Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

Mengapa Akuntansi Forensik ?

PENGANTAR
Cakupan akuntansi forensik pada dasarnya adalah fraud dalam arti seluasnya.
Association of Certified Fraud Examiners mengelompokan fraud dalam tiga kelompok besar,
yakni corruption (korupsi), asset misappropriation (penjarahan aset), dan fraudulent
financial statements (laporan keuangan yang dengan sengaja dibuat menyesatkan).
Mengapa Akuntansi Forensik ? Karena ada fraud, baik berupa potensi fraud maupun nyatanyata ada fraud . Fraud menghancurkan pemerintahan maupun bisnis. Fraud berupa korupsi
lebih luas daya penghancurnya. Pada pertemuan Asia Pasifik mengenai fraud tahun 2004
(2004 Asia Pasific Fraud Convention) , Deloitte Touche Tohmatsu melakukan polling
terhadap 125 delegasi. Polling tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan peserta (82%)
menyatakan bahwa mereka mengalami peningkatan dalam corporate fraud

(fraud di

perusahaan) dibandingkan dengan tahun sebelumnya; 36% diantaranya menyatakan


peningkatan fraud yang teramat besar. Khusus fraud dalam bisnis di Australia untuk tahun
2003, menurut perkiraan Australian Istitute of Criminology berjumlah $5,8miliar pertahun.
Partner forensik dari Doloitte, Richard Batten, mengtakan with corporate fraud on the rise,
businesses without fraud prevention strategies are at serious risk of revenue leakage and
reputation damage (dengan meningkatnya fraud di perusahaan, bisnis yang tak mempunyai
strategi perlindungan menanggung resiko kebocoran pendapat dan kehancuran dalam
reputasi.). Akuntansi forensik mengamati dan memahami gejala fraud secra makro.

CORPORATE GOVERNANCE
Dampak

kelemahan

governance

pada

umumnya,

baik

korporasi

maupun

pemerintahan secara teoritis (dengan efficient market hypothesis ) dapat dijelaskan bahwa
perusahaan yang lemah governance nya, akan dihukum oleh pasar modal berupa lebih
rendahnya harga saham mereka. Dengan perkataan lain, saham meraka seharnya mempunyai
nilai yang lebih tinggi kalau mereka menggunakan ggod corporate governance ( tata kelola
perusahaan yang baik ).

Konsultan manajemen McKinsey melakukan kajian global dalam tahun 2002. Hal yang
dilihat adalah substansi dari penerapan corporate governance, dan bukan bentuk luarnya (
substance over form ). Salah stu pertanyaan dalam kajiannya yang diajukan kepada
institutional investors adalah berapa persen lebih tinggi yang Anda bersedia bayar lebih
untuk saham saham dari perusahaan yang melaksanakan praktik dewan yang sehat?
Hasilnya menunjukkan bahwa makin lemah corporate governance ( dalam hal ini praktik
tidak sehatnya dewan ), maikn besar premium atau kelebihan yang investor bersedia bayar,
jika memang ada perbaikan. Hasil survei 2002 pertanyaan terkait Apakah ada korelasi antara
skor dalam corporate governance denagn kinerja pasar modal (harga saham di pasar modal) ?
Jawabannnya ini adalah hasil kajian CLSA (CLSA adalah kelompok broker independent dan
investasi yang menyediakan jasa jasa pasar modal seperti equity broking, merger
acquisition, dan asset mangement services kepada korporasi global dan klien klien
institusional). CLSA menyebunya korelasi yang hampir sempurna antara corporate
governance di lapisan teratas dan lapisan terbawah, dengan kinerja keuangan yang diukur
berdasarkan ROCE (return on capital employed) dan ROE (return on equity). CLSA
menyimpulkan adanya korelasi yang kuat antara skor corporate governance dengan kinerja
harga saham. Khusus untuk Indonesia, perhatian akuntansi forensik adalah pada penemuan
fraud dalam arti korupsi.
Business Monitor International ( BMI ) dalam forecast pada kuartal keempat 2005 memuat
SWOT Analysis mengenai lingkungan usaha ( business environment ) di Indonesia.
SWOT Analysis Business Environment

Weakness
Standart of corporate governance remain weak in Indonesia despite
some progress since the Asian crisis. State run banks have been among
the worst offenders. Profits at Bank Negara [ maksudnya Bank BNI ] and
Bank Rakyat [ maksudnya BRI ]were slshed in2003 amid high profile
fraud scandals.
Indonesias legal system is unreliable. Poorly trained judges at Jakartas
commercial court, established in1998, have made a series of
controversial rulings, including declaring two foreign owned life insurers
bankrupt.
Reforming the business environment, particularly by strengthening the
legal system and eliminating corruption, would boost investor interest in

CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX


Indeks persepsi korupsi ( corruption perceptions index- CPI ). CPI adalah indeks
mengenai persepsi korupsi di suatu negara. Indeks ini diumumkan setiap tahunnya oleg TI. TI
adalah organisasi msyarakat madani global (global civil society) yang mempelopori
pemberantasana korupsi. TI mempertemukan bangsa bangsa dalam suatu koalisi untuk
mengakhiri dampak buruk yang dahsyat dari korupsi terhadap manusia diseluruh dunia. Misi
TI adalah menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas korupsi. TI mempunyai jaringan
global yang meliputi lebih dari 90 cabang (national chapters ), termasuk Indonesia, dan
cabang dalam pendirian ( chapters-in-formation ) . Jaringan ini memerangi korupsi dalam
lingkup nasional dengan menggabungkan pemain yang relevan dari lingkungan
pemerintahan, masyarakat madani, serta dunia bisnis dan media untuk mendorong transparasi
dalam pemilihan umum, administrasi pemerintahan, pengadaan barang, dan bisnis.
Standart deviasi dan confidence intervals merupakan konsep ilmu statistika yang
dipaki untukmenjelaskan tingkat keandalan data. Ukuran lainnya adalah jumlah yang dipakai,
dan siapa yanag melakukan kajian tersebut.
Lembaga yang Melakukan Kajian
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Sumber Kajian
Asian Development Bank
African Development Bank
Bestelsman Foundation
World Bank ( IDA DAN IBRD )
Economist Intelligence Unit
Freedom House
Global Insight
IMD International, Switzerland, World Competitiveness Center
Merchant International Group
Political & Economic Risk Consultancy
World Economic Forum

GLOBAL CORRUPTION BAROMETER


Global Corruption Barometer (GCB) merupakan hasil survei pendapat umum sejak
tahun 2003. GCB mewawancarai 63.199 orang di 60 negara dan kawasan ( territories ) anatra
bulan Juni dan September 2007 . GCB 2009 mewawancarai 73.132 orang di 69 negara dan
kawasan ( territories) antara bulan Oktober 2008 dan Februari 2009. Jumlah negara dalam
survei GCB sejak 2003 (survei pertama ) berubah ubah sebagai berikut.

Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2009

Negara
45
64
70
63
60
69

Korupsi dalam GCB berarti uang sogokan atau pembayaran tidak resmi untuk mendapatkan
pelayanan. Secara umum, bukan hanaya Indonesia, temuan survei GCB 2007 adalah sebagai
berikut.
1.

Rakyat jelata (miskin), baik di negara berkembang maupun ndi negara industri yang
sangat majuadalah korban utama korupsi.

2.

Sekitar 1 di antara 10 orang di seluruh dunia harus membayar uang suap atau sogok (
bribe )

3.

Penyuapan marak dalam urusan dengan kepolisian, sistem peradilan, dan pengurusan
izin izin.

4.

Masyarakat umum percaya bahwa lembaga-lembaga terkorup dalam masyarakat


,ereka adalah partai-partai politik, parlemen/DPR, Kepolisian, dan sistem peradilan.

5.

Separuh dari mereka yang diwawancarai memperkirakan korupsi di negara mereka


akan meningkat dlam tiga tahun mendatang.

6.

Separuh dari mereka yang diwawancarai berpendapat bahwa upaya pemerintah


mereka memerangi korupsi tidaklah efektif.

GCB merupakan alat TI untuk mengukur korupsi secara lintas negara. GCB merupakan
pelengkap CPI dan BPI yang dilaksanakan atas pendapat para pakar dan pemimpin dunia
usaha.

BRIBE PAYERS INDEX


Bribe Payers Index (BPI) tahun 2008 meliputi 2.742 wawancara dengan para
eksekutif bisnis senior di 26 negara , yang dilaksanakan antara 5 Agustus sampai 29 Oktober
2008. Survei dilakukan atas nama Transparency International oleh Gallup International .
Gallup International bertanggung jawab atas pelaksanaan survei BPI 2008 secara
keseluruhan dan atas proses pengendalian mutu.
Ke 26 negara dipilih atas dasar aliran masuk Penanamn Modal Luar Negari Langsung
(Foreign Direct Investment) dan arus impor serta peranan mereka dalam perdagangan
regional.
Daftar negara di mana para eksekutif disurvei
Negara di Mana Eksekutif Disurvei

Afrika
Timur
tengah
Mesir

dan Asia Pasifik

India

Ghana
Maroko

Indonesia
Jepang

Nigeria
Malaysia
Senegal
Pakistan
Afrika Selatan Filiphina
Singapura
Korea Selatan

Eropa Tengah Amerika


dan Timur
Latin
Republik
Cheska
Hungaria
Polandia

Argentina

Rusia

Meksiko

Brasil
Cile

Eropa Barat
dan Amerika
Serikat
Prancis
Jerman
Amerika
Serikat
Inggris

Di antara negara pengekspor, Belgia dan Kanada yang pling kecil kemungkinannya
melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri. Kedua negara ini disusul oleh Negara
Belanda dan Swiss dalam jarak berdekatan.
Pada Ekstrim lain, para eksekutif memeringkat Rusia sebagai negara yang paling besar
kemungkinannya melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri. Ini berarti, semua
negara yang paling kuat ekonominya sedikit banyaknya (dipandang) mengekspor koru

KORUPSI DAN IKLIM INVESTASI-KAJIAN PERC


Political and Ecnomic Risk Consultancy, Ltd. (disingkat PERC)melakukan kajian untuk
menilai risiko politik dan ekonomi suatu negara. Kajian-kajian ini merupakan referensi
bagi pebisnis yang akan dan sudah menanamkan modalnya di negara yang
bersangkutan.
Salah satu kajian PERC menunjukkan tingkat korupsi menurut persepsi eksekutif
asing di negara tertentu. Survei terakhir PERC menyajikan skor korupsi (corruption
scores) untuk 14 perekonomian Asia berdasarkan survei terhadap lebih dari 1.700
eksekutif. Survei ini dilakukan oleh PERC disiarkan melalui AFP pada tanggal 8 April
2009. Australia dan Amerikan dimasukkan dalam survei dan dalam tabel dibawah,
sekedar sebagai pembanding.

Tingkat korupsi di Asia menurut PERC 8 April 2009

No. Urut
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Negara/Territory
Singapura
Hongkong
Australia
Amerika Serikat
Jepang
Korea Selatan
Macau
China
Taiwan
Malaysia
Filipina
Vietnam
India
Kamboja
Thailand
Indonesia

Skor
1,07
1,89
2,40
2,89
3,99
4,64
5,84
6,16
6,47
6,70
7,00
7,11
7,21
7,25
7,63
8,32

Untuk tahun 2010, posisi Indonesia menurut PERC masih terkorup di antara negaranegara kunci di Asia, yakni 16 negara besar.
GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX
Tingkat kemampuan bersaing suatu negara mencerminkan sampai berapa jauh negara
tersebut dapat memberikan kemakmuran kepada warga negaranya. Sejak 1979, World
Economic Forum (WEF) menerbitkan laporannya (The Global Competitiveness Report)
yang meneliti faktor-faktor yang memungkinkan perekonomian suatu bangsa dapat
mempunyai pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran jangka panjang yang
berkesinambungan.
The Global Competitives report mengelompokkan perkembangan ekonomi suatu
negara ke dalam tiga tahapan. Tahap 1 disebut factor driven, tahap 2 disebut efficiency
driven. Dan Tahap 3 disebut innovation driven. Ada negara-negara yang sedang dalam
peralihan, misalnya dari tahap 1 ke 2 atau dari tahap 2 ke 3.
Tahap-tahap di atas berhubungan dengan 12 pilar persaingan. Kedua belas pilar ini
dapat dilihat dalam Figur 2.2.

Basic requirements
1. Institusi (institutions)
2. Infrastruktur (Infrastructure)
3. Stabilitas makroekonomi
(macroeconomic stability)
4. health and primary education

Efficiency enhancers
5. Higher education and training
6. Goods market effeciency
7. Labor market efficiency
8. Financial market sophistication
9. Technological readiness
10. Market Size

key for
factor-driven
economies

key for
efficiency-driven
economies

Innovation and sophistication


factors
11. Business sophistication
12. Innovation

key for
innovation-driven
economies

Dalam tahap 1 suatu negara bersaing dengan negara lain berdasarkan faktor-faktor
yang mereka miliki (endowments) terutama tenaga kerja tidak terampil dan sumbersumber daya alam. Oleh karena itu, tahap pertama disebut factor driven.
Untuk mempertahankan kemampuan bersaing dalam tahap 1, negara yang
bersangkutan harus mengembangkan dengan baik lembaga-lembaga publik maupun
swastanya (pilar 1), infrastruktur yang berkembang dengan baik (pilar 2), kerangka
makro ekonomi yang stabil (pilar 3), dan tenaga kerja yang sehat dan mampu membaca
(pilar 4).
Ketika tingkat upah meningkat dengan berkembangnya perekonomian negaranegara dalam tahap 1 beralih memasuki tahap 2. Dalam tahap 2 merkea harus mulai
meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan mutu produk yang mereka hasilkan.
Pada tahap 2, kemampuan bersaing didorong oleh pendidikan dan pelatihan (pilar 5),
pasar-pasar yang efisiensi dari produk yang dihasilkan (pilar 6), berfungsinya dengan
baik pasar tenaga kerja (pilar 7), kecanggihan pasar modal dan pasar uang (pilar 8),
pasar valuta asing yang besar di dalam negeri (pilar 10), dan kemampuan untuk meraih
Manfaat dari teknologi yang ada (pilar 9).
Akhirnya negara-negara akan memasuki tahap 3. Dalam tahap 3 mereka mampu
mempertahankan tingkat upah dan standar hidup yang tinggi kalau mereka mampu
bersaing dalam produk baru atau produk yang unik. Pada tahap 3 perusahaan harus
bersaing melalui inovasi (pilar 12) dan melalui penciptaan barang baru, barang yang
berbeda, atau proses produksi yang paling canggih (pilar 11).
Ini berarti meskipun semua negara mengandalkan kedua belas pilar persaingan (12
pilars of conventitiveness), namun penekanannya akan berbeda bergantung pada tahap
dimana mereka berada.
Tiga masalah utama yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan
perekonomian dan bisnisnya adalah ketidakefisienan birokrasi pemerintahan,
masalah infrastruktur dan korupsi.
APAKAH KAJIAN MENGENAI KORUPSI BERMANFAAT?

Pembahasan mengenai apakah indeks korupsi bermanfaat, difokuskan pada indeks


korupsi hasil kajian dari sisi permintaan.
Alasan untuk mengatakan bahwa indeks di atas bermanfaat adalah berikut ini.
1. Bermanfaat, kalau kita menyadari bahwa indeks tersebut mencerminkan
persepsi atau kesan.namun, tidak berarti bahwa persepsi atau kesan itu tidak
penting. Investor atau eksportir dari negara-negara yang menentang parktik
korupsi seperti terlihat dari BPI, segan berbisnis dengan negara yang dianggap
korup menurut CPI dan CGB.
2. Persepsi yang dilontarkan oleh survei pendapat umum seperti GCB
mencerminkan kenyataan. Ini terbukti dari penangkapan dan penyidikan oleh
KPK dan kejaksaan, yang diikuti dengan penyidangan di pengadilan dari tokohtokoh masyarakat dan penyelenggara negara seperti penegak hukum (jaksa,
hakim, polisi), anggota DPR dan DPRD, pimpinan pemda, menteri, dan petinggi
lain di departemennya.
3. Bermanfaat secara makro, bukan mikro. Calon presiden dan calon wakil
presiden berkampanye tentang pemberantasan korupsi. Setelah mereka menjadi
presiden dan wakil presiden, indikasi makro tentang keberhasilan (atau
kegagalan) mereka ditunjukkan oleh CPI, GCB dan indeks lainnya selama dan
pada akhir pemerintahan mereka.
Mungkin menyakitkan membaca kajian-kajian global tentang persepsi korupsi di
Indonesia. Pilihannya adalah, tidak mengabaikan kajian-kajian tersebut dan buat
kajian khusus Indonesia. Untuk kajian khusus indonesia, lihat pembahasan
mengenai survei integritas dari KPK.
SURVEI INTEGRITAS OLEH KPK
Setiap tahun KPK melakukan survei integritas. Survei terakhir dilakukan tahun 2008.
Survei ini merupakan wewenang KPK dalam pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi
(Undang-undang No. 30 tahun 2002). KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian,
atau penelaahan terhadap instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
Survei integritas sektor publik 2007 dilaksanakan antara agustus hingga oktober 2007. Survei
dilakukan terhadap 65 unit layanan di 30 departemen/instansi tingkat pusat yang tersebar di
wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dengan jumlah responden 3.611 orang,
meraka merupakan pengguna langsung jasa pelayanan publik tersebut.
Tujuan survei ini adalah :
1. Menelusuri akar permasalahan korupsi di sektor pelayanan publik
2. Mengubah perspektif layanan dari orientasi lembaga penyedia layanan publik atau
petugasnya (sisi penawaran) ke perspektif pelanggan (sisi permintaan).
3. Mendorong lembaga publik mempersiapkan upaya pencegahan korupsi yang efektif
di wilayah dan layanan yang rentan terjadinya korupsi.
Hasil survei sebagai berikut.

1. Rata-rata skor integritas sektor publik dari 30 departemen atau intansi tingkat pusat
yang disurvei adalah 5,33. Skor ini diukur dengan skala dari 1 sampai 10, dimana 10
adalah penilaian terbaik. Sektor tergolong rendah dibandingkan dengan skor integritas
sektor publik negara-negara lain.
2. Sebelas departemen atau instansi mendapat skor integritas sektor publik dibawah ratarata. Mereka adalah Departemen Kelautan dan Perikanan, Mahkamah Agung,
Departemen Kesehatan, PT PLN, Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Polri, PT Pelubahan Indonesia, Departemen Perhubungan, Badan
Pertahanan Nasional, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3. Petugas pelayanan publik masih berperilaku koruptif. Terlihat dari 31% responden
yang merasa ada perbedaan prosedur layanan. Selain itu, 29% responden menyatakan
petugas di unit layanan terbiasa menerima tip, hadiah, atau imbalan lainnya dalam
pengurusan layanan.
4. Perilaku itu didukung oleh tidak adanya transparasi dan informasi yang jelas berkaitan
dengan biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan layanan.
5. Masyarakat pengguna layanan sektor publik masih bersikap toleran terhadap perilaku
koruptif. Di 10 unit layanan di berbagai departemen/instansi, mayoritas pengguna
layananannya (75%-100%) menganggap pemberian imbalan merupakan hal yang
wajar. Bahkan 20% pengguna layanan publik mengaku pernah menawarkan tip,
hadiah, dan imbalan lainnya kepada petugas, untuk mempercepat layanan. Besarnya
biaya tambahan bervariasi dari kurang 2,5 persen hingga lebih dari 20 persen. Dalam
nilai nominal, antara Rp100.000 hingga Rp150juta.
Survei ini dilakukan secara rutin setiap tahun untuk memantau efektivitas
pengendalian korupsi di layanan publik sebagai mekanisme check and balance antara
penyedia dan pengguna layanan publik.
KPK memberikan rekomendasi pencegahan korupsi terutama kepada departemen dan
instansi yang memiliki skor integritas sektor publik di bawah rata-rata. KPK terus memonitor
terhadap berbagai sektor pelayanan publik yang ada di departemen dan instansi.
PENUTUP
Sebagai akuntan forensik, kita perlu memahami apa makna dari masing-masing
indikator atau indeks, bagaimana mereka dikompilasi, siapa yang mengompilasi, apa
kelemahan indikator atau indeks tersebut (dalam hal apa sebaiknya tidak digunakan), dan
seterusnya.
Adapun indikator yang dipergunakan, kita tidak dapat memungkiri bahwa korupsi
sudah lama merasuk bangsa ini.
Membasmi korupsi harus dimulai dari pendidikan di rumah, di sekolah, maupun di
tempat penempaan spritual dan agama. Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan hanya
dengan gebrakan, ini salah satu pelajaran pahit bagi kita selama setengah abad.

Anda mungkin juga menyukai