Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. RNH
No. MR : SHLK. 0000065xxx
Tanggal lahir : 29 September 1978
Usia : 32 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status marital : Menikah
Alamat : Legok - Tangerang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Karyawan
Tanggal masuk : 6 Januari 2011
Waktu masuk : Pk 19.25 WIB

II. ANAMNESIS (autoanamnesa dan alloanamnesa dengan istri pasien)


1) Keluhan utama
Demam

2) Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang diantar oleh istrinya ke poli penyakit dalam RS Siloam
dengan keluhan demam sejak 8 hari yang lalu dan lebih sering timbul pada
malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa tinggi namun semakin
lama semakin panas pada hari-hari berikutnya. Menurut pasien demam yang
dirasakan sempat tinggi hingga menggigil namun tidak diukur.
Selain itu, pasien juga mengalami sakit kepala disertai mual, namun
tidak sampai muntah. Sakit kepala dirasakan di kepala bagian depan dan
lebih sering pada malam hari. Sakit kepala tidak berputar dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan pada posisi. Pasien menyangkal adanya rasa
pegal ataupun nyeri pada tulang dan tidak didapati keluhan batuk.
Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa buang air besar selama 2
hari terakhir. Pasien mengaku bahwa dia memang jarang makan buah dan

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

sayur. Sebelum mengalami keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia
sempat makan di pinggir jalan, tapi biasanya tidak apa-apa.
Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan merasa
lemah. Pasien tidak memperhatikan apakah terdapat perubahan pada berat
badannya, namun ukuran pakaian dan celana biasa-biasa saja. Buang air
kecil tidak mengalami gangguan. Pada anggota keluarga tidak didapati
keluhan yang sama seperti pasien. Pasien tidak berpergian ke daerah-daerah
tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke dokter dan diberikan
beberapa obat namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya sudah habis
dimakan namun keluhan tetap ada.

3) Riwayat penyakit dahulu


Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, dan alergi disangkal oleh pasien.
Dia belum pernah mengalami sakit berat apalagi hingga dirawat di rumah
sakit sebelumnya.

4) Riwayat penyakit keluarga


Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti
pasien. Sepengetahuan pasien, di keluarganya tidak ada riwayat asma,
diabetes mellitus, hipertensi, ataupun alergi.

5) Riwayat sosial ekonomi dan pribadi


Pasien merokok setengah bungkus rokok sehari sejak berusia 26 tahun.
Pasien tidak memiliki kebiasaan minum-minuman beralkohol serta
menggunakan narkoba.

III. Pemeriksaan Fisik (08/01/2011)


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis (GCS 15)
Tekanan Darah : 120/90
Nadi : 76 x / menit
Pernapasan : 16 x / menit
Suhu : 37.6C
Berat badan : 65,2 kg

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

Tinggi badan : 181 cm


BMI : 19,90
Status Gizi : Baik

Status Interna
Kepala Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Rambut hitam,
tidak mudah dicabut.
Mata Konjungtiva kanan dan kiri tidak anemis, tidak ada sklera ikterik pada
kedua mata, refleks cahaya +/+, diameter pupil 3 mm/ 3 mm,
strabismus -/-.
Telinga Bentuk normal, tidak ada sekret, cairan, luka maupun perdarahan.
Fungsi pendengaran masih baik.
Hidung Bentuk aurikula normal, septum nasi di tengah, tidak ada deviasi,
mukosa tidak hiperemis, tidak ada edema konka. Tidak terdapat sekret
pada kedua lubang hidung, epistaksis (-).
Tenggorok Hiperemis (-), T2/T2, trakea di tengah.
Gigi dan Mulut Bibir tampak normal, tidak ada sianosis dan tidak ada deviasi. Lidah
kotor dengan tepi hiperemis / coated tongue. Gigi geligi normal dan
tidak ada karies.
Leher Tidak tampak adanya luka maupun benjolan. Tidak teraba adanya
pembesaran kelenjar getah bening.
Toraks Inspeksi: Pada keadaan statis dada terlihat simetris kanan dan kiri,
pada pergerakan/dinamis dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri,
tidak ada yang tertinggal, tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot
pernapasan tambahan. Pulsasi ichtus kordis tidak terlihat.
Palpasi: Fremitus raba sama kuat kanan dan kiri. Ichtus kordis tidak
teraba.
Perkusi: Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor. Batas paru
hati didapatkan pada ICS 7 sebelah kanan.
Batas Jantung:
Batas atas : Incisura costalis space 2 parasternal kiri
Batas bawah : Incisura costalis space 6
Batas kanan: ICS 6 linea parasternal kanan
Batas kiri : ICS 6 linea midclavikula kiri
Auskultasi: Bunyi paru vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Bunyi jantung S1, S2 murni. Murmur (-). Gallop (-).
Abdomen Inspeksi : Supel, turgor baik, dinding abdomen simetris, tidak terlihat

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

penonjolan massa ataupun adanya luka. Tidak tampak rose-spots.


Palpasi : Teraba pembesaran hepar 1 jari dibawah arcus costae,
permukaan rata, tepi tajam. Lien tidak teraba. Terdapat nyeri tekan di
epigastrium dan hipokondrium kanan. Nyeri perut menjalar ke
punggung (-), distensi abdomen (-), defense muscular (-), Nyeri tekan
mac burney (-), rovsing sign (-), psoas sign (-), obturator sign (-).
Perkusi : asites (-)
Auskultasi : Bising Usus 3x/menit ()
Punggung Tampak normal. Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang. Tidak
ditemukan rash berupa rose-colored spots.
Ekstremitas atas dan Akral hangat, tidak ada edema pada semua ekstremitas. Tidak tampak
bawah rose-spots.
Kuku Sianosis (-). Pengisian kapiler <2 detik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


HASIL LABORATORIUM (6 Januari 2011)
Hematologi

Tes Hasil Satuan Nilai Normal


Darah Lengkap
Hemoglobin 14,62 g/dl 13,20 - 17,30
Hematokrit 43,96 % 40,00 - 52,00
Eritrosit 5,07 10^6/l 4,40 - 5,90
Leukosit 3,56 () 10^3/l 3,80 - 10,60
Hitung jenis
Basofil 1 % 01
Eosinofil 1 % 13
Band neutrofil 2 % 26
Segmen neutrofil 44 () % 50 70
Limfosit 46 () % 25 40
Monosit 6 % 28
Trombosit 193,6 10^3/l 150,000 - 440,000
Biokimia
SGOT (AST) 56 () u/l 5-34

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

SGPT (ALT) 85 () u/l 0-55


Fungsi Ginjal
Ureum 21 mg/dl < 50
Creatinine 0,80 mg/dl 0,70-1,30
Uric acid 3,9 mg/dl 3,50-7,20
Gula darah sewaktu 98 mg/dl <200
Elektrolit
Sodium (Na) 141 mmol/l 137-145
Potassium (K) 4,1 mmol/l 3,6-5
Chloride (Cl) 104 mmol/l 98-107
Widal
S. typhi O 1/640
S. paratyphi AO
S. paratyphi BO
S. paratyphi CO
S. typhi H 1/160
S. paratyphi AH
S. paratyphi BH
S. paratyphi CH

Urinalisis
Maksroskopik:
- Warna : kuning
- Penampakan : jernih
- Berat jenis : 1,005 (N: 1,000-1,030)
- pH : 6,5 (N: 4,5-8,00)
- Leucocyte esterase : - sel/l
- Nitrit :-
- Protein : - mg/dl
- Glukosa : - mg/dl
- Keton : - mg/dl
- Urobilinogen : 0,20 mg/dl (N: 0,10-1,00)
- Bilirubin :-
- Darah samar : - sel/l
Mikroskopik :

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

o Eritrosit 1 sel/l (N: 0-3)


o Leukosit 1 sel/l (N: 0-10)
o Epitel 1+ (N: 1+)
o Casts ()
o Kristal ()
o Lain-lain ()

V. RESUME
Pasien mengalami demam sejak 8 hari yang lalu dan lebih sering timbul pada
malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa tinggi namun semakin lama semakin
panas pada hari-hari berikutnya. Demam sempat tinggi hingga menggigil namun
suhu tidak diukur. Selain itu, pasien juga mengalami sakit kepala disertai mual +,
muntah . Sakit kepala dirasakan di kepala bagian depan dan lebih sering pada malam
hari. Skala nyeri kepala menurut pasien 5. Sakit kepala tidak berputar dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan pada posisi. Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa
buang air besar selama 2 hari terakhir.
Sebelum mengalami keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia sempat
makan di pinggir jalan. Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan
merasa lemah. Pasien tidak memperhatikan apakah terdapat perubahan pada berat
badannya. Buang air kecil tidak mengalami gangguan. Pada anggota keluarga tidak
didapati keluhan yang sama seperti pasien. Pasien tidak berpergian ke daerah-daerah
tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke dokter dan diberikan beberapa obat
namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya sudah habis dimakan namun keluhan
tetap ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor dengan tepi hiperemis (coated
tongue), hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran epigastrium dan hipokondrium
kanan, dan bising usus yang menurun (3x per menit).

VI. Diagnosis Banding


1. Demam dengue
2. Malaria
3. Influenza

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

VII. Diagnosis Kerja


Demam tifoid

VIII. Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari
seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10
mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu atau Ofloxacin 20 mg/kgbb/hari selama 7
hari. Namun golongan Fluoroquinolone tidak boleh diberikan pada anak-anak
karena akan mengganggu pertumbuhan tulang karena mempercepat penutupan
epifisis. Maka obat dapat diganti dengan obat golongan Cephalosporin
generasi ketiga seperti Ceftriaxone dan Cefotaxime. Pada orang dewasa yang
resisten terhadap golongan Fluoroquinolone dapat diberikan golongan
Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau
intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2
gram intravena atau intramuskular.
Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita
mengalami resistensi dapat diberikan obat lain misalnya ampisilin,
kotrimoksasol, dan lain-lain. Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan
dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kgbb/hari, diberikan 4 kali sehari peroral atau
intramuskular atau intravena bila diperlukan. Pemberian kloramfenikol dosis
tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu perawatan dipersingkat dan
relaps tidak terjadi. Namun Kloramfenikol dapat menimbulkan anemia
aplastik karena menekan sumsum tulang terutama jika pemberian dosis total
>30 gram.
Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena dapat
menimbulkan partus prematurus pada trimester ketiga dan kematian janin
intrauterine. Tiamfenikol juga tidak aman diberikan karena bersifat
teratogenik pada trimester pertama. Maka pada wanita hamil dapat diberian

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

Ampicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu, Amoxicilin 50-150 mg/kgbb


untuk 2 minggu, dan Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuscular
selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari.
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya
pemberian cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis.
Bila terdapat bronkopneumonia harus ditambahkan Penicilin dan lain-lain.
b. Tatalaksana non-medikamentosa
1 Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta untuk mencegah
penularan kuman ke orang-orang sekitar pasien.

2 Bedrest.
Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali yaitu
istirahat mutlak, berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian
boleh duduk dan selanjutnya boleh duduk dan berjalan.
3 Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat
sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
4 Pengaturan diet.
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak
merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Jenis makanan untuk
penderita dengan kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat
diberikan melalui NGT. Bila pasien sadar dan nafsu makan baik, maka
dapat diberikan makanan lunak.
5 Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare
dan demam.

IX. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

X. Analisa Kasus
Pada pasien didapatkan manifestasi klinis berupa demam sejak 8 hari sebelum
masuk rumah sakit yang lebih sering timbul pada malam hari. Demam awalnya tidak
terlalu dirasa tinggi namun semakin lama semakin panas pada hari-hari berikutnya.
Pasien juga mengalami sakit kepala, mual tanpa disertai muntah, nyeri perut, serta
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali serta nyeri tekan pada
kuadran epigastrium dan hipokondrium kanan.
Dari gejala-gejala tersebut yang dapat dipikirkan adalah demam tifoid dan
demam dengue karena sama-sama memiliki gejala prodromal seperti demam, sakit
kepala frontal, muntah, serta nyeri perut dan pada pemeriksaan dapat ditemukan
hepatomegali.
Demam dengue adalah penyakit menular akibat virus dengue yang
diperantarai oleh nyamuk aedes aegypti yang hidup di negara-negara tropis dan
menimbulkan gejala demam akut disertai gejala penyerta lain seperti sakit kepala
seperti melayang, pegal dan rasa nyeri di otot, gangguan pada pencernaan berupa
nyeri epigastrium, mual bahkan muntah, nyeri perut, susah buang air besar, serta diare
pun bisa ditemukan pada 5-6 % kasus demam dengue. Penyakit ini dapat menyerang
semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak. Pada
demam dengue awalnya dapat asimtomatik (50%-90%), namun dapat juga berupa
penyakit demam non-spesifik atau timbul gejala-gejala klasik demam dengue.
Demam dengue muncul mendadak dengan kisaran suhu antara 39.5-41.4C.
Demam umumnya muncul pada hari ketiga dan berlangsung selama 5-7 hari. Demam
dapat disertai oleh rasa menggigil, mengakibatakan kulit eritematosa, dan flushing
pada wajah. Demam bersifat bifasik karena demam akan menurun selama 1-2 hari
kemudian meningkat kembali sehingga membentuk grafik pelana kuda. Pada masa
penurunan suhu inilah masa kritis dimulai dimana penyakit pasien berisiko
berkembang menjadi demam berdarah dengue atau bahkan dengue shock syndrome.
Setelah demam biasanya muncul mialgia yang dapat berlangsung hingga beberapa
minggu, namun gejala mialgia tidak ditemukan pada pasien ini. Sakit kepala pada

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

demam dengue dapat timbul di area frontal dan retro-orbita. Pada pasien didapati
nyeri kepala frontal.
Malaria juga dijadikan diagnosis banding demam tifoid karena pada malaria
ditemukan demam, sakit kepala, malaise, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, nyeri
perut, diare, dan hepatomegali. Malaria juga merupakan penyakit endemik di
beberapa daerah di Indonesia. Dari anamnesis diketahui pasien tidak melakukan
perjalanan ke tempat-tempat selain Tangerang dan sekitarnya. Selain itu malaria juga
memiliki pola demam yang khas yaitu demam intermiten, sedangkan demam yang
dialami pasien adalah demam remiten dimana suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu dapat mencapai 2.
Diagnosis banding yang lain adalah influenza. Influenza merupakan penyakit
infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam menggigil, mialgia,
sakit kepala, dan sering disertai gejala pilek, sakit tenggorok, dan batuk non
produktif. Lama sakitnya berkisar antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sebdiri karena
disebabkan oleh virus influenza tipe A, B, dan C. Pada pasien tidak ditemukan gejala-
gejala infeksi saluran napas sehingga diagnosis banding ini dapat disingkirkan.
Jika dilihat pola demam pasien yang cenderung meningkat pada malam hari
dan peningkatan suhu yang semakin tinggi setelah masuk minggu kedua, ditambah
dengan adanya sakit kepala frontal, dan konstipasi maka diagnosis sementara adalah
suspek demam tifoid. Namun hal ini masih perlu dibuktikan dengan beberapa
pemeriksaan. Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid harus terbukti
ditemukannya kuman Salmonella typhi pada kultur dengan spesimen darah pada akhir
minggu pertama, spesimen urin pada minggu ketiga, atau spesimen feses pada
minggu kedua dan ketiga.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Istilah demam tifoid sebaiknya tidak dikacaukan dengan tifus yang sering
disebutkan oleh masyarakat awam karena istilah tifus mengarah kepada suatu
kelompok penyakit infeksius yang disebabkan oleh organisme Rickettsial yang dapat

10

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

mengakibatkan penyakit demam akut. Penyakit tifus ditransmisikan oleh vektor


artropoda seperti Pediculosis corporis yang mengandung Rickettsia prowazekii yaitu
agen etiologi tifus ke manusia. Gejala-gejala demam tifoid memang mirip dengan
tifus maka dinamakan tifoid (menyerupai tifus).
Salmonellosis dibagi menjadi 2 yaitu demam tifoid/enterik yang disebabkan
oleh S.typhi dan S.paratyphi serta salmonellosis nontifoidal yang disebabkan oleh
S.typhimurium dan S.enteritidis. Transmisi salmonellosis nontifoidal berasal dari
makanan yang terkontaminasi misalnya daging yang kurang matang, makanan laut,
produk susu sapi yang tidak terpasteurisasi, dan makanan mentah lainnya. Transmisi
S.enteritidis terutama berasal dari telur. Infeksi juga dapat terjadi apabila seseorang
terpapar dengan hewan terutama reptil. Pada salmonellosis nontifoidal manifestasi
klinis yang timbul adalah demam hingga menggigil, mual, muntah, nyeri abdominal,
diare dengan konsistensi cair tanpa darah, nyeri kepala, tenesmus, dan mialgia yang
timbul 6-48 jam setelah terpapar organisme penyebab. Demam biasanya membaik
dalam 48 jam. Pada beberapa kasus yang jarang dapat yang dapat ditemukan diare
bervolume banyak seperti pada kolera namun dapat sembuh secara spontan dalam 3-7
hari.
Jika organisme Salmonella masuk ke dalam tubuh manusia sebanyak 103-106
maka individu tersebut akan terinfeksi. Infeksi Salmonella dapat mengakibatkan 3
sindroma yang berbeda, yaitu enterokolitis nontifoidal, penyakit fokal nontifoidal,
atau demam tifoid/demam enterik. Infeksi ekstraintestinal yang dapat terjadi pada
salmonellosis nontifoidal adalah bakteriemia (5% kasus) yang dapat berkembang
menjadi infeksi lokal seperti aneurisma aortik, abses, meningitis, pneumonia, infeksi
saluran kemih, dan lain-lain. Penyakit fokal nontifoidal diakibatkan oleh bakteriemia
yang sementara ataupun permanen. Hampir semua organ dapat terkena, namun
lokasi-lokasi yang rentan terkena biasanya merupakan organ yang memang memiliki
abnormalitas atau kelainan struktural.
Demam yang timbul sebagai gejala demam tifoid merupakan akibat dari
terangsangnya makrofag oleh kuman Salmonella typhi sehingga makrofag melepas

11

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

sitokin, interleukin, dan mediator-mediator inflamasi lainnya yang dapat mengganggu


termoregulasi tubuh sehingga timbullah demam. Demam biasanya berkisar antara
suhu 39 - 40 C.
Konstipasi pada demam tifoid terjadi akibat Peyers patches mengalami
inflamasi sehingga membengkak dan motilitas usus mengalami penurunan. Namun
demam tifoid juga dapat memiliki gejala diare khususnya diare sekretorik akibat
endotoksin Salmonella typhi. Bahkan pada beberapa kasus juga ditemukan demam
tifoid dengan gejala diare terlebih dahulu disusul oleh konstipasi beberapa hari
kemudian.
Hepatomegali yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik dapat timbul akibat
makrofag yang melawan kuman Salmonella typhi dan mati dibawa ke organ-organ
RES (Reticuloendothelial System) seperti hepar dan limpa.
Pada pasien telah diperiksa uji Widal namun sekarang sudah kurang dipakai
karena Indonesia merupakan negara yang endemik demam tifoid. Apalagi pada pasien
baru diperiksa Widal satu kali. Seharusnya satu minggu kemudian diperiksa lagi
apakah ada kenaikan titer 4x lipat. Pada prinsipnya pemeriksaan Widal menggunakan
reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen
Salmonella typhi. Pemeriksaan disebut positif apabila terjadi reaksi aglutinasi.
Dengan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu
pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi.
Untuk mendukung diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti tehadap
antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang
progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya
bersamaan dengan penyembuhan penderita dan bertahan hingga 4-6 bulan. Titer
terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena tetap bertahan hingga 9-
12 bulan setelah mendapat imunisasi atau penderita telah lama sembuh. Pemeriksaan
widal tidak selalu positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita demam
tifoid.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti
didapatkan Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi

12

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

kuman E. coli patogen dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh
dari ibunya melalui plasenta, terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix),
serta akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada
keadaan infeksi subklinis.
Pada kasus ini pasien sempat pergi ke dokter dan diberi obat namun pasien
tidak mengetahui namanya dan obat sudah habis dimakan dan keluhan tetap ada, hal
tersebut dimungkinkan karena obat yang diberikan tidak cocok untuk pengobatan
mikroorganisme penyebab penyakit atau kemungkinan yang kedua adalah pasien
mengalami resistensi obat.
Saran pemeriksaan tambahan untuk kasus ini adalah pemeriksaan IgG anti-
Salmonella, kultur mikroorganisme dari spesimen darah, uji resitensi dan sensitivitas
obat untuk menentukan pemilihan obat yang cocok bagi pasien, namun karena
menunggu hasilnya lama maka pengobatan tetap dimulai sesuai protokol yang ada.
Pada pasien ini dapat diberikan obat pilihan utama saat ini yaitu golongan
Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6
hari atau Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu atau Ofloxacin 20
mg/kgbb/hari selama 7 hari. Namun, jika resistensi terjadi terhadap golongan
Fluoroquinolone, maka pasien dapat diberikan golongan Cephalosporin generasi
ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3
gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.

BAB II
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi

13

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran


darah.1
Pada tahun 2000, terdapat sekitar 21,6 juta kasus demam tifoid di seluruh
dunia dan diantaranya menyebabkan 216.500 kematian. Insidensi demam tifoid di
Asia Tengah, Selatan, dan Tenggara serta Afrika Selatan mencapai lebih dari 100
kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya.2,3
Di Indonesia sendiri demam tifoid merupakan penyakit endemik dan
tergolong penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun
1962 tentang wabah. Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian
demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi
peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk.1
Manifestasi klinis yang timbul pada penderita demam tifoid adalah demam
yang berkepanjangan dimana awalnya tidak terlalu tinggi namun lama kelamaan terus
meningkat, dapat disertai rasa menggigil, sakit kepala, berkeringat, batuk, malaise,
dan atralgia. Gejala-gejala saluran pencernaan bervariasi mulai dari diare, konstipasi,
mual, muntah, sampai anoreksia.4
Karena demam tifoid merupakan endemik di negara ini dan insidensinya yang
masih tinggi, pencegahan dan tatalaksana penting diketahui sehingga tidak
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan
komplikasi ekstra-intestinal seperti meningitis, miokarditis, pleuritis, pneumonia,
hepatitis, kolesistitis, glomerulonefritis, pielonefritis, osteomielitis, spondilitis,
artritis, dan lain-lain.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam
sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1

14

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962
tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam
tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi
peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai
rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan
peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606
kasus. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08%
dari seluruh kematian di Indonesia. 1,2,3

Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B, dan S. paratyphi C. Demam yang disebabkan oleh S.
Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella
yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil,
tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan
glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak
meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan
mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap
agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F)
selama 1 jam atau 60 C (140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup
pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan
hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agen
farmakeutika, dan bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan
antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang
stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Antigen Vi
adalah simpai atau kapsul kuman. Masa inkubasi S. typhi adalah 3-21 hari.

15

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

Patogenesis
Salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus. Jika IgA kurang baik pertahanannya, maka kuman akan menembus
sel-sel epitel terutama sel M dan menuju ke lamina propia. Di lamina propia
kuman akan berkembangbiak. Sebagian kuman akan ditangkap dan digagosit oleh
sel mononuklear, namun masih dapat hidup di dalam makrofag tersebut, dibawa
ke Payers patch ileum distal, menuju kelenjar getah bening mesenterika, melalui
duktus toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I namun masih
asimtomatik. Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ RES
seperti hati dan limpa, kuman akan keluar dari makrofag, berkembangbiak di luar
sel atau ruang sinusoid dan masuk lagi ke dalam sirkulasi darah, maka terjadilah
bakteriemi II yang dapat menimbulkan gejala-gejala sistemik.
Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan diekskresi
secara intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan empedu. Sebagian
akan keluar lewat feses, dan sisanya akan menembus usus masuk ke darah.
Interaksi Salmonella typhi dengan makrofag memunculkan mediator-mediator
lokal sehingga peyers patches mengalami hiperplasi jaringan, nekrosis dan ulkus
(hipersensitivitas tipe IV/lambat). Secara imunulogi, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya Salmonella typhi pada mukosa
usus. Imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis Salmonella typhi oleh makrofag. Imunitas seluler berfungsi untuk
membunuh Salmonalla intraseluler.
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku
darah, depresi sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila pembuluh darah di
sekitar peyers patches mengalami erosi dan perdarahan.

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi Salmonella Typhi berlangsung selama 3-21 hari. Transmisi atau
penularannya dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi S.

16

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

typhi. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul
gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biaasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggun ketiga suhu badan berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah.
Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan,
dapat disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Dapat
ditemukan gejala konstipasi, diare, dan kombinasi keduanya. Selain itu dapat
disertai gejala mual dan muntah.
3. Gangguan kesadaran (gejala susunan saraf pusat)
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada punggung
dan anggota gerak dapat ditemukan rose spots, yaitu bintik-bintik kemerahan
karena emboli basil dalam kapiler kulit. Rose spots biasanya ditemukan dalam
akhir minggu pertama demam pada 25% kasus. Kadang-kadang ditemukan
bradikardia dan mungkin pula ditemukan epistaksis.

17

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

Rose spots pada abdomen seorang pasien dengan demam tifoid


akibat Salmonella typhi.
Courtesy of CDC/Armed Forces Institute of Pathology, Charles N. Farmer.

Diagnosa
Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti ditemukannya
leukopenia, anesonofilia, dan limfositosis relatif pada permulaan timbulnya
gejala. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum tulang
berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan sistem
eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.
Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam darah
penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering
ditemukan dalam urin dan feces dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang
lama. Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan
untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin
dan fases 2 kali berturt-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah
benar-benar sembuh dan bukan karier.
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis demam
tifoid, namun sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai ditinggalkan. Prinsip
pemeriksaannya ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur

18

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

dengan suspensi antigen Salmonella typhi. Pemeriksaan yang positif ialah bila
terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti
dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi
aglutinasi. Untuk menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan ialah titer zat anti
tehadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan
kenaikan yang progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap
antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah
mendapat imunisasi atau penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan
widal positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita demam tifoid
sebagaimana terbukti pada autopsi setelah penderita meninggal dunia.

Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti
didapatkan Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat
infeksi kuman E. coli patogen dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut
diperoleh dari ibunya melalui plasenta, terdapat infeksi silang dengan Rickettsia
(Weil Felix), serta akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral
atau pada keadaan infeksi subklinis.

Diagnosis Banding
Bila tedapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang dapat
menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, penyakit-penyakit yang
perlu dipikirkan selain demam tifoid adalah demam dengue, influenza,
tuberkulosis, malaria, dan lain-lain.
Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti
Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10
mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu. Namun golongan Fluoroquinolone tidak
boleh diberikan pada anak-anak karena akan mengganggu pertumbuhan

19

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

tulang karena mempercepat penutupan epifisis. Maka dapat diganti dengan


obat golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone dan
Cefotaxime. Pada orang dewasa yang resisten terhadap golongan
Fluoroquinolone juga dapat diberikan golongan Cephalosporin generasi ketiga
seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3
gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.
Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita
mengalami resistensi dapat diberikan obat lain misalnya ampisilin,
kotrimoksasol, dan lain-lain. Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan
dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kgbb/hari, diberikan 4 kali sehari peroral atau
intramuskular atau intravena bila diperlukan. Pemberian kloramfenikol dosis
tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu perawatan dipersingkat dan
relaps tidak terjadi. Akan tetapi mungkin pembentukan zat anti kurang, oleh
karena basil terlalu cepat dimusnahkan. Penderita yang pulang perlu diberikan
suntikan vaksin Tipa.
Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena dapat
menimbulkan partus prematurus pada trimester ketiga dan kematian janin
intrauterine. Tiamfenikol juga tidak aman diberikan karena bersifat
teratogenik pada trimester pertama. Maka pada wanita hamil dapat diberian
Ampicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu, Amoxicilin 50-150 mg/kgbb
untuk 2 minggu, dan Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuscular
selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari.
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya
pemberian cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis.
Bila terdapat bronkopneumonia harus ditambahkan Penicilin dan lain-lain.
b. Tatalaksana non-medikamentosa
1. Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta untuk mencegah
penularan kuman ke orang-orang sekitar pasien.
2. Bedrest.

20

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali yaitu


istirahat mutlak, berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian boleh
duduk dan selanjutnya boleh duduk dan berjalan.
3. Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat
sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
4. Pengaturan diet.
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak
menimbulkan banyak gas. Susu 2 kali satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis
makanan untuk penderita dengan kesadaran menurun ialah makanan cair yang
dapat diberikan melalui NGT. Bila pasien sadar dan nafsu makan baik, maka
dapat diberikan makanan lunak.
5. Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare
dan demam.
Komplikasi
1. Komplikasi intestinal umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal. Pada
usus halus dapat terjadi :
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan
pemeriksaan darah samar pada tinja dengan menggunakan benzidin.
Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai
perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu
dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara
hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang
hebat, dinding abdomen tegang (defense muscular) dan nyeri pada
tekanan.

21

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

2. Komplikasi ekstra-intestinal yang terjadi karena lokalisasi peradangan


akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistis, ensefalopati dan lain-
lain. Selain itu, komplikasi ekstra-intestinal dapat terjadi karena infeksi
sekunder misalnya pada bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat
timbul akibat masukan makanan yang kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh
yang tinggi.

Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi
buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu.
2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma atau delirium.
3.Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi atau asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia dan lain-lain.
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).

22

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled
Laporan Kasus Demam Tifoid Zaenal Arifin dan Aditya Megananda

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
p1752-1757
2. Centers for Disease Control and Prevention. Typhoid fever. October 5, 2010. [cited
2011 Jan 8]. [Internet] Available at:
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
3. Klotchko A, Mark RW. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 11].
[Internet] Available at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-overview
4. Fauci AS, et al. Harrisons Manual of Medicine. 17 th ed. New York: McGraw Hill;
2009. p 456-457
5. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid and parattyphoid fever. Lancet. Aug
2005;366:749-62.
6. Brusch J. Typhoid fever. April 8, 2010. [cited 2011 Jan 11]. [Internet] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview
7. Klotchko A. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 8]. [Internet] Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-media

8. Kim AY, Goldberg MB, Rubin RH. Salmonella infections. In: Gorbach SL, Bartlett
JG, Blacklow NR, eds. Infectious Diseases. 3rd ed. Lippincott Williams and
Wilkins; 2004:68.

23

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 29 Juni 2015 12 September 2015
Fakultas Kedokteran Unswagati RSUD Waled

Anda mungkin juga menyukai