PJBL 1
Disusun Oleh :
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami konsep
umum dari trigger yang diberikan (Inkontinensia Urin).
Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut:
2.1 Definisi
1. Tipe 0
Pasien mengeluh inkontinensia stres tapi tdak ditemukan adanya
kebocoran urin. Pada video-urodinamika setelah manuver Valsava,
leher buli-buli dan uretra terbuka.
2. Tipe I
Terdapat penurunan <2 cm dan kadnag-kadang disertai dengan
sistokel yang masih kecil.
3. Tipe II
Penurunan >2cm dan seringkali disertai dengan adanya sistokel, dalam
hal ini mungkin sistokel berada dalam vagina (tipe II a) atau di luar
vagina (II b).
4. Tipe III
Leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya
kontraksi detrusor maupun manuver Valsava, sehingga urin selalu
keluar karena gravitasi atau penambahan tekana intravesika (gerakan)
yang minimal. Disebabkan oleh defisiensi sfingter instrinsik (ISD).
3. Inkontinensia Paradoksa (Oveflow)
Adalah keluarnya urin tanpa dapat dikontrol pada keadaan volume urine di
buli-buli melebihi kapasitasnya.hal ini terjadi karena kelemahan otot detrusor.
Kelemahan otot detrusor ini bisa disebabkan oleh pbstruksi uretra, neuropati
diabetikum, cedera spinal, defisiensi vit. B12, efek samping pemakaian obat,
atau pasca bedah pada daerah pelvik.
4. Inkoninensia Kontinua (Continuos)
Adalah keluarnya urin setiap saat dan dalam berbagai posisi karena fistula
sistem urinari (misalnya, vistula vesikovagina karena operasi ginekologi, trauma
obstetri, pasca radiasi di daerah pelvik, dan fistula ureterovagina karena cedera
ureter pasca operasi daerah pelvis) yang menyebabkan urin tidak melewati
sfingter uretra.
5. Inkontinensia Urin Fungsional
Terjadi karena adanya hambatan tertentu pada pasien sehingga tidak
mampu untuk menjangkau toilet. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan
fisis, gangguan kognitif, maupun pasien yang sedang mengonsumsi obat
tertentu.
1. Inkontinensia Uretra
Inkontinensia uretra dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
- Kelainan uretral: obesitas, multiparitas, persalinan sulit, fraktur pelvis,
pascaprostatektomi.
- Kelainan pada kandung kemih: kelainan detrusor nueropatik atau
nonneuropatik, infeksi, sistitis intertisial, batu kandung kemih, atau
tumor.
- Kelainan nonurinarius: gangguan mobilitas atau fungsi mental.
2. Inkontinensia nonuretra
Inkontinensia nonuretra dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
- Fistula urinarius: vesikovagina
- Ektopia ureter: ureter berlanjut ke uretra (biasanya ureter dupleks).
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi dari inkontinensia urin cukup tinggi, yaitu lebih dari 10-40%
pada wanita yang 4-8% diantaranya sudah dalam keadaan yang cukup parah
pada saat datang berobat. Sedangkan angkanya sendiri lebih kecil pada pria,
yaitu sekitar setengah dari prevalensi pada wanita tadi. Survey yang dilakukan
pada beberapa negara di Asia menyatakan bahwa prevalensi kelainan ini pada
beberapa negara di Asia berkisar antara 12,2% (6,8% menyerang pria dan 14,8%
menyerang wanita) (Purnomo, 2011). Di Amerika Serikat jumlah penderita
inkontinensia urin mencapai 13 juta dengan 85% diantaranya perempuan,
sebenarnya jumlah ini masih sangat sedikit dikarenakan banyak kasus dengan
inkontinensia urin yang belum dilaporkan (keperawatan.unsoed.ac.id).
Prevalensi inkontinensia urin pada manula lebih tinggi daripada pada usia
reproduksi, yaitu sebesar 38% pada wanita dan 19% pada pria (Purnomo, 2011).
Sedangkan pada anak, dilaporkan bahwa 20% kasus poliklinik nefrologi anak di
RSCM terdiri dari kasus ISK kompleks berulang, inkontinensia urin fungsional
atau disfunsi sfingter non neuropatik. Diperoleh 20 kasus inkontinensia urin daru
data rawat jalan dan rawat inap di RSCM selama rentang September 1989-
Agustus 2001(Jaya dan Rachmadi, 2009).
- Pecandu alkohol
- Wanita lebih berisiko daripada laki-laki
- Perokok
- Lansia (terjadi karena penurunan fungsi organ tubuh)
- Menderita tumor otak
- Mengkonsumsi kafein terlalu banyak
- Memiliki riwayat stroke sebelumnya
- Memiliki riwayat histerektomi
- Sedang hamil
- Sedang menderita kerusakan pada sumsum tulang belakang
- Obesitas
- Menderita penyakit Parkinson
- Menderita pentakit sklerosis multipel (merupakan suatu kondisi medis
kronis yang ditandai dengan dimielinisasi dari otak dan sumsum tulang
belakang sebagai akibat respon kekebalan tubuh yang abnormal)
- Menggunakan obat penenang
- Menggunakan pelemas otot (menyebabkan kemampuan muskulus sfingter
untuk menahan kemih menjadi berkurang)
- Mengkonsumsi obat-obatan jantung
- Didiagnosa mengidap diabetes mellitus
- Didiagnosa menderita penyakit ginjal
Menurut Grace dan Borley (2007) gambaran klinis dari inkontinensia urin,
antara lain sebagai berikut.
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium
Pemeriksaan Lain
- Urodinamik:
Uroflowmetri: untuk mengukur kecepatan aliran urin.
Sistometri: digunakan untuk menggambarkan kontraktur detrusor.
Sistometri video: dapat menunjukkan kebocoran urin pada saat
mengedan pada pasien dengan inkontinensia stres.
Flowmetri tekanan uretra: mengukur tekanan uretra dan kandung
kemih saat istirahat dan selama berkemih (Grace dan Borley, 2007).
- Cotton Swab Test
Mobilitas pada tingkat leher kandung kemih dapat diukur dengan
menggunakan cotton-tipped swab steril (Q - tip) tes. Uji Q - tip adalah 1
dari tes yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi wanita dengan
masalah kencing karena secara efektif mengkuantifikasi tingkat rotasi
anatomi dari uretra dan leher kandung kemih. Pasien diposisikan
dorsolithotomy, labia dipisahkan, dan meatus uretra diusap dengan
antiseptik . Sebuah Q - tip steril dilumasi dengan 1-2 % gel lidokain
(Xylocaine) dan dimasukkan secara trans-uretra ke dalam kandung kemih
dan kemudian ditarik perlahan-lahan sampai ada tahanan pasti yang
dirasakan. Hal ini dilakukan untuk menempatkan ujung Q - tip pada tingkat
leher kandung kemih hanya distal meatus uretra internal. Menggunakan
busur derajat standar, sudut istirahat diukur. Pasien kemudian diminta
untuk melakukan manuver Valsava atau batuk , dan sudut tegang
maksimum dicatat. Defleksi bersih adalah sama dengan perubahan dari
beristirahat posisi tegang maksimal.
Sudut yang >30 derajat dianggap abnormal. Hipermobilitas uretra
harus ditafsirkan dengan hati-hati karena mungkin ada pada wanita tanpa
inkontinensia. Pemanfaatan tes sederhana ini adalah bahwa sudut >30
derajat tentu hadir di sebagian besar wanita dengan stres inkontinensia.
Gambar berikut menunjukkan bagaimana Q-tip test dilakukan (Tarnay dan
Bhatia, 2013).
- Pemeriksaan pencitraan (pielografi intravena dan sistografi miksi)
digunakan untuk mencari kemungkinan adanya fistula ureterovagina,
muara ureter ektopik, dan penurunan leher buli-buli-uretra pada sistografi.
- USG: dilakukan untuk pemeriksaan residu urin yang dapat mengetahui
kemungkinan adanya obstruksi intravesika atau kelemahan otot detrusor.
- Urodinamika eyeball: digunakan untuk mengukur tekanan intravesika.
Pasien diposisikan dorsolitotomi dan dipasang kateter. Setelah sisa urin
dikeluarkan, ujung kateter dihubungkan dengan syringe 50 ml tanpa
pendorongnya. Kateter kemudian diisi air steril secara perlahan melalui
syringe secara gravitasi. Kemudian, pasien diminta untuk mengatakan jika
telah terjadi perasaan penuh pada buli-buli. Volume air yang telah
dimasukkan dicatat dan ketinggian air (meniskus) pada syringe
diperhatikan.
Pada buli-buli normal, meniskus tetap konstan pada saat pengisian
buli-buli sampai tercapai volume kapasitas buli-buli. Meniskus
kemudian naik perlahan-lahan pada pengisian selanjutnya.
Pada komplians buli-buli menurun, meniskus naik sebanding dengan
volume air yang dimasukkan.
Pada instabilitas buli-buli, meniskus tiba-tiba naik pada saat
pengisian.
Pada uninhibited contraction, seringkali dijumpai rembesan air di
sela-sela kateter (Purnomo, 2011).
2.7 Penatalaksanaan
- Inkontinensia urgensi
Terapi medikamentosa: modifikasi asupan cairan, hindari kafein,
obati setiap penyebab (infeksi, tumor, batu), latihan berkemih,
antikolinergik/relaksan otot polos (Oksibutinin, tolterdin).
Terapi pembedahan: sistoskopi dan distensi kandung kemih,
sistoplasti augmentasi.
- Inkontinensia stres
Terapi medikamentosa: latihan otot-otot dasar panggul, estrogen
untuk vaginitis atrofik.
Terapi pembedahan: uretrospeksi retropunik atau endoskopik,
perbaikan vagina, sfingter buatan.
- Inkontinensia overflow
Jika terdapat obstruksi : obati penyebab obstruksi, misalnya TURP.
Jika tidak: drainase jangka pendek dengan kateter untuk
memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan berlebihan,
kemudian gunakann stimulan otot jangka pendek (bethanekol:
distigmin). Jika gagal, kateterisasi intermiten yang dilakukan sendiri
(inkontinensia overflow neurogenik).
- Fistula urinarius
Dibutuhkan terapi pembedahan.
1. Latihan/rehabilitasi
Latihan yang dipilih adalah Kagel execise dengan cara mencoba
menghentikan aliran urin (melakukan kontraksi otot pelvis) kemudian
mengeluarkan urin kembali melalui relaksasi otot sfingter. Setelah itu pasien
siinstruksikan untuk melakukan kontraksi otot panggul (menahan urin) selama
10 detik sebanyak 10-20 kali kontraksi dan dilakukan dalam 3 kali/hari.
Diperlukan 6-8 bulan latihan.
2. Medikamentosa
- Inkontinensia urge
Pilihan obatnya yaitu seperti pada tabel.
- Inkontinensia Stres
Agonis -adrenergik
Estrogen
3. Pembedahan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Grace, Pierce A. dan Borley, Neil R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah, Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga.
Jaya, Dandy Utama dan Rachmadi, Dedi. 2009. Inkontinensia Urin. Online
(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_
INKONTINENSIA_-URIN.pdf.pdf). Diakses tanggal 04 Juni 2014.
http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-
diseases/inkontinensia-urin-_-9510001031241
http://keperawatan.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%20I-V_1.pdf