PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil
kiri dan kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung
pita suara.2
Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran
pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas,
penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang
berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika
benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi
batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari
saluran pernafasan bagian bawah.2
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang
berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm),
lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh
jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar
(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan
dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan
mukosa.2
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat
pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana
trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk
yang kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih
besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12
cicin serta mempunyai dua cabang.2
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak
mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus
3
tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukuranya dapat berubah.2
Seluruh saluran uadara, mulai dari hidung sampai bronkiolus
terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi.
Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih
banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang
dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus
yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus
terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris
terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.2
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga
proses yang terjadi, yaitu:
1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara
melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada
alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya
perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke
tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar
karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif
terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekitar 8mmHg. Pada saat yang sama
tekanan pada intra pulmunal menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan
udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan
tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-
2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir
keluar paru.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler
melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir
dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah
tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial
yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida
4
darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli.
Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari
kapiler ke jaringan melalui transport aliran darah. Oksigen dapat masuk ke
jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan
secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin,
sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat,
natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel
darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen.
Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa
sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 =
100% ), bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir
dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam
darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam
cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-
masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir
kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan
lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir
dari cairan jaringan kedalam darah.2
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang
normal berkisar 7,35 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam
rentang pH 7,0 7,45. Pada peninggian CO 2 baik karena kegagalan fungsi
maupun bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi
oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah
keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan
lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan
alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan PaCO 2 turun akibat
hiperventilasi.
5
B. DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan.1
Asma bronkiale adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya
respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah
baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American Thoracic
Society ).2
C. EPIDEMIOLOGI
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan
asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas)
6
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992,
asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke- 4 di
Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan
obstruksi paru 2/1000.1
D. FAKTOR RESIKO
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan
faktor lingkungan.
1. Faktor Host
a. Gen
b. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
c. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
d. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
e. Ras/etnik
f. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor
resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi
fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.
Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
7
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk
menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asma.1,2
h.
i. yang diturunkan:
Bakat Pengaruh lingkungan :
j.
Asma Alergen
k. Alergik
Atopi/ Infeksi pernapasan
l.
Hipereaktiviti bronkus Asap rokok / polusi udara
Faktor yang memodifikasi Diet
penyakit genetik Status sosioekonomi
Asimptomatik atau
Asma dini
9
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran
napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13
dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah
Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis
IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers
seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau
khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding.
Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan
oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical,
TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita
asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai
efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6,
GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF.
Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi
dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil
yangmengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein
(ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel
10
mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-
CSF.
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada
orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan
seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain
berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada
regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-
promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF.1
11
Gejala Exacerbations non- Obstruksi persisten
spesific aliran udara
(bronkokonstriksi) hyperreactivity
Gambar 2.3 Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway
remodeling dengan gejala klinis.1
F. KLASIFIKASI
Sesak timbul
Berjalan Berbicara Istirahat
pada saat
Kata demi
Bicara Satu kalimat Beberapa kata
kata
Mengantuk,
Mungkin
Kesadaran Gelisah Gelisah gelisah,
gelisah
kesadaran
Sangat
Sedang, Nyaring,
nyaring,
sering hanya sepanjang Sulit/tidak
Mengi terdengar
pada akhir ekspirasi terdengar
tanpa
ekspirasi inspirasi
stetoskop
Gerakan
Otot bantu paradok
- + +
nafas torakoabdomi
nal
12
Frekuensi
<20/menit 20-30/menit >30/menit
Nafas
100-
Laju nadi <100/menit >120/menit Bradikardi
120/menit
PEFR/FEV1
Prabronkodila >60% 40-60% <40%
tor
Pascabronkod >80% 60-80% <60%
ilator
13
Persisten sedang Harian >2 kali sebulan APE 60-80%
G. DIAGNOSIS
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru
terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
1. Riwayat penyakit / gejala :
a. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
c. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respons terhadap pemberian bronkodilator.1
2. Pemeriksaan Fisik
14
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis
secara rinci, menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas.
Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara
bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi
dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada
auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.2
3. Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan
persepsi mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat
dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan
objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan
penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal
paru digunakan untuk menilai:
a.
Obstruksi jalan napas
b.
Reversibiliti kelainan faal paru
c.
Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas.
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).1
4. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
15
a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1
b. 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
c. Menilai derajat berat asma.1
16
lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
7. Foto rontgen toraks
Pemeriksaan ini perlu dilakukan dan pada foto akan tampak
corakkan paru yang meningkat. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut
dan pada asma kronik. Ateletaksis juga sering ditemukan, setiap anak
penderita asma yang berkujung pertama kalinya perlu dibuat foto rongent
parunya. Foto ini dibuat terutama untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya penyakit lain. Foto perlu diulang bila ada indikasi misalnya adanya
dugaan adanya pneumonia atau pneumothoraks. Rontgen foto sinus
paranasalis perlu juga bila asmanya sulit terkontrol.2
H. DIAGNOSIS BANDING
1. PPOK
2. Bronkitis Kronik
3. Gagal Jantung Kongestif
4. Batuk Kroniuk akibat lain-lain
5. Disfungsi Laring
6. Obstruksi mekanis (missal: tumor)
7. Emboli Paru
I. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan
tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik
progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan
hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga
penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat
dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga
terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan :
17
a. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti,
menjaga penderita agar tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya
pengobatan karena berkurangnya serangan akut terutama bila
membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit.
Edukasi tidak hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga
pihak lain yang membutuhkan seperti:
18
Penanganan Monitor asma &
serangan asma di tindakan apa yang
rumah dapat dilakukan (idem
di atas)
Kunjungan ke dua
(second follow-up) Identifikasi & Penderita
mengontrol pencetus menunjukkan cara
Penanganan menggunakan obat
serangan asma di inhalasi & koreksi bila
rumah perlu
Medikasi Demonstrasi
Monitor asma penggunaan peak flow
(gejala & faal paru/ meter (oleh penderita/
APE) dokter)
Penanganan asma Pelangi asma (bila
mandiri/ pelangi asma dilakukan)
(bila penderita mampu)
Setiap kunjungan
berikut Strategi mengontrol Obat inhalasi
pencetus Peak flow meter
Medikasi Monitor pelangi
Monitoring asma. asma (bila dilakukan)
Pelangi asma bila
penderita mampu
19
2) Kortikosteroid sistemik
Efek paling utama dari kortikosteroid adalah menghambat reaksi
inflamasi yang terjadi pada saat serangan yang disebabkan oleh
eusinofil, dan mediator lain seperti leukotrien, asam arakhidonat,
prostaglandin, dan lain-lain. Selain itu, obat ini juga memiliki efek
potensiasi terhadap efek agonis. Contoh: prednison dan metil
prednisolon.
20
potensiasi terhadap efek agonis. Contoh: prednison dan metil
prednisolon.
3) Agonis 2 short acting
Obat ini digunakan sebagai agonis resptor 2 yang terdapat pada
saluran napas, khususnya bronkus. Obat ini memberikan efek
relaksasi otot polos bronkus dan menghambat sekresi mukus pada
saluran napas. Contoh: terbutalin dan salbutamol.
4) Anti kolinergik
Obat ini menghambat pengeluaran asetilkolin dari N. Vagus di
saluran napas pada reseptor muskarinik. Keadaan ini menyebabkan
blokade pada kontraksi otot polos bronkus dan mengurangi sekresi
kelenjar pada mukosa saluran napas. Contoh: ipratropium
bromide.4
Medikasi Nama Generik Bentuk Obat Dosis Obat
Pengontrol
Steroid Inhalasi Flutikason propionat IDT 125-500 mcg / hari
Budesonide IDT, Turbuhaler 100-200 mcg / hari
Metilxantin Aminofilin lepas lambat Tablet 2 x 1 tablet
Teofilin lepas lambat Tablet 2 x 125-300 mg
Kortikosteroid Metilprednisolon Oral, injeksi 4-40 mg/hari
sistemik Prednisolon Oral 20-40 mg/hari
Alternatif anti Kromolin IDT 5 mg/semprot 1-2 semprot, 3-4
inflamasi x/hari
Profilaksis sebelum Nedokromil IDT 2 mg/semprot 2 semprot, 2-4
exercise/pajanan x/hari
Agonis 2 LA Salmeterol IDT 25 mcg/semprot 2-4 semprot, 2 x /
hari
Anti leukotrien Zafirlukast Tablet 20 mg 2 x 20 mg/hari
21
Metilxantin Teofilin Tablet 130, 150 mg 3-5 mg / kgBB, 3-4 x
Aminofilin Tablet 200 mg sehari
Kortikosteroid Metilprednisolon Tablet 4, 8, 16 mg, Short course:
sistemik injeksi 24-40 mg/ hari dosis
Prednisolon Tablet 5 mg tunggal atau terbagi
dalam 3-10 hari
Antikolinergik Ipratropium bromide IDT 20 mcg/semprot 20 mcg, 3-4x/hari
Solutio (nebulisasi) 0,25-0,5 mg/6 jam
Agonis 2 SA Terbutalin IDT 0,25 mg / 0,25-0,5 mg, 3-4
semprot x/hari
Turbuhaler 0,25 ; 0,5 Oral 1,5-2,5 mg, 3-
mg/hirup 4x/hari
Solutio 5 mg /2 ml (Penggunaan obat
Tablet 2,5 mg pelega sesuai
Sirup 1,5 ; 2,5 mg/5 kebutuhan)
ml
Salbutamol IDT 100mcg/semprot
Solutio 2,5 mg/2 ml ; 5 Inhalasi 200 mcg, 3-4
mg/ml x/hari
Tablet 2, 4 mg Oral 1-2 mg, 3-
Sirup 1 mg, 2 mg / 5
4x/hari
ml
22
jam
Alternatif : agonis beta 2 oral 3 x 2 mg
Sedang Terbaik : - Puskesmas
oksigen 2-4 liter / menit dan agonis beta 2 - Klinik rawat jalan
inhalasi - IGD
Alternatif : agonis beta 2 IM / adrenalin - Praktek dokter umum
subkutan. Aminofilin 5-6mg/kgbb - Rawat inap jika tidak ada
respons dalam 4 jam.
Berat Terbaik : - IGD
-Oksigen 2-4 liter/menit - Rawat inap apabila dalam
-agonis beta 2 nebulasi diulang s/d 3 kali 3 jam belum ada
dalam 1 jam pertama perbaikan
-aminofilin IV dan infus - Pertimbangkan masuk
-steroid IV diulang tiap 8 jam ICU jika keadaan
memburuk progresif.
Mengancam Terbaik : - ICU
jiwa -lanjutkan terapi sebelumnya
-pertimbangkan intubasi dan ventilasi
mekanik
J. KOMPLIKASI
1. Pneumothoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
5. Gagal napas
6. Bronkitis
K. PROGNOSIS
23
Prognosis asma tergantung pada berat ringannya serangan. Sebelum
dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita
dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataannya bahwa angka kematian
pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, apabila serangan asma
diketahui dan dimulai sejak anak-anak dan mendapatkan pengawasan yang
cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita dengan serangan
terus menerus angka kematian 9%.
KESIMPULAN
24
mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin, dan mencegah
kekambuhan. Pemilihan terapi farmakologis pada asma akut bergantung pada
derajat serangan asma yang terjadi.
Selain penatalaksanaan asma akut pada pasien asma, sangat penting bagi
pasien untuk mengontrol penyakit ini agar tidak kembali terjadi kekambuhan atau
eksaserbasi akut. Pengontrolan penyakit ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara, baik dengan terapi farmakologis berupa obat pengontrol ataupun non
famakologis, seperti kontrol teratur, menjaga kebugaran fisik, dan modifikasi serta
menghindari faktor pencetus asma itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
25
3. Sukamto, Sundaru, H. 2012. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta
4. Almia, Widya.2014. Asma Bronkiale.
https://www.scribd.com/doc/246472561. [diakses tanggal 24 Desember
2015]
5. Sherwood, L. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Ed: II. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001. p: 413-20.
26