Anda di halaman 1dari 3

Berpikir Dengan Hati

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Suatu ketika al-Ghazzali melakukan perjalanan panjang. Dalam perjalanannya itu ia membawa
serta seluruh buku bacaannya. Konon di tengah jalan tiba-tiba datang segerombolan orang
merampok seluruh bawaan al-Ghazzali, termasuk buku-bukunya. Padahal ia belum membaca
seluruh isi buku itu. Yang telah ia baca pun belum seluruhnya dihafal.
Kejadian itu benar-benar telah menyadarkan al-Ghazzali, bahwa ilmu itu ada di dalam dada dan
bukan dalam tulisan (al-ilm fi-s-sudur la fi-s-sutur). Sejak kejadian itu al-Ghazzali bertekad
untuk selalu mengingat apa yang telah ia baca. Yang menarik tentu bukan peristiwa
perampokannya, tapi kesimpulan al-Ghazzali tentang letak ilmu. Benarkah mengetahui dan
pengetahuan itu ada di dalam dada? Apa bedanya ilmu dari marifah.
Bicara ilmu adalah bicara obyeknya (realitas atau wujud) dan luas obyek ilmu adalah seluas
realitas atau wujud. Maka dari itu realitas bagi Ghazzali dan juga para ulama adalah empiris dan
non-empiris.
Realitas empiris pun dibagi sekurangnya menjadi tiga: realitas individual, realitas pembicaraan,
dan realitas pikiran. Yangpertama adalah wujud yang riil dan empiris, yang kedua adalah wujud
dalam pembicaraan yang bersifat verbal dan indikatif, dan yang ketiga adalah wujuddalam
pikiran yang bersifat kognitif dan formal. Diatas dari segala realitas tersebut diatas adalah
Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak.
Lalu bagaimana proses mengetahuinya? Bagi al-Ghazzali untuk realitas empiris dimulai dari
kajian terhadap hal-hal yang khusus yang dapat dipahami dan dikomunikasikan dengan bahasa.

Ketika wujud individual dipahami oleh akal kita, bentuk (surah) dari realitas individual tersebut
tercetak dalam mata, lalu pada imaginasi kita dan kemudian menjadi wujud dalam pikiran kita.
Ketika bentuk realitas atau wujud individual itu hadir dalam pikiran, ia menjadi ilmu, sebab
obyek yang diketahui berhubungan dengan representasi dalam pikiran tersebut, persis seperti
bayangan kita yang tercermin dalam kaca.
Jadi proses mengetahui mengharuskan adanya tiga hal yaitu: obyek ilmu pengetahuan, penerima
dan proses kognisinya yang melibatkan penginderaan. Ketika realitas atau wujud empiris ada
dalam pikiran ia tetap bernama realitas.
Demikian pula keimanan yang tidak empiris di dalam dada itu dapat disebut realitas juga. Jika
realitas empiris melalui proses dapat tercermin dalam pikiran, maka Realitas Mutlak atau
Wujud Mutlak, yaitu Tuhan dapat pula tercermin dalam diri manusia.
Dengan jalan empiris saja manusia telah dapat mengetahui dirinya sendiri, alam semesta dan
Tuhannya. Wujud Tuhan dapat diketahui secara induktif dari ciptaanNya. Ilmu-ilmu empiris itu
tentang ciptaan Tuhan itu merupakan aspek-aspek yang saling berhubungan dan membentuk
kesatuan.
Pada maqam yang tertinggi orang akan sampai pada pandangan bahwa realitas dan kebenaran itu
hanya satu dan tidak plural. Artinya dalam akalnya hanya ada satu realitas atau wujud, yaitu
Wujud Mutlak, Aktor (fail) dari segala wujud yang plural yang nisbi.
Jikapun tidak dengan jalan empiris Tuhan dapat diketahui dengan mata hati. Sebab dalam diri
manusia telah terdapat naluri (fitrah) mengenal tuhan (marifatullah). Naluri itu diciptakan oleh
Tuhan sebelum manusia lahir melalui syahadah awal (mithaq).
Syahadah inilah bekal manusia memperoleh marifah. Nietzsche menuduh fitrah ini hanya
pikiran dan khayalan. Dan khayalan itu, menurutnya, harus dibunuh agar orang dapat berpikir
saintifik. God is dead artinya fitrah itu telah mati. Memang pengetahuan tentang ini bagi alGhazzali tidak dimiliki orang awam, termasuk Nietzsche.
Pengetahuan tentang Tuhan dengan jalan non-empiris dicapai dengan mata hati yang penuh
cinta. Dalam Ihya ia menyatakan: metode terbaik untuk memperoleh kebenaran dan sekaligus
kecintaan pada Allah adalah dengan metode deduktif dari marifah tentang Allah kepada
pengetahuan tentang realitas. Tapi ini adalah metode yang rumit dan tidak dipahami orang
awam (Ihya, hal. 2619, vol. IV).
Jadi ternyata tempat ilm dan marifah adalah sama, yaitu di dalam hati (qalb), di dada. Berarti
tempat aktifitas zikir, fikir, ilm, iman, amal, cinta dan akhlaq adalah sama yaitu qalb.
Jika semua aktifitas itu seimbang maka sampailah seseorang itu pada derajat yaqin. Bangunan
trilogi iman, ilmu, amal adalah paradigma keilmuan Islam yang kuat. Karena itu ilmu dalam
Islam berdimensi amal dan amal berdimensi ilmu, keduanya bersumber pada iman.

Maka al-Ghazzali tegas Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong.
Jadi, Muslim yang mengatakan Hatinya di Mekkah otaknya di Jerman atau di New York,
berarti imannya tanpa ilmu, ilmunya tanpa iman. Hatinya berzikir tapi pikirannya (boleh jadi)
sekuler-liberal.

Anda mungkin juga menyukai