Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ORDE BARU

Tugas Kelompok Pada Mata Pelajaran Sejarah Indonesia

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4

KETUA : M. ALDI FIRMANSYAH


ANGGOTA : LIA SILVANA
SRI WULAN RATNASARI
WIANDI ISKANDAR
YANDI SUPRIADI

KELAS XII KHT

SMK NEGERI 1 PASIRKUDA

TAHUN AJARAN 2016/2017


KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada Dzat Allah SWT,

yang mana atas limpahan rahmat-Nya lah kami dapat

menyelesaikan tugas makalah Kebijakan Pembangunan Orde

Baru tanpa hambatan.

Semoga makalah ini dapat memperkaya wawasan kita

dalam Sejarah Indonesia, amiin.

Mungkin dalam makalah ini masih terdapat kekurangan,

oleh karena itu kami memohon kritik dan saran dari para

pembaca, khususnya Bapak/Ibu guru pengampu Mata Pelajaran

Sejarah Indonesia guna menciptakan penulisan makalah yang

baik dan benar.

Sekian dari kami, atas perhatiannya kami ucapkan terima

kasih.

Pasirkuda, Februari 2017

Tim Kelompok 4
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................ 2

Bab II Pembahasan

2.1 Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi ...................... 3

2.1.1 Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar

Pembangunan ......................................................................... 4

2.1.2 Stabiliasasi Penyeragaman ........................................ 7

2.1.3 Penerapan Dwi Fungsi ABRI ....................................... 9

2.1.4 Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru ................................. 10

2.1.5 Kebijakan Pembangunan Orde Baru ........................... 13

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan ................................................................... 20

3.2 Saran ............................................................................. 20

Daftar Pustaka ........................................................................ 21

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perencanaan pembangunan dimaksudkan sebagai suatu
proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat,
melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya
yang tersedia. Perencanaan pembangunan juga meliputi proses
pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan untuk mencapai
suatu tujuan yang dikehendaki. Oleh karena itu, perencanaan
pembangunan merupakan segala bentuk konsep dan
dokumentasi yang menggambarkan bagaimana sumber daya
akan dialokasikan, penjadwalan dari proses pencapaian tujuan,
hingga sehala hal yang terkait dengan pencapaian tujuan.
Usaha perencanaan pembangunan di Indonesia dimulai
pada masa orde lama tepatnya pada tahun 1947 melalui
Maklumat Pemerintah mengenai Pembangunan Negara 18
Agustus 1945. Usaha perencanaan pembangunan tersebut
ditandai dengan dibentuknya Panitia Pemikir Siasat Ekonomi
pada 4 April 1947 yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta.
Panitia ini berhasil membuat dokumen rencana yang bertajuk
Dasar Pokok dari pada Plan mengatur Ekonomi Indonesia.
Dokumen inilah yang merupakan awal sejarah perencanaan
pembangunan yang ada di Indonesia. Walaupun demikian, akibat
keadaan politik yang belum stabil, dokumen tersebut tidak dapat
dijalankan hingga harus dibuat dokumen perencanaan yang lain
seperti dokumen Plan Produksi Tiga Tahun Republik Indonesia
dengan jangka waktu tahu 1948-1950. Perencanaan ini pun gagal
karena Indonesia beralih menjadi Negara Federal.
Perencanaan pembangunan di Indonesia memulai tahapan
baru dengan dibentuknya Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT) 1956-1960. Namun dokumen ini juga gagal dilaksanakan
karena adanya gejolak politik yaitu dengan dikeluarkannya dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan konstitusi Negara
kepada Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai tindak lanjut dari
dekrit Presiden ini adalah dibentuknya Dewan Perencana
Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun perencanaan
pembangunan nasional. Depernas menghasilkan dokumen
perencanaan yang disebut Rencana Pembangunan Semesta
Berencana (Comprehensive National Development Plan) dengan
jangka waktu 1961-1969. Melalui Penetapan Presiden Nomor 12
tahun 1963, Depernas akhirnya berubah menjadi Badan
Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) hingga kini.
Lahirnya Bappenas merupakan tonggak sejarah munculnya
institusi perencanaan di Indonesia.
Perencanaan pembangunan pada masa orde baru
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bappenas ditugasi
membuat perencanaan pemulihan ekonomi yang tertuang dalam
dokumen perencanaan yang disebut dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita pertama yang
dimulai pada tahun 1969 hingga tahun 1973 dimuat dalam
dokumen perencanaan yang dikenal dengan nama Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Era Repelita ini berlangsung
hingga Repelita VI yang berakhir pada tahun 1998 akibat adanya
cobaan dalam bentuk krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Hal itulah yang melatarbelakangi tim kelompk kami
membuat makalah tentang Kebijakan Pembanguinan Orde Baru
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan faktor-faktor yang melatarbelakangi tersebut
di atas, maka kami dapat merumuskan beberapa masalah pokok
yang berhubungan dengan arah penulisan makalah ini. Untuk itu,
dapatlah kami merumuskan masalah yang menjadi perhatian
dalam makalah ini sebagai berikut:
1) Bagaimana sejarah terbentuknya masa Orde Baru di
Indonesia?
2) Bagaimana pelaksanaan pembangunan di Indonesia pada
masa Orde Baru?
3) Apa saja penyimpangan-penyimpangan pada masa Orde
Baru?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan dengan rumusan masalah, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1) Untuk mengetahui sejarah terbentuknya masa Orde Baru di
Indonesia.
2) Untuk mengetahui pelaksanaan pembangunan di Indonesia
pada Masa Orde Baru.
3) Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan pada
masa Orde Baru.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi


Orde Baru adalah suatu istilah yang umum digunakan
untuk menamaisuatu tatanan pemerintahan negara (rezim
politik) Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966
hingga mei 1998. Istilah ini muncul untuk membedakan dengan
rezim politik sebelumnya. Dengan dipakai dan disepakatinya
penggunaan istilah ini maka secara otomatis rezi sebelumnya
dinama Orde Lama. Terdapat perbedaan yang sangat prinsipil
dan fundamental di samping terdapat kesamaan pada kedua
orde ini. Perbedaannya dalam memegang tampuk kekuasaan
negara. Faktor penyebab yang utama adalah tantangan situasi
sosial politik dan tekad kepemimpinan yang berbeda.
Menurut catatan sejara, tonggak awal lahirnya Orde Baru
adalah saat diserahkannya Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno di
Istana Bogor kepada Letjen Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan
Darat, yang kemudian menjadi Presiden RI. Alasannya adalah
karena ia adalah kunci legitimasi yang sangat menentukan.
Sekalipun Soeharto belum menjabat sebagai Presiden, namun
dengan keluarnya surat perintah tersebut yang menyatakan
bahwa Soeharto memiliki kekuasaan untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu merupakan pesan impliit bahwa
kekuasaan negara dilimpahkan kepada Soeharto. Oleh sebab itu,
Supersemar menjadi titik tolak dimulainya Orde Baru dimana
Soeharto naik menjadi pejabat presiden yang kedua. Ia diangkat
menjadi pejabat presiden pada Sidang Istimewa MPRS tahun
1967 dengan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1968 tentang
pengangkatan pengemban TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 menjadi
presiden untuk 5 tahun yang akan datang.
Setelah posisi Supersemat kuat, baik secara politik maupun
hukum, MPRS dalam sidang istimewanya pada tahun 1967
mencabut mandat kepresidenan Soekarno karena dianggap tidak
mampu mempertanggungjawabkan Tragedi Nasional G30S/PKI
melalui TAP MPRS No. XXXII/MPRS/1967. Ketetapan ini sekaligus
mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden.
Setahun kemudian melalui TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai presiden definitif, Presiden
RI kedua setelah Presiden Soekarno.
B. Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Pada tanggal 12 Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi
Presiden Republik Indonesia oleh parlemen sementara (MPRS).
MPRS merupakan pengganti Dewan Konstituante yang telah
bubar. Anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan
daerah dan golongan. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1959 dan juga pemenuhan dari dekrit
presiden 5 Juli 1959. Anggota MPRS harus memenuhi syarat,
antara lain: setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada
perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Keanggotaan
MPRS menurut Penpres No. 2 Tahun 1959 terdiri atas: 261 orang
anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang golongan
karya. Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan GBHN.
Selanjutnya, pada 22 Februari 1967 bertempat di Gedung
Merdekaa Jakarta dilakukan penyerahan kekuasaan dai Presiden
Soekarno kepada Jenderal Soeharto yang menandai berakhirnya
masa kekuasaan Orde Lama. Berakhirnya kekuasaan Orde Lama
di bawah Presiden Soekarno menandai dimulainya masa
kekuasaan pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Waktu itu peran pemerintah terhadap kehidupan masyarakat
demikian kuat. Menguatnya peran dan dominasi pemerintah
Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tampak jelas dari
kegiatan-kegiatan kenegaraan.
Pada 27 Maret 1968, MPRS dalam sidangnya mengaangkat
Jenderal Soeharto (pengemban Supersemar) menjadi Presiden
Republik Indonesia menggantikan Presiden Soekarno. Sejak saat
itu, Jenderal Soeharto secara resmi memangku jabatan sebagai
Presiden Republik Indonesia yang kedua. Tiga bulan setelah
dilantik, pada 6 Juli 1968 Presiden Soeharto mengumumkan
pembentukan Kabinet Pembangunan dan membubarkan Kabinet
Ampera.
Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik
Indonesia dengan mengubah kebijakan luar dan dalam negeri
Indonesia secara drastis. Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer, namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif.
Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh
pusat. Pembagian pendapatan asli daerah juga kurang adil
karena 70% dari pendapatan asli daerah tiap provinsi tiap
tahunnya harus disetor kepada pusat sehingga melebarkan
jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Adapun tugak pokok Kabinet Pembangunan sebagaimana
tercantum dalam TAP MPRS No. XII/MPRS/1968 adalah sebagai
berikut:
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat
mutlak keberhasilan pelaksanaan Rencana Pembangungan
Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu).
2. Menyusun dan melaksanakan Repelita pertama.
3. Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya pada
5 Juli 1971.
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat
dengan mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
dan setiap rongrongan, penyelewengan, serta
pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan menyeluruh
aparatur negara, baik di tingkt pusat maupun daerah.
Tugas pokok Kabinet Pembangunan kemudian dikenal
dengan nama Pancakrida Kabinet Pembangunan I. Pelantikan
menteri-menteri Kabinet Pembangunan Pertama dilaksanakan
pada 19 Juni 1968 di Istana Negara Jakarta. Dalam Kabinet
Pembangunan Pertama tersebut duduk 5 Menteri Negara dan 18
Menteri yang memimpin departemen.
Pada November 1968, Presiden Soeharto memimpin
langsung rapat Paripurna Kabinet Pembangunan Pertama.
Pemerintah mempunyai rencana pembangunan yang
dikelompokkan berdasarkan jangka waktu seperti berikut:
1. Rencana untuk pembangunan jangka panjang dengan
periode 25 tahun (PJP).
2. Rencana pembangunan jangka menengah periode 5 tahun
(Repelita).
3. Rencana jangka pendek tahunan yang tertuang dalam
RAPBN.
Masalah pokok yang dibahas selanjutnya adalah laporan
Ketua Bappenas Prof. Dr. Widjojo Nitisastro tentang persiapan
penyusunan Program Pembangunan Jangka Panjang Pertama
(PPJP tahap I) yang akan dimulai 1 April 1969 sampai 31 Maret
1994. Sementara PJP tahap II direncanakan mulai 1 April 1994
sampai dengan 31 Maret 2019. Di bawah ini merupakan tujuan
Pelita pada PJP tahap I.
1. Repelita I (1969-1974) bertujuan memenuhi kebutuhan
dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang
pertanian.
2. Repelita II (1974-1984) bertujuan meningkatkan
pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali, dan Madura,
diantaranya melalui transmigrasi.
3. Repelita III (1979-1984) menekankan bidang industri padat
karya untuk meningkatkan ekspor.
4. Repelita IV (1984-1989) bertujuan menciptakan lapangan
kerja baru dan industri.
5. Repelita V (1989-1994) menekankan bidang transportasi,
komunikasi, dan pendidikan.
Dengan meningkatkan bidang industri dan pertanian
secara bertahap seperti tersebut di atas, akan terpenuhilah
kebutuhan pokok rakyat dan akan tercapailah struktur ekonomi
yang seimbang, ialah struktur ekonomi dengan titik berat
kekuatan industri yang didukung oleh bidang pertanian yang
kuat, setelah dilampaui Pembangunan Lima Tahun yang Kelima
atau yang Keemam yang akan menjadi landasan bidang ekonomi
untuk mencapai tujuan nasional, ialah masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
Berikut ini adalah pembangunan nasional yang disusun
dalam Program Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PPJP I).
I. Pelita I
Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaan Pelita I (1969-
1974). Pada pelita I ini, Orde baru menyelesaikan fase stabilitas
dan rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang
stabil. Selama beberapa tahun, sebelum Orde Baru keadaan
ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955-1960 laju inflasi
rata-rata 25% per tahun, dalam periode 1960-1965 harga-harga
meningkat dengan laju rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966
laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun.
Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat
kepentingan ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik.
Pada masa Orde Baru, kemerosotan ekonomi dapat
dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan menjadi 120%,
atau seperlima dari tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat
ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang telah
dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan Pelita I (1969. Adapun
titik berat Pelita I adalah pada sektor pertanian dan industri yang
mendukung sektor pertanian.
Adapun sasaran Pelita I, yaitu meningkatkan pangan,
sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan Repelita I
termasuk pembiayaannya selalu disetujui oleh DPR dengan
membuat Undang-Undang sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
II. Pelita II
Pelita I berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah
meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pelaksanaan Pelita II.
MPR hasil Pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat
kembali Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI. Selain itu, MPR
hasil pemilu 1971 berhasil pula menyusun GBHN melalui TAP
MPR RI No. IV/MPRS/1973.
Dalam GBHN 1973 terdapat rumusan Pelita II, yaitu:
Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Tersedianya bahan-bahan bangunan permahan terutama
bagi kepentingan masyarakat.
Perbaikan dan peningkatan prasarana.
Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata.
Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan Pelita II, Presiden Soeharto kemudian
membentuk Kabinet Pembangunan II. Program kerja Kabinaet
Pembangunan II disebut Sapta Krita Kabinet Pembangunan II,
yang meliputi:
Meningkatkan stabilitas politik.
Meningkatkan stabilitas keamanan.
Melanjutkan Pelita I dan melaksanakan Pelita II.
Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Melaksanakan Pemilihan Umum.
III. Pelita III
Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik
berat pembangunan pada Pelita III adlaah pembangunan sektor
pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah bahan
baku menjadi bahan jadi.
Sasaran pokok Pelita III diarahkan pada Trilogi
Pembangunan dan delapan jalur pemerataan.
a) Trilogi Pembangunan mencakup:
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
b) Depalan jalur pemerataan mencakup:
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu
sandang, pangan, dan perumahan bagi rakyat banyak.
Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan
pendidikan dan kesehatan.
Pemerataan pembagian pendapatan.
Pemerataan memperoleh kesempatan kerja.
Pemerataan memperoleh kesempatan berusaha.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
kaum wanita.
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh
wilayah Indonesia.
Pemerataan memperoleh keadilan.
Untuk melaksanakan Pelita III, Presiden Soeharto yang
kembali terpilih menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya oleh
MPR hasil Pemilu membentuk Kabinaet Pembangunan III. Kabinet
ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978. Program kerja
Kabinet Pembangunan III disebut Sapui Krida Kabinet
Pembangunan III, yang meliputi:
a) Menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dengan memeratakan hasil pembangunan.
b) Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
c) Memelihara stabilitas keamanan yang mantap.
d) Menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa.
e) Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan
dilandasi oleh penghayatan dan pengamalan Pancasila.
f) Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum,
bebas, dan rahasia.
g) Mengembangkan politik luar negeri yang bebas aktif untuk
diabdikan kepada kepentingan nasional.
IV. Pelita IV
Repelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan
dengan pelaksanaan Pelita IV yang dimulai 1 April 1989. Untuk
ketiga kalinya Jenderal Soeharto terpilih dan diangkat kembali
oleh MPR hasil Pemilu. Untuk melaksanakan Pelita IV, Presiden
Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan IV. Titik berat Pelita
IV adalah pembangunan sektor pertanian untuk melanjutkan
usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri, baik
mesin-mesin untuk industri ringan maupun industri berat.
Sasaran pokok Pelita IV yaitu sebagai berikut:
a) Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4
(Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila).
b) Bidang Pendidikan, menekankan pada pemerataan
kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan.
c) Bidang Keluarga Berencana (KB), menekankan pada
pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang dapat
menimbulkan masalah nasional.
V. Pelita V
Pelita IV beakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh
pelaksanaan Pelita V yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini
merupakan Pelita Terakhir dari keseluruhan Program
Pembangunan jangka Panjang Pertama (PPJP I). Pelita V
merupakan masa tinggal landas untuk memasuki Program
Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PPJP II), yang akan dimulai
pada Pelita VI 1 April 1999.
Titik berat pelita V adalah meningkatkan sektor pertanian
untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan
prosukdi hasil pertanian lainnya serta sektor industri yang
banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju
terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang antara industri
dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah meupun dari segi
penyerapan tenaga kerja.
VI. Pelita VI
Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999 yang dilanjutkan oleh
pelaksanaan Pelita VI yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir
Pelita V diharapkan akan mampu menciptakan landasan yang
kukuh untuk mengawali pelaksanaan Pelita VI dan memasuki
proses tinggal landas menuju pelaksanaan program
Pembangunan Jangka Panjang kedua (PPJP II). Titik berat Pelita VI
diarahkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi dengan
keterkaitan kualitas sumber daya manusia.
Namun pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat
krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia. Inflasi yang
tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan terjadi gejolak sosial
politik yang mengarah kepada penentangan terhadap kebijakan
pemerintah Orde Baru. Kenaikan tarif BBM pada 1997 merupakan
awal gerakan pengkoreksian massa rakyat dan mahasiswa
terhadap pemerintah Orde Baru. Sejak saat itu terjadilah
gelombang demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, dan
pembakaran di ibu kota Jakarta yang kemudian menyebar ke
seluruh wilayah tanah air.
Jika dilihat pada uraian Pelita I sampai Pelita VI dapat
disimpulkan bahwa setiap Repelita dalam Pembangunan Jangka
Panjang Tahap I yang menjadi perhatian khusus adalah sektor
pertanian. Pembangunan nasional Indonesia dari Repelita ke
Repelita berikutnya terus mengalami peningkatan keberhasilan
pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari fakta empiris, bahwa
pendapatan perkapita Indonesia sebesar US$ 1.110 atau sekitar
empat kali lipat pendapatan per kapita pada tahun 1967 dan
masyarakat miskin terus mengalami penurunan hingga tahun
1996 (pada tahun 1965 angka kemiskinan Indonesia sebesar
60% jumlah penduduk pada tahun 1965; hingga tahun 1996
angka kemiskinan turun sebesar 16%).
Karena keberhasilannya di bidang pembangunan dan
perekonomian tersebut, pada tahun 1993 Indonesia digolongkan
sebagai salah satu ekonomi Asia yang berkinerja tinggi (high
performing Asian Economies, HPAEs) oleh Bank Dunia dalam
bukunya yang terkenal, The East Asian Miracle(Keajaiban Asia
Timur). Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai negara industri
baru newly industralised countries.
C. Penyimpangan-penyimpangan pada Masa Orde Baru
Orde Baru yang pada awalnya bertujuan untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwuen, ternyata banyak melakukan penyimpangan-
penyimpangan seperti berikut:
1) Pembantaian Rakyat
Pembantaian yang terjadi misalnya pembunuhan oknum
PKI, peristiwa Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer (DOM)
di Aceh, dan kasus Trisakti.
2) Penggusuran
Motif penggusuran adalah pengambilalihan hak tanah
rakyat, antara lai menjadi pabrik, pangkalan militer, dan
waduk. Contoh dari penggusuran Orde Baru adalah
peristiwa Kedung Ombo dan penggusuran di pulau Bintan.
3) Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Pada orde baru, kabijakan ekonomi yang dijalankan lebih
banyak memberi fasilitas kepada kelompok-kelompok
tertentu. Khususnya kelompok yang dapat memberikan
timbal balik yang besar dan kelompok yang berafiliasi
dengan kekuasaan. Contoh praktek korupsi yang terjadi di
Yayasan DAKAB dan Supersemar, penyelundupan minyak di
Pertamina, Freeport di Papua.
4) Kasus-kasus lain
Selain beberapa kualifikasi kasus tersebut di atas masih
banyak terjadi kasus lainnya, yaitu antara pembredelan
media masa (Tempo, Detik, Editor, dll), penculikan aktivis
mahasiswa, aktivis buruh.
Selama masa pemerintahan Soeharto, terjadi
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak
merata di Indonesia. Selain kasus korupsi, kolusi, monopoli, dan
penggusuran, kebijakan yang sifatnya rasial adalah larangan
berekspresi bagi warga Tionghoa. Sejak tahun 1967 warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia
dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung menghapus hak-hak azasi mereka. Kesenian
barongsai, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian bahasa
Mandarin dianjurkan tidak ditonjolkan secara terbuka. Satu-
satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit
adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam
bahasa Indonesia. Diizinkannya harian tersebut terbit karena
harian ini dikelola oleh ABRI. Kebijakan yang paling menyulitkan
warga Tionghoa adalah agama tradisional Tiongoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh
komunisme di tanah air. Padahal kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang yang
bertolak belakang dengan ajaran komunisme. Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji dan membahas pembangunan di
Indonesia pada masa Orde Baru, kami dapat menarik catatan
sesuai dengan rumusan masalah sebagai kesimpulan.
Proses pembangunan di Indonesia sekalipun dimulai pada
masa Soekarno atau pada masa Orde Lama, namun
perkembangan dan kemajuan dalam bidang pembangunan di
Indonesia sangat besar jasanya pada masa Soeharto atau pada
Masa Orde Baru.
Perencanaan pembangunan yang tersusun rapi dan diatur
dalam GBHN menjadikan pembangunan pada masa Orde Baru
sebagai prioritas utama di Indonesia. Pembangunan menjadi
fokus pemerintah bersama masyarakat Indonesia sehingga
dampaknya dapat dirasakan bersama. Perkembangan-
perkembangan setiap tahunnya membuat pemerintah berhasil
melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Keseriusan pemerintah dalam pembangunan nasional
dituangkan presiden Soeharto ke dalam rencana pembangunan
nasional yang dibagi ke dalam beberapa jangka waktu, yaitu
Pembangunan Jangka Panjang (PJP), Pembangunan Jangka
Menengah periode lima tahunan (Repelita), dan Pembangunan
Jangka Pendek yang tertuang dalam RAPBN.
PJP terwujud dalam Pembangunan Jangka Menengah
periode lima tahunan yang dimulai dari tahun 1969 hingga 1994.
Sekalipun Soeharto lengser pada tahun 1999, namun rencana
pembangunan pada masa ini kurang dapat dikatakan berhasil
karena krisis moneter melanda Indonesia. Salah satu penyebab
lengsernya Soeharto pun adalah karena krisis moneter tersebut.
Kehebatan dan keberhasilan pemerintah Indonesia pada
masa Orde Baru dalam berbagai bidang khususnya
pembangunan di Indonesia tidak serta merta terhindar dari
penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan tersebut dilandasi
oleh beberapa faktor, baik internal pemerintah maupun
eksternal. Penyimpangan seperti penggusuran, penangkapan,
dan sebagainya membuktikan bahwa Soeharto melakukan
beberapa praktek penyimpangan kekuasaan.
Sekalipun demikian, masyarakat Indonesia patut bersyukur
dengan hasil jerih payah Soeharto dalam melaksanakan
pembangunan nasional di Indonesia.
B. Saran
Segala hal akan mempunyai nilai positif dan nilai negatif.
Pembunuhan yang dilakukan oleh mantan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), Antasari Azhar, dapat dilihat nilai
positifnya dan begiru juga dapat dilihat nilai negatifnya. Begitu
juga dengan pelaksanaan pembangunan nasional yang
terencana yang dilakukan oleh Soeharto. Seperti dua sisi mata
uang, nilai negatif dan nilai positif selalu ada sekalipun nilai
positifnya sedikit sekali. Sehingga alangkah lebih baik jika
penilaian kita terhadap usaha-usaha Soeharto dalam
melaksanakan pembangunan di Indonesia cukup diapresiasi.
DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened, Notosusanto, Nugroho dan


Kartodirjo, Sartono, 2008. Sejarah Nasional Indonesia:
Zaman Jepang dan Republik Indonesia. Jilid 6. Jakarta: PT.
Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai