Anda di halaman 1dari 10

OLEH

NI MADE AYU PUSPA WIDYANINGSIH (202033122028)


NI KADEK DIKA ADELIA (202033122034)
NI KADEK MIARTININGSIH (202033122055)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS WARMADEWA
2023
1. Peranan Corporate Governance Dalam Akuntansi Forensik
AKUNTANSI FORENSIK
Cakupan akuntansi forensik pada dasarnya adalah fraud dalam arti seluasnya.
Association of Certified Fraud Examiners mengelompokkan fraud dalam tiga kelompok besar,
yakni corruption (korupsi), asset misappropriation (penyerahan asset), dan fraudulent
financial statement (laporan keuangan) yang sengaja dibuat menyesatkan.
Kalau seorang auditor dapat disebut sebagai akuntan yang berspesialisasi dalam
auditing maka akuntan forensic menjadi spesialis yang lebih khusus lagi (superspecialist)
dalam bidang fraud. Yang menjadi fraud auditor atau fraud examiner.
Fraud menghancurkan pemerintahan maupun bisnis. Fraud berupa korupsi lebih luas
daya penghacurnya. Pendidikan pun ikut dirusaknya. Ketika korupsi berkecamuk sedemikian
hebatnya, pebisnis dan mahasiswa akuntansi foresnik sekalipun, bertanya apa salahnya
korupsi? Mengapa benturan kepentingan (conflict of interst) dipersoalkan?
Pada pertemuan Asia Pacific mengenai fraud tahun 2004, Deloitt Touche Tohmatsu
melakukan polling terhadap 125 delegasi. Polling tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan
peserta (82%) menyatakan bahwa mereka mengalami peningkatan dalam corporate fraud
(fraud diperusahaan) dibandingkan dengan tahun sebelumnya; 36% diantara menyatakan
kepentingan fraud yang teramat besar.
Khusus fraud dalam bisnis di Australia untuk tahun 2003, menurut perkiraan
Australian Institute of Criminology berjumlah $5,8 miliar pertahun. Partner forensik dari
Deloitt, Richard Batten, mengatakan “with corporate fraud on the rise, businesses without
fraud prefention strategies are at serious risk of revenue leakage and reputation damage”
(“dengan meningkatnya fraud diperusahaan, bisnis yang tidak mempunyai strategi
perlindungan menanggung resiko kebocoran pendapatan dan kehancuran dalam reputasi.”).
Akuntan forensik mengamati dan memahami gejala fraud secara makro, pada tingkat
perekonomian negara. Ada banyak kajian global yang dapat dimanfaatkan.
Kajian-kajian lembaga internasional bermanfaat dalam memberikan pemahaman.
Namun, kajian ini mempunyai keterbatasan operational. Oleh karena itu, pemahaman tentang
korupsi di Indonesia dari kajian-kajian lembaga internasional, dilengkapi dengan kajian yang
lebih focus. Diantaranya, kajian mengenai integritas yang dibuat KPK.

CORPORATE GOVERNANCE
Bagian ini tidak akan membahas makna dan cakupan dari corporate govermance.
Istilah dalam bahasa Inggrisnya pun sangat diterima secara luas di dunia akademi maupun
bisnis di Indonesia. Tidak jarang corporate governance diberikan sebagai mata kuliah di
fakultas ekonomi.
Meskipun sorotan utama mengenai fraud pada umumnya, dan korupsi khususnya,
adalah pada kelemahan corporate govermance atau kelemahan di sektor korporasi, namun
prinsip umumnya adalah kelemahan di sektor governance, baik korporasi atau pemerintahan.
Di Indonesia hal ini sangat jelas terlihat dalam perkara-perkara korupsi dari para penyelenggara
negara. Juga jelas dari kajian KPK yang disebutkan di atas.
Apa dampak kelemahan governance pada umumnya, baik korporasi maupun
pemerintahan? Pembaca dapat menarik kesimpulan sendiri tentang DPR pasca penangkapan
dan vonis para anggotanya, juga apparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan,
kehakiman bahkan mahkamah agung.
Apa dampak kelemahan governance di korporasi? Secara teoritis (dengan efficient
market hypothesis) dapat dijelaskan bahwa perusahaan yang lemah governance-nya, akan
dihukum oleh pasar modal berupa lebih rendahnya harga saham mereka. Dengan perkataan
lain, saham mereka seharusnya mempunyai nilai yang lebih tinggi kalau mereka mempunyai
good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik).
Konsultan manajemen McKinsey melakukan kajian global mengenai hal dalam tahun
2002. Hal yang dilihat adalah substansi dalam penerapan corporate governance dan bukan
bentuk luarnya. Syarat mengenai adanya Dewan Komisaris dan Direksi, mungkin saja seolah-
olah terpenuhi. Namun, para komisaris dan direktur adalah anggota keluarga. Atau, ada
komisaris “independen” tetapi pemegang saham mayoritas sangat dominan dalam pengambilan
keputusan. Substansi good corporate governance tidak ada, karena oversight (pengawasan)
tidak berjalan.
Dalam pembahasan berikut istilah dewan yang digunakan untuk penerjemahan Board
of Directors. Di negara-negara yang menganut two-board system seperti Indonesia, ada dewan
komisaris dan ada direksi. Di negara lain yang menganut one-board system, hanya ada satu
dewan yang anggotanya disebut directors dan independent directors.
Dalam kajian McKensey, salah satu pertanyaan yang diajukan kepada institutional
investors adalah ketika anda mengavaluasi perusahaan dimana anda akan melakukan investasi,
apa yang lebih penting, kinerja keuangan atau praktik-praktik dewan yang sehat (board best
practies).
2. Sumber-Sumber Data yang Dapat Digunakan Oleh Akuntan Forensic untuk Memetakan
Kasus-Kasus Korupsi Melalui Corruption Perception Index, Global Corruption
Barometer, Bribe Payers Index dan Global Competitiveness Index

CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX

Indeks persepsi korupsi sangat dikenal di Indonesia, dengan atau tanpa pemahaman
yang benar. CPI adalah indeks menganai persepsi korupsi di suatu negara. Indeks ini
diumumkan setiap tahunnya oleh TI.
TI (transparency international) adalah organisasi masyarakat madani global (global
civil society) yang melopori pemberatasa korupsi. TI mempertemukan bangsa-bangsa dalam
suatu koalisi untuk mengakhiri dampak buruk yang dahsyat dari korupsi terhadap manusia
diseluruh dunia. Misi TI adalah menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas korupsi.
TI menentang pandangan bahwa korupsi merupakan keharusan yang tidak bisa
dihindari dan menawarkan harapan bagi korban-korban korupsi. Sejak pendirinya dalam tahun
1993, TI memegang peran utama dalam memperbaiki kehidupan jutaan manusia diseluruh
dunia dengan membangun momentum bagi Gerakan pemberantasan korupsi. TI meningkatkan
kesadaran dan menekan rasa apatis dan toleransi terhadap korupsi, serta merancang dan
melancarkan Tindakan-tindakan praktis memberantas korupsi.
TI mempunyai jajaran yang meliputi lebih dari 90 cabang (National Chapter), termasuk
Indonesia, dan cabang dalam pendirian (Chapters-in-formation). Jaringan ini memerangi
korupsi dalam lingkup national dengan menggabungkan pemain yng relevan dari lingkungan
pemerintahan, masyarakat madani, serta dunia bisnis dan media untuk mendorong transparansi
dalam pemilihan umum, administrasi pemerintahan, pengadaan barang, dan bisnis. Jaringan
international TI menggunakan kampanye yang melobi pemerintahan agar melaksanakan
revormasi di bidang pemberantasan korupsi.
GLOBAL CORRUPTION BAROMETER
Global Corruption Barometer (GCB) merupakan survei pendapat umum yang
dilakukan sejak tahun 2003. Pada saat penulisan buku ini hasil survei GCB yang tersedia adalah
GCB tahun 2009. Survei sebelumnya adalah untuk tahun 2007, tidak ada survei untuk tahun
2008. Survei dilakukan oleh Gallup Internasional atau atas nama Transparency Internasional
(TI). GCB berupaya memahami bagaimana dan dengan cara apa korupsi memengaruhi hidup
orang banyak, dan memberikan indikasi mengenai bentuk dan betapa luasnya korupsi, dari
sudut pandang anggota masyarakat di seluruh dunia.
GCB ingin mengetahui dari masyarakat pada umumnya (ordinary people), sektor yang
paling korupsi, bagian dari hidup sehari-hari yang paling dipengaruhi oleh korupsi, apakah
korupsi meningkat atau menurun dibandingkan masa lalu, dan apakah dimasa mendatang
korupsi akan naik atau turun? GCB mendalami lebih lanjut, dan menyajikan informasi
mengenai: berapa seringnya keluarga membayar uang suap? Bagaimana pembayaran suap
terjadi (apakah diminta atau diberikan begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan)? Apakah
suap diberikan untuk mendapatkan akses public service (misalnya masuk sekolah negeri, buat
kartu penduduk, dan sebagainnya)? Dan berapa uang suap yang dibayarkan?.
Informasi semacam itu sangat penting untuk membantu pemberantasan korupsi dan
penyuapan. Misalnya, pertanyaan mengenai bagaimana pembayaran suap terjadi, akan
mmembentuk kita merancang kebijakan anti korupsi. Juga, dengan mananyakan sektor
masnyakarat yang paling korupsi, GCB akan menjadi katasilator bagi reformasi di sektor itu.
Pandangan orang tentang apakah korupsi meningkat atau menurun dibandingkan masa lalu,
merupakan ukuran kegagalan atau keberhasilan dari kebijakan dan prakarsa anti korupsi.
Di bawah ini secara beruturut disajikan Global Corruption Barometer 2007 dan 2009
(GCB-2007 dan GCB-2009). Ada perubahan dalam format penyajian GCB-2007 dan
GCB2009). GCB 2007 mewawancarai 63.199 orang di 60 negara dan kawasan (territories)
antara bulan Juni dan September 2007. GCB 2009 mewawancarai 73.132 orang di 69 negara
dan kawasan (territories) antara bulan Oktober 2008 dan Februari 2009, jumlah negara dalam
survei GCB sejak 2003 (survei pertama) berubah-ubah sebagai berikut:

Tahun Negara
2003 45
2004 64
2005 70
2006 63
2007 60
2009 69
Korupsi dalam GCB berarti uang sogokan atau pembayaran tidak resmi untuk
mendapatkan suatu pelayanan. Secara umum, bukan hanya Indonesia, temua utama survey
GCB 2007 adalah sebagai berikut:
1. Rakyat jelata (miskin), baik di negara berkembang maupun di negara industri yang sangat
maju, adalah korban utama korupsi. Mereka juga merupakan kelompok yang paling
pesimis bahwa korupsi di kemudian hari akan berkurang.
2. Sekitar 1 di antara 10 orang di seluruh dunia harus membayar uang suap atau sogok
(bribe). Di beberapa wilayah, seperti Asia Pasifik dan Eropa Tenggara, penyuapan
dilaporkan meningkat.
3. Penyuapan marak dalam urusan dengan kepolisian, sistem peradilan, dan pengurus
izinizin.
4. Masyarakat umum percaya bahwa lembaga-lembaga terkorup dalam masyarakat mereka
adalah partai-partai politik, parlemen/DPR, kepolisian dan system peradilan.
5. Separuh dari mereka yang diwawancarai memperkirakan korupsi di negara mereka akan
meningkat dalam tiga tahun mendatang. Ini merupakan peningkatan yang signifikan
dibandingkan empat tahun sebelumnya.
6. Separuh dari mereka yang diwawancarai berpendapat bahwa upaya pemerintah mereka
memerangi korupsi tidaklah efektif.

BRIBE PAYERS INDEX


Bribe Payers Index (BPI) tahun 2008 meliputi 2.742 wawancara dengan para eksekutif
bisnis senior di 26 negara, yang dilaksanakan 5 Agustus sampai 29 Oktober 2008. Survei
dilakukan atas nama Transoarency Internasional oleh Galup Internasional. Gallup Internasional
bertanggung jawab atas pelaksanaan survei BPI 2008 secara keseluruhan dan atas proses
pengendalian mutu.
Pernyataan yang diajukan kepada para eksekutif bisnis senior: berapa besar
kemungkinannya perusahaan asing melakukan penyuapan (bribery) ketika mereka bertransaksi
di negara di negara dimana anda beroperasi? Para eksekutif ini menyampaikan persepsi atas
dasar pengetahuan mareka (informal perceptions) mengenal sumber penyuapan yang berasal
dari luar negeri. Di antara negara pengeksporan, Belgia dan Kanada yang paling kecil
kemungkinannya melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri. Kedua negara ini
disusul oleh Negara Belanda dan Swiss dalam jarak berdekatan.
Pada ekstrim lain, para eksekutif memeringkat Rusia sebagai negara yang paling besar
kemungkinannya melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri. Tidak ada satu pun
negara yang mendapatkan skor 9 atau 10 dalam BPI 2008. Ini berarti, semua negara yang paling
kuat ekonominya sedikit banyaknya (dipandang) mengekspor korupsi. Kebanyakan informasi
dalam BPI 2008 merupakan data agregat dan bukan per negara.

KORUPSI DAN IKLIM INVESTASI-KAJIAN PERC


Political and Economic Risk Consultancy, Ltd. (disingkat PERC) melakukan kajian
untuk menilai risiko politik dan ekonomi suatu negara. Kajian-kajian ini merupakan referensi
bagi pembisnis yang akan dan sudah menananmkan modalnya di negara bersangkutan. Salah
satu kajian PERC menunjukkan tingkat korupsi menurut persepsi eksekutif asing di negara
tertentu. Survei terakhir PERC menyajikan skor korupsi (corruption scores) untuk 14
perekonomian Asia berdasarkan survei terhadap lebih dari 1.700 eksekutif. Survei ini melalui
AFP pada tanggal April 2009. Australia dan Amerika Serikat dimasukkan dalam survei dan
dalam table dibawah, sekedar sebagai pembanding.
No. Urut Negara/Territory Skor
1 Singapura 1,70
2 Hong Kong 1,89
3 Australia 2,40
4 Amerika Serikat 2,89
5 Jepang 3,99
6 Korea Selatan 4,64
7 Macau 5,84
8 Cina 6,16
9 Taiwan 6,47
10 Malaysia 6,70
11 Filipina 7,00
12 Vietnam 7,11
13 India 7,21
14 Kamboja 7,25
15 Thailand 7,63
16 Indonesia 8,32
GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX
Tingkat kemampuan bersaing suatu negara mencerminkan sampai berapa jauh negara
tersebut dapat memberikan kemakmuran kepada warga negaranya. Sejak 1979, World
Economic Forum (WEF) menerbitkan laporannya (The Global CompetitivenessReport) yang
meneliti faktor-faktor yang memungkinkan perekonomian suatu bangsa dapat mempunyai
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran jangka panjang yang berkesinambungan. Laporan ini
memeringkat tingkat kemampuan bersaing negara-negara dalam indeks yang disebut Global
Competitiveness Index.
Global competitiveness index (GCI) atau indeks daya saing global adalah suatu indeks
yang mengukur progres suatu negara dalam perkembangan semua faktor-faktor yang
memengaruhi produktivitasnya. Secara implisit, indeks ini mengukur seberapa efisien suatu
negara memanfaatkan faktor-faktor produksinya yang kemudian akan berujung pada upaya
memaksimalkan produktivitas faktor total / total factorproductivity (TFP) dan mencapai
pertumbuhan ekonomi jangka panjang, sehingga bermanfaat bagi pembuat kebijakan untuk
melakukan intervensi kebijakan yang efektif. The Global Competitiveness Index Report 2019
menggunakan indeks daya saing global 4.0 (GCI 4.0) sejak 2018 dengan penyesuaian yang
lebih detail dan cocok dengan Revolusi Industri 4.0 saat ini. Adapun kerangka pembentuk
indeks daya saing global secara umum dapat dikategorikan menjadi 4 aspek, antara lain
lingkungan yang mendukung/kondusif (enablingenvironment), modal manusia (human
capital), aspek pasar (markets), dan ekosistem inovasi (innovationecosystem). Keempat aspek
tersebut kemudian dirinci kembali dalam 12 pilar pembentuk indeks daya saing, seperti yang
diilustrasikan pada tabel di bawah.
Lingkunganyang mendukung
Pilar 1. Institusi a. Keamanan
b. Modal sosial
c. Checks and balance
d. Kinerja sektor publik
e. Transparansi
f. Hak milik
g. Tata kelola perusahaan
h. Orientasi masa depan pemerintah

Pilar 2. Infrastruktur a. Infrastruktur transportasi


b. Infrastruktur utilitas

Pilar 3. Adopsi TIK -

Pilar 4. Stabilitas makro ekonomi -

Modal manusia

Pilar 5. Kesehatan -

Pilar 6. Keterampilan a. Tenaga kerga saat ini


b. Tenaga kerja masa depan
Pasar

Pilar 7. Pasar barang dan jasa a. Persaingan pasar domestic


b. Keterbukaan perdagangan

Pilar 8. Pasar tenaga kerja a. Fleksibilitas


b. Meritrokrasi dan insentif

Pilar 9. Sistem keuangan a. Kedalaman


b. Stabilitas

Pilar 10. Ukuran ekonomi -

Ekosistem inovasi

Pilar 11. Dinamika bisnis a. Persyaratan administratif


b. Budaya kewirausahaan

Pilar 12. Kemampuan inovasi a. Keberagaman dan kolaborasi


b. Penelitian dan pengembangan
c. Komersialisasi
Sumber: World Economic Forum 2019

Indeks Daya Saing Global Indonesia


Peringkat indeks daya saing global Indonesia dalam laporan World Economic Forum
(WEF) turun dari peringkat 45 dari 140 negara pada tahun 2018 menjadi peringkat 50 dari 141
negara pada tahun 2019. Indonesia menempati urutan ke-4 di ASEAN setelah Singapura (1),
Malaysia (27) dan Thailand (40), dan jika dibandingkan dengan Singapura yang menempati
posisi pertama dalam daya saing global, Indonesia masih tertinggal di hampir seluruh
komponen daya saing, kecuali komponen stabilitas makroekonomi dan ukuran ekonomi.
Menurut laporan WEF, tidak ada perubahan kinerja yang signifikan pada indeks daya
saing global Indonesia pada tahun2019. Namun, ada beberapa pilar yang menyebabkan
penurunan pada skor Indonesia, diantaranya adalah adopsi teknologi informasi dan komunikasi
(TIK), pilar selanjutnya adalah kesehatan, pasar barang dan jasa, serta pilar keterampilan dan
pasar tenaga kerja. Dalam laporannya, WEF juga menyebutkan bahwa ada beberapa kinerja
dari indeks daya saing global Indonesia yang dapat ditingkatkan, di antaranya adalah pilar
dinamika bisnis yang mengalami peningkatan pada tahun 2019 yaitu dari 69 poin menjadi 69,6
poin dan pilar sistem keuangan yang stabil dari 63,9 poin menjadi 64 poin. Selain itu, walaupun
kemampuan inovasi (37,7 poin) Indonesia masih terbatas, namun terus mengalami
peningkatan.Besarnya ukuran ekonomi Indonesia dan makroekonomi yang stabil merupakan
kekuatan utama Indonesia dalam indeks ini. Ukuran ekonomi Indonesia menduduki peringkat
ke-7 dengan nilai 82,4 poin, sedangkan stabilitas makroekonomi Indonesia menduduki
peringkat ke-54 dengan nilai 90,0 poin. Sementara dalam kecepatan kerangka hukum dalam
adaptasi model bisnis digital, Indonesia menempati urutan ke-28 dan memiliki nilai rata-rata
di atas rata-rata global yaitu 38 poin.
Indonesia telah meningkatkan kinerja dalam daya saing global di semua pilarnya dalam
5 tahun terakhir. Namun berdasarkan laporan WEF, peringkat Indonesia pada tahun 2016-2017
mengalami penurunan dari peringkat 37 pada tahun 2015-2016 menjadi peringkat 41 pada
tahun 2016-2017 dan kemudian naik pada tahun 2017-2018 menjadi peringkat 36. Sementara
pada tahun 2018 dan 2019, peringkat Indonesia dalam indeks daya saing global kembali
mengalami penurunan, yaitu peringkat 45 pada tahun 2018 dan peringkat 50 pada tahun
2019.Walaupun nilainya tidak mengalami peningkatan yang signifikan, namun makroekonomi
yang stabil dan ukuran ekonomi yang besar merupakan kekuatan bagi daya saing Indonesia di
tingkat global. Hal ini dapat terlihat dari nilai kedua komponen tersebut yang memiliki nilai
paling tinggi dibandingkan komponen lainnya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dalam
laporannya, WEF juga mencatat bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami
kemajuan signifikan dalam hal infrastruktur transportasi. Indonesia juga termasuk ke dalam
salah satu negara yang memiliki potensi besar dalam mengembangkan kemampuan inovasi
dalam mengejar ketertinggalan dari negara maju, bahkan Indonesia masuk ke dalam salah satu
jajaran inovator teratas di antara negara-negara berkembang pada tahun 2017-2018. Namun
untuk kesiapan dalam peningkatan teknologi, Indonesia masih tertinggal jauh di belakang. Hal
ini menunjukkan bahwa teknologi di Indonesia masih belum menyebar secara merata dalam
masyarakat. Selain itu jika dilihat dari grafik indeks daya saing global selama 5 tahun terakhir,
Indonesia juga perlu untuk mendorong pilar pasar tenaga kerja, misalnya dalam hal penentuan
upah yang masih kurang fleksibel dan keterwakilan perempuan dalam angkatan kerja yang
masih terbatas.

Anda mungkin juga menyukai