Anda di halaman 1dari 10

RMK MANAJEMEN KEUANGAN

SAP 7

Perbandingan Metode Penilaian Investasi


I. Pengertian Investasi
Investasi berarti pengeluaran dana saat ini dengan harapan memperoleh hasil atau
keuntungan di masa datang. Dilihat dari dimensi waktu, investasi dapat dikelompokkan menjadi
2, yaitu:
1. Investasi jangka pendek (satu tahun atau kurang), yaitu investasi pada aktiva lancar
(modal kerja), seperti: kas, piutang, inventori, surat-surat berharga.
2. Investasi jangka panjang ( lebih dari satu tahun), yaitu investasi pada asset riil, seperti:
tanah, bangunan, peralatan kantor, kendaraan , asset riil lainnya, dan invesasti pada asset
finansial seperti : investasi pada saham dan obligasi.
Dalam manajemen keuangan, investasi jangka panjang dikaitkan dengan penganggaran
modal atau capital budgeting. Pengertian modal atau capital mengacu pada aktiva tetap yang
dipergunakan dalam proses produksi atau aktivitas pokok perusahaan. Perusahaan memutuskan
untuk melakukan investasi saat ini dengan harapan mendapat keuntungan di masa yang akan
datang. Seperti misalnya investasi pada perlengkapan sistem distribusi, bangunan, sarana
produksi yang lebih baik, penelitian dan pengembangan produk baru dan aktiva tetap lainnya.
Dengan kembali mengingat tujuan utama perusahaan, yaitu memaksimumkan kemakmuran
pemilik (pemegang saham), maka dalam menilai keputusan investasi jangka panjang juga harus
mengacu pada tujuan tersebut. Dengan kata lain, keputusan investasi harus dinilai dalam
hubungannya dengan kemampuan untuk menghasilkan keuntungan yang sama atau lebih besar
dari yang disyaratkan oleh pemilik modal.
Dalam capital budgeting diperlukan beberapa informasi berikut:
1. Alternatif kesempatan investasi
2. Estimasi aliran kas
3. Metode Penilaian Profitabilitas Investasi atas dasar kiteria penilaian investasi yang ada
4. Perbandingan Metode-Metode Penilaian Profitabilitas Investasi.
II. Jenis / Alternatif Investasi
Secara umum investasi jangka panjang menyangkut salah satu dari klasifikasi berikut:
1. Investasi penggantian aktiva tetap, seperti: gedung, mesin-mesin, kendaraan dan
sebagainya.
2. Investasi perluasan (ekspansi)

0
3. Investasi penambahan produk baru, dapat berupa perluasan atau diversifikasi produk
yang sudah ada.
4. Investasi jangka panjang lainnya yang tidak termasuk dalam salah satu dari klasifikasi di
atas. Misalnya, investasi pada peralatan pengendalian polusi, investasi untuk keamanan,
eksplorasi sumber alam dan sebagainya.
III. Menaksir Aliran Kas
Tugas yang paling penting dalam penganggaran modal adalah estimasi aliran kas. Estimasi
atau proyeksi aliran kas melibatkan berbagai variabel, individu, dan berbagai bagian atau
departemen dalam perusahaan. Misalnya, proyeksi penjualan dan harga diperoleh dari bagian
pemasaran, proyeksi aliran kas keluar yang berkaitan dengan produk baru disediakan oleh bagian
produksi, dan proyeksi biaya operasi diperoleh dari bagian akuntansi biaya, produksi, pembelian
dan bagian lain yang terkait. Peran manajer keuangan adalah mengkoordinasikan informasi
berbagai departemen dan mengendalikan proses estimasi untuk meyakinkan bahwa bagian atau
individu menggunakan metode secara konsisten dan asumsi yang rasional.
Mengapa aliran kas yang sangat penting dalam analisis investasi, bukan laba yang
dilaporkan menurut catatan akuntansi ? Hal ini disebabkan karena:
a. Laba dalam pengertian akuntansi tidak sama dengan kas masuk bersih.
b. Para investor dan manajemen lebih tertarik mengetahui aliran kas bersih yang benar-
benar akan diterima.
Di dalam menaksir atau memproyeksikan aliran kas, di samping akurasi, juga penting
diperhatikan masalah relevansi. Untuk estimasi aliran kas yang relevan, diperlukan perhatian
atas hal-hal penting berikut ini:
a. Estimasi aliran kas harus atas dasar setelah pajak, karena, yang menjadi hak dan dapat
dinikmati oleh pemilik perusahaan adalah aliran kas bersih setelah pajak.
b. Taksirlah aliran kas atas dasar incremental atau selisih. Misalnya, untuk rencana
peluncuran produk baru mungkin akan mengakibatkan pengurangan penjualan produk
lama. Dengan demikian perlu diperhatikan penurunan penjualan produk lama karena
peluncuran produk baru dalam menaksir aliran kas.
c. Pemisahan aliran kas karena keputusan investasi dan keputusan pendanaan
(pembelanjaan). Aliran kas karena keputusan pembelanjaan seperti, pembayaran bunga,
angsuran pokok pinjaman, dan pembayaran dividen tidak perlu diperhatikan. Yang
dianalisis dalam penilaian investasi adalah profitabilitas investasi.
Aliran kas dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1
1. Aliran kas permulaan (initial cash flow)
2. Aliran kas operasional (operational cash flow)
3. Aliran kas pada akhir umur proyek / investasi (terminal cash flow)
A. Aliran kas permulaan (initial cash flow)
Untuk dapat menentukan aliran kas permulaan (initial cash flow) atau juga diistilahkan
capital outlays, perlu diidentifikasi aliran kas yang berhubungan dengan pengeluaran
investasi. Ini berarti harus diketahui berapa besar pengeluaran untuk tanah, pembuatan
bangunan dengan perlengkapannya dan sebagainya. Ditambah juga dengan pengeluaran-
pengeluaran untuk biaya-biaya pendahuluan dan sebelum operasi, termasuk penyediaan
modal kerja.
B. Aliran kas operasional (operational cash flow)
Aliran kas operasional (operational cash flow) juga diistilahkan dengan aliran kas
masuk bersih atau Proceeds . Estimasi tentang besarnya aliran kas operasional tahunan
merupakan titik permulaan untuk penilaian profitabilitas usulan investasi. Kebanyakan cara
yang dipergunakan untuk menaksir aliran kas operasional tahunan adalah dengan
menyesuaikan taksiran rugi laba yang disusun berdasarkan prinsip-perinsip akuntansi dan
menambahkannya dengan biaya-biaya yang sifatnya bukan tunai ( seperti: penyusutan
misalnya). Karena itu, dalam praktek cara yang sering dijumpai dalam menaksir aliran kas
operasional atau proceeds ini adalah menggunakan rumus :
Aliran Kas masuk bersih = laba setelah pajak + penyusutan
Penggunaan cara tersebut cukup tepat apabila pengakuan terhadap penghasilan dan
biaya menurut akuntansi tidak banyak berbeda dengan terjadinya penerimaan dan
pengeluaran kas. Kalau antara pengakuan penghasilan dan biaya cukup berbeda, maka
penggunaan cara itu akan memberikan hasil yang tidak tepat. Kalaupun bisa menyesuaikan
laporan akuntansi menjadi pola aliran kas karena persyaratannya memenuhi, maka yang
sering juga menjadi persoalan adalah kalau proyek tersebut dibelanjai dengan (sebagian)
pinjaman. Umumnya kalau proyek tersebut dibelanjai dengan modal sendiri, penaksiran
aliran kas operasionalnya tidak menjadi masalah. Masalah sebenarnya timbul karena
dicampurkannya keputusan pembelanjaan dengan hasil investasi proyek tersebut. Untuk
memperjelas hal ini berikut disajikan suatu contoh,
Misalkan ada suatu investasi yang dibelanjai dengan 100% modal sendiri, senilai Rp
100 juta. Umur ekonomisnya 2 tahun, tidak mempunyai nilai sisa . Kalau penyusutan
dilakukan dengan metode garis lurus, maka penyusutan per tahunnya adalah Rp 50 juta.
Taksiran laba rugi per tahun adalah sebagai berikut :

2
Rp 150
Penghasilan juta
Biaya-Biaya:
Tunai Rp 70 juta
Rp 50
Penyusutan juta
Rp 120
Total Biaya juta
Laba Sebelum Rp 30
Pajak juta
Rp 15
Pajak (50%) juta
Laba Setelah Rp 15
Pajak juta
Aliran Kas
bersih /
Rp 65
proceeds
juta
(Rp 15 juta +
Rp 50 juta)

Perhitungan di atas adalah benar apabila pengakuan terhadap biaya dan penghasilan
menurut akuntansi tidak banyak berbeda dengan terjadinya pengeluaran dan penerimaan kas.
Sekarang kalau misalkan proyek tersebut dibelanjai dengan 100% pinjaman (contoh ini
hanya untuk menyederhanakan saja, karena mungkin tidak pernah ada proyek yang
dibelanjai dengan 100% pinjaman). Katakan bahwa bunga pinjaman adalah 20% per tahun.
Taksiran laba rugi menjadi sebagai berikut :
Rp 150
Penghasilan juta
Biaya-Biaya: Tunai Rp 70 juta
Rp 50
Penyusutan juta
Rp 120
juta
Laba Sebelum Bunga Rp 30
dan Pajak juta
Rp 20
Bunga juta
Rp 10
Laba Sebelum Pajak juta
Rp 5
Pajak( 50%) juta
Rp 5
Laba setelah pajak juta

3
Proceeds = laba setelah pajak + penyusutan
= Rp 5 juta + Rp 50 juta
= Rp 55 juta
Untuk keperluan penaksiran operationanal cash flow atau proceeds , cara semacam ini
membuat kesalahan dalam hal mencampur-adukkan cash flow karena keputusan pembelanjaan
(yaitu pembayaran bunga) dan cash flow karena keputusan investasi (penghasilan, pengeluaran
biaya tunai, pajak). Untuk itu cara menaksir aliran kas operasional yang benar adalah :
Aliran kas operasional = laba setelah pajak + penyusutan (Proceeds) + bunga ( 1 pajak)
Dengan memperhatikan rumus tersebut maka :
Proceeds = Rp 5 juta + Rp 50 juta + Rp 20 juta (1 0,50)
= Rp 65 juta
Perhatikan bahwa hasil perhitungan tersebut, yaitu Rp 65 juta, adalah sama dengan hasil
yang diperoleh kalau menganggap bahwa investasi tersebut dibelanjai dengan modal sendiri.
Kalau misalnya investasi tersebut dibelanjai dengan 50% hutang dan 50% modal sendiri, maka
kalau digunakan cara seperti tersebut di atas, aliran kas masuk bersihnya juga tetap Rp 65 juta.
Penaksiran aliran kas bersih semacam ini terutama penting, kalau investasi nantinya
dihubungkan dengan biaya modal (cost of capital). Kalau biaya bunga dikurangkan terlebih
dahulu dalam menghitung aliran kas, dan kemudian dipergunakan biaya modal dalam
perhitungan layak tidaknya suatu usulan investasi, maka akan terjadi perhitungan ganda (double
accounting). Pertama pada waktu mengurangkan bunga pada laba, kedua pada waktu
menggunakan tingkat bunga sebagai biaya modal untuk menilai layak tidaknya suatu investasi.
Dalam menaksir aliran kas operasional juga perlu ditentukan periode waktu yang
diperkirakan. Umumnya periode waktu yang dipergunakan dalam menaksir aliran kas
operasional ini disesuaikan dengan umur ekonomis investasi tersebut. Umur ekonomis suatu
proyek investasi merupakan jangka waktu di mana proyek itu dapat memberikan manfaat
ekonomis. Di luar periode tersebut, proyek tidak lagi mempunyai arti ekonomis.
Didalam menaksir umur ekonomis inipun terkadang mengalami kesulitan. Salah satu
faktor penyebabnya adalah karena perubahan teknologi. Semakin cepat perubahan teknologi,
semakin pendek umur ekonomis yang ditaksir dapat dinikmati oleh investasi tersebut.

4
Berikut ini disajikan beberapa cara yang dapat digunakan untuk menaksir aliran kas
operasional. Misalkan, sebuah perusahaan memiliki laporan perhitungan laba rugi performa
sebagai berikut:
Rp 145
Pendapatan Penjualan juta
Biaya Tunai :
Rp 90
Biaya Variabel juta
Rp 10
Biaya Tunai Tetap juta
Rp 15
Penyusutan juta
Laba Sebelum Bunga dan Rp 30
Pajak juta
Rp 5
Bunga juta
Rp 25
Laba Sebelum Pajak juta
Rp 10
Pajak (40%) juta
Rp 15
Laba Setelah Pajak juta

Dari data tersebut, berapa taksiran aliran kas operasional / proceeds ?


Aliran kas operasional = (1 - T) (EBDIT) - (T x Dep)
= (1 0,4)(45 juta) + (0,4) x 15 juta)
= 33 juta
Aliran kas operasional = (1 - T) (EBIT) + Dep
= (1 0,4)(30 juta) + 15 juta
= 33 juta
Aliran kas operasional = (1 - T) (EBT) + (1 T)(bunga) + Dep
= (1 0,4)(25 juta)+ (1 - 0,4) (5 juta) + 15 juta
= 33 juta
Aliran kas operasional = EAT + Dep. + (1 - T) (Bunga)
= (15 juta + 15 juta + (1 0,4)(5 juta)
= 33 juta
C. Aliran kas pada akhir umur investasi (terminal cash flow)

5
Terminal Cash Flow umumnya terdiri dari cash flow nilai sisa (residu) investasi
tersebut, dan pengembalian modal kerja. Beberapa proyek mungkin masih mempunyai nilai
meskipun aktiva-aktiva tetapnya sudah tidak mempunyai nilai ekonomis lagi. Aliran kas dari
nilai sisa ini juga perlu dihubungkan dengan pajak yang mungkin dikenakan. Sebagai misal,
nilai buku dari suatu aktiva tetap adalah Rp 10 juta. Tetapi saat dijual, laku seharga Rp 12
juta. Berarti perusahaan memperoleh laba sebesar Rp 2 juta (laba ini sebenarnya merupakan
capital gain). Kalau misalkan perusahaan dikenakan pajak 20% atas capital gain tersebut,
maka aliran kas dari nilai sisa ini adalah Rp 12 juta (Rp 2 juta x 0,2) = Rp 11,60 juta.
Sebagaimana pada umur ekonomis, maka penaksiran nilai sisa dari suatu investasi
juga cukup sulit. Masalahnya tidak lain adalah lamanya dimensi waktu yang dihadapi dalam
penaksiran ini. Misalkan umur ekonomis ditaksir 5 tahun, maka untuk menaksir berapa nilai
sisa suatu aktiva tetap, berarti kita memproyeksikan pada 5 tahun mendatang. Ini jelas
merupakan pekerjaan yang cukup sulit.
Kalau proyek tersebut memerlukan modal kerja, dan umumnya proyek-proyek
memang membutuhkan, maka kalau proyek tersebut berakhir, modal kerjanya tidak lagi
diperlukan. Dengan demikian, modal kerja ini akan kembali sebagai aliran kas masuk pada
akhir umur proyek.
Berbagai contoh menaksir aliran kas
Untuk proyek-proyek yang mempunyai interaksi dengan proyek lain, maka penaksiran
aliran kasnya perlu hati-hati. Prinsip yang digunakan adalah prinsip incremental (selisih).
Misalkan, suatu perusahaan mobil merencanakan untuk membuat mobil yang kecil,
kompak dan hemat energi. Tetapi sebagai akibatnya produk yang lain (mobil yang besar dan
comfort) akan tersaingi. Akibatnya mungkin penjualan produk lama menjadi turun karena
disaingi oleh produk yang baru. Dengan demikian maka dalam menaksir aliran kas
operasional dari proyek baru tersebut harus memperhatikan pengurangan aliran kas akibat
penurunan penjualan produk lama. Taksiran yang digunakan adalah taksiran bersih, setelah
dikurangi berkurangnya kas masuk dari produk lama.
Contoh 1.
Suatu proyek memerlukan investasi sebesar Rp 1.000 juta, dan ditaksir memberikan
kas masuk bersih sebesar Rp 200 juta setiap tahun. Investasi sebesar Rp 1.000 juta tersebut
terdiri dari aktiva tetap yang ditaksir berusia ekonomis 8 tahun sebesar Rp 800 juta, dan

6
modal kerja sebesar Rp 200 juta. Misalkan aktiva-aktiva tetap tersebut ditaksir mempunyai
nilai sisa Rp 50 juta pada akhir tahun ke 8. Akan tetapi, dengan adanya proyek tersebut
mengakibatkan berkurangnya penjualan dari produk lama sehingga menyebabkan penurunan
aliran kas produk lama sebesar Rp 50 juta per tahun. Dengan demikian taksiran aliran kas
adalah sebagai berikut:

Rp 1.000
Initial cash flow juta
Operational cash flow (tahun ke-1 s/d
Rp 150
ke-8) per tahun (Rp 200 Juta - Rp 50
juta
juta)
Terminal cash flow
Rp 200
Modal kerja juta
Rp 50
Nilai sisa juta
Rp 250
juta
Dimana initial cash flow merupakan aliran kas keluar, sedangkan operational cash
flow dan terminal cash flow merupakan aliran kas masuk.
Contoh 2.
Misalkan suatu perusahaan sedang mempertimbangkan untuk mengganti mesin lama
dengan mesin baru yang lebih efisien. Nilai buku mesin lama adalah Rp 80 juta dan masih
bisa dipergunakan dalam 4 tahun lagi, tanpa nilai sisa. Mesin baru harganya Rp 120 juta
dengan umur ekonomis 4 tahun tanpa nilai sisa, Anggap perusahaan memakai penyusutan
dengan metode garis lurus. Kalau mesin baru dipakai perusahaan bisa menghemat biaya
operasi tunai per tahun sebesar Rp 25 juta. Misalkan mesin lama kalau dijual saat ini masih
laku Rp 80 juta, tarif pajak yang dikenakan, baik untuk laba operasional maupun capital
gains, sebesar 30%. Bagaimana penaksiran aliran kasnya?
Penaksiran aliran kas yang digunakan adalah dengan menggunakan taksiran selisih
(incremental). Kalau perusahaan mengganti mesin lama dengan mesin baru, maka perlu
tambahan investasi sebesar Rp 120 juta Rp 80 juta = Rp 40 juta. Taksiran operational cash
flow per tahun adalah:
Tambahan keuntungan karena Rp 25

7
juta
penghematan biaya operasional
Tambahan penyusutan :
Mesin baru Rp 30 juta
Mesin lama Rp 20 juta
Rp 10
juta
Rp 15
Tambahan laba sebelum pajak juta
Rp 4,5
Tambahan pajak juta
Rp 10,5
Tambahan laba setelah pajak juta
Tambahan kas masuk bersih Rp 20,5
(Rp 10,5 juta + Rp 10 juta) juta
Dengan demikian, maka rencana penggantian mesin tersebut akan mengakibatkan
penambahan investasi (yang merupakan kas keluar) Rp 40 juta, dan memberikan tambahan
kas masuk operasional setiap tahun Rp 20,5 juta selama 4 tahun. Karena dalam hal ini tidak
ada nilai sisa, maka tidak ada terminal cash flow. Contoh ini bisa dimodifikasi untuk
berbagai keadaan, seperti contoh berikut ini.
Contoh 3
Misalkan dari contoh 2 di atas, mesin baru mempunyai usia ekonomis 6 tahun, bukan
4 tahun (asumsi ini lebih logis, karena mesin baru akan mempunyai umur ekonomis lebih
lama). Dengan demikian aliran kasnya menjadi sebagai berikut:
Tambahan aliran kas keluar / initial cash flow (untuk tambahan investasi) Rp 40 juta.
Untuk menaksir tambahan aliran kas masuk setiap tahun, perlu ditentukan terlebih
dahulu periode waktu yang sama. Dimana umur ekonomis mesin lama tinggal 4 tahun dan
mesin baru masih 6 tahun. Kalau langsung ditempuh cara seperti pada contoh nomor 2,
maka akan dijumpai kesulitan karena periode yang tidak sama ini. Untuk itu ditentukan
terlebih dahulu waktu yang sama ini yaitu 4 tahun. Setelah 4 tahun, maka mesin baru akan
tinggal mempunyai nilai sisa sebesar (2 x Rp 20 juta) = Rp 40 juta. Karena penyusutan
mesin baru sekarang adalah Rp 20 juta per tahun.
Rp 25
Tambahan keuntungan karena juta
penghematan biaya operasional
Tambahan penyusutan :
Mesin baru Rp 20 juta

8
Mesin lama Rp 20 juta
Rp 0
juta
Rp 25
Tambahan laba sebelum pajak juta
Rp 7,5
Tambahan pajak juta
Rp 17,5
Tambahan laba setelah pajak juta
Tambahan kas masuk bersih Rp 17,5
(Rp 10,5 juta + Rp 10 juta) juta

REFERENSI

Agus Sartono,2001,Manajemen Keuangan,Edisi ke-Empat,BPFE Yogyakarta


Wiagustini,Ni Luh Putu.2010.Dasar-dasar Manajemen Keuangan.Udayana Press.Denpasar
Wiagustini,Ni Luh Putu.2014.Manajemen Keuangan.Denpasar : Udayana University Press

Anda mungkin juga menyukai