Anda di halaman 1dari 24

II.

2 IMUNISASI
II.2.1. DEFINISI Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik. II.2.2. TUJUAN IMUNISASI Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria. II.2.3. IMUNISASI dan VAKSINASI Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu.

Imunoglobulin

yang non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi

imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah berlangsung permanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja. Demikian pula imunoglobulin yang non-spesifik selain mahal, memungkinkan anak menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan kepada anak yang belum terlindung karena belum pernah

mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis A dan B. Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu mengaktivasi limfosit menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yang masuk tersebut. Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya Vaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektif Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang dari pada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami.

II.2.4. PERSYARATAN VAKSIN Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1) mengaktivasi APC untuk

mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin, 2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori, 3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya

polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi. Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau tidaknya variasi respons genetik yang nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan. Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin.

II.2.5. IMUNISASI WAJIB

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak.

1. BCG

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan.

Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk anak (>1 tahun). VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal ini mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.

Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat mencegah komplikasinya. Para pakar menyatakan bahwa (1) efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit hanya 40%, (2) sekitar 70% kasus TB berat (meningitis)

ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA (bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (25%-36%) walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, saat ini WHOsedang mengembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif. Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, atau menderita infeksi HIV). Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

2. Hepatitis B

Vaksin hepatitis B (HepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi HepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Jadwal imunisasi hepatitis B Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir, mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada bayinya sebesar 45%. Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi HepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi HepB-2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan. Jadwal dan dosis HepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, (2) ibu HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg negatif. Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin HepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan HepB-3 yang masih rendah.

Ulangan imunisasi hepatitis B

Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur 5 tahun, 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar anti HBs >10 ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun tidak diperlukan. Idealnya, pada usia 5 tahun ini dilakukan pemeriksaan kadar anti HBs.

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kali pemberian (catch-up vaccination).

Ulangan imunisasi hepatitis B (HepB-4) dapat dipertimbang kan pada umur 1012 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <10 g/ml).

Cakupan imunisasi hepatitis-B ketiga di Indonesia sangat rendah apabila dibandingkan dengan DTP-3. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 2006 imunisasi Hep-B pada jadwal Departemen Kesehatan dikombinasikan dengan DTwP (Tabel 8). Tabel 8. Pemberian imunisasi hepatitis B* Umur Saat lahir 2 bulan Imunisasi HepB-0 DTwP dan HepB-1 3 bulan DTwP dan HepB-2 4 bulan DTwP dan HepB-3 Kombinasi DTwP/HepB-3 Kombinasi DTwP/HepB-2 Kemasan Uniject (HepB-monovalen) Kombinasi DTwP/HepB-1

*Jadwal Departeman Kesehatan

3. DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelluler pertussis)

Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di samping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang telah dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal imunisasi. Jadwal imunisasi o Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Vaksinasi ulangan o Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak. o Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar (pada bulan imunisasi anak sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun. o Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult dose), tetapi di Indonesia dT tidak ada di pasaran.

Dosis vaksinasi DTP o DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan.

Pemberian DTP kombinasi: o Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DTwP/HepB, DTaP/HiB, DTwP/Hib, DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal.

4. Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3. OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral. IPV (inactivated polio vaccine), in-aktif, suntikan. Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan pada anak sehat maupun anak yang menderita imunokompromais, dan dapat diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan dengan vaksin DTP, secara terpisah atau kombinasi.

Jadwal o Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan). Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif. o Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. o Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi Polio (PIN) yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN semua balita harus mendapat imunisasi OPV tanpa memandang status imunisasinya (kecuali pasien imunokompromais diberikan IPV) untuk memperkuat kekebalan di mukosa saluran cerna dan memutuskan transmisi virus polio liar.

Dosis

o OPV diberikan 2 tetes per-oral. o IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri atau dalam kemasan kombinasi (DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV). Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).

5. Campak Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-kutan dalam, pada umur 9 bulan. Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan Dirjen PPM&PL Departemen Kesehatan mengenai campak didapatkan, o Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolah mempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan, o Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah, o Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa (KLB) campak, Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi & eliminasi campak, sebagai berikut. Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah dilakukan secara bertahap (5 tahap) di semua provinsi pada tahun 2006 dan 2007. Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based catch-up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam program BIAS. Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6 tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan.

II.2.6. JADWAL IMUNISASI BERDASARKAN UMUR PEMBERIAN

Umur Saat lahir

Vaksin

Keterangan

Hepatitis B- HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam 1 setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBIg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HB-Ig 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).

bulan

Hepatitis B- HB-2 diberikan pada umur 1 bulan, Interval 2 HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan. BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji

0-2 bulan

BCG

tuberkulin negatif. 2 bulan DTP -1 DTP diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP Hib -1 atau diberikan secara kombinasi

dengan Hib (PRP-T). Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib dapat diberikan secara

Polio-1 PCV-1

terpisah atau dikombinasikan dengan DTP. Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan

DTP-1. PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan 4 bulan DTP -2 Hib -2 Polio-2 PCV-2 DTP-2 (DTwP atau DTaP) dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T). Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2 PCV-1 diberikan pada umur 4 bulan 6 bulan DTP -3 DTP-3 dapat diberikan terpisah atau

dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T). Hib -3 Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan. Polio-3 PCV-3 6 bulan Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3. PCV-1 diberikan pada umur 6 bulan

Hepatitis B- HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk 3 mendapat respons imun optimal interval HB2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

6-23 bln 9 bulan

Influenza Campak

Influenza dapat diberikan sejak umur 6 bulan Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, Campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun. Apabila telah

mendapat MMR pada umur 15 bulan, Campak-2 tidak perlu diberikan. 12 -15 bl PCV-7 Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15 bulan 15-18 bulan MMR Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bln Hib-4 Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP). 18 bulan DTP-4 DTP-4 (DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun setelah DTP-3. Polio-4 2 tahun Hepatitis A Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4. Vaksin HepA direkomendasikan pada umur

>2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan. 2-3tahun Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi

direkomendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun. 5 tahun DTP-5 Polio-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun

(DTwP/DTaP) Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5

6 tahun

MMR

Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang belum mendapat MMR-1.

10 tahun

dT/ TT

Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25 tahun.

Varisela

Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.

II.2.7. KEJADIAN PASKA IMUNISASI (KIPI)

II.2.7.1. Definisi KIPI Untuk kepentingan operasional maka Komnas Komnas KIPI menentukan bahwa kejadian ikutan pasca imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccinestrain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin. Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan biasanya menganggap semua kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap vaksin. Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic errors).

II.2.7.2. Epidemiologi KIPI Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin. Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai post-marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan mengetahui

keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan. Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek samping vaksin dengan segala akibatnya. Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the Institute of

Medicine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena : Mekanisme biologis gejala KIPI kurang difahami Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh Surveilans KIPI belum dilakukari untuk jangka panjang Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang. Mengingat hal tersebut di atas maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang sebenarnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai berat, terutama pada Imunisasi masal atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis.

II.2.7.3. Klasifikasi KIPI

Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI ) mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi yaitu : 1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pasific (1999 ) untuk petugas kesehatan di lapangan. 2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI.

1. Klasifikasi lapangan (WHO Western Pasific 1999) Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai kriteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu kesalahan program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak

diketahui. Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI. a. Kesalahan program / teknik pelaksanaan ( programmatic errors ) Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya: dosis antigen (terlalu banyak) lokasi dan cara menyuntik sterilisasi semprit dan jarum suntik jarum bekas pakai tindakan aseptik dan antiseptic kontaminasi vaksin dan peralatan suntik penyimpanan vaksin pemakaian sisa vaksin jenis dan jumlah pelarut vaksin

tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain) Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Mencegah program error (VSQ 1996) Alat suntik steril utk setiap suntikan Pelarut vaksin yg sudah disediakan oleh produsen vaksin Vaksin yg sudah di larutkan segera dibuang setelah 6 jam lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin Pelatihan vaksinasi dan supervisi yg baik Program eror dilacak, agar tidak terulang kesalahan yg sama

b. Reaksi suntikan Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal yaitu : Syncope /fainting Sering pada anak > 5 tahun , Terjadi beberapa menit post imunisasi , Tidak perlu penanganan khusus. Hindari stress saat anak menunggu, Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk.

Hiperventilasi akibat ketakutan Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan. Kadang diperiksa) Beberapa anak takut jarum, gemetar, histeria. Penting penjelasan dan penenangan menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (penderita ini perlu

Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan dengan :

Teknik penyuntikan yang benar Suasana tempat penyuntikan yang tenang Atasi rasa takut yg muncul pd anak yg lebih besar

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin) Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai

indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

Reaksi vaksin terdiri atas : 1. Reaksi lokal : Rasa sakit di tempat suntikan. Bengkak-kemerahan ditempat suntikan sekitar 10 % Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50% BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi dan sembuh setelah beberapa bulan.

2. Reaksi Sistemik : o Panas pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik. o MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi panas dan atau rash dan konjungtivitis pada 5-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada penderita imunodefisiensi. o Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis, rubela terjadi rasa sakit sendi 15 % dan pembengkaan limfonodi. o OPV kurang dari 1% diare, pusing dan sakit otot.

3. Reaksi vaksin berat : a. Kejang b. Trombositopenia c. Hypotonic hyporesponsive episode/HHE d. Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak merupakan long-term problems e. Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan tanpa effects f. Ensefalopati akibat imunisasi measles atau DTP long-term

Pencegahan terhadap reaksi vaksin: Perhatikan indikasi kontra. Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas. Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yg ringan dan dianjurkan segera kembali apabila ada reaksi yg mencemaskan. Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam dan rasa sakit. Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis. Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus dirujuk ke RS dengan fasilitas lengkap.

d. Faktor kebetulan (koinsiden) Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi. e. Penyebab tidak diketahui Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam keiompok ini sambi! menunggu informas[ lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI. World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded programme on immunisation (EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali pakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.

2. Klasifikasi kausalitas Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda dengan laporan Comittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu: Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated ) Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely) Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible) Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)

Bukti memastikan hubungan kausal ( very like/certain)

Tabel 1: KIPI pada vaksin DT/Td/TT, campak, OPV/IPV, DPT. Hepatitis B dan HiB berdasarkan hubungan kausalitas DT/Td/TT Campak OPV/IPV DPT Hepatitis B Kategori 1 : Tidak terdapat bukti hubungan kausal/UNRELATED Mielitis (IPV) Trombosit openia (IPV) Anafilaksi s (IPV) Sindrom GB Kategori 2 : Bukti tidak cukup/menolak hubungan kausal/UNLIKELY Kejang selain spasme infantil penyakit demielinisasi SSP Ensefalo pati SSPE Kejang Tuli sensoris Neuritis Mielitis OPV Sindrom GB-IPV Sindrom kematian bayi Meningitis aseptic Eritema multiform e Sindrom GB Sindrom GB Penydemi elinisasi SSP Artritis Sindrom Sindrom GB Mielitis Trombo sitopeni a Anflaksi Autis HiB

Mononeuropati artritis eritema multiforme

optik Mielitis transvers al Sindrom GB

mendadak (SIDS)

Anemia hemolitik Diabetes juvenile Penyakit gang-guan perhatian dan belajar Mononeur opati trombosito peni

kematian bayi mendadak (SIDS)

s Sindrom kematian bayi mendadak (SIDS)

Kategori 3 : Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal/POSSIBLE Ensefalopati spasme infantil (hanya DT) Sindrom kematian bayi mendadak (SIDS) (hanya DT) Spasme infantil Hipsaritmi a Sindrom Reye Sindrom kematian bayi mendadak (SIDS) Katagori 4 : Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal/PROBABLE Sindrom GB neuritis brakial Anafilak sis Ensefalop ati akut Ranjatan dan keadaan mirip ranjatan Onset dini penyakit HiB

yang biasa

tak

(unusual shock like state) Kategori 5 : Bukti memastikan hubungan kausal/VERY LIKE/CERTAIN Anafilaksis Trombos itopenia (MMR) Anafilak sis (MMR) Kematia n akibat infeksi virus strain vaksin campak Lumpuh layu pada penerima vaksin atau kontak kematian akibat infeksi virus strain vaksin polio Anaflaksis Menangis/ teriak terus menerus Anaflaksis -

Dikutip dengan modifikasi dari laporan Vaccine Safety Comittee, Division of Health Promotion and Disease Prevention, Institute of Medicine, National Academy of Science USA, dalam Stratton KR, Hows CJ, Johnston RB Jr, 1994. Keterangan : KIPI=kejadian ikutan pasca imunisasi DT=vaksin difteria dan tetanus Polio=vaksin polio SSP=susunan saraf pusat IDDM=Insulin-dependent diabetes mellitus

Td=vaksin tetanus untuk dewasa TT=vaksin tetanus untuk anak dan wanita usia subur Hepatitis B=vaksin hepatitis B

Kejang=residual seizure disorder Campak=vaksin campak SIDS=sudden infant death syndrome SSPE=Subacute sclerosing panencephalitis

II.2.7.4. Gejala klinis KIPI Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya .Pada umumnya makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya. Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit. Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis (Tabel 2).

Jenis vaksin Toksoid tetanus (DPT,DT.TT)

Gejala klinis KIPI Syok anafilaktik Neuritis brakialis Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

Saat timbul 4 jam KIPI 2-28 hari Tidak tercatat 4 jam

Pertusis whole-cell (DPwT)

Syok anaphilaktik

Ensefalopati Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

72 jam Tidak tercatat 4 jam 5-15 hari 7-30 hari pada resipien 6 bulan

Campak

Syok anafiiakiik Ensefalopati Trornbositopenia Klinis campak

imunokompromais Kornplikasi akut termasuk kecacatan clan kematian Polio hidup Polio paralysis (OPV) Polio paralisis pada resipien 6 bulan Tidak tercatat 30 hari

imunokompromais Komplikasi akut terrnasuk kecacatan dan kematian Hepatitis B Syok anafilaktik Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian BCG BCGitis Tidak tercatat 4 jam Tidak tercatat 4-6 minggu

Tabel 2: Gejala Klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999. Angka Kejadian KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka kejadian reaksi anafilaktoid pada DPT diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis , tetapi yang benar-benar reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000 ), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis.

Tabel berikut dapat digunakan: Untuk mengantisipasi reaksi imunisasi. Mengidentifikasi kejadian yang tidak berhubungan dengan immunisasi. Sebagai perbandingan kejadian/ rates untuk kepentingan pelaporan dan penyelidikan bila ternyata lebih besar kejadiannya. Vaksin Reaksi Interval kejadian BCG Limfadenitis supuratif BCG-osteitis BCg-it is desseminata Hib Hepatitis B Measles (a) Tidak diketahui Anafilaktik Kejang demam Trombositopenia Anafilaktik VAPP associated OPV poliomyelitis) Neuritis Brakialis Tetanus Anafilaktik Abses Steril TD DTP Sama dengan tetanus Persistent-inconsolable screaming (menangis lebih 0-3 hari 0-24 jam 0-4 jam 0-3 hari 570 (c) 570 20 0-1 2-28 hari 0-4 jam 1-6 minggu 0-24 jam 5-10 1-6 6-10 1000-60.000 (vaccine paraliytic 2-6 bulan 1-12 bulan 1-12 bulan 0-4 jam 5-12 hari 15-35 hari 0-1 jam 4-30 hari Rasio per juta dosis 100-1000 1-700 2 1-2 333 33 1-50 1,4-3,4 (b)

berkepanjangan dari 3 jam) Kejang demam Episode

hipotenik

hiporesponsif (ENH) Anafilaktik Ensefalopati Tabel 3. Reaksi Vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI

Dikutip dari: Background rates of adverse events following immunization, supplementary information on vaccine safety. Part 2 tahun 2000; WHO

Keterangan : (a) Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal ( 90 % anak yang menerima dosis kedua); anak umur diatas 6 tahun jarang mengalami kejang demam. (b) Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4 juta dosis), sedangkan risiko pada penerima dosis-dosis selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis. (c) Kejang umumnya diawali dengan demam, frekuensinya tergantung pada riwayat kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur.

Anda mungkin juga menyukai