BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. RNH
No. MR : SHLK. 0000065xxx
Tanggal lahir : 29 September 1978
Usia : 32 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status marital : Menikah
Alamat : Legok - Tangerang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Karyawan
Tanggal masuk : 6 Januari 2011
Waktu masuk : Pk 19.25 WIB
sayur. Sebelum mengalami keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia
sempat makan di pinggir jalan, tapi biasanya tidak apa-apa.
Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan merasa
lemah. Pasien tidak memperhatikan apakah terdapat perubahan pada berat
badannya, namun ukuran pakaian dan celana biasa-biasa saja. Buang air
kecil tidak mengalami gangguan. Pada anggota keluarga tidak didapati
keluhan yang sama seperti pasien. Pasien tidak berpergian ke daerah-daerah
tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke dokter dan diberikan
beberapa obat namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya sudah habis
dimakan namun keluhan tetap ada.
Status Interna
Kepala Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Rambut hitam,
tidak mudah dicabut.
Mata Konjungtiva kanan dan kiri tidak anemis, tidak ada sklera ikterik pada
kedua mata, refleks cahaya +/+, diameter pupil 3 mm/ 3 mm,
strabismus -/-.
Telinga Bentuk normal, tidak ada sekret, cairan, luka maupun perdarahan.
Fungsi pendengaran masih baik.
Hidung Bentuk aurikula normal, septum nasi di tengah, tidak ada deviasi,
mukosa tidak hiperemis, tidak ada edema konka. Tidak terdapat sekret
pada kedua lubang hidung, epistaksis (-).
Tenggorok Hiperemis (-), T2/T2, trakea di tengah.
Gigi dan Mulut Bibir tampak normal, tidak ada sianosis dan tidak ada deviasi. Lidah
kotor dengan tepi hiperemis / coated tongue. Gigi geligi normal dan
tidak ada karies.
Leher Tidak tampak adanya luka maupun benjolan. Tidak teraba adanya
pembesaran kelenjar getah bening.
Toraks Inspeksi: Pada keadaan statis dada terlihat simetris kanan dan kiri,
pada pergerakan/dinamis dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri,
tidak ada yang tertinggal, tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot
pernapasan tambahan. Pulsasi ichtus kordis tidak terlihat.
Palpasi: Fremitus raba sama kuat kanan dan kiri. Ichtus kordis tidak
teraba.
Perkusi: Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor. Batas paru
hati didapatkan pada ICS 7 sebelah kanan.
Batas Jantung:
Batas atas : Incisura costalis space 2 parasternal kiri
Batas bawah : Incisura costalis space 6
Batas kanan: ICS 6 linea parasternal kanan
Batas kiri : ICS 6 linea midclavikula kiri
Auskultasi: Bunyi paru vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Bunyi jantung S1, S2 murni. Murmur (-). Gallop (-).
Abdomen Inspeksi : Supel, turgor baik, dinding abdomen simetris, tidak terlihat
Urinalisis
Maksroskopik:
- Warna : kuning
- Penampakan : jernih
- Berat jenis : 1,005 (N: 1,000-1,030)
- pH : 6,5 (N: 4,5-8,00)
- Leucocyte esterase : - sel/l
- Nitrit :-
- Protein : - mg/dl
- Glukosa : - mg/dl
- Keton : - mg/dl
- Urobilinogen : 0,20 mg/dl (N: 0,10-1,00)
- Bilirubin :-
- Darah samar : - sel/l
Mikroskopik :
V. RESUME
Pasien mengalami demam sejak 8 hari yang lalu dan lebih sering timbul pada
malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa tinggi namun semakin lama semakin
panas pada hari-hari berikutnya. Demam sempat tinggi hingga menggigil namun
suhu tidak diukur. Selain itu, pasien juga mengalami sakit kepala disertai mual +,
muntah . Sakit kepala dirasakan di kepala bagian depan dan lebih sering pada malam
hari. Skala nyeri kepala menurut pasien 5. Sakit kepala tidak berputar dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan pada posisi. Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa
buang air besar selama 2 hari terakhir.
Sebelum mengalami keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia sempat
makan di pinggir jalan. Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan
merasa lemah. Pasien tidak memperhatikan apakah terdapat perubahan pada berat
badannya. Buang air kecil tidak mengalami gangguan. Pada anggota keluarga tidak
didapati keluhan yang sama seperti pasien. Pasien tidak berpergian ke daerah-daerah
tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke dokter dan diberikan beberapa obat
namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya sudah habis dimakan namun keluhan
tetap ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor dengan tepi hiperemis (coated
tongue), hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran epigastrium dan hipokondrium
kanan, dan bising usus yang menurun (3x per menit).
VIII. Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari
seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10
mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu atau Ofloxacin 20 mg/kgbb/hari selama 7
hari. Namun golongan Fluoroquinolone tidak boleh diberikan pada anak-anak
karena akan mengganggu pertumbuhan tulang karena mempercepat penutupan
epifisis. Maka obat dapat diganti dengan obat golongan Cephalosporin
generasi ketiga seperti Ceftriaxone dan Cefotaxime. Pada orang dewasa yang
resisten terhadap golongan Fluoroquinolone dapat diberikan golongan
Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau
intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2
gram intravena atau intramuskular.
Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita
mengalami resistensi dapat diberikan obat lain misalnya ampisilin,
kotrimoksasol, dan lain-lain. Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan
dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kgbb/hari, diberikan 4 kali sehari peroral atau
intramuskular atau intravena bila diperlukan. Pemberian kloramfenikol dosis
tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu perawatan dipersingkat dan
relaps tidak terjadi. Namun Kloramfenikol dapat menimbulkan anemia
aplastik karena menekan sumsum tulang terutama jika pemberian dosis total
>30 gram.
Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena dapat
menimbulkan partus prematurus pada trimester ketiga dan kematian janin
intrauterine. Tiamfenikol juga tidak aman diberikan karena bersifat
teratogenik pada trimester pertama. Maka pada wanita hamil dapat diberian
2 Bedrest.
Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali yaitu
istirahat mutlak, berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian
boleh duduk dan selanjutnya boleh duduk dan berjalan.
3 Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat
sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
4 Pengaturan diet.
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak
merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Jenis makanan untuk
penderita dengan kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat
diberikan melalui NGT. Bila pasien sadar dan nafsu makan baik, maka
dapat diberikan makanan lunak.
5 Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare
dan demam.
IX. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia
X. Analisa Kasus
Pada pasien didapatkan manifestasi klinis berupa demam sejak 8 hari sebelum
masuk rumah sakit yang lebih sering timbul pada malam hari. Demam awalnya tidak
terlalu dirasa tinggi namun semakin lama semakin panas pada hari-hari berikutnya.
Pasien juga mengalami sakit kepala, mual tanpa disertai muntah, nyeri perut, serta
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali serta nyeri tekan pada
kuadran epigastrium dan hipokondrium kanan.
Dari gejala-gejala tersebut yang dapat dipikirkan adalah demam tifoid dan
demam dengue karena sama-sama memiliki gejala prodromal seperti demam, sakit
kepala frontal, muntah, serta nyeri perut dan pada pemeriksaan dapat ditemukan
hepatomegali.
Demam dengue adalah penyakit menular akibat virus dengue yang
diperantarai oleh nyamuk aedes aegypti yang hidup di negara-negara tropis dan
menimbulkan gejala demam akut disertai gejala penyerta lain seperti sakit kepala
seperti melayang, pegal dan rasa nyeri di otot, gangguan pada pencernaan berupa
nyeri epigastrium, mual bahkan muntah, nyeri perut, susah buang air besar, serta diare
pun bisa ditemukan pada 5-6 % kasus demam dengue. Penyakit ini dapat menyerang
semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak. Pada
demam dengue awalnya dapat asimtomatik (50%-90%), namun dapat juga berupa
penyakit demam non-spesifik atau timbul gejala-gejala klasik demam dengue.
Demam dengue muncul mendadak dengan kisaran suhu antara 39.5-41.4C.
Demam umumnya muncul pada hari ketiga dan berlangsung selama 5-7 hari. Demam
dapat disertai oleh rasa menggigil, mengakibatakan kulit eritematosa, dan flushing
pada wajah. Demam bersifat bifasik karena demam akan menurun selama 1-2 hari
kemudian meningkat kembali sehingga membentuk grafik pelana kuda. Pada masa
penurunan suhu inilah masa kritis dimulai dimana penyakit pasien berisiko
berkembang menjadi demam berdarah dengue atau bahkan dengue shock syndrome.
Setelah demam biasanya muncul mialgia yang dapat berlangsung hingga beberapa
minggu, namun gejala mialgia tidak ditemukan pada pasien ini. Sakit kepala pada
demam dengue dapat timbul di area frontal dan retro-orbita. Pada pasien didapati
nyeri kepala frontal.
Malaria juga dijadikan diagnosis banding demam tifoid karena pada malaria
ditemukan demam, sakit kepala, malaise, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, nyeri
perut, diare, dan hepatomegali. Malaria juga merupakan penyakit endemik di
beberapa daerah di Indonesia. Dari anamnesis diketahui pasien tidak melakukan
perjalanan ke tempat-tempat selain Tangerang dan sekitarnya. Selain itu malaria juga
memiliki pola demam yang khas yaitu demam intermiten, sedangkan demam yang
dialami pasien adalah demam remiten dimana suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu dapat mencapai 2.
Diagnosis banding yang lain adalah influenza. Influenza merupakan penyakit
infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam menggigil, mialgia,
sakit kepala, dan sering disertai gejala pilek, sakit tenggorok, dan batuk non
produktif. Lama sakitnya berkisar antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sebdiri karena
disebabkan oleh virus influenza tipe A, B, dan C. Pada pasien tidak ditemukan gejala-
gejala infeksi saluran napas sehingga diagnosis banding ini dapat disingkirkan.
Jika dilihat pola demam pasien yang cenderung meningkat pada malam hari
dan peningkatan suhu yang semakin tinggi setelah masuk minggu kedua, ditambah
dengan adanya sakit kepala frontal, dan konstipasi maka diagnosis sementara adalah
suspek demam tifoid. Namun hal ini masih perlu dibuktikan dengan beberapa
pemeriksaan. Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid harus terbukti
ditemukannya kuman Salmonella typhi pada kultur dengan spesimen darah pada akhir
minggu pertama, spesimen urin pada minggu ketiga, atau spesimen feses pada
minggu kedua dan ketiga.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Istilah demam tifoid sebaiknya tidak dikacaukan dengan tifus yang sering
disebutkan oleh masyarakat awam karena istilah tifus mengarah kepada suatu
kelompok penyakit infeksius yang disebabkan oleh organisme Rickettsial yang dapat
10
11
12
kuman E. coli patogen dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh
dari ibunya melalui plasenta, terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix),
serta akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada
keadaan infeksi subklinis.
Pada kasus ini pasien sempat pergi ke dokter dan diberi obat namun pasien
tidak mengetahui namanya dan obat sudah habis dimakan dan keluhan tetap ada, hal
tersebut dimungkinkan karena obat yang diberikan tidak cocok untuk pengobatan
mikroorganisme penyebab penyakit atau kemungkinan yang kedua adalah pasien
mengalami resistensi obat.
Saran pemeriksaan tambahan untuk kasus ini adalah pemeriksaan IgG anti-
Salmonella, kultur mikroorganisme dari spesimen darah, uji resitensi dan sensitivitas
obat untuk menentukan pemilihan obat yang cocok bagi pasien, namun karena
menunggu hasilnya lama maka pengobatan tetap dimulai sesuai protokol yang ada.
Pada pasien ini dapat diberikan obat pilihan utama saat ini yaitu golongan
Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6
hari atau Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu atau Ofloxacin 20
mg/kgbb/hari selama 7 hari. Namun, jika resistensi terjadi terhadap golongan
Fluoroquinolone, maka pasien dapat diberikan golongan Cephalosporin generasi
ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3
gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.
BAB II
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam
sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1
14
Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962
tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam
tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi
peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai
rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan
peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606
kasus. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08%
dari seluruh kematian di Indonesia. 1,2,3
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B, dan S. paratyphi C. Demam yang disebabkan oleh S.
Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella
yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil,
tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan
glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak
meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan
mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap
agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F)
selama 1 jam atau 60 C (140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup
pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan
hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agen
farmakeutika, dan bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan
antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang
stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Antigen Vi
adalah simpai atau kapsul kuman. Masa inkubasi S. typhi adalah 3-21 hari.
15
Patogenesis
Salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus. Jika IgA kurang baik pertahanannya, maka kuman akan menembus
sel-sel epitel terutama sel M dan menuju ke lamina propia. Di lamina propia
kuman akan berkembangbiak. Sebagian kuman akan ditangkap dan digagosit oleh
sel mononuklear, namun masih dapat hidup di dalam makrofag tersebut, dibawa
ke Payers patch ileum distal, menuju kelenjar getah bening mesenterika, melalui
duktus toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I namun masih
asimtomatik. Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ RES
seperti hati dan limpa, kuman akan keluar dari makrofag, berkembangbiak di luar
sel atau ruang sinusoid dan masuk lagi ke dalam sirkulasi darah, maka terjadilah
bakteriemi II yang dapat menimbulkan gejala-gejala sistemik.
Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan diekskresi
secara intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan empedu. Sebagian
akan keluar lewat feses, dan sisanya akan menembus usus masuk ke darah.
Interaksi Salmonella typhi dengan makrofag memunculkan mediator-mediator
lokal sehingga peyers patches mengalami hiperplasi jaringan, nekrosis dan ulkus
(hipersensitivitas tipe IV/lambat). Secara imunulogi, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya Salmonella typhi pada mukosa
usus. Imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis Salmonella typhi oleh makrofag. Imunitas seluler berfungsi untuk
membunuh Salmonalla intraseluler.
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku
darah, depresi sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila pembuluh darah di
sekitar peyers patches mengalami erosi dan perdarahan.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi Salmonella Typhi berlangsung selama 3-21 hari. Transmisi atau
penularannya dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi S.
16
typhi. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul
gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biaasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggun ketiga suhu badan berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah.
Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan,
dapat disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Dapat
ditemukan gejala konstipasi, diare, dan kombinasi keduanya. Selain itu dapat
disertai gejala mual dan muntah.
3. Gangguan kesadaran (gejala susunan saraf pusat)
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada punggung
dan anggota gerak dapat ditemukan rose spots, yaitu bintik-bintik kemerahan
karena emboli basil dalam kapiler kulit. Rose spots biasanya ditemukan dalam
akhir minggu pertama demam pada 25% kasus. Kadang-kadang ditemukan
bradikardia dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
17
Diagnosa
Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti ditemukannya
leukopenia, anesonofilia, dan limfositosis relatif pada permulaan timbulnya
gejala. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum tulang
berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan sistem
eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.
Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam darah
penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering
ditemukan dalam urin dan feces dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang
lama. Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan
untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin
dan fases 2 kali berturt-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah
benar-benar sembuh dan bukan karier.
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis demam
tifoid, namun sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai ditinggalkan. Prinsip
pemeriksaannya ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
18
dengan suspensi antigen Salmonella typhi. Pemeriksaan yang positif ialah bila
terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti
dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi
aglutinasi. Untuk menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan ialah titer zat anti
tehadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan
kenaikan yang progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap
antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah
mendapat imunisasi atau penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan
widal positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita demam tifoid
sebagaimana terbukti pada autopsi setelah penderita meninggal dunia.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti
didapatkan Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat
infeksi kuman E. coli patogen dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut
diperoleh dari ibunya melalui plasenta, terdapat infeksi silang dengan Rickettsia
(Weil Felix), serta akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral
atau pada keadaan infeksi subklinis.
Diagnosis Banding
Bila tedapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang dapat
menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, penyakit-penyakit yang
perlu dipikirkan selain demam tifoid adalah demam dengue, influenza,
tuberkulosis, malaria, dan lain-lain.
Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti
Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10
mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu. Namun golongan Fluoroquinolone tidak
boleh diberikan pada anak-anak karena akan mengganggu pertumbuhan
19
20
21
Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi
buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu.
2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma atau delirium.
3.Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi atau asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia dan lain-lain.
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).
22
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
8. Kim AY, Goldberg MB, Rubin RH. Salmonella infections. In: Gorbach SL, Bartlett
JG, Blacklow NR, eds. Infectious Diseases. 3rd ed. Lippincott Williams and
Wilkins; 2004:68.
23