Anda di halaman 1dari 27

BAB I

LAPORAN KASUS

A.

B.

Identitas Pasien
Nama/Jenis Kelamin/Umur
Pekerjaan orang tua
Alamat

: An. R / Perempuan / 8 tahun


: Ibu rumah tangga
: Jl. Darmapala RT 18 Kel. Talang Bakung

Latar BelakangSosial, Ekonomi, Demografi Lingkungan, dan Keluarga


a. Jumlah saudara
: 1 (satu) orang
b. Status ekonomi
: Menengah
c. Biaya Kesehatan
: BPJS
d. Lingkungan
:
Os tinggal bersama ayah, ibu, dan kakaknya di rumah dengan 2 kamar
tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu, dan 1 ruang dapur. Os tinggal di
lingkungan yang cukup ramai penduduk dan kurang terjaga kebersihan
lingkungannya.

C.

Keluhan Utama:
Demam yang naik dan turun sejak 7 hari yang lalu.

D.

Keluhan Tambahan:
BAB sedikit dan jarang.

E.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Dari alloanamnesis didapatkan bahwa Os demam yang naik turun
sejak 7 hari yang lalu. Demam dirasakan terutama pada malam hari dan
turun ketika di siang hari. Sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas Talang
Bakung, diperiksa darahnya, dan menurut dokter dari hasil pemeriksaan
tersebut didapatkan hasil malaria (-) dan DBD (-). Kemudian Os diberikan
Paracetamol syrup dan vitamin untuk penambah nafsu makan, namun
demamnya hanya turun beberapa saat, kemudian naik lagi. Menurut
informasi dari ibunya riwayat kebiasaan Os memang sering jajan jajanan
gendongan di luar, yang mungkin tidak terjaga higienitas jajanannya.
Selain itu Os juga sulit BAB, terakhir kali BAB 2 hari yang lalu,
jumlah relatif sedikit, darah (-), lendir (-). Nafsu makan menurun, mual (+),
muntah (-). BAK tidak ada keluhan. Batuk (-), pilek (-), sakit/ gatal pada

telinga (-). Setelah obat yang diberikan dokter habis, Os datang kembali
berobat ke Puskesmas Talang Bakung.
F.
G.

H.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (-)
Riwayat kejang (-)
Riwayat batuk yang lama (-)
Riwayat Penyakit keluarga:
- Riwayat keluhan yang sama pada keluarga (-)
- Riwayat batuk yang lama pada keluarga (-)
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum
1. Keadaan umum
2. Kesadaran
3. Suhu
4. Nadi
5. Pernafasan
6. Berat Badan
7. Tinggi Badan
8. Lingkar kepala
9. LILA
10. Kesan gizi

: Tampak sakit ringan


: Compos mentis
: 38, 5C
: 103 x/menit
: 24 x/menit
: 20 kg
: 125cm
: 49 cm
: 16 cm
: Baik

Pemeriksaan Fisik Head to Toe


1. Kepala
Mata

Bentuk

: normocephal

Simetri

: simetris

Conjungtiva

: anemis (-/-)

Sklera

: ikterik (-/-)

Reflex cahaya : +/+


Vaskularisasi : vasodilatasi
Hidung
Telinga
Mulut

2. Leher

:Tidak ada kelainan


: Tidak ada kelainan
Bibir
: Rhagaden
Gusi

: Warna merah muda, perdarahan (-)

Lidah

: Typhoid tongue (+)

Tonsil

: T1/T1, hiperemis (-)

Faring

: Hiperemis (-), granul (-)

: Tidak ada pembesaran KGB, JVP 5 2 cmH2O


2

3. Thorax
Pulmo

:Simetris, pergerakan dinding dada tertinggal (-)

Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

Kanan
Statis : simetris
Dinamis: simetris
Stem fremitus normal
Sonor
Batas paru-hepar:ICS
VI kanan
Vesikuler (+) Normal,
Wheezing (-), rhonki (-)

Kiri
Statis simetri
Dinamis : simetris
Stem fremitus normal
Sonor

Vesikuler (+) normal.


Wheezing (-), rhonki (-)

Jantung
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

Hasil Pemeriksaan
Ictus cordis tidak terlihat
Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula
kiri, tidak kuat angkat
Batas-batas jantung :
Atas : ICS II kiri
Kanan : linea sternalis kanan
Kiri : ICS IV linea midclavicula kiri
BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

4. Abdomen
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Hasil Pemeriksaan
Kembung, skar (-),spidernevi (-).
Nyeri tekan di kuadran kanan bawah, Hepar
dan Lien tidak teraba.
Timpani.
Bising usus (+) menurun.

5. Ekstremitas
Edema (-), akral hangat.
6. Genitalia
Tidak ada kelainan
I. Pemeriksaan Penunjang dan Anjuran
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan:
- DDR (-)
- Hb: 11,6 gr/dL
- Ht: 37,3 gr/dL
- Leukosit: 4.300 /mm3

Trombosit: 274.000 /mm3

Pemeriksaan penunjang anjuran:


-

Uji widal
Tes Tubex
Gaal kultur

J.

Diagnosa Banding
- Demam Tifoid
- Malaria
- Demam Berdarah Dengue

K.

Diagnosa Kerja
Demam Tifoid

L.

Manajemen
a. Promotif dan Preventif
-

Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau memakan


makanan.

Menghindari makanan mentah, kerang dan es.

Hanya memakan makanan yang sudah dimasak dan masih panas atau
dipanaskan kembali.

b. Kuratif :
Antibiotik: Kloramfenikolcapsul 4 x 250 mg
Antipiretik: Paracetamoltablet 3 x 500 mg.
B complex 2 x1 tablet
DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI
PUSKESMAS TAlANG BAKUNG

Resep

Jambi, 7 Januari 2017


R/

Kloramfenikol 250 mg caps


S4dd caps I (a.c)

R/

Paracetamol 500 mg tab


S3dd tab I (p.r.n)

R/

B comlpex
S2dd tab I

Pro
: An. R
Umur : 8 tahun

No. XX

No. XV

No. X

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi1
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid
fever.Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.
B. Epidemiologi2,3,4
Di beberapa negara penyakit ini masih merupakan masalah
kesehatan, termasuk di Indonesia.Indonesia dan sebagian besar
Asia Selatan merupakan daerah endemik Demam Tifoid.Anakanak prasekolah dan yang berusia 5-19 tahun seringkali menjadi
penderita penyakit ini akibat perilaku jajan sembarangan yang
makanan maupun minuman yang dikonsumsi tidak tejamin
kebersihannya.Demam tifoid terjadi pada 16-33 juta manusia
setiap tahunnya, dengan meninggal sebanyak 500.000.

Sedangkan, WHO (2003) mengatakan bahwa diperkirakan


angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh
dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per
tahun.Daerah endemiknya tersebar di berbagai benua, mulai dari
Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. 80% kasus
ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh,
Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia.
Di Indonesia, mayoritas penderitanya adalah kelompok
umur 3-19 tahun (91%). Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara
epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan
jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah.Sumber
penularannya biasanya tidak dapat ditemukan.

C. Faktor Risiko1,2,4
Adapun beberapa hal yang faktor resiko demam tifoid
antara lain sebagai berikut:
1. Sanitasi lingkungan yang buruk
Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih
yang tercemar, kondisi lingkungan sekitar rumah maupun di
dalam rumah yang kotor (sampah bertebaran di mana-mana),
kotoran hewan di jalan umum yang tidak dibersihkan
(dibiarkan begitu saja), dan sebagainya.

2. Personal Hygiene yang buruk


Personal hygiene yang buruk ini dapat berupa perilaku tidak
bersih dan sehat oleh anggota masyarakat, seperti tidak
mencuci

tangan

menggunakan

sebelum

peralatan

maupun

makan

sesudah

makan,

sudah

dipakai

yang

sebelumnya (belum dicuci langsung dipakai kembali, atau


kalaupun dicuci tetapi tidak bersih), tidak menggunakan
jamban atau toilet untuk buang air besar maupun buang air
kecil.
3. Menjadikan sungai sebagai sapiteng rumah tangga
Hal ini dapat mencemari sungai sehingga bakteri S. typhi
dapat menyebar di dalam sungai. Jika, sungai tersebut
dimanfaatkan sebagai tempat untuk mandi, cuci, kakus maka
bakteri S. typhiakan sangat mudah menginfeksi manusia.
4. Mengkonsumsi makanan (khususnya sayuran) dalam kondisi
mentah dan minum air yang tidak direbus
Makanan atau minuman yang tidak dimasak hingga matang
atau mendidih (untuk air) akan menyebabkan bakteri yang
berada pada sayur dan yang berada di dalam air tidak mati
sehingga akan dengan mudah termakan dan masuk ke dalam
tubuh.
5. Pasteurisasi susu yang tidak baik
Pasteurisasi susu yang menggunakan suhu yang tidak sesuai
maka

dapat

memicu

berkembangnya

bakteri-bakteri

termasuk bakteri S. typhi, apabila terminum oleh manusia


maka akan masuk ke dalam tubuh dan menginfeksi manusia
tersebut.
6. Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang
tidak baik
Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang
tidak sesuai standar kebersihan, seperti tidak mencuci tangan
sebelum mengolah makanan dan minuman, menggunakan
wadah yang tidak bersih, makanan atau minuman dibiarkan
terbuka begitu saja, dan sebagainya.Hal tersebut dapat

menyebabkan bakteri mudah berpindah ke dalam makanan


dan minuman kemudian termakan dan menginfeksi manusia.
D. Etiologi3,4
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae,
merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini
berukuran 2-3 0,4 - 0,6 m, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif
yang berarti bakteri ini dapat tumbuh dalam kondisi ada dan tidak adanya oksigen.
Salmonella tidak membentuk spora, tidak memiliki kapsul dan tidak
memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini memproduksi H 2S (yang dapat
digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di laboratorium). Salmonella,
seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi asam pada fermentasi glukosa,
mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom oksidase.
Anggota dari subspesies Salmonella diklasifikasikan ke dalam >2400
serotipe berdasarkan antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida),
antigen permukaan Vi (yang hanya dimiliki S. Typhidan S. Paratyphi C) dan
antigen flagela H. Ketiga antigen ini penting untuk tujuan taksonomi dan
epidemiologi dari Salmonellayang masing-masing akan dijelaskan lebih rinci
sebagai berikut:
1. Antigen Somatik (O)
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dari dinding sel luar
bakteri yang tahan terhadap pendidihan, alkohol dan asam.Salmonella dibagi
menjadi kelompok A-I berdasarkan antigen somatik ini.Aglutinasi untuk
antigen O di dalam tubuh berlangsung lebih lambat dan bersifat kurang
imunogenik namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi.Titer antibodi yang
timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah dan titer antibodi H.
2. Antigen Flagel (H)
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik.Antigen ini
rusak

dengan

pendidihan

dan

alkohol

tetapi

tidak

rusak

oleh

formaldehid.Terdapat dua bentuk antigen H, fase 1 dan fase 2.Hanya salah satu

dari kedua protein H ini yang disintesis pada satu waktu.Hal ini tergantung dari
rangkaian gen mana yang ditranskripsikan menjadi mRNA.
3. Antigen Vi
Antigen Vi (polisakarida kapsul) adalah antifagosit dan faktor virulensi yang
penting untuk S. typhi. Antigen ini merupakan antigen permukaan dan bersifat
termolabil.Antigen ini digunakan untuk serotipe S. typhi di laboratorium
klinis.Antibodi yang terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi
petunjuk bahwa individu tersebut merupakan karier atau pembawa kuman.
Selain S. typhi, antigen ini juga terdapat pada S. paratyphi C dan S. dublin.
Demam tifoid disebabkan oleh penyebaran bakteri Salmonella enterica
serotipe Typhi, atau secara singkat dapat disebut Salmonella typhi. Nama S. typhi
sendiri diperoleh dari bahasa Yunani kuno, typhos,yang berarti asap atau kabut
halus yang dipercaya dapat menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada stadium
lanjut dari demam tifoid, tingkat kesadaran pasien memang benar akan menjadi
berkabut (samar-samar).
Salmonella typhi memiliki ciri khas yang unik. Salah satu yang paling
spesifik yakni kapsul polisakarida Vi (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya)
yang ada pada 90% S. typhi yang baru saja diisolasikan. Kapsul ini memiliki agen
proteksi melawan sifat bakterisidal dari serum pasien yang terinfeksi dan menjadi
dasar untuk membuat salah satu vaksin yang tersedia secara komersial. Antigen Vi
ini juga terdapat pada bakteri lain tetapi tidak sama persis secara genetik. Selain
itu, bakteri ini memiliki tes serologis positif untuk antigen lipopolisakarida O9
dan O12, serta antigen protein flagela Hd.
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin yang
berarti toksin baru dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding selnya
luruh.Suhu optimum yang dibutuhkan S. typhi untuk tumbuh yakni 37C dengan
pH antara 6-8.Bakteri ini dapat dibunuh dengan pemanasan (suhu 60C) selama
15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.S. typhi dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas, seperti di dalam air, es, sampah, debu dan
(seperti telah disebutkan sebelumnya) bakteri ini tidak memiliki reservoir lain
selain manusia.

Salmonella typhi meragikan glukosa, manitol dan maltosa dengan disertai


pembentukan asam tetapi tanpa pembentukan gas.Bakteri ini tidak menghidrolisis
urea, tidak membuat indol tetapi reaksi metil merah positif. Pada agar darah
terlihat koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 mm, bulat agak cembung,
jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Pada perbenihan Mac Conkey dan
Deoksikolat

sitrat

koloninya

tidak

meragikan

laktosa

sehingga

tidak

berwarna.Pada perbenihan bismut sulfit Wilson dan Blar tumbuh koloni hitam
berkilat logam akibat pembentukan H2S. Jika bakteri ini tumbuh di dalam kaldu
akan terjadi kekeruhan menyeluruh sesudah dieramkan semalam tanpa
pembentukan selaput.
E. Patogenesis dan Patofisiologi2
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu pasien dengan demam
tifoid dan yang lebih sering karier.Orang-orang tersebut mengekskresi 10 9 sampai
1011 kuman per gram tinja. Carier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid
dan masih terus mengekskresikan S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih
dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi terjadinya
karier.Manusia merupakan reservoir alami dari Salmonella typhi. Penularan dapat
langsung atau tidak langsung .Penularan paling sering melalui makan dan air yang
terkontaminasi kuman Salmonella.Higienis dan sanitasi yang buruk meningkatkan
penyebaran

kuman

Salmonella

dan

ini

banyak

terjadi

di

negara

berkembang.Banyak kontaminasi makanan dan minuman didapat dari lalat yang


hinggap dan membawa kuman tifoid.Transmisi kongenital dari demam tifoid
dapat terjadi melalui infeksi transplasenta oleh ibu yang bakteremia kepada janin.
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk

10

ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan


menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organorgan ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan
mental dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar

plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan

hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis


jaringan limfoid ini dapat berkembanghingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

F. Manifestasi Klinis2,3,4
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tapi bisa mencapai 3-30 hari tergantung
dari sumber penularan, cara penularan, status nutrisi, status imun. Gejala-gejala
yang timbul amat bervariasi, dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai
gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal seperti penyakit infeksi akut pada
umumnya, berupa rasa tidak enak badan, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk,
dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam

11

hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 10
kali permenit), lidah kotor yang ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi
kemerahan, jarang disertai tremor.Hati dan limpa membesar dan nyeri pada saat
perabaan, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis.Roseola (jarang ditemukan di Indonesia).Biasanya terdapat
konstipasi, tetapi mungkin normal atau mungkin diare.
Tempat yang peling sering terinfeksi kuman Salmonella adalah distal
ileum, tetapi tidak jarang usus besar juga terlibat. Pasien dengan colitis berat akan
mengalami diare dengan disertai darah. Pada pemeriksaan sigmoidoskopi sering
ditemukan daerah yang hiperemis dan ulserasi mukosa.Pada pemeriksaan barium
enema menunjukkan transverse ridging, edema mukosa.Biasanya tempat yang
terkena adalah kolon bagian disatal dan bagian transversal.
G. Pemeriksaan Penunjang2,3,5
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan hematologis
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik
akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang, lekopenia, limfositosis
relatif, aneosinofilia, dan bila terjadi abses piogenik bisa terjadi
leukositosis.Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung
beberapa minggu.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali normal setelah
sembuhnya demam tifoid.Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
pembatasan pengobatan.
3. Biakan darah
Biakan darah positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama
sakit, sedangkan biakan feses ataupun urin akan positif setelah minggu
pertama. Biakan dari sumsum tulang akan positif pada penyakit stadium
lanjut, dan merupakan pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan darah positif
memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan

12

demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada
beberapa faktor, antara lain:
a. Teknik Pemeriksaan Laboratorium
Hal ini tergantung teknik dan media pembiakan yang digunakan. Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama pada
orang yang sudah mendapatkan pengobatan spesifik. Selain itu, darah
harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pasien
dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling
baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakteriemia berlangsung.
b. Saat Pemeriksaan Selama Perjalanan Penyakit
Pada demam tifoid, biakan darah terhadap S. typhi terutama positif pada
minggu pertama penyakit dan berkurang pada mingu-minggu berikutnya.
Pada waktu kambuh, biakan bisa positif lagi.
c. Vaksinasi di Masa Lampau
Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga
biakan darah mungkin negatif.
d. Pengobatan dengan Anti Mikorba
Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin).

Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam

serum pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan
Salmonella dan para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita
demam tifoid. Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi
(aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).

13

b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman).


c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis.

Makin tinggi titernya, makin besar

kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
paling sedikit 5 hari.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada
orang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %,
apabila negatif tidak menyingkirkan. Menurut beberapa pendapat ahli bahwa
apabila aglutini O sekali periksa 1/320 atau titer antibodi H 1/640 dengan
gambaran klinis yang khas atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali
selama 2-3 minggu maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H diakitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedangkan Vi aglutinin dipakai untuk deteksi karier. Pada beberapa pasien,
uji Widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan darah
positif.Faktor-faktor yang mempengaruhi Uji Widal:
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien:
1) Keadaan umum
Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu
minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam
penyakit.
3) Pengobatan dini dengan antibiotik

14

Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat


antimikroba menghambat pembentukan antibodi.
4) Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukimia,
dan karsinoma lanjut.
5) Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid
Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi
sistem retikuloendotelial.
6) Vaksinasi dengan kotipa atau tipa
Pada seorang yang divaksinansi, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan samapi 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2
tahun. Oleh karena itu, titer aglutinin H pada seorang yang pernah
divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun dengan
titer rendah.
8) Reaksi anamnestik
Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer
aglutinin terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam
yang bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi
atau ketularan Salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor teknis
1) Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain. Oleh
karena itu, spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat
ditentukan dengan uji Widal.
2) Konsentrasi suspensi antigen

15

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan


mempengaruhi hasilnya.
3) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi
antigen dari strain Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi
antigen dari strain lain.
5. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang mudah dan cepat,
hanya membutuhkan waktu singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5
menit).Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Samonella
serogrup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhii. Infeksi oleh
S.parathphii akan memberi hasil negatif. Secara imunologi, antigen bersifat
imunodominan. Antigen ini dapat merangsang respons imun secara
independen terhadap timus, dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari
sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen berlangsung cepat
sehingga deteksi terhadap anti dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke
4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji tubex
hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak
dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.
6. Uji Typhidot
Dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membrane luar Salmonella typhi.Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 23 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM
dan IgG terhadap antigen S. typhi.
7. Uji IgM Dipstick
Pemeriksaan ini dapat secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik
terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood.Uji ini menggunakan
strip yang mengandung atigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang
dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi
dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.Secara kuantitatif, diberikan
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference
strip.

16

H. Diagnosis2,4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal,

dan

mungkin

disertai

perubahan

atau

gangguan

kesadaran.Diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari darah


pada 2 minggu sakit, dapat juga dengan biakan spesimen empedu yang hasilnya
cukup memuaskan.
I. Diagnosis Banding2
Demam tifoid dapat didiagnosa banding dengan demam paratifoid A, B,
atau C, infeksi dengue, malaria, tuberkulosis, atau influenza.
J. Penatalaksanaan2,4,5
1. Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi,
dan pengobatan.Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu
normal kembali.Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan
berjalan.Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus.Mobilisasi pasien perlu dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.Pasien dengan kesadaran
yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu
untuk

menghindari

komplikasi

pneumonia

hipostatik

dan

ulkus

dekubitus.Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadangkadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur
kasar, dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Banyak pasien tidak menyukai bubur
saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya
makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa
penyembuhan menjadi lama. Makan lunak, yang mudah dicerna dengan
jumlah

kalori

dan protein

sesuai

kebutuhan

harian. Tidak

boleh

mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak serat, tidak merangsang,

17

ataupun

yang

dapat

menimbulkan

banyak

gas.

Beberapa

peneliti

menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam tifoid. Carian diberikan sesuai kebutuhan
harian. Bila tidak dapat peoral beri cairan infuse dextrose 5% dan elektrolit
sesuai dengan kebutuhan harian.
3. Medikamentosa
Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan, antara lain:
a. Kloramfenikol
Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
demam tifoid. Belum ada obat anti mikroba lain yang dapat menurunkan
demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dengan penggunaan
kloramfenikol, demam pada tifoid turun rata-rata setelah 5 hari.
Kloramfenikol merupakan obat terpilih tetapi tidak boleh diberikan bila
jumlah

leukosit

2000/ul.Dosis

maksimal

kloramfenikol

gram/hari.Bila pasien alergi terhadap kloramfenikol dapat diberikan


golongan penisilin atau kotrimoksazol.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol
lebih jarang daripada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada
demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Kotrimoksazol (kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol)
Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol.
Dengan kotrimoksazol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah
5-6 hari.
d. Ampisilin dan amoksisilin
Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas
ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Indikasi mutlak penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan
leukopenia. Dengan ampisilin atau amoksisilin, demam pada demam
tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
e. Sefalosporin generasi ketiga

18

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefoperazon, seftriakson, dan


sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian
yang optimal belum diketahui dengan pasti.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama
pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
Tabel Dosis Antibiotika yang Diberikan pada Penderita Tifoid
No.
1.

Obat
Kloramfenikol

Dosis
50 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan

2.

Ampisilin

minimal 10 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam).


200 mg/kg BB/ hari dibagi 4 dosis/ oral, iv (diberikan

3.

Amoxicilin

minimal 10 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam).


100 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ oral, iv (diberikan

Cotrimoxazole

minimal 10 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam).


6 9 mg /kg BB/ hari dibagi 2 dosis/ oral, iv (diberikan

4.

minimal 10 12 hari atau minimal 5 hari bebas demam).


Catatan:Bila semua telah resisten dengan obat di atas diberi Sefalosporin: Ceftriaxone
100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis/ iv selama 5 10 hari.
Karier: Amoksisilin 200 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis selama 10 hari dan
dilanjutkan dengan kolesistektomi.
Sedangkan obat-obatan simtomatik yang digunakan, antara lain:
1. Antipiretika
Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam
tifoid, karena tidak banyak berguna.
2. Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam
dosis yang menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya
biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan
cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan
tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.
Tabel Obat-obatan yang Diberikan pada Komplikasi Penderita Tifoid

19

Keadaan toksik
Prednison

: 1 2 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/ oral

atau
Deksametason

: 0.5 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ iv, oral

atau
Hidrokortison

: 10 15 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/im

Perdarahan

: Transfusi darah

Perforasi

: Rujuk bagian bedah

K. Komplikasi5,6
Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan
umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.Komplikasi demam
tifoid dapat dibagi dalam:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan usus. Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk
tukak/luka yang dapat menembus usus dan mengenai pembuluh darah.
Bila ringan ditemukan dengan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila
berat terdapat nyeri perut dan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus, terjadi pada minggu ketiga ditandai pekak hati menghilang
terdapat udara antara hati dan diafragma.
c. Ileus paralitik
d. Peritonitis biasanya disertai dengan perforasi tetapi dapat juga tanpa
perforasi. Adanya gejala akut abdomen yaitu nyeri perut yang hebat,
defans muscular dan nyeri tekan.
2. Komplikasi Ekstra-Intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, dan trombophlebitis.
b. Komplikasi

darah:

anemia

hemolitik,

trombositopenia,

dan/atau

disseminated intravascular coagulation (DIC) dan sindrom urenia


hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

20

f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.


g. Komplikasi

neuropsikiatrik:

delirium,

meningismus,

meningitis,

polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindroma


katatonia.
L. Prognosis5,6
Umumnya baik bila pasien cepat berobat.Prognosis demam tifoid
tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan
virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada
anak-anak sebesar 2,6%, dan pada orang dewasa 7,4%, dengan rata-rata 5,7%.
Prognosis kurang baik bila terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia
(febris kontinua), penurunan kesadaran, dehidrasi, asidosis, perforasi usus, atau
pada keadaan gizi buruk.
M.Pencegahan4,5,6
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang berpotensi menimbulkan
wabah sehingga perlu diadakannya suatu tindakan pencegahan.Rute penularan
utama demam tifoid, yakni melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh Salmonella typhi.Pencegahan berdasarkan hal ini dapat dilakukan dengan
menjamin akses untuk mendapatkan air bersih dan mempromosikan kebiasaan
makan yang aman dan sehat.Pendidikan mengenai kesehatan merupakan hal yang
penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempengaruhi perubahan
perilaku.
Tindakan pencegahan demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari
Salmonella typhi sebagai agen penyebab penyakit, faktor pejamu dan faktor
lingkungan. Di Indonesia, terdapat 3 strategi besar yang menjadi program
pencegahan demam tifoid, yakni:
1. Mengidentifikasi dan mengobati secara sempurna pasien demam tifoid
asimtomatik, karier dan akut.
2. Mencegah penularan secara langsung dari pasien terinfeksi S. typhi dan
mengatasi faktor yang berperan terhadap rantai penularan.
3. Proteksi dini pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi.

21

Menurut WHO (2003) terdapat beberapa cara-cara yang lebih spesifik


yang dapat membantu upaya pencegahan demam tifoid, yang secara lengkap akan
dijelaskan dibawah ini:
1. Air Bersih
Demam tifoid merupakan penyakit yang penjalarannya dapat melalui air
sehingga tindakan pencegahan utama yang didapat dilakukan yakni
memastikan adanya akses ke air bersih.
2. Keamanan Makanan
Makanan yang terkontaminasi merupakan salah satu cara penularan demam
tifoid. Penanganan dan pengolahan makanan yang tepat merupakan hal yang
terpenting. Tindakan kebersihan dasar di bawah ini harus dilakukan selama
epidemi:
a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau memakan
makanan.
b. Menghindari makanan mentah, kerang dan es.
c. Hanya memakan makanan yang sudah dimasak dan masih panas atau
dipanaskan kembali.
Jika terjadi wabah, pengawasan keamanan makanan harus diperkuat di
restoran dan juga penjaja makanan di pinggir jalan.Bila terdapat karier
demam tifoid, orang ini tidak boleh diikutsertakan dalam aktivitas yang
termasuk mengolah dan menyiapkan makanan. Karier baru dapat melanjutkan
pekerjaannya (dalam hal makanan) hingga mereka memiliki tiga tes kultur
tinja negatif yang setidaknya masing-masing berjarak satu bulan.
3. Sanitasi
Sanitasi yang baik berkontribusi dalam menurunkan risiko transimisi semua
patogen diare, termasuk Salmonella typhi.Fasilitas pembuangan limbah
manusia

(feses)

yang

tepat

harus

tersedia

pada

semua

komunitas.Pengumpulan dan pengolahan limbah, terutama saat musim hujan


harus diterapkan.
4. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
pada hal-hal yang berperan dalam pencegahan seperti telah disebutkan di

22

atas.Pada fasilitas kesehatan, semua pekerja harus berulang kali dididik


mengenai perlunya kebersihan pribadi yang baik ditempat kerja, tindakan
isolasi bagi pasien dan melakukan tindakan disinfeksi.
5. Vaksinasi
Vaksinasi belum dilakukan secara rutin di Amerika Serikat, demikian juga di
daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah
endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium atau mikrobiologi kesehatan.
BAB III
ANALISA KASUS

Dari hasil alloanamnesis dari orang tua An. R dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan langsung pada An. R, dapat ditegakkan diagnosa kerja Demam tifoid.
Diagnosa pasti dari demam tifoid diperlukan Gaal kultur yang tidak dapat
dilakukan di Puskesmas.
Dari alloanamnesis didapatkan keluhan berupa demam yang naik turun
sejak 7 hari yang lalu, terutama pada malam hari dan turun ketika di siang hari.
Hasil pemeriksaan darah menunjukkan malaria (-) dan DBD (-). Kemudian Os
diberikan Paracetamol syrup dan vitamin untuk penambah nafsu makan, namun
demamnya hanya turun beberapa saat, kemudian naik lagi. Dari kebiasaannya Os
sering jajan jajanan gendongan di luar, yang mungkin tidak terjaga higienitas
jajanannya. Selain itu Os juga sulit BAB, terakhir kali BAB 2 hari yang lalu,
jumlah relatif sedikit, darah (-), lendir (-). Nafsu makan menurun, mual (+),
muntah (-). BAK tak ada keluhan. Batuk (-), pilek (-), sakit/ gatal pada telinga (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu axilla hipertermi, bibir rhagaden,
tifoid tongue, abdomen kembung, nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah,
dan bising usus menurun. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah bisa
menggambarkan gejala dari Demam tifoid, namun penyakit lain perlu
dipertimbangkan sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang, karena diagnosa
pasti dari Demam tifoid adalah Gaal kultur.

23

Dari pemeriksaan penunjang didapatka hasil DDR (-), leukositosis,


sementara Hb, Ht, dan trombosit dalam batas normal. Informasi tersebut cukup
menyingkirkan diagnosis banding Malaria dan DBD. Pemeriksaan penunjang
untuk membuktikan suatu Demam tifoid seperti uji Widal, Tes Tubex, dan Gaal
kultur tidak dilakukan, mengingat fasilitas di Puskesmas tidak memungkinkan
untuk dilakukan pemeriksaan penunjang tersebut.
Penatalaksanaan yang diberikan yang paling utama adalah edukasi untuk
menjaga higienitas makanan yang dikonsumsi, karena penyebab terjadinya
demam tifoid adalah infeksi kuman S.typhii yang masuk ke saluran cerna bersama
makanan yang tidak terjada higienitasnya. Untuk obat yang diberikan adalah
antibiotik Kloramfenikol kapsul 4 x 250 mg selama 10-12 hari. Setelah obat habis
dianjurkan kepada orang tua untuk mengambil obat kembali, mengingat obat
yang diberikan Puskesmas tidak bisa diambil sekaligus. Selain itu juga diberikan
antipiretik Paracetamol tablet 3 x 500 mg sebagai terapi simptomatik. Pemberian
vitamin B complex 2 x 1 tablet ditujukan untuk memperbaiki nafsu makan pada
anak. Seiring dengan adanya nafsu makan yang baik, diharapkan anak juga dapat
kembali BAB dan tidak kembung lagi.
Prognosis dari pasien ini relatif baik, selama sang anak minum obat secara
teratur dan menjaga higienitas makanan yang dimakan.

Hubungan rumah dan lingkungan dengan diagnosis


Keadaan rumah pasien sangat nyaman dan bersih namun

lingkungan

sekitar

pasien

yang

banyak

jualan

makanan

gendongan

memungkinkan berhubungan dengan penyakit.

Hubungan perilaku kesehatan dengan diagnosis dan mengurangi


paparan penularan
Kebiasaan dan keteribatan orangtua penting untuk menjaga

higienitas diri anaknya serta makanan yang di makan buah hatinya sehingga
dapat pula memutuskan rantai penularan penyakit serta menjaga imunitas anaknya

Kemungkinan faktor resiko dan etiologi

24

Makanan yang tercemar


Higgienitas yang tidak baik
Imunitas yang kurang baik

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, dkk. 2000 Ilmu Kesehatan Anak, Penerjemah: A.


Samik Wahab. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Widodo D, 2009. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi Kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI. Hal 2797 2806.
3. Soedarmo SS, et al, 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan
Penyakit Tropis Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. WHO. Diagnosis, treatment, and prevention of thypoid fever. Geneva: WHO;
May 2003.
5. Harrison TR et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed.
Philadelphia: McGrawHill; 2005. p.898-890.
6. Tatang KS, et al, 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber
Waras. Jakarta: UPT. Penerbitan Universitas Tarumanagara.

25

Lampiran Homevisit

26

27

Anda mungkin juga menyukai