto., 2012, Analisis Spektroskopi UV-Vis Penentuan
Konsentrasi Permanganat (KMnO4), Universitas Sebelas Maret, Surakarta
11. Miller, J.N., dan J.C. Miller., 2010, Statistics and Chemometrics for
Analytical Chemistry for Analytical Chemistry, Edisi VI, Ashford Colour
Press, UK
12. Murdiati, Tri Budhi., 1997, Pemakaian Antibiotika Peternakan, WARTAZOA
Vol. 6 No.1, hal. 18
13. Nofita, 2016, Validasi Metode Matrix Solid Phase Dispersion (MSPD)
Spektrofotometri UV Analisis Residu Tetrasiklin dalam Daging Ayam
Pedaging, Skripsi, FMIPA Universitas Lampung, Lampung

31

32

14. Rico, AG., 1986, Drug Residues in Animal, Academic Press, Toulose
15. Riti N., Handayani N., Dewi A, 2002, Survei Residu Antibiotika Asal
Hewan di Kabupaten Bandung Tahun 2002. Bandung
16. Rival, Hairul., 2013, Penggunaan Spektrofotometer UV-Vis (Analisis
Kuantitatif), Universitas Andalas, Padang
17. Rouessac, F., 2007, Chemical Analysis, John Wiley & Son Ltd., Engla
18. Satiadarma, K., 2004, Azas Pengembangan Prosedur Analisis, Airlangga
University Press, Surabaya, hal. 87-91.
19. Situmorang, Glorya F., 2013, Analisis Usaha Peternak Broiler Pola
Kemitraan dan Peternak Mandiri, Skripsi, Fakultas Petarnian, Universitas
Sumatera Utara, Medan
20. Suryani, D., 2009, Validasi Metode Analisis Antibiotik Tetrasiklin dalam
Daging Ayam Pedaging secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi,
Skripsi, Departemen Kimia FMIPA IPB Bogor.
21. Subronto, 2001, Ilmu Penyakit Ternak II, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal 257-259, 315-321

32

33

LAMPIRAN 1
ALUR PENELITIAN

Pengambilan sampel

Simulasi sampel

Preparasi sampel

Pembuatan Larutan

Pembuatan Larutan Induk Tetrasiklin HCl

Uji Kualitatif

Ada residu
Tetrasiklin HCl

Tidak ada residu


Tetrasiklin HCl

Uji Kuantitatif dengan


Metode
Spektrofotometer

Validasi Metode

33

34

LAMPIRAN 2
PEMBUATAN LARUTAN INDUK TETRASIKLIN HCl

Ditimbang tetrasiklin 25 mg, dimasukkan ke


dalam labu ukur 50 ml

Dilarutkan dengan HCl 0,1 N tanda batas


dikocok hingga homogen, sehingga diperoleh
500 g/ml untuk larutan induk baku (LIB I)

Dipipet 5 ml LIB I, dimasukkan ke dalam labu


ukur 50 ml, lalu diencerkan dengan HCl 0,1 N
hingga tanda batas dan diperoleh konsentrasi
50 g/ml (LIB II)

LAMPIRAN 3
UJI KUALITATIF
34

35

a) Menggunakan pereaksi H2SO4

Ditimbang sampel 10 g, lalu dilarutkan


dengan aquadest 100 ml kemudian disaring
Dipipet 2 ml larutan ditambahkan H2SO4
pekat

Positif jika terbentuk warna jingga

b) Menggunakan pereaksi FeCl3 1%

Ditimbang sampel 10 g, lau dilarutkan dengan


aquadest 100 ml kemudian disaring

Ditambahkan NaHCO3 atau HCl (dinetralkan)

Direaksikan dengan 2 tetes FeCl3 1%


sehingga warna berubah menjadi merah
sampai ungu

c)

Menggunakan pereaksi HNO3

Ditimbang sampel 10 g, lalu dilarutkan


dengan aquadest 100 ml
35

36

Disaring, lalu ditambahkan larutan sebanyak 2


ml dan direaksikan dengan HNO3 pekat

Positif jika warna berubah menjadi jingga

LAMPIRAN 4
UJI KUANTITATIF DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETER UV
a) Penentuan panjang gelombang ( ) Maksimum

36

37

Dipipet 5 ml larutan induk baku (LIB) II (50


g/ml)

Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml

Disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm


pada suhu 15oC selama 10 menit. Supernatan
diambil dan diendapkan

Diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis


tanda batas (10 g/ ml)

Dikocok sampai homogen sehingga diperoleh


larutan dengan konsentrasi 10 g/ml

Diukur serapan pada panjang gelombang 200400 nm

b) Ekstraksi Sampel
Sampel yang dihaluskan ditimbang 20 g

37

38

Ditambahkan 40 ml buffer McIlvaine-EDTA


(pH 4) lalu dihomogenkan menggunakan
magnetic stirrer dan hot plate selama 10 menit

Disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm


pada suhu 15oC selama 10 menit. Supernatan
diambil dan diendapkan

Ditambahkan lagi dengan 20 ml McIlvaineEDTA dan disentrifugasi lagi dengan


kecepatan 3500 rpm pada suhu 15oC selama
10 menit

Supernatan diambil dan endapan ditambahkan


lagi 20 ml buffer McIlvaine-EDTA dan
disentrifugasi lagi dengan kecepatan 3500 rpm
pada suhu 15oC selama 10 menit

Supernatan dikumpulkan dan disentrifugasi


lagi dengan 5000 rpm selama 20 menit pada
suhu 15oC

Dimasukkan supernatan ke dalam labu ukur


100 ml dan dicukupkan dengan 0,1 N hingga
baris tanda batas (larutan sampel)

c) Penentuan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Daging Ayam Pedaging

Masing-masing 1,6 ml larutan sampel dan


dipipet ke dalam 5 labu ukur 10 ml

38

39

Ditambahkan berturut 0,00; 2,50; 3,75; 5,00


dan 6,25 ml LIB II, dengan HCl N hingga
tanda batas

Diperoleh konsentrasi 0,0; 5,0; 7,5; 10,0; 12,5


g/ml. Absorbansi dari masing-masing larutan
diukur pada panjang gelombang 270 nm

Dibuat grafik absorbansi dan konsentrasi


standar

39

Anda mungkin juga menyukai