Anda di halaman 1dari 11

PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM

Oleh Abdul Ficar Hadjar


Pendahuluan
Mendung hitam menyelimuti gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia dalam kurun waktu lima
tahun terakhir. Keinginan untuk membangun sistem dan budaya hukum yang demokratis seakan mimpi
belaka. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi amanat reformasi, ternyata
gagal. Korupsi bukannya berkurang tetapi semakin merajalela. Lahirnya otonomi daerah sebagi koreksi
dari sentralisme Orde Baru yang korup justru ikut menyebarkan praktek korupsi ini. Sikap dan tindakan
koruptif muncul dimana-mana, baik di eksekutif, legislatif maupun judikatif. Nyaris tidak ada ruang lagi
yang bersih dari KKN di negeri ini. Tahun 2003 Indonesia menduduki peringkat ke enam terkorup di
dunia versi Transparency International.
Proses hukum bagi koruptor, seringkali berujung pada dua kutub penyelesaian, dihentikan penyidikan
atau penuntutannya oleh kejaksaan atau dibebaskan di pengadilan oleh hakim. Banyak koruptor yang
diperiksa oleh Kejaksaan Agung malah dihadiahi Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Bahkan
atas nama kepastian hukum keluar Instruksi Presiden No. 8 tahun 2002 tentang kebijakan memaafkan
para tersangka korupsi BLBI. Acapkali proses penegakan hukum dilakukan tanpa melibatkan partisipasi
masyarakat, padahal UU No. 31 tahun 1999 memberikan akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Teori penghukuman sebagai balas dendam yang diharapkan melahirkan efek deternt, telah diterapkan
dengan baik oleh Kejaksaan Agung. Pembebasan beberapa terdakwa yang tersangkut kasus Bank Bali
di pengadilan, berefek tercegahnya terdakwa lain yang belum diadili untuk diadili, dihentikan
penuntutannya, atau di SP3-kan oleh Kejaksaan Agung. Ironis memang. Semestinya dengan mengacu
pada kasus yang dibebaskan itu, Kejaksaan bisa menggali lagi fakta yang dapat digunakan untuk
menuntut para koruptor yang belum diadili, bahkan menggunakannya untuk membuka kembali
(melalui Peninjauan Kembali atau instrumen hukum lainnya) perkara-perkara yang terdakwanya
dibebaskan pengadilan.
Fenomena diatas menandai adanya kondisi yang memprihatinkan antara lain: Pertama, Kebijakan
penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak berpengaruh sama sekali, baik
pada tingkah laku maupun pada kerugian negara. Korupsi semakin transparan terjadi dimana-mana
mengakibatkan kerugian negara terus bertambah dari tahun ke tahun. Kedua, Praktek penegakan
hukum (law enforcement) yang dilaksanakan hanya normatif dan lip service saja. Koruptor dibawa ke
pengadilan seolah-olah memenuhi tuntutan rasa keadilan dalam masyarakat, tanpa memperhitungkan
kualitas teknis dakwaan (tuntutan). Akibatnya menghasilkan putusan yang membebaskan atau putusan
yang ringan bagi para terdakwa korupsi dibandingkan dengan jumlah uang yang milyaran bahkan
triliunan rupiah yang diambilnya dari uang negara. Ketiga, kebijakan penegakan hukum pemberantasan
korupsi tanpa arah dan tujuan yang jelas. Aparat tidak kredibel sehingga tidak menyurutkan terjadinya
korupsi itu sendiri (tidak punya efek deternt) malah sebaliknya.
Dalam konteks paradigma penegakan hukum seperti itulah pemberantasan korupsi ingin diletakkan.
Pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan kerja berkelanjutan yang tak akan pernah selesai.

Agar terfokus dan dapat mencapai sasaran yang diinginkan, maka dibutuhkan visi, misi dan sebuah
strategi yang jelas.
Visi dan Misi Pemberantasan Korupsi
Korupsi sudah sedemikian akut, sistemik dan meluas sehingga merugikan negara dan perekonomian
negara. Korupsi menggerogoti tatanan moral, hukum, dan ekonomi. Korupsi menegasikan (mengingkari)
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, dan memundurkan pembangunan.
Karena parahnya korupsi, maka kerja memerangi tindak pidana korupsi harus menjadi urusan setiap
orang (masyarakat). Kerjasama antara Pemerintah, masyarakat sipil dan dunia usaha menjadi sangat
signifikan untuk dilakukan dalam menanggulangi dan memberantas korupsi. Peran masyarakat
berpengaruh banyak untuk menghilangkan resistensi dari pihak-pihak di dalam masyarakat yang masih
menginginkan status quo. karenanya mobilisasi masyarakat guna memberantas korupsi menjadi penting
juga untuk dilakukan.
Dengan konteks hukum dan sosial yang demikian, maka visi yang diletakkan adalah: Pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat agar tercipta
kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dan berkeadilan
sosial.
Adapun misi pemberantasan korupsi adalah :
a. Mendorong partisipasi publik dalam penanggulangan dan pemberantasan korupsi, utamanya dalam
upaya penegakan hukum yang tegas terhadap para koruptor.
b. Mendorong terciptanya aparat penegak hukum yang jujur dan bermoral dalam menjamin
terwujudnya penegakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum.
Peraturan Perundangan Pemberantasan Korupsi
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa di bidang sosia,l ekonomi dan hak asasi manusia. Deretan
aturan mengenai korupsi dalam sejarah perkembangan di Indonesia antara lain:
1. Peraturan-peraturan Penguasa Militer, yaitu:
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi,
kemudian Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957, tanggal 27 Mei 1957 tentang Pemilikan
Harta Benda, juga Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM/011/1957, tanggal 1 Juli 1957 tentang
Penyitaan dan Perampasan Barang-barang.
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prp/Peperpu/013/1958 tanggal 17 Maret 1958
tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi;
3. UU No 24 tahun 1960 yang diteruskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun
1960 tentang Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
6. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001
tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, yang dibubarkan melalui judicial review putusan Mahkamah Agung No.
03/P/HUM/2000 tanggal 23 Maret 2001;
8. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)
9. Undang-undang No. 15 Tahun 2002 yang terakhir diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Rangkaian aturan perundang-undangan tentang korupsi diatas menunjukkan bahwa telah terjadi
perkembangan yang pesat dari praktek-praktek korupsi. Peraturan perundangan yang terus berubah
agar tetap dapat mengakomodasi metoda dan cara pemberantasan korupsi. Namun aparat penegak
hukum menunjukkan kinerja yang buruk. Ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum
makin surut. Dan banyak lembaga atau badan antikorupsi yang sudah dibentuk gagal memberantas
korupsi. KPTPK dibentuk tidak untuk mengulangi kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu.
Beberapa hal dalam UU No. 31 Tahun 1999 & UU N0. 20 Tahun 2001
Dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi
antara lain dirumuskan dalam beberapa jenis besar perbuatan, yaitu:
- Secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan, dapat merugikan
keuangan negara atau mengganggu perekonomian negara;
- Menyalahgunakan wewenang atau kesempatan atau sarana yang diberikan oleh jabatan,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dapat merugikan keuangan negara atau
mengganggu perekonomian negara;
- Memberi atau menerima hadiah atau janji sesuatu, kepada atau dari penyelenggara negara (Pasal 2 UU
No.
28
tahun
1999)
dan
Advokat,
yang
berhubungan
dengan
jabatannya;
Dengan rumusan ini, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat juga mencakup
perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana.
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun
materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sebagai tindak pidana
korupsi.
Undang-undang inipun merumuskan secara tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana
formil, hal ini sangat penting dalam konteks pembuktian. Dengan menganut rumusan formil berarti
meskipun negara belum dirugikan atau hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, tidak
menghapuskan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian negara hanya
berpengaruh pada jumlah hukuman atau menjadi salah satu faktor yang meringankan hukuman (Pasal
4).
Dalam UU No. 31 tahun 1999 ini juga diatur beberapa hal yang tidak diatur dalam UU No. 3 tahun 1971,
antara lain perihal:
- Korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi;
- Menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana
mati yang merupakan pemberatan pidana (dalam keadaan tertentu Vide asal 2 ayat (2). Demikian juga
pidana penjara bagi terpidana yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian
negara (Pasal 18);

- Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya, istri / suaminya, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum
tetap
berkewajiban
membuktikan
dakwaannya
(Pasal
28
dan
Pasal
37);
- Peran serta masyarakat dan kesempatan yang seluas-luannya bagi masyarakat dalam membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi, dan terhadap masyarakat yang berperan serta diberikan
perlindungan hukum dan penghargaan yang setinggi-tingginya (Pasal 41 dan Pasal 42);
Namun disamping mengandung banyak kelebihan, UU No. 31 tahun 1999 ini juga mengandung
kekurangan, yaitu pembuat UU tidak melengkapi aturan peralihan, yaitu tidak mengatur secara tegas
memberikan dasar hukum pemberlakuan UU No. 3 tahun 1971 bagi tindak pidana yang terjadi sebelum
UU No. 31 tahun 1999 diundangkan. Hal ini menimbulkan kontroversi yang mewarnai perdebatan dan
perbedaan penafsiran diantara praktisi hukum, akademisi maupun praktek peradilan yang
mengakibatkan banyak koruptor lepas dari jeratan hukum.
Kelemahan ini tidak hanya persoalan teknis hukum belaka, tetapi dengan lepasnya para koruptor juga
melukai rasa keadilan dalam masyarakat, sehingga eskalasi tuntutan menuntaskan kasus-kasus korupsi
dalam masyarakat semakin tinggi. Dalam rangka menegakkan supremasi hukum dan mengakhiri
kontroversi serta memenuhi tuntutan masyarakat UU No. 31 tahun 1999 diamandemen oleh UU No. 20
tahun 2001.
Beberapa pokok perubahan yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001, antara lain:
1. Penyebutan langsung unsur-unsur pasal dalam KUHP, yaitu penyebutan pasal 209, 210, 387, 388, 415
sampai dengan 420, 423, dan Pasal 425 atau 435 menjadi Pasal 5 sampai dengan Pasal 13;
2. Ketentuan penghapusan ketentuan minimum denda dan pidana penjara yang diatur dalam Pasal 12 A;
3. Pengaturan tentang gratifikasi, yang diartikan sebagai hadiah yang diberikan kepada pegawai /
penyelenggara negara diluar gaji yang diterima, baik berupa uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan
fasilitas lainya (Pasal 12 B). Kelemahan perumusan secara limitatif dalam Pasal 12B ini menimbulkan
tafsiran pemberian lain yang tidak tegas dilarang diperbolehkan, kalimat dan fasilitas lainnya justru
dikawatirkan
menimbulkan
keraguan
yang
mengakibatkan
perbedaan
penafsiran.
Gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara apabila berhubungan dengan
jabatannya dianggap sebagai pemberian suap yang diancam pidana seumur hidup atau pidana minimal 4
tahun dan maksimal 20 tahun ditambah denda minimal Rp.200 juta dan maksimal Rp.1 Milyar;
4. Perluasan alat bukti, yang diatur dalam Pasal 26A;
Dalam upaya untuk mendukung penerapan sistem pembuktian terbalik, telah ditetapkan perluasan
mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk, sehingga khusus dalam tindak pidana
korupsi alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain yang ditetapkan dalam Pasal 188 ayat (2) UU
No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
5. Sistem pembuktian terbalik sebagai premium remedium;
Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, pemberantasannya harus
dilakukan dengan cara penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan
kepada terdakwa. Terdakwa dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi, kecuali mampu
dibuktikan sebaliknya. Jika Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara mempunyai kekayaan yang tidak

seimbang dengan penghasilannya atau sumber pendapatannya, maka wajib membuktikan sahnya
kekayaan yang diperoleh, jika tidak maka data tentang kekayaan itu digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi;
Sebagai konsekuensi dari sistem pembuktian terbalik, kepada terdakwa diberikan hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai keseimbangan antara
pelanggaran asas praduga tak bersalah dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada setiap
orang;
6. Hak negara melakukan gugatan perdata kepada terpidana atau ahli warisnya (pasal 38C). Dasar
filosofi hak negara memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
nyata-nyata dengan sengaja telah menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal
ddari tindak pidana korupsi;
7. Penegasan teradap pemberlakuan UU No. 3 tahun 1971 dan UU no. 31 tahun 1999. Pernyataan
pemberlakuan kedua UU ini adalah untuk menjamin kepastian hukum dan kekosongan hukum serta
perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Hambatan dalam penegakkan hukum pemberantasan korupsi
Dalam praktek penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi utamanya penuntutan di
pengadilan, seringkali terjadi kendala-kendala atau hambatan yang menyebabkan terjadinya
pembebasan atau pelepasan para koruptor, sehingga ada benarnya sementara orang mengatakan
bahwa pengadilan adalah mesin cuci yang membersihkan para koruptor. Kendala dan hambatan itu
antara lain:
1. Instrumen Hukum atau Perundang-Undangan.
Ketentuan dalam undang-undang pemberantasan korupsi seringkali tidak terlalu jelas atau setidaknya
mebuka peluang terjadinya penafsiran lain dari yang seharusnya, sehingga dalam praktek seringkali
menguntungkan para koruptor. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran beberapa unsur tindak pidana
maupun yang menyangkut asas legalitas, sebagai contoh antara lain:
a. Unsur melawan hukum
Dalam konteks unsur melawan hukum, doktrin maupun praktek hukum memaknainya selain melawan
hukum dalam arti formal melanggar peraturan perundang-undangan (hukum positif), juga melawan
hukum dalam arti material yaitu bertentangan dengan norma-norma kepatutan, kesusilaan. Pada
kenyataannya, seringkali sulit membuktikan adanya sauatu tindakan melawan hukum dalam arti
materiil dalam suatu tindak pidana korupsi, karena seringkali para aktor korupsi pandai
memanfaatkan sistem hukum yang ada. Instrumen hukum perdata perjanjian yang prinsip utamanya
penerapan asas konsensualitas seringkali digunakan untuk mengkuras habis uang negara, walaupun
secara kasat mata perjanjian tersebut bertentangan dengan norma kepatutan, dan Terdakwa
dibebaskan. Sementara itu dalam konteks pengembalian kerugian negara penyelesaian dengan moda
perdata akan cukup memakan waktu relatif lama dan penyelesaian dengan moda ini seringkali juga
dihadapkan dengan ketidak pastian hukum seperti tidak pastinya defenisi utang dalam kepailitan.
b. Unsur penyalahgunaan wewenang karena jabatan;
Dalam konteks unsur penyalah gunaan wewenang karena jabatan dalam praktek tidak jarang tindakan
ini dibungkus dengan peraturan perundangan yang menjadi otoritas dari jabatan tersebut, sebuah

keputusan yang bersifat publik, seringkali dikesampingkan bahkan dibatalkan oleh sebuah keputusan
pejabat publik yang sama karena adanya kepentingan melindungi, memberi konsesi atau membenarkan
suatu tindakan pihak-pihak tertentu, tanpa mempertimbangkan adanya potensi kerugian pada negara.
Hal ini biasanya terjadi pada institusi-institusi yang berkaitan dengan bidang ekonomi utamanya bidang
perbankan dan keuangan. Tentu saja jika tidak secara jeli ditelusuri akan menghilangkan sifat
penyalahgunaan kewenanganya.
c. Penafsiran terhadap ketentuan dalam peraturan peralihan UU No. 31 tahun 1999 sebelum
diamandemen dengan UU No. 20 tahun 2001 telah secara jelas dalam praktek menimbulkan kontroversi
dan perdebatan tentang perbedaan penafsiran tentang dapat diberlakukan atau tidaknya UU No. 3
tahun 1971, yang pada akhirnya meloloskan para koruptor dari jeratan hukum.
d. Terminologi pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal 80 KUHAP.
Ketentuan ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi partisipasi masyarakat dalam pemberantasan
korupsi dengan mengajukan pra-peradilan atas SP3 yang diberikan kepada para koruptor oleh
kejaksaan, namun praktek peradilan atas nama kepastian hukum justru telah menutup pintu itu.
Padahal dalam konteks perkara pidana pada hakekatnya yang terlanggar adalah kepentingan umum,
sehingga seharusnya ada ketentuan setidaknya ada perluasan penafsiran representasi kepentingan
umum itu tidak hanya diberikan kepada kejaksaan saja. Dalam hal penuntutan perkara korupsi
dilakukan oleh KPTPK, persoalan ini bukan merupakan masalah, karena KPTPK secara tegas ditentukan
tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) (Pasal 40
UU No. 20 tahun 2002).
2. Politisasi dalam Pemberantasan Korupsi.
Dari perspektif penguasa/pemerintah nampaknya berkembang asumsi bahwa peberantasan korupsi
melalui penegakkan hukum mau tidak mau akan memasuki dua wilayah sekaligus yang terkadang sulit
dipertemukan. Disatu sisi memasuki domein hukum, disisi yang lain memasuki domein politik. Pada
domein politik pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya persoalan politcal will
penguasa/pemerintah saja, tapi juga menyangkut pertimbangan lain yang berkaitan dengan resiko yang
harus ditanggung pemerintah dalam hal dilakukan penuntutan. Misalnya tindakan represif terhadap
pengusaha yang korup, harus mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang akan terkena dampak
penuntutan terhadap pengusaha itu. Kesulitan menyediakan lapangan kerja merupakan beban sosial
yang tinggi yang dihadapi oleh masyarakat, apalagi dihadapkan dengan anatomi dan jaringan korupsi
yang terbangun sudah begitu luas sampai kedesa-desa. Dalam keadaan yang demikian penegakan
hukum tindak pidana korupsi menjadi masalah politik, bukan persoalan hukum semata. Pertimbangan
politik menjadi tak terhindarkan ketika pihak Eksekutif harus berhadapan dengan prinsip cost and
benefit dalam penegakan hukum.
3. Moralitas Aparat Penegak Hukum.
Dalam wilayah penegakkan hukum persoalan menjadi rumit ketika berhadapan dengan wewenang
penuntutan (dominus litis) dari Penuntut Umum yang sulit dikontrol oleh pihak lain. Apakah cukup
alasan atau tidak membawa sebuah perkara ke pengadilan, pasal apa yang akan dijadikan dasar
menuntut, alat bukti apa yang akan diajukan di persidangan, semua ini merupakan kewenangan yang

tertutup dari Kejaksaan, yang sekaligus juga berpotensi untuk dimanipulasi demi keuntungan para pihak
secara illegal (terdakwa dan penuntut Umum).
Demikian juga dengan kewenangan hakim di pengadilan, atas nama kebebasan kekuasaan kehakiman
(independency judiciary) kewenangan itu sulit dikontrol pihak lain, sehingga potensi manipulasi tidak
terhindarkan. Dalam beberapa eksaminasi publik terhadap putusan-putusan perkara korupsi, terungkap
bahwa lepas bebasnya para koruptor dari penuntutan hukum kerap disebabkan oleh kurang
sempurnanya dakwaan penuntut umum, kurangnya alat bukti karena kesengajaan dan putusan hakim
yang tidak komprehensif dalam pertimbangan hukumnya, sehingga dapat diduga ada kepentingan untuk
melepaskan / membebaskan terdakwa dengan pembenaran-pembenaran dalam pertimbangan
hukumnya (judicial corruption).
Strategi pemberantasan korupsi, pembuktian terbalik dan Peranan KPTPK
Dasar pembentukan KPTPK adalah pasal 43 UU No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20
tahun 2001 yang kemudian melahirkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTK. KPTPK merupakan lembaga
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun yang dapat mempengaruhi tugas dan
wewenangnya atau anggotanya secara individual baik dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif maupun
pihak-pihak yang terkait dengan semua perkara korupsi, dalam keadaan, situasi dan dengan alasan
apapun. KPTPK mempunyai tugas dan wewenang yang luas, yaitu: a) melakukan koordinasi dengan dan
b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, c)
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, d) melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan e) melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
KPTPK melaksanakan fungsi suvervisi terhadap instansi yang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi, termasuk mempunyai wewenang pengambilalihan. Jelas KPTPK mempunyai peran yang sangat
kuat (powerfull) dalam pemberantasan korupsi. Sebagai pengendali yang penuh baik pada level
kebijakan maupun pada level pelaksanaan pemberantasan korupsi. Namun perlu pengawasan dan
monitoring yang ketat terhadap KPTPK. Karena tidak mustahil dengan kekuasaan yang luar biasa KPTPK
akan tend to corrupt juga.
Kehadiran KPTPK dalam jagad pemberantasan korupsi didasari atas kebutuhan adanya suatu lembaga
yang independen dan kuat dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan metode
penegakan hukum secara luar biasa. Pemberantasan korupsi tidak lagi dapat diatasi dengan cara-cara
yang konvensional yang terbukti banyak mengalami berbagai hambatan, karena korupsi sudah menjadi
suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) yang juga harus dihadapi dengan cara-cara yang
luar biasa. Dalam konteks inilah sesuai dengan apa yang telah diamanatkan UU No. 30 Tahun 2002
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPTPK dapat menjalankan fungsinya secara optimal
melalui strategi pemberantasan korupsi sebagi berikut:
1. Menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dengan institusi yang telah ada sebagai
counterpartner yang kondusif sehingga kerja pemberantasan korupsi serempak dilakukan secara efektif
dan efisien. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan pembidangan kewenangan yang ada dalam KPTPK
sendiri, antara lain:

a) Dengan Kepolisian dan Kejaksaan, dalam Bidang Penindakan yang membawahkan kewenangan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dengan kerjasama ini dapat dihindari KPTPK memonopoli
tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan;
b) Dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak harta kekayaan hasil
tindak pidana korupsi dengan pencucian uang, dalam Bidang Informasi dan Data yang membawahkan
kewenangan pengolahan informasi dan data, pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi serta
kewenangan monitoring;
c) Dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), baik dalam Bidang Penindakan dalam rangka penyidikan
dan penuntutan suatu perkara maupun dengan Bidang Informasi dan Data dalam kerangka monitoring
dan mencari bukti permulaan dari suatu perkara;
d) Dengan Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) maupun masyarakat umum, dalam bidang
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang membawahkan kewenangan pengawasan
internal dan pengaduan masyarakat, maupun dalam Bidang Pencegahan yang membawahkan
kewenangan pendaftaran dan pelaporan kekayaan penyelenggara negara, gratifikasi, pendidikan dan
pelayanan masyarakat;
e) Dengan Institusi lain yang relevan dan mendukung tugas-tugas KPTPK, misalkan dengan LIPI atau
kampus dalam bidang penelitian dan pengembangan.
f) Tentu saja jaringan kerja dan kerjasama ini harus dibangun secara institusional, harus dihindari
kerjasama individual yang berpotensi melahirkan KKN yang justru akan menghambat bahkan
menggagalkan tugas-tugas KPTPK sendiri. Target KPTPK menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi
yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara dan orang lain atau masyarakat
yang terlibat harus selalu menjadi koridor dalam pengertian hubungan dalam jaringan kerja tidak dapat
menghalangi penuntutan terhadap penegak hukum atau pihak lain yang memang melakukan korupsi.
2. Menjadi stimulator dan pemicu dan pemberdaya institusi yang telah ada dalam gerakan
pemberantasan korupsi untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan bila KPTPK dapat
melakukan:
a. Melaksanakan fungsi koordinasi dan supervisi yang ketat terhadap institusi pemberantasan korupsi,
terutama kepolisian dan kejaksaan. Jika tidak terlihat keseriusan dan kesungguhan, maka jangan ragu
untuk mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian dan atau kejaksaan;
b. Memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat (LSM) untuk berperan serta dalam
pemberantasan korupsi dengan membuka akses informasi informasi dan memberikan akses bagi
masyarakat untuk mengawasi kerja dan kinerja KPTPK sebagai watchdog yang sekaligus bagian dari
public accountability. Dalam hal perlindungan hukum bagi masyarakat yang terkait dalam perkara baik
sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli harus dilakukan secara maksimal. KPTPK bisa mendorong
(preasure) diterbitkannya UU tentang Perlindungan Saksi. Karena KPTPK tidak berwenang mengeluarkan
SP3 maka melalui kajian dan penelitian yang mendalam KPTPK mendorong serta mengupayakan
diakuinya secara hukum (legal recognation) masyarakat (LSM) sebagai pihak ketiga yang mempunyai
kepentingan hukum sebagai pihak ketiga dalam praperadilan (Pasal 80 KUHAP) bagi tindak pidana
korupsi yang dihentikan penyidikan atau penuntutannya oleh kejaksaan.

3. Memaksimalkan seluruh upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakkan hukum
yaitu melakukan usaha-usaha yang menggunakan secara optimal semua instrumen hukum yang luar
biasa yang tersedia, seperti antara lain:
a. Perluasan sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Alat bukti yang sah berupa
petunjuk perolehannya tidak hanya terbatas dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa
(Pasal 188 ayat (2) KUHAP), tetapi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi dan
dokumen sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26A UU No. 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan
UU No. 20 tahun 2001
b. Sistem Pembuktian Terbalik. Meskipun sistem yang dianut dalam UU No. 31 tahun 1999 bukan sistem
pembuktian terbalik murni, tetapi sistem pembuktian terbalik premium remedium atau moderat, karena
masih dibebankan kepada Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya. Sistem ini membuka
peluang yang sangat besar bagi pemberantasan tindak pidana korupsi secara konsisten. Kewajiban
terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami,
anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
merupakan bukti yang memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
korupsi. Sistem pembuktian terbalik premium remedium ini tetap saja membuka peluang bagi
penyelewengan. Karena pembebanan membuktikan kepada jaksa penuntut umum juga selaku penyidik
yang melahirkan kewenangan kepadanya untuk dapat mengajukan atau tidak suatu perkara ke
pengadilan sehingga tidak jarang dijadikan sebagai lahan subur dan basah bagi terjadinya manipulasi
yang menguntungkan para pihak secara illegal (terdakwa dan jaksa penyidik/penuntut umum). Namun
bagi penuntutan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPTPK (korupsi yang melibatkan penegak
hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang terlibat, yang meresahkan masyarakat, dan/atau
menyangkut kerugian negara minimal Rp.1 milyar) potensi penyelewengan oleh penuntut umum
menjadi tertutup, karena KPTPK tidak berwenang menerbitkan SP3.
Jika saja sistem yang dianut sistem pembuktian terbalik murni, maka setiap orang (ic Pegawai Negeri
dan Penyelenggara Negara dan orang-orang terkait) yang harta bendanya tidak berimbang dengan
sumber pendapatannya dapat didakwa melakukan tindak pidana korupsi (presumption of guilt) tanpa
kewajiban Jaksa penuntut umum membuktikannya, dan pada gilirannya akan menimbulkan efek deternt
yang lambat laun dapat meciptakan kehidupan sosial bernegara yang bersih dari KKN.
c. Hak negara menggugat secara perdata. Sebagai dukungan kepada sistem pembuktian terbalik
premium remedium, maka penggunaan hak negara menggugat secara perdata terhadap harta-harta
terdakwa yang tidak terakomodasi oleh putusan menjadi sangat signifikan bagi rasa keadilan dalam
masyarakat.

Pengalaman Kongkrit yang Pernah dan Sedang Dilakukan Penulis dalam Pemberantasan Korupsi
1. Mempertahankan komitmen
Sejak awal penulis sangat peduli terhadap pemberantasan korupsi yang jelas-jelas merugikan
masyarakat dan negara. Ketika penulis masih berstatus mahasiswa S1 (Medio Maret 1983) pernah
menulis sebuah artikel di salah satu media cetak yang didasari oleh kegeraman terhadap para koruptor
pada waktu itu, tulisan itu diberi judul Pemberantasan Korupsi Identik dengan Penyuluhan Hukum.

Tulisan ini didasari pendapat Bung Hatta bahwa korupsi sudah menjadi budaya, penulis berpendapat
bahwa memberantas korupsi sama dengan merubah budaya, dari budaya corrupt kepada budaya yang
menghargai kejujuran, sehingga karenanya kerja memberantas korupsi itu harus dilakukan terus
menerus berkesinambungan tanpa limitasi waktu seperti halnya penyuluhan hukum. Dalam tulisan itu
penulis juga kemukakan bahwa pemberantasan korupsi melalui pengadilan tidak akan ada artinya tanpa
disertai sanksi hukum yang berat, karenanya penulis mengusulkan untuk menghukum mati saja para
koruptor. Tulisan ini dimuat juga dalam buku kumpulan karangan penulis yang diberi judul Pengadilan
Asongan: Realitas Sosial dalam Perspektif Hukum halaman 126 132.
2. Selama penulis menerjuni profesi advokat, komitmen terhadap pemberantasan korupsi tetap dijaga,
dan mengembangkan dilingkungan kantor, dan mempertahankan komitmen itu dalam suasana
peradilan yang korup, meski menemui resiko-resiko yang tak terhindarkan seperti mendapat julukan
pengacara pelit atau seringkali putusan pengadilan tidak menguntungkan penulis.
3. Bersama rekan lain, tanpa mengingkari asas praduga tak bersalah, penulis mencanangkan dan
mengembangkan prinsip tidak pernah membela atau mendampingi para tersangka/terdakwa dalam
perkara korupsi, bahkan ini dikembangkan menjadi sebuah aliansi sendiri. Sikap ini juga membawa
konsekuensi yang tidak mudah, kehilangan kesempatan menangani perkara yang berhonor besar, dan
dijuluki oleh beberapa teman sebagai sok moralis.
Aktivitas Pemberantasan Korupsi
Nilai-nilai dan sikap kritis terhadap penyelewengan, penulis resapi selama mengabdikan diri di LBH
dalam kurun waktu 1984 -1991 dan tetap menjaga komitmen penulis pada pemberantasan korupsi.
Meski penulis telah menekuni advokat yang profesional, dalam kerangka pencegahan dan
pemberantasan korupsi, masih terlibat dalam gerakan dan kegiatan pemberantasan korupsi, seperti
advokasi perkara-perkara korupsi, sebagai berikut:
1. Aktif sebagai Tim Hukum ICW (Indonesia Corruption Watch) dalam kasus Korupsi Jaksa Agung Andi
Ghalib (Era Presiden Habibie). Kasus ini tentang upaya penyuapan dengan dalih sumbangan dari para
tersangka korupsi (termasuk The Nin King) kepada Andi M Ghalib Jaksa Agung yang merangkap sebagai
Ketua Umum Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI);
2. Mewakili YLBHI melakukan judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Agung terhadap Keputusan
Presiden pengangkatan Soeripto sebagai sekjen Departemen Kehutanan yang berindikasi KKN dan
melanggar peraturan (era Presiden Abdurrahman Wahid);
3. Mendampingi Saksi Pelapor Korupsi (Leonita) bersama ICW yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang dituduh mencemarkan nama baik Hakim Agung yang menerima suap, karena
melaporkannya kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dan Kejaksaan
Agung;
4. Mewakili ICW dan Lie Cin Wei (pengamat pasar modal) dalam mengkritisi potensi kerugian negara
dalam divestasi Bank LIPPO, baik di Bapepem, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tuntutan Bank
LIPPO dan instansi lainnya;
5. Mewakili beberapa pribadi dan Koalisi LSM Anti Pengemplangan Uang Negara mengajukan judicial
review ke MA terhadap Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2002 yang atas nama kepastian hukum akan
memaafkan para koruptor

6. Mewakili ICW sebagai Pihak Ketiga, mengajukan gugatan Pra-peradilan dalam penghentian penyidikan
(SP3) kasus tindak pidana korupsi Sinivasan (Texmaco);
7. Mewakili dan mendampingi ICW dalam kasus Penemuan Bukti Baru Kasus Bank Bali (buku tamu yang
mengindikasikan adanya pertemuan antara Pande Lubis/BPPN dengan Joko S Tjandra dalam kasus Bank
Bali) dengan melaporkannya sebagai keterangan palsu ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia;
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi:
1. Sejak tahun 1995 sampai kini, melalui siaran radio Cakrawala FM 98,45 dalam program acara
penyuluhan dan konsultasi hukum secara interaktif, penulis selain melakukan konsultasi juga mencoba
mengembangkan dan menyebarkan sikap kritis kepada audiens pendengar terhadap penyelewenganpenyelewengan yang dilakukan oleh pejabat yang memegang kekuasaan pada level manapun. Demikian
juga secara insidentil dan temporer dengan cara dan moda yang sama penulis lakukan dibeberapa radio
swasta lain seperti SMART FM 92,65;
2. Pada kurun waktu 1999-2000, melalui program acara Klinika Yustisia SCTV secara interaktif, penulis
juga mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai dan sikap kritis kepada pemirsa TV SCTV terhadap
kebijakan-kebijakan dan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh kekuasaan pada level
manapun. Melalui siaran TV lain secara insidental dan temporer seperti Wacana Lativi, penulis juga
mencoba menyebarkan nilai-nilai dan sikap kritis masyarakat terhadap kebijakan maupun
penyelewengan-penyelewengan oleh kekuasaan;
3. Penulis juga aktif dalam diskusi-diskusi tentang perlindungan saksi dalam konteks penanggulangan
dan pemberantasan korupsi baik yang diselenggarakan LSM seperti ICW, Judicial Watch, LBH maupun
organisasi profesi seperti IKADIN, AAI dsb;
4. Penulis juga terlibat aktif melalui Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dalam mengadvokasi
dan mendorong penyusunan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang semaksimal mungkin
mengadopsi prinsip-prinsip good governance sebagai upaya pencegahan terjadinya korupsi. Kegiatan
yang penulis ikuti ini baik sebagai nara sumber, peneliti maupun peserta diskusi yang dilakukan
dibeberapa kota di Indonesia sepeti Medan dan Malang;
5. Sebagai upaya pencegahan terjadinya korupsi, khususnya judicial corruption, penulis mengikuti juga
beberapa kegiatan yang spesifik, antara lain: aktif dalam koalisi pemantau pemilihan Hakim Agung
bersama beberapa LSM, juga aktif dalam kegiatan pengujian (Eksaminasi) publik terhadap perkaraperkara yang menarik perhatian masyarakat utamanya yang berindikasi terjadinya judicial corruption.
Aktivitas ini penulis ikuti melalui kegiatan-kegiatan eksaminasi publik ICW, Masyarakat Pemantau
Peradilan (MaPPI FH UI) di Jakarta dan Indonesia Court Monitoring (ICM) Yogyakarta, antara lain
terhadap Kasus Yayasan Pendidikan Kerjasama Yogya, Kasus Bank Bali dan Kasus Semen Padang.
Referensi:
Undang-undang No. 31 Tahun 1999;
Undang-undang No. 20 Tahun 2001;
Undang-undang No. 30 Tahun 2002;
SKH Kompas Rubrik Fokus, 25 oktober 2003;
International Comference Against Corruption Declaration of 8th, Peru 1997.

Anda mungkin juga menyukai