1 Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam
jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi
zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan
kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
(NASPGHAN), kolestasis apabila kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila
bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari
5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total (Benchimol dkk.,
2009; Bhatita, 2014).
2.1.2 Epidemiologi
Kasus kolestasis yang dijumpai pada masyarakat jika dibandingkan antara laki-laki
dan perempuan, perbandingannya relatif sama. Beberapa penelitian menunjukan
perempuan memiliki peluang yang lebih tinggi dibandingkan laki- laki, rasio atresia
bilier pada bayi perempuan dan bayi laki-laki adalah 2:1 (Benchimol dkk., 2009;
Nazer, 2010).
Kolestasis dapat terjadi pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang
baru lahir masih merupakan golongan usia yang paling sering mengalami kolestasis.
Kejadian kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia kehamilan
kurang bulan dan bayi berat lahir rendah, karena berhubungan dengan gangguan dari
fungsi hati. Faktor risiko lain yang berhubungan dengan kolestasis adalah: bayi-bayi
yang mengalami sepsis berulang dan pemberian nutrisi secara parenteral (Nazer,
2010).
Berdasarkan penelitian yang ada, diperoleh data insiden kolestasis sebagai berikut:
kolestasis + 1:2.500 kelahiran hidup, atresia billier 1:19.065 kelahiran hidup. Rasio
atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Penelitian yang
dilaksanakan di King College Hospital England antara tahun 1970-1990, melaporkan
penyebab kolestasis dapat dirinci sebagai berikut: atresia bilier sebanyak 35%,
hepatitis neonatal 30%, defisiensi -1 antitripsin 17%, sindroma Alagille 6%, kista
duktus koledokus 3% (Benchimol dkk., 2009; Tufano dkk., 2009)
Penelitian di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo (Surabaya) antara tahun
1999-2004, dari 19270 penderita rawat inap didapat 96 penderita dengan neonatal
kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus
koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%)
(Arief, 2012).
2.1.3 Klasifikasi
intrahepatik terjadi karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris
intrahepatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi
bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta
kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan
ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati
(Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).
b. Kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian
Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan
penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang
disebabkan oleh atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode
pengobatan untuk atresia biler adalah dengan pembedahan hepatik-portoenterostomi
yang biasa dikenal dengan nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila
umur pasien sudah lebih dari 2 bulan (Lee dkk., 2010).
2.1.4 Etiologi
Etiologi kolestasis dapat dilihat pada Tabel 2.1
Kolestasis Ekstrahepatik
Hepatoseluler Infeksi
Hepatitis virus
Sifilis
Infeksi TORCH
Varicela
Leptospirosis
Infeksi HIV
Sepsis
Tuberkulosis
Infeksi saluran kemih Cytomegalo virus (CMV)
Kelainan metabolik
Kelainan metabolisme asam amino (tirosinemia)
Kelainan metabolisme lemak (penyakit Gaucher, penyakit Niemann-Pick, Sindrom Wolman) Kelainan
metabolisme karbohidrat (galaktosemia, intoleransi fruktosa herediter, glycogen storage disease)
Kelainan metabolisme asam empedu
Kelainan metabolik bilirubin (Dubin-Johnson syndrome, Rotor syndrome)
Kelainan mitokondria
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Trisomi 18,21
Kelainan endokrin
Hipotiroid
2.1.5 Patogenesis
Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya
di dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih
lanjut sebagai berikut: (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011)
3. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu
atipik di kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan
kerusakan sel hati.
Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh peningkatan
bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang mengalami
peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua minggu.
Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit
dan mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna
lebih gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul
(akholik) (Arief, 2012; Oswari, 2014).
xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan (Bisanto, 2011; Ermaya,
2014).
2.1.7 Diagnosis
Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang tidak
menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih dari
dua minggu pada bayi cukup bulan (Girard dan Lacaille, 2008). Untuk mendiagnosis
kolestasis dapat dilakukan beberapa langkah seperti:
2.1.7.1 Anamnesis
Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis, lahir
prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis
B, infeksi intrapartum, pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan
atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi
dengan kolestasis intrahepatik lahir dengan berat badan lahir rendah (Arief, 2012).
2.1.7.2 Pemeriksaan fisik
Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan kolestasis,
dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya gejala
ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl (Girard dan
Lacaille, 2008; Benchimol dkk., 2009).
c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini
menunjukkan adanya proses infeksi.
Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi
(dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir
selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille, 2008;
Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014).
Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam.
Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan
diperiksa USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak 1,5 cm,
sedangkan pada 60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak (Bisanto,
2011).
Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat
kandung empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan
empedu sehingga mudah terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan
minum, kandung empedu akan mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih
kecil dan tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang
disebabkan oleh atresia bilier terjadi karena adanya proses obstruksi di hati, sehingga
pada saat pasien dipuasakan kandung empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan
USG. Keadaan lain yang mengarah kemungkinan atresia bilier, apabila saat puasa
kandung empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan minum ukurannya
tidak terjadi perubahan (Benchimol, 2009; Oswari, 2014).
C. Biopsihati
Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi
D. Kolangiografi intraoperatif
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada
kolestasis, karena merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat
akurasinya sangat tinggi sekitar 98% untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan
dengan metode kolangiografi intraoperatif sangat tergantung
terhadap hasil histopatologi hati. Apabila dari hasil histopatologi hati mengarah pada
atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih belum bisa untuk menyingkirkan atresia
bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi. Pada saat dilakukan
laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan kandung empedu dan sistem
bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi pada sistem bilier (Oswari,
2007; Bisanto, 2011).
Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil dan
fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan
untuk menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke
kandung empedu, kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi
untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang
umum dipakai adalah menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi
keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis,
tipe 2 atresia bilier naik sampai keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier
mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007).
2.1.8 Penatalaksanaan
Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada umur <6 minggu dengan angka
keberhasilan mencapai 80-90%, apabila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka
keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tata laksana kolestasis intrahepatik dengan
medikamentosa sesuai dengan penyebab merupakan tata laksana yang tepat
(Benchimol, 2009; Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011).
1. Asam ursodeoksikolat
Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang
disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini berfungsi sebagai
hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 1020 mg/kgBB/Hari.
2. Kolestramin
Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi
sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari.
B. Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis.
C. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan hati
yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Oswari, 2007; Putra dan Karyana,
2010; Bisanto, 2011).
2.1.9 Prognosis
Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis. Prediktor untuk
prognosis buruk adalah: ikterus hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja
dempul, riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapatnya
inflamasi hebat pada hasil biopsi hati. Pada pasien atresia bilier ada beberapa faktor
yang berpengaruh untuk hasil yang baik, diantaranya: pengalaman operator, sentral
rujukan, luasnya kerusakan hati pada saat operasi dan frekuensi kolangitis. Pada
sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi mempunyai prognosis
lebih baik dibandingkan dengan atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal akibat
metabolik maupun genetik. Hal ini dihubungkan dengan tersedianya antimikroba
spesifik. Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar 60-80%
(Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011).