Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal

masuk ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi


usus dan dapat menjadi strangulasi kemudian mengalami komplikasi yang
berujung pada sepsis dan kematian. Intususepsi merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang umum pada anak.1-6
Irish (2011) menyebutkan insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000
kelahiran hidup.2 Berdasarkan usia, intususepsi paling banyak dialami oleh anak
usia kurang dari 1 tahun dengan puncak usia 4-8 bulan. 8,9 Berdasarkan jenis
kelamin, laki-laki paling banyak mengalami intususepsi dengan rasio yang
berbeda di masing-masing wilayah dimana rasio laki-laki dan perempuan untuk
wilayah Asia adalah 9:1.
Gejala klasik yang paling umum (85%) dari intususepsi adalah nyeri perut
yang sifatnya muncul secara tiba-tiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya
selama beberapa menit. Gejala awal lain yang sering dikeluhkan yaitu muntah.
Kerusakan usus berupa nekrosis hingga perforasi usus dapat terjadi antara hari ke
2-5 dengan puncaknya pada hari ke 3 setelah gejala klinis terjadi. Hal tersebut
akan memperberat gejala obstruksi yang ditimbulkan oleh intususepsi dan akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 2,9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal

masuk ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi


usus dan dapat berakhir dengan strangulasi. 1,4 Umumnya bagian yang proksimal
atau disebut intususeptum masuk ke bagian distal atau disebut intussussipien.6

2.2

Epidemiologi

Di Asia dalam hal ini Taiwan dan Cina, dilaporkan insidens dari
intususepsi adalah 0,77 per 1000 kelahiran hidup. Di India, angka kejadiannya
dilaporkan berkisar 1,9-54,4 per tahun. Tidak ada data yang menyebutkan tentang
insidensi per kelahiran hidup. Di Malaysia lebih kurang 10,4 bayi dan anak
dirawat di RS Umum Kuala Lumpur karena intususepsi per tahun. Di Indonesia,
angka kejadian intususepsi di RS wilayah pedesaan dan perkotaan didapatkan
angka yang berbeda, yaitu masing-masing 5,8 dan 17,2 per tahun.8
Irish (2011) menyebutkan insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000
kelahiran hidup.2 Intususepsi umumnya ditemukan pada anak-anak di bawah 1

tahun dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia anak.12 Di Asia,


insiden puncak antara usia 4-8 bulan.8
Umumnya intususepsi ditemukan lebih sering pada anak laki-laki. Di
Afrika, tepatnya di Tunisia, rasio laki-laki dibandingkan perempuan adalah 8:1. Di
Asia, rasio perbandingannya adalah 9:1.8

2.3

Etiologi
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal.13
1. Idiopatik
Definisi dari istilah intususepsi idiopatik bervariasi di antara
penelitian terkait intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah
idiopatik untuk menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas
spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti
diverticulum

meckel

atau

polip

yang

dapat

diidentifikasi

saat

pembedahan.8
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu
teori untuk menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah
bahwa hal itu terjadi karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini
berasal dari 3 pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi
saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi
tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan (3) pembesaran
kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang memerlukan

operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi terhadap


intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas.1

2. Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun),
adanya kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi, seperti :
inverted Meckels diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma,
hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus.13
Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip
seperti peutz-jeghers syndrom, dan duplikasi intestinal.
Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya
timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan
peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi
retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.13

2.4

Patofisiologi
Patofisiologi dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari
ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding
intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa
yang bertindak sebagai pencetus atau oleh pola yang tidak teratur dari
peristalsis

(contohnya,

berhubungan

dengan

ileus

pasca

berbagai

operasi).

masalah

Gangguan

kesehatan

elektrolit

yang

dapat

mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada


terjadinya invaginasi.1
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus
terinvaginasi ke dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area
proximal dari intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses
sepanjang lumen dari intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem
limfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif dimana
ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon, akan dijumpai
mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan
obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan
perforasi usus.1,13
Pembuluh

darah

mesenterium

dari

bagian

yang

terjepit

mengakibatkan gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem,


hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang
mendasari terjadinya salah satu manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB
darah lendir yang disebut juga red currant jelly stool.1,2,13

2.5

Faktor-faktor yang dihubungkan dengan terjadinya intususepsi


Penyakit ini sering terjadi pada umur 4-12 bulan, puncaknya 4-8
bulan dimana pada saat itu terjadi perubahan diet makanan dari cair ke
padat, perubahan pemberian makanan ini dicurigai sebagai penyebab
terjadi intususepsi. Intususepsi kadang-kadang terjadi setelah/selama
enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan peristaltik usus.
Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata ditemukan kuman
rotavirus menjadi agen penyebabnya, dimana pengamatan 30 kasus
intususepsi bayi ditemukan virus ini dalam feses sebanyak 37%. Pada
beberapa penelitian terakhir ini didapati peninggian insidens adenovirus
dalam feses penderita intususepsi.13

2.6

Klasifikasi
Lokasi pada saluran cerna yang sering menyebabkan terjadinya intususepsi

merupakan lokasi segmen yang bebas bergerak dalam retroperitoneal atau


segemen yang mengalami adhesive. Invaginasi diklasifikasikan menjadi 4
kategori berdasarkan lokasi terjadinya:11
a. Entero-Enterika atau ileo-ileal (6,7%): Usus halus masuk ke dalam
usus halus
b. Colo-Kolika (4,7%): Kolon masuk ke dalam kolon
c. Ileo-Colica (31,5%): Ileum terminal yang masuk ke dalam kolon
asendens

d. Ileo-Sekal (39,5%): Ileum terminal masuk ke dalam sekum di mana


lokus minorisnya adalah katup ileosekal.

2.7

Gambaran klinis
Secara klasik perjalanan suatu intususepsi memperlihatkan gambaran
sebagai berikut :
Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan
gizi yang baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya
terangkat ke atas, penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan
sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit.
Di luar serangan, anak/bayi kelihatan seperti normal kembali. Pada waktu

itu sudah terjadi proses intususepsi. Serangan nyeri perut datangnya


berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit dengan lama serangan 2-3
menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu diikuti dengan
muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung.2,13
Sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya memerlukan
tenaga, maka di luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan
tertidur sampai datang serangan kembali. Proses intususepsi pada mulanya
belum terjadi gangguan pasase isi usus secara total, anak masih dapat
defekasi berupa feses biasa, kemudian feses bercampur darah segar dan
lendir, kemudian defekasi hanya berupa darah segar bercampur lendir
tanpa feses. BAB darah dan lendir (red currant jelly stool) baru dijumpai
sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama kali, kadang-kadang sesudah
12 jam. BAB darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus per kasus,
ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur.

Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak


tegang, dengan demikian mudah teraba gumpalan usus yang terlibat
intususepsi sebagai suatu massa tumor berbentuk curved sausage di dalam
perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah. 4
Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada
perut bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut dances sign. Hal ini
akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses intususepsi.1,4,7
Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya
tersumbat partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem
yang semakin bertambah, sehingga pada pasien dijumpai tanda-tanda
obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang
jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi.13
Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba
lagi dan defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini
berlanjut terus akan dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi,
asidosis, toksis dan terganggunya aliran pembuluh darah arteri. Pada

segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis usus, gangren, perforasi,


peritonitis umum, shock dan kematian.

Pada pemeriksaan colok dubur didapati:

Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa


massa seperti portio bila jari ditarik, keluar darah bercampur
lendir.

Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi, gejala-gejala


intususepsi tidak khas. Tanda-tanda obstruksi usus baru timbul dalam
beberapa hari. Pada penderita ini tidak jelas tanda adanya sakit berat. Pada
defekasi tidak ada darah. Intususepsi dapat mengalami prolaps melewati
anus. Hal ini mungkin disebabkan pada pasien malnutrisi, memiliki tonus
yang melemah, sehingga obstruksi tidak cepat timbul.13

2.8

Diagnosis
Untuk

menegakkan

diagnosis

intususepsi

didasarkan

pada

anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi.


Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi adalah suatu trias gejala yang
terdiri dar:
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang
timbul. Nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi
serangan baru.

10

2. Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian kanan
atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3. Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant jelly
stool. 1-5,7,13

2.9 Pemeriksaan Penunjang


2.9.1 Pemeriksaan Laboratorium
Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan
diagnosis intususepsi, sebagai proses dari progresivitas, akan didapatkan
abnormalitas elektrolit yang berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan
atau peningkatan jumlah leukosit (leukositosis >10.000/mm3).13,16
2.9.2

Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus
terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus
dengan gambaran air fluid level. Dapat terlihat free air bila terjadi
perforasi.13

11

Literatur lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki


akurasi diagnostik 45% untuk menegakkan diagnosis intususepsi sehingga
penggunaannya tidak diindikasikan jika ada fasilitas USG(4). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Hooker et al tahun 2008 dalam Radiographic
Evaluation of Intussusception, tampilan foto polos abdomen dengan posisi
left side down decubitus meningkatkan kemampuan untuk diagnosis atau
menyingkirkan intususepsi.17

12

3. Barium enema
Dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan
bila gejala-gejala klinik meragukan. Pada barium enema akan tampak
gambaran cupping, coiled spring appearance.13

13

4. Ultrasonografi Abdomen
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk
target atau donat yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang
dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut
dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm
menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal
tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan
hipoekoik dan hiperekoik.2,3,4,6
Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan
untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Park et al
(2007) melaporkan bahwa intususepsi transien dari usus kecil lebih sering

14

terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region periumbilikal, memiliki


diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki
garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan tidak memiliki nodus
limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan intususepsi ileocolic.2

5. CT Scan
Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran
klasik seperti pada USG yaitu target sign. Intususepsi temporer dari usus
halus dapat terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar kasus
ini secara klinis tidak signifikan.2

15

2.10 Diagnosis Banding


1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat
ditandai jika dijumpai perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak
ada rasa nyeri.
3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah,
serta adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut,
tenesmus dan demam.
4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang
hebat.
5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi
berulang kali dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa
dengan kulit perianal, sedangkan pada intususepsi didapati adanya
celah.13
2.11 Penatalaksanaan

16

Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,


penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah
komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus
dipasang sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen
sehingga bisa dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan
yang adekuat dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan
pemasangan selang catheter untuk memantau ouput dari cairan.
Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat dilakukan. 2,16
Pneumatic atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk
diagnosa maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak
pusat kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini
harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya
adalah menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun
gangrene pada usus. Semakin lama riwayat perjalanan penyakitnya,
semakin besar kemungkinan kegagalan dari terapi reduksi tersebut.16

Tindakan Non Operatif

1.

Hydrostatic Reduction
Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan

sejak dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876 . Kebanyakan pusat


pediatrik menggunakan kontras cairan saline (isootonik) karena barium
memiliki potensi peritonitis yang berbahaya pada perforasi intestinal.16
Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:

17

1. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi


kuat diantara pertengahan bokong.
2. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para
radiologis sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi loop
tertutup.
3. Pelaksanaannya memperhatikan Rule of three yang terdiri atas: (1)
reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak
boleh lebih dari 3 kali percobaan; (3) tiap percobaan masing-masing
tidak boleh lebih dari 3 menit.
4. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan
hidrostatik konstan dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.
5. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas
melalui katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada
rentang 45-95% dengan kasus tanpa komplikasi. 1-5,7,13

Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal


reduksi menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan
perbandingan 9:1) dengan panduan USG. Keberhasilannya mencapai 90%,
namun sangat tergantung pada kemampuan expertise USG dari
pelakunya.4
Teknik

non

pembedahan

ini

memiliki

beberapa

keuntungan

dibandingkan dengan reduksi secara operatif. Diantaranya yaitu :

18

penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan di rumah


sakit.2,16

2.

Pneumatic Reduction

Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke


dalam rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg
untuk bayi dan 110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi
ini meyakini bahwa metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan
waktu paparan dari radiasi. Pengukuran tekanan yang akurat dapat
dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi daripada reduksi hidrostatik.
Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaannya:
1. Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan
direkatkan dengan kuat.
2. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter, dan
udara dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120
mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara akan berhenti pada bagian
intususepsi, dan dilakukan sebuah foto polos.
3. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati
melewati usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini, dan
udara akan dikeluarkan duluan sebelum kateter dilepas.
4. Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan decubitus/upright
views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.
5. Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan glucagon
(0.5 mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil yang beragam
dan tidak rutin dikerjakan.12

19

Tindakan Operatif

Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray,


mengalami kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik,
ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif
harus segera dilakukan.16

2.12

Komplikasi
Intususepsi

dapat

menyebabkan

terjadinya

obstruksi

usus.

Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari
emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis usus dapat menyebabkan
perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus dapat
menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan short bowel
syndrome.2

2.13

Prognosis
Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan
anak-anak sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait
dengan intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di
negara berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat,

20

yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat
intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.8
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali
lipat dalam kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah
timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah
onset pertama.8Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif
dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4. 2

BAB III
KESIMPULAN

Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang harus dikenali


dengan cepat dan tepat serta penanganan segera karena misdiagnosis atau
keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
21

Invaginasi ataupun intususepsi umumnya dapat mengenai anak-anak.


Namun demikian, invaginasi dapat pula dialami oleh beberapa orang dewasa
karena penyebab tertentu yang telah diketahui etiologinya. intususepsi dapat
ditegakkan dengan melakukan diagnosis dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisik, maupun pemeriksaan penunjang yang tepat. Dalam hal ini, pemeriksaan
penunjang radiologi yang digunakan yaitu dengan foto polos abdomen, barium
enema (colon in loop), USG dan CT-Scan. Sedangkan untuk penatalaksanaannya
untuk bayi dan anak-anak dapat dilakukan tindakan non-operatif dan untuk
dewasa adalah dengan tindakan operratif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [serial online] 2012 Jan 13


[disitasi

tanggal

2016

Des

29];

dapat

diakses

pada

http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview#showall

22

URL:

2. Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [serial online]


2011 Apr 14 [disitasi pada

2016 Des 29]; dapat diakses pada : URL:

http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall
3. Wyllie R. Ileus, adhesi, insusepsi dan obstruksi lingkar tertutup in Nelson Ilmu
Kesehatan Anak. Behrmen, Kliegmen, Arvin editors. 15th ed. Vol 2. EGC: Jakarta.
1999. p.1319.
4. Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and management.
Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg. 2009.
5. Kartono D. Invaginasi dalam Kumpulan kuliah ilmu bedah. Reksoprodjo S,
Pusponegoro AD, et al. Binarupa Aksara: Tangerang. 2005.
6. Pendergast LA & Wilson M. Intussusception: a sonographers perspective. JDMS
19:231-238. Jul-Aug. 2003.
7. Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM (eds).
4th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2005.
8. Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children: Incidence,
Clinical Presentation and Management: A Global Perspective. Geneva,
Switzerland: World Health Organization, 2002.
9. Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al. The
epidemiology of Paediatric Inturssusception in Singapore: 1997 to 2004. Ann
Acad Med Singapore 2006;35:674-9.e
10. Ekenze SO, Mgbor SO. Childhood intussusception: The implications of delayed
presentation. Afr J Paediatr Surg 2011;8:15-8.
11. Van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos A.
Intussusception in a tropical country: comparison among patient populations in
Jakarta, Jogyakarta, and Amsterdam. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:402-5.
12. http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/006/6710-05500475.jpg
13. Santoso MIJ, Yosodiharjo A, Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya gejala
klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita

23

invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera


Utara: Medan. 2011.
14. http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/CAP/Case05/Images/Case05.01.
jpg
15. http://dynamic.psu.ac.th/kidsurgery.psu.ac.th/Pediatric
%20surgery/KID/Atlas/Images/E/E5/DSC01002.jpg
16. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds.
Ashcrafts Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.
17. Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang, Kan JH. Radiographic evaluation of
intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA 2008;248:3.
18. http://onradiology.blogspot.com/2011_02_01_archive.html
19. http://www.erpocketbooks.com/er-ultrasounds/other-ultrasounds/
20. Chung DH. Intussusception. In: Atlas of General Surgical Techniques. Townsend
CM & Evers. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.

24

Anda mungkin juga menyukai