Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa
bila tidak ditangani secara tepat. lnsiden kondisi ini bisa terus meningkat, dan tingkat
mortalitas 1-2 persen telah dibuktikan sejak tahun 1970-an. Ketoasidosis diabetikum paling
sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe 1 (yang pada mulanya disebut insulindependent diabetes mellitus), akan tetapi keterjadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2
(yang pada mulanya disebut non-insulin dependent diabetes mellitus), terutama pasien kulit
hitam yang gemuk adalah tidak sejarang yang diduga.
Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetikum adalah dengan memperoleh
riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini
adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium
serta terapi insulin dosis rendah. Penggunaan bikarbonate tidak direkomendasikan pada
kebanyakan pasien. Cerebral edema, sebagai salah satu dari komplikasi ketoasidosis
diabetikum yang paling langsung, lebih umum terjadi pada anak anak dan anak remaja
dibandingkan pada orang dewasa. Follow-up paisen secara kontinu dengan menggunakan
algoritma pengobatan dan flow sheets dapat membantu meminimumkan akibat sebaliknya.
Tindakan tindakan preventif adalah pendidikan pasien serta instruksi kepada pasien untuk
segera menghubungi dokter sejak dini selama terjadinya penyakit.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari ketoasidosis diabetikum?
2. Bagaimana epidemiologi dari ketoasidosis diabetikum?
3. Bagaimana klasifikasi dari ketoasidosis diabetikum?
4. Bagaimana etiologi dan patogenesis dari ketoasidosis diabetikum?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari ketoasidosis diabetikum?
6. Bagaimana diagnosis dari ketoasidosis diabetikum?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari ketoasidosis diabetikum?
8. Bagaimana komplikasi dari ketoasidosis diabetikum?
9. Bagaimana pencegahan dari ketoasidosis diabetikum?
1

C. Tujuan Makalah
1. Memahami definisi dari ketoasidosis diabetikum.
2. Memahami epidemiologi dari ketoasidosis diabetikum.
3. Memahami klasifikasi dari ketoasidosis diabetikum.
4. Memahami etiologi dan patogenesis dari ketoasidosis diabetikum.
5. Memahami manifestasi klinis dari ketoasidosis diabetikum.
6. Memahami diagnosis dari ketoasidosis diabetikum.
7. Memahami penatalaksanaan dari ketoasidosis diabetikum.
8. Memahami komplikasi dari ketoasidosis diabetikum.
9. Memahami pencegahan dari ketoasidosis diabetikum.

BAB II
KONSEP TEORI
A.

Definisi
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik

yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes melitus (DM) yang serius yang membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan
syok.
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius,
suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. Merupakan komplikasi metabolik yang
paling serius dari Diabetes Mellitus Tipe 1. KAD memerlukan pengelolaan yang cepat dan
tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi. Pencegahan merupakan upaya penting
untuk menghindari terjadinya KAD.
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai
menyebabkan syok.
B.

Epidemiologi
Data komunitas di Amerika serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD

sebesar 8 per 1000 pasien, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4
per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia tidak sebanyak di
negara barat, mengingat prevalensi DM tipe I yang rendah. Laporan insidens KAD di
Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama pada pasien DM tipe II.
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar 9-10%,
sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat
mencapai 25-50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang
menyertai KAD seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia
lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah.
3

Kematian pada pasien KAD usia muda, umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat,
pengobatan yang tepat dan rasional, serta memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada
pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit
dasarnya. Jumlah pasien KAD dari tahun ke tahun relatif tetap/tidak berkurang dan angka
kematiannya juga belum menggembirakan. Mengingat 80% pasien KAD telah diketahui
menderita DM sebelumnya, upaya pencegahan sangat berperan dalam mencegah KAD dan
diagnosis dini KAD.
C.

Klasifikasi

Ketoasidosis Diabetikum (KAD) diklasifikasikan menjadi empat yang masing-masing


menunjukkan tingkatan atau stadiumnya.

D.

Etiologi dan Patogenesis


Ada sekitar 20 % pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama

kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui sebelumnya, 80 % dikenali adanya faktor
pencetus. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard
akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi
dosis insulin. Sementara itu 20 % pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi gula hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
sangat bervariasi dan tidak menentukan derajat berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan
tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:

Akibat hiperglikemia

Akibat ketosis

Walaupun sel tubuh tidak dapat menurunkan glukosa, sistem homeostasis tubuh terus
teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis
meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara
berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik
asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat
(3HB); dalam keadaan normal 3HB meliputi 75-85 % dan aseton darah merupakan benda
keton yang tidak begitu penting. Meskupin sudah tersedia bahan bakar tersebut, sel-sel tubuh
masih tetap lapar dan terus menerus produksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi signal
untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis lemak, menghambat
glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong oksidasi melalui siklus krebs dalam
mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan ATP yang merupakan energi
utama sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif.
Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas,
hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa dapat mengganggu
sensitivitas insulin.
Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat
dipahami paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada manusia.
5

Manifestasi utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1)
berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; 2). Berkurangnya penggunaan
glukosa oleh pelbagai jaringan, dan 3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh
hati. Masing-masing peristiwa ini akan dibicarakan lebih rinci dibawah ini.

Patofisilogi defisiensi insulin


Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya memadai,
merupakan gejala utama defisiensi insulin. Bagaimana hal ini dijelaskan? Kadar glukosa
plasma jarang melampaui 120 mg/dL pada manusia normal, kendati kadar yang jauh lebih
tinggi selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar terentu glukosa
plasma dicapai (pada manusia umumnya > 180 mg/dl), taraf maksimal reabosrbsi glukosa
pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urine (glikosuria).
Volume urine meningkat akibat terjadinya diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat
obligatorik pada saat yang bersarnaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan
dehidrasi (hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia)
sebagai mekanisme kommpensasi. Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup
besar (4,1 kkal bagi setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini kalau
ditambah lagi dengan deplesi jaringan otot and adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat
badan yang hebat kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan-kalori
yang normal atau meningkat.
Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini sebagian
terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi
6

sebagai substrat glukoneogenik). Jadi orang yang kekurangan insulin berada dalam
keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antilipolisi insulin hilang seperti halnya efek
lipogenk yang dimiliknya, dengan demikian, kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau
kemampuan hati untuk mengakosidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat
mengimbangi pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO 2 lewat
sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan pemberian insulin, maka
akan terjadi asidosis metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.
Peranan Glukagon
Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam
patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan
malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat caarnitine acyl transferases (CPT 1 dan
2) yang bekerja pada transfer asam lemakbebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glukagon akan meransang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.
Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulaasi dengaan baik. Bila
kadar insulin rendah, maka kadar glukagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan
reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.
Hormon kontraregulator insulin lain
Kadar epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan (GH)
pada awal terapi KAD kadarnya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan
pemberian insulin.
Keadaan stress sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada akhirnya
aklan menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukoneogenesis serta potensial sebagai
pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stress yang berkepanjangan.
E.

Manifestasi Klinis
Sekitar 80 % pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini

tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut
DM dan segera mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat
dan dalam (kussmaul), berbagaia derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak
terlalu mudah tercium.
7

Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuria dan
polidipsia sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin,
demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada
KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastro-paresis-dilatasi lambung.
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol).
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering
ditemukan ialah infeksi saluran kemih, dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah
infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen,
perlu dipikirkan kemungkinan kolestitis, iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau
perforasi usus. Bila ternyata pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan
KAD, maka perlu dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses
perirektal).
F.

Diagnosis
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia

hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai


kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan
untuk menegakkan diagnosis.
Langkah pertama yang harus diambil pada paasien dengan KAD terdiri dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan
nafas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini
harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dilakukan setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan
pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah
glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk
dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO 3-, anion gap, pH
darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan laktat serta 3HB.

Kriteria diagnosis KAD:


a. kadar glukosa > 250 mg%
b. pH < 7,35
c. HCO3- rendah
d. Anion gap yang tinggi
e. Keton serum positif
G. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.
3. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya pemantauan
serta penyesuaian pengobatan.
Perawatan umum
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; 5 di antaranya
ialah:
a. Cairan
b. Insulin
c. Garam
d. Kalium
e. Glukosa
Sedangkan yang terakhir tetapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di sini
diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan stabil.
Cairan
Untuk mengatasi dehidrsi digunkaan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama
diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi pada
KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila
kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa
(dekstrosa 5 % atau 10 %).

Insulin
a. Insulin infus intravena dosis rendah berkelanjutan
Insulin regular intravena memiliki waktu paruh 45 menit, sementara pemberian
insulin secara intramuskular atau subkutan memiliki waktu paruh sekitar 24 jam. Insulin
infus intravena dosis rendah berkelanjutan (continuous infusion of low dose insulin)
merupakan standar baku pemberian insulin di sebagian besar pusat pelayanan medis. Panduan
terapi insulin pada KAD dan SHH dapat dilihat pada tabel.

Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberikan infus D5%
100cc/jam. Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler
(RI) dalam spuit berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga
mencapai 50 cc (1 cc NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal
mengatur kecepatan tetesan 1,5 cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250 ml larutan
NaCl 0,9%, yang berarti setiap 2 cc NaCl = 1 unit RI.
Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl
0,9%. Masukkan 12 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan
diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila
dibutuhkan 1 unit insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur kecepatan
tetesan 12 jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila dibutuhkan 2 unit
perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit RI akan habis

10

dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai patokan tetesan,
1 cc cairan infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.
Pemberian insulin infus intravena dosis rendah 48 unit/jam menghasilkan kadar
insulin sekitar 100 uU/ml dan dapat menekan glukoneogenesis dan lipolisis sebanyak 100%.
Cara pemberian infus insulin dosis rendah berkelanjutan dikaitkan dengan komplikasi
metabolik

seperti

hipoglikemia,

hipokalemia,

hipofosfatemia,

hipomagnesema,

hiperlaktatemia, dan disequilibrium osmotik yang lebih jarang dibandingkan dengan cara
terapi insulin dengan dosis besar secara berkala atau intermiten.
b. Insulin intramuskular
Penurunan kadar glukosa darah yang dicapai dengan pemberian insulin secara
intramuskular lebih lambat dibandingkan dengan cara pemberian infus intravena
berkelanjutan. Terapi insulin intramuskular dosis rendah (5 unit) yang diberikan secara
berkala (setiap 12jam) sesudah pemberian insulin dosis awal (loading dose) sebesar 20 m
juga merupakan cara terapi insulin pada pasien KAD. Cara tersebut terutama dijalankan di
pusat pelayanan medis yang sulit memantau pemberian insulin infus intravena berkelanjutan.
Pemberian insulin intramuskular tersebut dikaitkan dengan kadar insulin serum sekitar 6090
U/dL.
Panduan cara pemberian insulin pada pasien KAD dan SHH dewasa :

11

c. Insulin subkutan
Terapi insulin subkutan juga dapat digunakan pada pasien KAD. Namun, untuk
mencapai kadar insulin puncak dibutuhkan waktu yang lebih lama. Cara itu dikaitkan dengan
penurunan kadar glukosa darah awal yang lebih lambat serta timbulnya efek hipoglikemia
lambat (late hypoglycemia) yang lebih sering dibandingkan dengan terapi menggunakan
insulin intramuskular.
Cara Pemberian Terapi Insulin Subkutan

Pada mayoritas pasien, terapi insulin diberikan secara simultan dengan cairan
intravena. Apabila pasien dalam keadaan syok atau kadar kalium awal kurang dari 3,3 mEq/L,
resusitasi dengan cairan intravena atau suplemen kalium harus diberikan lebih dahulu sebelum
infus insulin dimulai. Insulin infus intravena 5-7 U/jam seharusnya mampu menurunkan kadar
glukosa darah sebesar 5075 mg/dL/jam serta dapat menghambat lipolisis, menghentikan
ketogenesis, dan menekan proses glukoneogenesis di hati.
Kecepatan infus insulin harus selalu disesuaikan. Bila faktor-faktor lain penyebab
penurunan kadar glukosa darah sudah dapat disingkirkan dan penurunan kadar glukosa darah
kurang dari 50 mg/dL/jam, maka kecepatan infus insulin perlu ditingkatkan. Penyebab lain
dari tidak tercapainya penurunan kadar glukosa darah, antara lain rehidrasi yang kurang
adekuat dan asidosis yang memburuk.
Bila kadar glukosa darah sudah turun < 250 mg/dL, dosis insulin infus harus dikurangi
menjadi 0,05-0,1 U/kgBB/jam sampai pasien mampu minum atau makan. Pada tahap ini,
insulin subkutan dapat mulai diberikan, sementara infus insulin harus dilanjutkan paling
12

sedikit 12 jam setelah insulin subkutan kerja pendek diberikan. Pasien KAD dan SHH ringan
dapat diterapi dengan insulin subkutan atau intramuskular. Hasil terapi dengan insulin infus
intravena, subkutan, dan intravena intermiten pada pasien KAD dan SHH ringan tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam hal kecepatan penurunan kadar glukosa dan
keton pada 2 jam pertama.
Kalium
Pada awalnya KAD biasanya kadar ion K serum meningkat hiperkalemia yang fatal
sangat jarang dan bila terjdi harus segera diataasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada
elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat
segera mengatasi keadaan hiperkalemi tersebut.
Yang perlu menjadi perhatian adalah hipokalemiayang dapat fatal selaama pengobatan
KAD. Ion kalium terutama terdapat di intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke
luar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urine. Total defisit K yang terjadi selama KAD
diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg BB. Selama terapi KAD, ion K kembali mempertahankan
kadar K serum dalam batas normal., perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal
serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip dan tinggi pada elektrokardiogram,
pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.
Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60
mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung
glukosa. Perlu dditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar
glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.
Bikarbonat
Terapi bikarbonat pafda KAD menjadi topik perdebatn selama beberapa tahun.
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan
pemberian bikarbonat adalah:
a. Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat.
b. Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan
c. Hipertonis dan kelebihan natrium
d. Meningkatkan insidens hipokalemia
e. Gangguan fungsi serebral
13

f. Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.


Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian
komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi
pemberian bikarbonat.
Pengobatan Umum
Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum yang tak kalah penting. Pengobatan umum
KAD, terdiri atas:
1. Antibiotika yang adekuat
2. Oksigen bila PO2 < 80 mmHg
3. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l)
Pemantauan
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat
penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlansung. Untuk itu perlu dilaksanakan
pemeriksaan:
1. kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer
2. elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaa.
3. Analisis gas darah, bila pH <7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1,
selanjutnya setiap hari sampai keadaan stabil
4. Vital Sign tiap jam
5. Keadaan hidrasi, balance cairan
6. Waspada terhadap kemungkinan DIC
Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi penatalaksanaan
ketoasidosis yang baku.
H. Komplikasi
Komplikasi KAD dapat berupa edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut
dan komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hiperkloremia,
hipokalemia, edema otak, dan hipokalsemia.
I. Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada
sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif
14

terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare,
demam, luka).
Upaya pencegahan merupakan hal penting pada penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM
kronik dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien
yang baik.
Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi memerlukan
penekanan pada cara-cara mengatasi sakit akut.

15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketoasidosis diabetik (disingkat KAD) merupakan komplikasi metabolik akut paling
serius pada pasien diabetes melitus. Manifestasi utamanya adalah kekurangan insulin dan
hiperglikemia yang berat. KAD terjadi bila kekurangan insulin yang berat tidak saja
menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi yang berat tapi juga mengakibatkan produksi keton
meningkat serta asidosis.
Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia ( 250 mg/dL), ketosis
darah atau urin, dan asidemia (pH < 7.3).
Terapi bertujuan mengoreksi kelainan patofisiologis yang mendasari, yaitu gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, kadar glukosa darah, gangguan asam basa, serta
mengobati faktor pencetus.
Prinsip terapi KAD terdiri dari pemberian cairan, terapi insulin, koreksi kalium, dan
bikarbonat.
Komplikasi KAD dapat berupa edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut
dan komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hiperkloremia,
hipokalemia, edema otak, dan hipokalsemia.
B. Saran
Ketoasidosis diabetikum sering terjadi akbat adanya faktor infeksi dan penghentian
obat insulin atau OHO. Perlunya upaya pencegahan merupakan hal terpenting untuk
mencegah timbulnya kasus KAD. Program edukasi perlu menekankan pada cara-cara
mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target
kadar glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian
makanan cair yang mengandung karbohidrat garam yang mudah dicerna. Yang paling penting
ialah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau OHO dan sebaiknya segera mencari
pertolongan atau nasehat tenaga kesehatan yang profesional.
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalmi masamasa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urine sendiri. Di
sinilah pentingnya edukaror diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama
padaa keadaan sulit.
16

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Mhd. Syahputra. 2013. Diabetik Ketoacidosis.

Fakultas kedokteran. Universitas

Sumatera Utara.
Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal Gejala,
Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi. Pustaka Populer Obor : Jakarta.
Soewondo P. 2006. Ketoasidosis Diabetik, Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.
Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, et al. 2007. Diabetes Mellitus. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya,
Airlangga University Press : Surabaya.

17

Anda mungkin juga menyukai