Anda di halaman 1dari 15

PAPER PERILAKU KEORGANISASIAN

SAP 9
AKUNTANSI UNIT TABUNGAN DAN DEPOSITO

OLEH :

Kelompok 09

Ni Wayan Oka Srimaheni (1406405045)

Luh Putu Cinthya Wijayanti (1406305155)

Gek Ayu Putu Intan P. D. (1406305173)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
JIMBARAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Organisasi merupakan unit sosial atau kelompok orang yang memiliki aturan tersendiri
terhadap orang-orang yang ada didalamnya. Aturan tersebut tentunya memiliki fungsi sebagai
kontrol terhadap kegiatan dari organisasi agar dapat mencapai sasaran atau tujuan bersama.
Selain pencapaian tujuan atau sasaran, organisasi juga diharapkan dapat terus tumbuh dan
berkembang, sehingga diperlukan adanya kinerja yang baik dari anggota organisasi tersebut.
Sebuah organisasi memiliki anggota lebih dari satu orang, sehingga dalam organisasi tersebut
mereka biasanya berinteraksi satu sama lain, sehingga terdapat dua kemungkinan yang dapat
terjadi yaitu dapat berinteraksi secara harmonis maupun tidak dapat berinteraksi secara
harmonis yang ditandai dengan timbulnya gesekan-gesekan yang berpotensi untuk
menimbulkan konflik.
Tidak semua konflik akan berakibat negatif terhadap organisasi, itu tergantung dari
bagaimana pimpinan organisasi dapat mengelola konflik yang ada sehingga bisa memberikan
sesuatu yang positif bagi organisasi.
Untuk dapat mengetahui konflik secara mendalam, maka dalam paper ini akan dilakukan
pembahasan terhadap konflik itu sendiri, penyelesaian konflik dengan perundingan serta
hubungan antar anggota kelompok.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep mengenai konflik dalam organisasi?
2. Bagaimanakah konsep mengenai perundingan dalam organisasi?
3. Bagaimanakah hubungan antar anggota kelompok dalam organisasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep mengenai konflik dalam organisasi
2. Untuk mengetahui konsep mengenai perundingan dalam organisasi
3. Untuk mengetahui hubungan antar anggota kelompok dalam organisasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONFLIK
2.1.1 PENGERTIAN KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik diartikan sebagai percekcokan,
perselisihan atau pertentangan.
Menurut Stephen P. Robbins (1996) dalam Organization Behavior menjelaskan
bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian
antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat
baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Menurut Fred Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia.
Munurut Jerald Greenberg dan Robert A. Barron (1997) konflik dapat diartikan sebagai
suatu proses yang terjadi jika seseorang individu atau suatu kelompok memandang bahwa
individu atau kelompok lain bertindak atau segera bertindak tidak sesuai dengan
minatnya.
Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan
pendapat, persaingan dan permusuhan. Dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan
suatu proses sosial yang dialami oleh individu maupun kelompok dimana salah satu pihak
memiliki perbedaan dan berusaha untuk memenuhi tujuannya walaupun dengan cara
ancaman dan atau kekerasan.
2.1.1 PANDANGAN TERHADAP KONFLIK
Menurut Steven P. Robins dalam bukunya Managing Organizational
Conflickmenyatakan bahwa sikap terhadap konflik dalam organisasi telah berubah dari
waktu ke waktu. Stephen P. Robbins telah mempelajari evolusi tersebut, di
mana ditekankannya perbedaan antara pandangan tradisional tentang konflik dan
pandangan yang berlaku sekarang.
a. Pandangan tradisional, menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya
dan oleh karenanya harus dihindari.
b. Pandangan aliran hubungan manusiawi, menganggap bahwa konflik adalah
sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan
organisasi. Karena keberadaan konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari,
maka aliran ini mendukung penerimaan konflik tersebut dan menyadari
adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi prestasi suatu kelompok.
c. Pandangan interaksionis, John Aker dari IBM menjelaskan konflik perspektif
interaksionis, bahwa pendekatan interaksionis mendorong konflik pada kedaan
yang harmonis, tidak adanya perbedaan pendapat yang cenderung
menyebabkan organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap
kebutuhan akan perubahan dan inovasi.
d. Pandangan Kuno dan Pandangan Modern mengenai Konflik (James AF.
Stoner dan R. Edward Freeman, 1992).
Pandangan Kuno Pandangan Modern
1. Konflik dapat dihindari 1. Konflik tidak dapat dihindari
2. Konflik disebabkan karena 2. Konflik muncul karena aneka macam
adanya kesalahan sebab, termasuk di dalamnya struktur
manajemen dalam hal organisatoris, perbedaan-perbedaan
mendesain dan memanaje dalam tujuan yang tidak dapat dihindari
organisasi-organisasi atau perbedaan-perbedaan dalam persepsi
karena adanya serta nilai-nilai personalia yang
pengacaupengacau. terspesialisasi dan sebagainya
3. Konflik merusak organisasi 3. Konflik membantu, kadang-kadang
yang bersangkutan, dan menghambat hasil pekerjaan
menyebabkan tidak organisatoris dengan derajat yang
tercapainya hasil optimal berbeda-beda.
4. Tugas manajemen adalah 4. Tugas manajemen adalah memanaje
meniadakan konflik tingkat konflik, dan pemecahannya
5. Agar dapat dicapai hasil hingga dapat dicapai hasil prestasi
prestasi organisatoris organisatoris optimal.
optimal, maka konflik perlu 5. Hasil pekerjaan optimal secara
ditiadakan organisatoris, memerlukan konflik
moderat.

2.1.2 FAKTOR PENYEBAB KONFLIK


Menurut Stephen P. Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga
sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur,
dan variabel pribadi.
a. Komunikasi.
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah
pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu
hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi
yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan
penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.
b. Struktur.
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:
ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota
dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, system imbalan, dan derajat
ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi
kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi.
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi:
sistem nilai yang dimiliki tiap individu, karakteristik kepribadian yang
menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan
individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang
lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi
tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal
tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik.
Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict).
Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas,
tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi
konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari
dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika
pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya,
serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru hara,
pemogokan, dan sebagainya.

2.1.3 JENIS-JENIS KONFLIK


Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan
untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada
pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi.
Berdasarkan fungsinya, Stephen P. Robbins (1996) membagi konflik menjadi
dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict).
Konflik fungsional adalah semua jenis konflik yang dapat mendukung
tercapainya sasaran organisasi dan memperbaiki kinerja.
Contoh: Departemen Produksi dan departeman Pemasaran dalam suatu
perusahaan terlibat konflik, tentang bagaimana cara menghasilkan produk
yang lebuh baik, tanpa
peningkatan biaya yang berarti.
Konflik disfungsional yaitu jenis konflik yang terjadi karena adanya sesuatu
atau seseorang yang tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, sehingga akan
merintangi atau menghambat kinerja organisasi.
Contoh: adanya sentiment atau rasa tidak senang individu, sehingga saling
menghambat atau menjatuhkan satu terhadap yang lain.masing-masing ingin
mencari menangnya sendiri.
Menurut Stephen P. Robbins, batas yang menentukan suatu konflik fungsional
atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional
bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula,
konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang
lain.
Kriteria yang membedakan suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah
dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu.
Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang
memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian
sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi
menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya.
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman
(1989) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Terjadi jika
seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena
tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan
kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan
individu yang lain.
Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and
groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma
kelompok tempat ia bekerja.
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups
in the same organization). Terjadi karena masing - masing kelompok
memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk
mencapainya.
Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Terjadi jika tindakan
yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi
lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Terjadi sebagai akibat sikap atau
perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negative bagi anggota
organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang
menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi.
Berdasarkan konflik yang dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi,
Winardi (1992) membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki
kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan
bawahan.
Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki
kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik
antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya
berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih
dari satu peran yang saling bertentangan.
2.1.4 DAMPAK KONFLIK
Dampak konflik yang terjadi organisasi meliputi dua dampak yaitu dampak positif
dan dampak negatif.
a. Dampak Positif Konflik
Adapun dampak positif dalam organisasi yaitu sebagai berikut:
Mendorong untuk kembali mengkoreksi diri. Dengan adanya konflik yang
terjadi, mungkin akan membuat kesempatan bagi salah satu ataupun kedua
belah pihak untuk saling merenungi kembali, berpikir ulang tentang kenapa
bisa terjadi perselisihan ataupun konflik diantara mereka.
Meningkatkan Prestasi. Dengan adanya konflik, bisa saja membuat orang
yang termajinalkan oleh konflik menjadi merasa mempunyai kekuatan extra
sendiri untuk membuktikan bahwa ia mampu dan sukses dan tidak pantas
untuk "dihina".
Mengembangkan alternatif yang baik. Bisa saja dengan adanya konflik yang
terjadi diantara orang per orang, membuat seseorang berpikir dia harus mulai
mencari alternatif yang lebih baik dengan misalnya bekerja sama dengan
orang lain mungkin.
b. Dampak Negatif Konflik
Adapun dampak negative dalam organisasi yaitu sebagai berikut:
Menghambat kerjasama. Sejatinya konflik langsung atau tidak langsung akan
berdampak buruk terhadap kerjasama yang sedang dijalin oleh kedua belah
pihak ataupun kerjasama yang akan direncanakan diadakan antara kedua
belah pihak.
Apriori. Selalu berapriori terhadap "lawan". Terkadang kita tidak meneliti
benar tidaknya permasalahan, jika melihat sumber dari persoalan adalah dari
lawan konflik kita.
Saling menjatuhkan. Ini salah satu akibat paling nyata dari konflik yang
terjadi diantara sesama orang di dalam suatu organisasi, akan selalu muncul
tindakaan ataupun upaya untuk saling menjatuhkan satu sama lain dan
membuat kesan lawan masing-masing rendah dan penuh dengan masalah.

2.2 PERUNDINGAN (NEGOSIASI)


2.2.1 PENGERTIAN NEGOSIASI
Negosiasi menurut Ivancevich (2007) sebuah proses di mana dua pihak atau lebih
yang berbeda pendapat berusaha mencapai kesepakatan. Menurut Sopiah (2008),
negosiasi merupakan suatu proses tawar-menawar antara pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik. Sedangkan Robbins ( 2008) menyimpulkan negosiasi adalah sebuah proses di
mana dua pihak atau lebih melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk
menyepakati nilai tukarnya.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah suatu
upaya yang dilakukan antara pihak-pihak yang berkonflik dengan maksud untuk mencari
jalan keluar untuk menyelesaikan pertentangan yang sesuai kesepakatan bersama.

2.2.2 STRATEGI NEGOSIASI


A. Negosiasi Menang-Kalah (Win-Lose)\
Pandangan klasik menyatakan bahwa negosiasi terjadi dalam bentuk sebuah
permainan yang nilai totalnya adalah nol (zero sum game). Artinya apapun yang
terjadi dalam negosiasi pastilah salah satu pihak akan menang, sedangkan pihak
yang lainnya kalah, atau biasa dikenal dengan pendekatan distributif
(ivancevich,2007).
B. Negosiasi Menang-Menang (Win-Win)
Pendekatan yang sama-sama menguntungkan, atau pendekatan integratif , dalam
bernegosiasi memberikan cara pandang yang berbeda dalam proses negosiasi.
Negosiasi menang-menang adalah pendekatan penjumlahan positif. Situasi situasi
penjumlahan positif adalah pendekatan di mana setiap pihak mendapatkan
keuntungan tanpa harus merugikan pihak lain.
Dalam konteks organisasi, negosiasi dapat terjadi antara dua orang (seperti
antara atasan dengan bawahan dalam menentukan tanggal penyelesaian proyek
yang dilimpahkan kepada bawahan), dalam satu kelompok (seperti pada
kebanyakan proses pengambilan keputusan dalam kelompok), antarkelompok
(seperti yang terjadi antara departemen pembelian dan penyedia material mengenai
harga, kualitas, atau tanggal pengiriman).
2.2.3 PROSES NEGOSIASI
a. Persiapan dan perencanaan: sebelum bernegosiasi perlu mengetahui apa tujuan
dari Anda bernegosiasi dan memprediksi rentangan hasil yang mungkin
diperoleh dari paling baik hingga paling minimum bisa diterima.
b. Definisi aturan-aturan dasar: begitu selesai melakukan perencanaan dan
menyusun strategi, selanjutnya mulai menentukan aturan-aturan dan prosedur
dasar dengan pihak lain untuk negosiasi itu sendiri. Siapa yang akan melakukan
perundingan? Di mana perundingan akan dilangsungkan? Kendala waktu apa,
jika ada , yang mungkin akan muncul? Pada persoalan-persoalan apa saja
negosiasi dibatasi? Adakah prosedur khusus yang harus diikuti jika menemui
jalan buntu? Dalam fase ini, para pihak juga akan bertukar proposal atau
tuntutan awal mereka.
c. Klarifikasi dan justifikasi: ketika posisis awal sudah saling dipertukarkan, baik
pihak pertama maupun kedua akan memaparkan, menguatkan, mengklarifikasi,
mempertahankan, dan menjustifikasi tuntutan awal.
d. Tawar menawar dan pemecahan masalah: pada tahap ini akan terjadi tawar
menawar antara dua pihak untuk mencapai sebuah solusi dimana solusi tersebut
akan berguna untuk memecahan masalah.
e. Penutupan dan implementasi: tahap akhir dalam negosiasi adalah memformalkan
kesepakatan yang telah dibuat serta menyusun prosedur yang diperlukan untuk
implementasi dan pengawasan pelaksanaan.
2.2.4 NEGOSIASI MENGGUNAKAN PIHAK KETIGA
Negosiasi-negosiasi tidak selalu langsung terjadi antara dua pihak yang mengalami
ketidaksepakatan. Terkadang pihak ketiga dipanggil untuk terlibat dalam negosiasi antara
pihak-pihak yang telah mengalami jalan buntu.
Terdapat berbagai macam intervensi pihak ketiga. Salah satu tipologi menyebutkan
setidaknya terdapat empat macam intervensi pihak ketiga yang mendasar:
a. Mediasi adalah situasi di mana pihak ketiga yang netral menggunakan penalaran,
pemberian usulan, dan persuasi dalam kapasitasnya sebagai fasilitator. Para
mediator ini memfasilitasi penyelesaian masalah dengan mempengaruhi
bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi berinteraksi. Para mediator
tidak memiliki otoritas yang mengikat, pihak-pihak yang terlibat bebas
mengacuhkan usaha mediasi ataupun rekomendasi yang dibuat oleh pihak
ketiga.
b. Arbitrase adalah situasi di mana pihak ketiga memiliki wewenang memaksa
terjadinya kesepakatan. Menurut Robbins ( 2008 ) kelebihan arbitrase dibanding
mediasi adalah bahwa arbitrase selalu menghasilkan penyelesaian.
c. Konsiliasi adalah seseorang yang dipercaya oleh kedua pihak dan bertugas
menjembatani proses komunikasi pihak-pihak yang bersitegang. Seorang
konsiliator tidak memiliki kekuasaan formal untuk mempengaruhi hasil akhir
negosiasi seperti seorang mediator.
d. Konsultasi adalah situasi di mana pihak ketiga, yang terlatih dalam isu konflik
dan memiliki keterampilan penyelesaian konflik, berupaya memfasilitasi
pemecahan permasalahan dengan lebih memusatkan hubungan antarpihak
ketimbang isu-isu yang substantif.
2.3 HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK DALAM ORGANISASI
Mengenal, mengerti dan memahami hubungan antar individu dalam kelompok dan
hubungan antar kelompok sangat penting dan besar sekali artinya dalam kepemimpinan sebab
pemimpin akan dapat mengambil keputusan secara bijak, rasional dan adil. Mengabaikan
kepentingan kelompok akan berakibat fatal bagi masa depan organisasi.
Hubungan antar kelompok harus dibina sedemikian rupa sehingga dapat dijalin secara
harmonis. Harmonisnya hubungan antar kelompok akan dapat menciptakan kinerja kelompok
dan kinerja organisasi secara optimal.
2.3.1 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK
Kinerja kelompok yang berhasil merupakan fungsi dari sejumlah faktor yang
berpengaruh. Konsep yang memayungi berbagai faktor ini adalah konsep koordinasi.
Umumnya berpengaruh terhadap hubungan antar kelompok.
a. Ketergantungan
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah kelompok tersebut dalam
melaksanakan tugasnya memerlukan koordinasi ? jawaban dari pertanyaan ini
terletak kepada penetapan derajad ketergantungan yang ada diantara kelompok
yang terkait. Apakah kelompok tersebut satu sama lain saling membutuhkan atau
tidak. Jika ada maka ketergantungan yang ada akan terdiri dari ketergantungan
tunggal (utuh), ketergantungan berantai dan ketergantungan timbal balik.
Ketergantungan tunggal adalah semua kelompok yang terkait mempunyai
ketergantungan yang sama (utuh) yang mutlak tidak dapat dipisahkan,
ketergantungan berantai adalah ketergantungan kelompok yang sangat dipengaruhi
oleh kinerja kelompok yang lain, sedangkan ketergantungan timbal balik adalah
ketergantungan yang berada pada posisi berlawanan.
b. Ketidakpastian Tugas
Semakin besar ketidakpastian suatu tugas (pekerjaan) maka akan semakin besar
derajad ketidakpastian suatu tugas (pekerjaan) maka tugas (pekerjaan) akan dapat
pula respon yang harus dibuat (dibentuk) dan semakin rendah distandarisasi. Kunci
utama ketidakpastian tugas (pekerjaan) adalah bahwa suatu tugas (pekerjaan) untuk
diterapkan memerlukan informasi lebih banyak. Oleh karena itu jika suatu tugas
(pekerjaan) mempunyai ketidakpastian yang tinggi maka ketergantungan kepada
informasi yang lengkap jelas dan valid sangat dibutuhkan dan masing-maisng
kelompok akan sama saling membutuhkan satu sama lain atau menghadapi resiko
kegagalan yang semakin besar.
c. Orientasi Waktu dan Tujuan
Dua kelompok atau lebih akan saling bergantung satu sama lain sangat ditentukan
oleh waktu dan tujuan spesifik yang melekat pada dirinya. Jika tujuan spesifik
saling terkait satu sama lain dan waktu yang disediakan saling berkaitan antara
yang satu dengan yang lain, maka derajad ketergantungan kelompok akan smakin
besar.
2.3.2 METODE PENGELOLAAN HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK
a. Peraturan dan Prosedur
Metode yang paling murah dan paling sederhana di dalam mengelola hubungan
antar kelompok adalah menetapkan aturan dan prosesdur interaksi antar kelompok.
Di dalam organisasi yang besar, akan dibentuk suatu departemen yang khusus
memantau dan mengevaluasi hubungan antar kelompk dan jika interaksi hubungan
antar keompok tersebut ada gejala yang tidak sesuai dengan harapan maka
kelompok yang terkait akan dipanggil untuk didengar serta diselesaikan melalui
forum musyawarah. Peraturan dan prosedur baku akan memperkecil hubungan
antar kelompok yang dipandang tidak perlu.
b. Hirarki
Jika metode yang pertama dipandang kurang tepat maka hirarki kekuasaan yang
ada di dalam organisasi menjadi alternatif kedua di dalam mengelola hubungan
antar kelompok. Dengan demikian maka koordinasi akan diambil alih oleh pejabat
yang lebih tinggi yang berada didalam organisasi itu. Pejabat yang lebih tinggi
umumnya dapat dipandang sebagai pejabat yang ektif untuk membina hubungan
antar kelompok sebab pejabat yang tinggi ini secara posisional mempunyai
kekuasaan yang lebih besar dan dihapakan dapat mempengaruhi hubungan antar
kelompok.
c. Perencanaan
Alternatif (pilihan) berikutnya di dalam mengelola hubungan antar kelompok
adalah melalui perencanaan. Jika setiap kelompok mempunyai tujuan spesifik yang
hendak dicapai maka setiap kelompok telah mengetahui hak dan kewajiban yang
melekat pada kelompoknya dan setiap kelomok ini akan mengetahui pada saat yang
bagaimana hubungan kelompok lain perlu dilakukan. Perencanaan yang memadai
dan baik cenderung memperbaiki koordinasi dan di samping itu perencanaan
cenderung dapat pula alat koordinasi yang efektif dan efisien.
d. Peran Perantara
Peran perantara sering mengarah kepada individu yang diberi tugas (pekerjaan)
khusus untuk memudahkan komunikasi antar kelompok kerja yang saling terkait.
Perantara yang diberi tugas (pekerjaan) khusus ini tentunya adalah orang yang
dipandang cakap dan mempunyai pandangan yang luas tentang bidang organisasi
dan manajemen. Di dalam organisasi yang besar sering kali memanfaatkan sarjana
yang mempunyai kompetensi dibidangnya dengan beberapa pengalaman praktis
dan taktis yang menunjang kompetensinya. Kelemahan utama peran perantara ini
adalah adanya keterbatasan pribadi untuk menangani informasi yang mengalir
diantara kelompok yang saling berinteraksi, khususnya jika kelompok berinteraksi
itu besar dan interaski sangat sering dilakukan.
e. Pelaksana Tugas
Para pelaksana tugas (pekerjaan) dapat dijadikan wakil dari sejumlah kelompok.
Para pelalaksana tugas (pekerjaan) sering melaksanakan tugas (pekerjaan) yang
sesuai dengan bidangnya dan sering kali melakukan hubungan dengan yang lain.
Para pelaksana tugas (pekerjaan) ini harus dibina sedemikian rupa guna memberi
pengertian dan pemahaman mengenai hubungan antar kelompok tentang apa yang
seharusnya dilakukan di dalam membina hubungan dengan kelompok lain.
f. Tim
Jika tugas (pekerjaan) sudah semakin banyak dan rumit maka persoalan yang
muncul dari pelaksanaan tugas (pekerjaan) akan semakin bamuak dan rumit pula
dan dalam keadaan demikian maka alat koordinasi yang ada sudah dianggap kurang
memadai dan tidak tepat. Pilihan berikutnya adalah menyerahkan kerumitan
hubungan antar kelompok ini kepada suatu tim. Tim inilah yang akan memantau
dan mengevaluasi pola hubungan antar kelompok. Angota tim berasal dari masing-
masing fungsi yang ada di dalam organisasi dan ketika tugasnya telah selesai maka
anggota tim ini akan kembali lagi kepada induknya. Tim pemantau ini dikarenakan
mempunyai keanggotaan yang berkomposisi masing-masing fungsi maka
dipandang mewakili masing-masing fungsinya sehingga hasil pantauan dan
evaluasinya dipandang cukup representatif.
g. Departemen/Badan Terpadu
Jika hubungan antar kelompok telah menjadi terlalu sulit dan rumit untuk
dikoordinasikan melalui rencana, tugas (pekerjaan), tim dan sebagainya maka
organisasi sebaiknya membentuk departemen/badan terpadu. Departemen/badan ini
bersiat permanen dengan anggota yang secara formal diberi tugas (pekerjaan) untuk
memadukan dua kelompok atau lebih. Departemen yang dibentuk ini akan
digunakan jika organisasi sudah sangat besar dan mempunyai tujuan-tujuan yang
sering berlainan arah, mempunyai berbagai persoalan yang tak rutin yang sangat
rumit dan mempunyai keputusan antar kelompok yang mempunyai dampak
terhadap seluruh operasi organisasi. Departemen/badan ini dapat dijadikan alat
yang dapat diandalkan untuk menangani konflik antar kelompok.
BAB III
KESIMPULAN

Didalam sebuah organisasi yang tentunya terdapat banyak orang yang diikat dengan
satu aturan, biasanya terdapat dua kemungkinan yang terjadi yaitu dapat berinteraksi secara
harmonis maupun tidak dapat berinteraksi secara harmonis yang ditandai dengan timbulnya
gesekan-gesekan yang berpotensi untuk menimbulkan konflik. Konflik merupakan suatu
proses sosial yang dialami oleh individu maupun kelompok dimana salah satu pihak memiliki
perbedaan dan berusaha untuk memenuhi tujuannya walaupun dengan cara ancaman dan atau
kekerasan.
Terdapat berbagai macam jenis konflik dan juga penyelesaiannya. Baik tidaknya
pengaruh konflik terhadap suatu kelompok atau organisasi, tergantung pada bagaimana
pimpinan kelompok atau organisasi itu mengelola konflik yang ada. Penyelesaian konflik
yang dilakukan dengan cara melakukan negosiasi atau perundingan sehingga didapatkan
kesepakatan bersama antara pihak yang memiliki konflik.
DAFTAR PUSTAKA

Ardana,Komang.2009. Perilaku Keorganisasian, Edisi 2.Denpasar.Penerbit: Graha Ilmu


Indriyatni,Lies.2010. Pengaruh Konflik Terhadap Kinerja Organisasi / Perusahaan.Fokus
Ekonomi vol. 5 No. 1
http://mulkypanjidinihari.blogspot.co.id/2015/05/penyelesaian-konflik-dalam-organisasi.html/
Diakses pada 14 Februari 2017
http://ersyafdi.blogspot.co.id/2015/01/konflik-dan-negosiasi.html/ Diakses pada 14 Februari
2017
http://tiara-riani.blogspot.co.id/2015/04/materi-perilaku-organisasi-kelompok-4.html/ Diakses
pada 15 Februari 2017
http://eprints.undip.ac.id/15347/1/AGUNG_HERY_NUGROHO.pdf/ Diakses pada 14
Februari 2017

Anda mungkin juga menyukai