Anda di halaman 1dari 8

2.1 Kolestasis 2.1.

1 Definisi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam
jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi
zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan
kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
(NASPGHAN), kolestasis apabila kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila
bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari
5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total (Benchimol dkk.,
2009; Bhatita, 2014).
2.1.2 Epidemiologi

Kasus kolestasis yang dijumpai pada masyarakat jika dibandingkan antara laki-laki
dan perempuan, perbandingannya relatif sama. Beberapa penelitian menunjukan
perempuan memiliki peluang yang lebih tinggi dibandingkan laki- laki, rasio atresia
bilier pada bayi perempuan dan bayi laki-laki adalah 2:1 (Benchimol dkk., 2009;
Nazer, 2010).

Kolestasis dapat terjadi pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang
baru lahir masih merupakan golongan usia yang paling sering mengalami kolestasis.
Kejadian kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia kehamilan

kurang bulan dan bayi berat lahir rendah, karena berhubungan dengan gangguan dari
fungsi hati. Faktor risiko lain yang berhubungan dengan kolestasis adalah: bayi-bayi
yang mengalami sepsis berulang dan pemberian nutrisi secara parenteral (Nazer,
2010).

Berdasarkan penelitian yang ada, diperoleh data insiden kolestasis sebagai berikut:
kolestasis + 1:2.500 kelahiran hidup, atresia billier 1:19.065 kelahiran hidup. Rasio
atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Penelitian yang
dilaksanakan di King College Hospital England antara tahun 1970-1990, melaporkan
penyebab kolestasis dapat dirinci sebagai berikut: atresia bilier sebanyak 35%,
hepatitis neonatal 30%, defisiensi -1 antitripsin 17%, sindroma Alagille 6%, kista
duktus koledokus 3% (Benchimol dkk., 2009; Tufano dkk., 2009)

Penelitian di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo (Surabaya) antara tahun
1999-2004, dari 19270 penderita rawat inap didapat 96 penderita dengan neonatal
kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus
koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%)
(Arief, 2012).
2.1.3 Klasifikasi

Berdasarkan lokasi anatominya kolestasis dapat dibagi menjadi 2 yaitu: kolestasis


intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik.
a. Kolestasis intrahepatik
Kolestasis intrahepatik bisa juga disebut dengan kolestasis hepatoseluler. Kolestasis
intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis

intrahepatik terjadi karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris
intrahepatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi
bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta
kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan
ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati
(Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).

b. Kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian

besar adalah atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau


obstruksi saluran empedu ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah
proses imunologis, infeksi virus terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam
empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Akibat dari penyebab tersebut
maka akan terbentuk kelainan berupa nekroinflamasi, yang pada akhirnya
menyebabkan kerusakan dan pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik (Arief, 2012;
Ermaya, 2014).

Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan
penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang
disebabkan oleh atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode
pengobatan untuk atresia biler adalah dengan pembedahan hepatik-portoenterostomi
yang biasa dikenal dengan nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila
umur pasien sudah lebih dari 2 bulan (Lee dkk., 2010).

2.1.4 Etiologi
Etiologi kolestasis dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Etiologi kolestasis

Kolestasis Ekstrahepatik

Atresia bilier ekstrahepatik


Kista duktus koledokus
Perforasi spontan duktus biliaris komunis Inspissated bile syndrome
Caroli syndrome

Hepatoseluler Infeksi

Hepatitis virus
Sifilis
Infeksi TORCH
Varicela
Leptospirosis
Infeksi HIV
Sepsis
Tuberkulosis
Infeksi saluran kemih Cytomegalo virus (CMV)

Kelainan metabolik
Kelainan metabolisme asam amino (tirosinemia)
Kelainan metabolisme lemak (penyakit Gaucher, penyakit Niemann-Pick, Sindrom Wolman) Kelainan
metabolisme karbohidrat (galaktosemia, intoleransi fruktosa herediter, glycogen storage disease)
Kelainan metabolisme asam empedu
Kelainan metabolik bilirubin (Dubin-Johnson syndrome, Rotor syndrome)
Kelainan mitokondria
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Trisomi 18,21

Kelainan endokrin

Hipotiroid

Hipopituitarisme Sumber: Walsh dkk., 2009

2.1.5 Patogenesis

Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya
di dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih
lanjut sebagai berikut: (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011)

a. Gangguan transporter (Na+K+ATP-ase dan Na+bile acid co-transporting protein


NCTP)

2. Berkurangnya transport intraseluler yang diakibatkan oleh perubahan


keseimbangan kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau
pengguanaan obat.

3. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu
atipik di kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan
kerusakan sel hati.

4. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi


bahan empedu akibat lesi pada tight junction.

5. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.

2.1.6 Manifestasi klinis

Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh peningkatan
bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang mengalami
peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua minggu.
Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit
dan mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna
lebih gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul
(akholik) (Arief, 2012; Oswari, 2014).

Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai hepatomegali, splenomegali, gagal


tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan
kolestasis adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik,
hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena defisiensi
vitamin K, hiperkolesterolemia,

xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan (Bisanto, 2011; Ermaya,
2014).
2.1.7 Diagnosis

Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang tidak
menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih dari
dua minggu pada bayi cukup bulan (Girard dan Lacaille, 2008). Untuk mendiagnosis
kolestasis dapat dilakukan beberapa langkah seperti:
2.1.7.1 Anamnesis

Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis, lahir
prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis
B, infeksi intrapartum, pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan
atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi
dengan kolestasis intrahepatik lahir dengan berat badan lahir rendah (Arief, 2012).
2.1.7.2 Pemeriksaan fisik

Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan kolestasis,
dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya gejala
ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl (Girard dan
Lacaille, 2008; Benchimol dkk., 2009).

Pemeriksaan abdomen bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila didapatkan


kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat
diperkirakan hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis. Hepar yang teraba pada
daerah epigastrium maka dapat dicerminkan sebagai sirosis. Rasa nyeri tekan

pada palpasi merupakan mekanisme peregangan dari kapsula Glissoni yang


disebabkan karena edema. Pasien dengan kolestasis dapat dijumpai juga adanya
splenomegali, perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K, urin berwarna
gelap seperti teh, tinja warnanya pucat (akholik), sampai bisa didapatkan pasien
dengan gagal tumbuh (Kader dan Balistreri, 2011; Arief, 2012). 2.1.7.3 Pemeriksaan
penunjang

Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe kolestasis.


Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang mencakup:
pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi intraoperatif
(Benchimol dkk., 2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014). A. Pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang


dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari
komponen bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan
hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar
billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau
kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5
mg/dl.
2. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5
kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila dari
hasil laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT <5 kali dengan
peningkatan gamma GT >5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis
ekstrahepatik.

c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini
menunjukkan adanya proses infeksi.

4. Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang


mengalami kolestasis.

5. Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh


obstruksi.

6. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya


normal tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K.

7. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi


kelainan yang berhubungan dengan metabolik.

8. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi


Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.

9. Pemeriksaan FT4 dan TSH.

10. Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah).

11. Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar -1 antitripsin.

Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi
(dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir
selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille, 2008;
Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014).
Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :

1. Porsi I diambil pada pukul 06.00 14.00

2. Porsi II diambil pada pukul 14.00 22.00

c. Porsi III diambil pada pukul 22.00 06.00


Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap
kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila
dalam beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul, maka
kemungkinan besar pasien tersebut mengalami kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien
dengan kolestasis intrahepatik biasanya hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa
hasilnya normal.
B. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk
mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran,
keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan
teknik yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi
dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord dibagian atas percabangan vena porta.
Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk
mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007; Bisanto, 2011).

Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam.
Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan
diperiksa USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak 1,5 cm,
sedangkan pada 60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak (Bisanto,
2011).

Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat
kandung empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan

empedu sehingga mudah terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan
minum, kandung empedu akan mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih
kecil dan tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang
disebabkan oleh atresia bilier terjadi karena adanya proses obstruksi di hati, sehingga
pada saat pasien dipuasakan kandung empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan
USG. Keadaan lain yang mengarah kemungkinan atresia bilier, apabila saat puasa
kandung empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan minum ukurannya
tidak terjadi perubahan (Benchimol, 2009; Oswari, 2014).

C. Biopsihati
Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi

dengan kolestasis. Berdasarkan data-data yang didapatkan dari penelitian sebelumnya,


pasien kolestasis yang disebabkan oleh atresia bilier dapat dideteksi sekitar 90%-95%
dengan biopsi hati. Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus
biliaris, bile plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan
hepatitis neonatal idiopatik dengan metode ini akan didapatkan gambaran
pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal
(Oswari, 2007).

D. Kolangiografi intraoperatif
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada

kolestasis, karena merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat
akurasinya sangat tinggi sekitar 98% untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan
dengan metode kolangiografi intraoperatif sangat tergantung

terhadap hasil histopatologi hati. Apabila dari hasil histopatologi hati mengarah pada
atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih belum bisa untuk menyingkirkan atresia
bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi. Pada saat dilakukan
laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan kandung empedu dan sistem
bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi pada sistem bilier (Oswari,
2007; Bisanto, 2011).
Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil dan
fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan
untuk menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke
kandung empedu, kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi
untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang
umum dipakai adalah menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi
keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis,
tipe 2 atresia bilier naik sampai keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier
mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007).
2.1.8 Penatalaksanaan

Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:

2.1.8.1 Penatalaksanaan kausal

Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolestasis


ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan
transpalantasi hati merupakan cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan

operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada umur <6 minggu dengan angka
keberhasilan mencapai 80-90%, apabila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka
keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tata laksana kolestasis intrahepatik dengan
medikamentosa sesuai dengan penyebab merupakan tata laksana yang tepat
(Benchimol, 2009; Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011).

2.1.8.2 Penatalaksanaan suportif

Tata laksana suportif kolestasis bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan


perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif meliputi: (Oswari, 2007;
Putra dan Karyana, 2010, Bisanto, 2011).
A. Medikamentosa

Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk meningkatkan aliran


empedu. Medikamentosa yang biasanya diberikan antara lain:

1. Asam ursodeoksikolat
Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang
disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini berfungsi sebagai
hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 1020 mg/kgBB/Hari.

2. Kolestramin
Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi
sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari.

B. Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis.

Penurunan eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal,


solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengan
kolestasis membutuhkan asupan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk
mengejar pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin
dengan terapi nutrisi, digunakan formula khusus dengan jumlah kalori 120-150% dari
kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element:

1. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal


sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gr/kgbb/hari.

2. Vitamin yang larut dalam lemak: vitamin A 5000-25000 IU/hari, vitamin D


Calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari, vitamin E 25-50 IU/kgbb/hari, dan vitamin K
2-5 mg (IM) selama 3 hari berturut-turut apabila pasien dengan pemanjangan
faal hemostasis, pasien tanpa pemanjangan faal hemostasis berikan vitamin K
2-5 mg (IM) setiap 2-3 minggu.

C. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan hati
yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Oswari, 2007; Putra dan Karyana,
2010; Bisanto, 2011).

2.1.9 Prognosis

Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis. Prediktor untuk
prognosis buruk adalah: ikterus hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja
dempul, riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapatnya
inflamasi hebat pada hasil biopsi hati. Pada pasien atresia bilier ada beberapa faktor
yang berpengaruh untuk hasil yang baik, diantaranya: pengalaman operator, sentral
rujukan, luasnya kerusakan hati pada saat operasi dan frekuensi kolangitis. Pada
sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi mempunyai prognosis

lebih baik dibandingkan dengan atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal akibat
metabolik maupun genetik. Hal ini dihubungkan dengan tersedianya antimikroba
spesifik. Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar 60-80%
(Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011).

Anda mungkin juga menyukai