akan
Bunga.
Dalam bahasa Belanda, konsep ini dikenal sebagai Kosten, Schaden en Interssen. Ini
adalah konsep yang sudah cukup lama dikenal di negara asalnya. Buku-buku hukum
perdata bahasa Indonesia umumnya mengutip tulisan-tulisan Subekti yang menjelaskan
makna Kosten, Schaden en Interssen. Di antaranya.
Yang dimaksud kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya yang
berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (konsten), atau kerugian
yang sungguh-sungguh menimpah harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga
yang berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat
seandainya si berutang tidak lalai (winstderving).
b. Kerugian Menurut Hukum Administrasi Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
memberikan definisi tentang kerugian dalam konteks kerugian negara/ daerah.
Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang ini berbunyi:
Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai.
Kerugian negara/daerah yang timbul karena di luar kemampuan manusia (force
majeure) tidak dapat dituntut. Kerugian negara/daerah sebagai akibat perbuatan
melawan hukum, dapat dituntut. Paham yang dikemukakan dalam Pasal 1365
KUHPerdata tercermin dalam Kerugian Negara/ Daerah yang dapat dituntut.
Kerugian negara/daerah dalam Pasal 1 butir 22 haruslah yang nyata dan pasti
jumlahnya. Penjelasan undang-undang mengenai seluruh Pasal 1 butir 22 hanya
mengatakan cukup jelas. Para praktisi menafsirkan nyata dan pasti sebagai sesuatu
yang benar-benar dikeluarkan atau
terjadi. Dalam
lingkup
Undang-Undang
Perbendaharaan Negara, penafsiran ini tepat. Misalnya dalam hal kekurangan uang,
surat berharga, dan barang.
c. Kerugian Menurut Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Menurut KPK terdapat 30 jenis Tindak Pidana Korupsi (tipikor) menurut UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ( Lihat
Lampiran II ). Sampai saat ini ada dua pasal yang paling sering digunakan untuk
memidanakan koruptor. Kedua pasal ini mengandung unsur kerugian keuangan
negara. Para praktisi menyebut pasal-pasal ini merupakan pasal sapu jagad atau
pasal pamungkas.
Selengkapnya, kedua pasal ini berbunyi sebagai berikut,
Pasal 2
(1) Setiap
orang
yang
secara
melawan
hukum
melakukan
perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidanakan
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4(empat) tahun dan paling lama 20(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.
200.000.000,00
(dua
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
d. Kerugian Negara Dalam Praktik Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Kerugian dalam Praktik Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat
penuntutan
Dalam hal kasus yang terjadi ternyata merupakan kasus perdata atau lainnya
(kekurangan perbendaharaan atau kelalaian PNS), maka perhitungan kerugian
keuangan negara digunakan sebagai bahan gugatan/penuntutan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku (perdata/TP/TGR).
b)
c)
d)
2. Mengidentifikasi Transaksi
a)
b)
dengan
perhitungan
kerugian
keuangan
negara
atas
kasus
harus
barang tersebut,
tetapi
juga
biaya
untuk memusnahkan
atau
menyingkirkannya.
3. Kerugian Bersih ( Net Loss )
Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, seperti dalam metode Kerugian
Total, dengan penyesuaian ke bawah. Contohnya dalam Kerugian Total di atas dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan argumen yang dikemukakan tim pembela, yaitu
barang rongsokan itu masih ada nilainya. Dengan demikian, kerugian keuangan
negara hanyalah sejumlah kerugian bersih, yaitu kerugian total dikurangi dikurangi
nilai bersih barang rongsokan tersebut. Nilai bersih ini merupakan selisih yang bisa
diperoleh (harga besi tua) dikurangi salvaging cost.
4. Harga Wajar
Harga
wajar
menjadi
pembanding
untuk
harga
realisasi
Kerugian
keuangan negara di mana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar
dengan harga realisasi. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Dalam pengadaan barang, kerugian ini merupakan selisih antara harga yang
dibayarkan dengan harga yang wajar.
b) Dalam pelepasan aset berupa penjulan tunai, kerugian ini merupakan selisih
antara harga wajar dengan harga yang diterima.
c) Dalam pelepasan aset berupa tukar guling (ruilslag), kerugian ini merupakan
selisih antara harga wajar dengan harga pertukaran (exchange value). Metode ini
juga digunakan untuk semua pertukaran barang dengan barang lain atau
pertukaran barang dengan jasa.
5. Harga Pokok
HP dikritik karena tidak sama dengan harga jual. Kritikan ini benar. Oleh karena itu,
HP harus disesuaikan (ke atas atau ke bawah) untuk
Harga pasar ke atas atau ke bawah tergantung kondisi pasar pada saat terjadinya
transaksi yang diinvestigasi. Harga pasar pada saat itu bisa melebihi HP, yang berarti
HP harus ditambah dengan margin keuntungan. Sebaliknya harga pasar pada saat di
bawah HP, yang berarti HP harus dikurangi dengan margin kerugian.
6. Opportunity Cost
Kendala yang dihadapi dengan menggunakan metode opportunity cost adalah definsi
kerugian (keuangan Negara) yang nyata dan pasti. Akan tetapi ini bukanlah
kelemahan dari metode opportunity cost. Ini hanyalah tantangan yang harus dijawab
akuntan forensik dan ahli ekonomi yang memberikan keterangan Ahli di persidangan.
Bagi pengadilan, tindak pidana korupsi ini suatu proses pembelajaran. Sesudah
melampaui learning curve ini, kita akan
No
Pola Penghitungan
Negara
Kerugian
Receipt (Penerimaan)
Expenditure (Pengeluaran)
Kegiatan Fiktif
Bunga
Asset (Aset)
Pelepasan Aset
No
Pola Penghitungan
Negara
Kerugian
Kerugian Total (Total Loss)
Bunga untuk kerugian waktu
Pemanfaatan Aset
Opportunity Cost
Kerugian Total (Total Loss)
Bunga untuk kerugian waktu
10
Penempatan Aset
11
Kredit Macet
Liability (Kewajiban)
12
Kewajiban Nyata
13
14
Kewajiban Tersembunyi
KESIMPULAN
1. Salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkap terjadinya tindak
pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 ayat (1) dan pasal 3
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara
2. Pengertian atau makna kerugian keuangan negara dapat bermacam- macam,
antara lain; (a) menurut hukum perdata, (b) menurut hukum administrasi
Negara, dan (c) menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
3. Menurut hukum perdata, kerugian negara dapat dihitung tidak hanya dari salah
dalam
menghitung
kerugian
keuangan
negara
pada
dasarnya tidak dapat dipolakan secara seragam. Hal ini disebabkan sangat
beragamnya modus operandi kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Namun
demikian,
auditor
dapat
menempuh
hal-hal
sebagai
berikut;