Anda di halaman 1dari 45

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adrenalin (bahasa Inggris: adrenaline, epinephrine) adalah sebuah hormon


yang memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh. Kelenjar
adrenal (kelenjar suprarenal) adalah dua masa triangular pipih yang berwarna
kuning yang tertanam pada jaringan adipose. Kelenjar adrenal, yang dikenal juga
dengan kelenjar suprarenal, adalah kelenjar kecil dan berbentuk triangular yang
terletak pada bagian atas ginjal. Kelenjar adrenal dibagi menjadi dua bagian,
bagian luar dinamakan korteks adrenal sedangkan bagian dalam disebut medulla
adrenal (Sabra, 2008). Organ ini berada di kutub atas ginjal. Masing masing
kelenjar ini terdiri dari korteks di bagian luar dan medulla di bagian dalam
kelenjar adrenal. Korteks adrenal sangat diperlukan bagi kehidupan. Sekresi
edrenokortikal memungkinkan tubuh untuk beradaptasi terhadap segala jenis
stress. Tanpa korteks adrenal, keadaan stress yang berat dapat mengakibatkan
kegagalan sirkulasi perifer, syok, dan kematian. Kehidupan hanya dapat
dipertahankan dengan terapi nutrisi, elektrolit, serta cairan dan preparat hormone
adrenokortikal. ( Syaifullah Noer, 1996)

Sel-sel korteks adrenal dapat mensintesis kolesterol dan juga


mengambilnya dari sirkulasi. Kolesterol diubah menjadi 5-pregnenoian yang
merupakan bahan dasar semua kortikosteroid. Banyak steroid telah diisolasi dari
korteks adrenal tetapi ada tiga yang paling penting yaitu kortisol (hidrokortison),
dehidro epionndesteron (DHEA) dan aldosteron. Pelepasan kortikosteroid
kedalam aliran darah berlangsung secara intermiten, menghasilkan fase lonjakan
mendadak dalam plasma dan fase penurunan. Histologi korteks adrenal terdiri dari
3 lapisan yaitu: zona glumerulosa (lapisan luar), zona fasciculate (lapisan tengah),
dan zona retikularis (lapisan dalam). Kelainan pada kelenjar adrenal menyebabkan
2

endokrinopati yang klasik seperti sindroma Cushing, penyakit Addison,


hiperaldosteronisme dan sindroma pada hiperplasia adrenal kongenital. Kemajuan
dalam prosedur diagnosis telah memudahkan evaluasi kelainan adrenokortikal,
terutama penentuan plasma glukokortikoid, androgen dan ACTH telah
memungkinkan diagnosis yang lebih cepat dan tepat.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu agar
mahasiswa dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan pada anak
dengan kelainan korteks adrenal.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian hormone, fungsi, serta fungsi macam-
macamnya.
2. Mendeskripsikan tentang hormon Adrenal.
3. Mengetahui penyakit atau kelainan korteks adrenal.
4. Mengetahui asuhan keperawatan kepada klien kelainan korteks
adrenal.

1.3 Implikasi Keperawatan


Kelenjar adrenal merupakan bagian dari suatu sistem yang rumit yang
menghasilkan hormon yang saling berkaitan. Fungsi kelenjar adrenal bisa
berhenti jika hipofisa maupun hipotalamus gagal membentuk hormon yang
dibutuhkan dalam jumlah yang sesuai. Kekurangan atau kelebihan setiap
hormon kelenjar adrenal bisa menyebabkan penyakit yang serius yaitu
Penyakit Addison, hiperaldosteronisme dan sindroma pada hiperplasia adrenal
congenital. Oleh karena itu, adanya makalah asuhan keperawatan pada
kelainan korteks adrenal diharapkan perawat mampu mengtahui dan menangai
adanya kelaianan pada korteks adrenal, sehingga penyebab terjadinya penyakit
dapat diminimalisir.

BAB 2. TINJAUAN TEORI


3

2.1 Anatomi dan Fisiologi Korteks Adrenal

Gambar 1. Gambar Kelenjar Adrenal


Kelenjar adrenal terletak di ujung bagian superior setiap ginjal.
Kelenjar adrenal terdiri atas dua kelenjar, yaitu korteks adrenal (bagian luar)
dan medula adrenal (bagian dalam) (Grace:2006).
Setiap kelenjar adrenal dalam kenyataannya merupakan dua buah
kelenjar endokrin dengan fungsi yang berbeda dan tidak tergantung satu
sama lain. Medula adrenal pada bagian tengah kelenjar tersebut
menyekresikan katekolamin, sedangkan bagian luar kelenjar yang
merupakan korteks adrenal menyekresikan kortikosteroid. (Smeltzer&Bare,
2001:1295)
Berikut adalah hormon yang disekresikan oleh korteks adrenal.
1. Glukokortikoid (kortisol)
Glukokortikoid berhubungan dengan efek metabolik yang mencakup
metabolisme karbohidrat. Contohnya adalah kortisol dan kortikosteron.
Glukokortikoid meningkatkan penguraian protein dan lemak tubuh
melalui proses metabolisme untuk memberikan sumber energi selama
masa puasa. Kedua hormon ini bekerja melawan kerja insulin,
meningkatkan katabolisme protein dan menghambat sintesis protein.
4

Glukokortikoid mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh dan fungsi


emosional baik langsung maupun tidak langsung. Kelompok hormon ini
juga menekan inflamasi dan menghambat pembentukan jaringan parut.
Glukokortikoid dapat menimbulkan efek melalui reseptor
glukokortikoid. Kortisol merupakan glukokortikoid utama. Kortisol
sangat penting untuk metabolisme karbohidrat dan protein dan untuk
mengontrol sistem imun. Dan ia juga mengontrol sekresi kortikotropin,
kortikotropin releasing hormon, dan vasopressin dengan penghambatan
umpan balik negatif melalui reseptor glukokortikoid. Kortikotropin juga
memicu sekresi androgen adrenal dan juga aldosterone
(Mariadi&Gotera, 2007).
2. Mineralokortikoid (aldosteron)
Kerja utama mineralokortikoid terdapat pada metabolisme elektrolit.
Mineralokortikoid pada dasarnya bekerja pada tubulus renal dan epitel
gastrointestinal untuk meningkatkan absorpsi ion natrium dalam proses
pertukaran untuk mengekskresikan ion kalium atau hidrogen. Sekresi
aldosteron hanya sedikit dipengaruhi oleh ACTH. Hormon ini terutama
disekresikan sebagai respons terhadap adanya angiotensin II dalam
aliran darah. Angiotensin II merupakan substansi yang berfungsi
menaikkan tekanan darah dengan menimbulkan konstriksi arteriol.
Konsentrasinya meningkat kalau ginjal melepas renin sebagai respons
terhadap penurunan tekanan perfusi. Kenaikan kadar aldosteron
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium oleh ginjal dan traktus
gastrointestinal yang cenderung memulihkan tekanan darah untuk
kembali normal. Pelepasan aldosteron juga ditingkatkan oleh
hiperkalemia. Aldosteron merupakan hormon primer untuk mengatur
keseimbangan natrium jangka panjang. (Smeltzer&Bare, 2001:1295-
1296)
3. Adrenal androgen
Androgen yang merupakan hormon steroid utama ketiga, dihasilkan oleh
korteks adrenal; kelompok homon androgen ini memberikan efek yang
5

serupa dengan hormon seks pria. Kelenjar adrenal dapat pula


menyekresikan sejumlah kecil estrogen atau hormon seks wanita sekresi
androgen adrenal dikendalikan oleh ACTH. Apabila disekresikan dalam
jumlah yang normal, androgen adrenal mungkin hanya memberikan
sedikit efek; tetapi bila disekresikan secara berlebihan, maskulinisasi
dapat terjadi seperti terlihat pada kelainan bawaan defisiensi enzim
tertentu. Keadaan ini disebut sindrom adrenogenital. (Smeltzer&Bare,
2001:1296)
Korteks adrenal terdiri dari daerah yang secara anatomi dapat
dibedakan sebagai berikut.
1. Lapisan luar zona glomerulosa, merupakan tempat dihasilkannya
mineralokortikoid (aldosterone), yang terutama diatur oleh angiotensin II,
kalium, dan ACTH. Juga dipengaruhi oleh dopamine, atrial natriureticpeptide
(ANP) dan neuropeptides.
2. Zona fasciculata pada lapisan tengah, dengan tugas utama sintesis
glukokortikoid, terutama diatur oleh ACTH. Juga dipengaruhi oleh beberapa
sitokin (IL-1, IL-6, TNF) dan neuropeptide.
3. Lapisan terdalam zona reticularis, tempat sekresi androgen adrenal (terutama
dehydroepiandrostenedion [DHEA], DHEA sulfat danandrostenedion) juga
glukokortikoid (kortisol and corticosteron). Tidak terdapat perbedaan yang
jelas secara anatomi antara korteks dan medula yang menghasilkan
katekholamin oleh sel chromafin. Bukti terakhir hal ini memungkinkan adanya
interaksi parakrin diantara keduanya.

Gambar 2. Gambar potongan melintang kelenjar adrenal

2.2 Pengertian
6

Kelainan pada korteks adrenal terjadi akibat hiposekrsi atau


hipersekresi hormon adrenokortikal. Kelainan yang berhubungan dengan
hipersekresi hormon adrenokortikal yaitu, sindrom adrenogenital, sindrom
cushing, dan aldosteronisme primer (Sindrom Conn). Sedangkan kelainan
yang berhubungan dengan hiposekresi hormon adrenokortikal adalah
insufisiensi adrenal. (Smeltzer&Bare, 2001:1325)

A. Hipersekresi Hormon Adrenkortikal


1. Sindrom Cushing
Sindrom Cushing adalah suatu gangguan klinik dan metabolik yang
disebabkan oleh kelebihan glukokortikoid. Dampak kelebihan ini
menimbulkan gambaran klinis tersendiri dan menempatkan pasien pada
risiko untuk mengalami banyak proses patologis, termasuk hipertensi dan
diabetes melitus. Istilah penyakit Cushing digunakan untuk penyakit
dengan kadar glukokortikoid yang sangat tinggi akibat kelebihan hormon
adrenokortikoid (ACTH) oleh hipofisis. Sebab yang paling sering dari
sindroma cushing adalah hiperplasia adrenal bilateral terinduksi oleh
kortikotropin yang dipengaruhi hipofisis, yaitu penyakit Cushing (Lancet
editorial,1981).
2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn
Aldosteronisme primer adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh
produksi aldosteron yang berlebihan, suatu hormon steroid
minneralokortikoid korteks adrenal. Kelebihan aldosteron
(aldosteronisme) merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi kadar
kalium, natrium, bikarbonat dan klorida dalam darah, yang menyebabkan
tekanan darah tinggi, kelemahan dan kadang kelumpuhan periodik. Price
dan Wilson (2006:1243) menyatakan bahwa pada aldosteronisme primer
(sindrom Conn), kelebihan produksi aldosteron terjadi akibat adanya
tumor atau hiperplasia korteks adrenal. Kebanyakan tumor yang
menyekresi aldosteron adalah tumor jinak yang berukuran kecil 0,5
7

sampai 2 cm. Aldosteronisme primer merupakan bentuk hipertensi


endokrin dan mungkin terdapat pada 1 sampai 2% penderita hipertensi.
Aldosteron adalah hormon yang dihasilkan dan dilepaskan oleh kelenjar
adrenal, memberikan sinyal kepada ginjal untuk membuang lebih sedikit
natrium dan lebih banyak kalium. Pembentukan aldosteron sebagian
diatur oleh kortikotropin pada hipofisa dan sebagian lagi oleh mekanisme
kontrol pada ginjal (sistem renin-angiotensin-aldosteron). Renin adalah
enzim yang dihasilkan didalam ginjal dan bertugas mengendalikan
pengaktifan hormon angiotensi, yang merangsang pembentukan
aldosteron oleh kelenjar adrenal.
Hiperaldosteronisme bisa disebabkan oleh suatu tumor (biasanya jinak)
pada kelenjar adrenal (suatu keadaan yang disebut sindrom conn).
Kadang hiperaldosteronisme merupakan respon dari penyakit tertentu.
Misalkan kelenjar adrenal melepaskan sejumlah besar aldosteron jika
tekanan darah sangat tinggi atau jika arteri yang membawa darah keginjal
menyempit.
2. Sindrom adrenogenital
Sebagian besar bayi dengan sindroma adrenogenital menderita defisiensi
sebagian atau total enzim 21 hidroksilase yang diperlukan untuk sintesis
kortisol. Karena penurunan kadar kortisol, maka sekresi ACTH hipofisis
menyebabkan hiperplasia korteks adrenalis. Pada pasien defisiensi enzim
sebagian, peningkatan ACTH menghasilkan kadar kortisol yang normal,
tetapi kadar adrenostedion sangat meningkat disekresikan oleh adrenalis
hiperplastik. Kemudian dia dimetabolis ke testosteron yang menyebabkan
virilisasi dalam wanita serta hipertrofi genetalia pada pria. Jika sama
sekali tidak ada enzim 21 hidroksilase, maka tidak ada produksi kortisol,
sehingga bayi yang lahir dengan masalah ini menderita insufisiensi
adrenalis maupun virilisasi (Sabiston, 1995).
Ini adalah keadaan yang sangat jarang yang timbul pada masa bayi atau
kanak-kanak akibat defek enzim kongenital (biasanya enzim 21-
hidroksilase) pada sinstesis kortisol. Penurunan kadar kortisol di sirkulasi
sebagai akibatnya menstimulasi produksi ACTH berlebihan, yang pada
8

gilirannya menstimulasi adrenal untuk menghasilkan steroid androgenik


berlebihan. Pada wanita timbul virilisasi pada tahap awal kehidupan dan
bisa diobati dengan kortisol. Pada pria lebih jarang terdiagnosis dan bisa
meninggal dunia akibat insufisiensi adrenal akut namun jika selamat
semasa bayi, terjadi pertumbuhan berlebihan dan menyebabkan pubertas
prekoks dan tinggi badan akhir menjadi pendek. (Rubenstein dkk,
2005:173-174)
B. Hiposekresi Hormon Adrenokortikal
Hiposekresi hormon adrenokortikal menyebabkan insufisiensi
adrenal/Penyakit Addison. Penyakit addison merupakan penyakit kegagalan
primer kelenjar adrenal. Penyebabnya adalah peningkatan hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang mempunyai efek merangsang melanosit.
Kalau kegagalan kelenjar adrenal disebabkan oleh kegagaln hipofisis, tentu
saja tidak terjadi peningkatan pigmentasi.

2.3 Epidemiologi
1. Sindrom Cushing
Sindrom Cushing relatif jarang terjadi. Literatur Eropa Lama melaporkan
bahwa terdapatkejadian sebanyak 2-3 kasus per juta per tahunnya.
Namun, penelitian terbaru dari kelompokberisiko tinggi melaporkan
adanya prevalensi yang secara signifikan lebih besar yang bisa
menyebabkan sindrom ini.
Sindrom Cushing karena penyakit adrenal terjadi 4 kali yang lebih umum
pada wanita dibandingkan pada pria. Tidak ada perbedaan etnis yang
berpengaruh terhadap terjadinyasindrom ini walaupun setelah
diidentifikasi/ditelit. Mayoritas orang dewasa yang didiagnosisadalah
antara usia 20 dan 50, meskipun dapat terjadi pada semua usia. Kasus
Pediatri jarang terjadi tetapi didokumentasikan dengan baik.
Paparan kortikosteroid Eksogen adalah penyebab paling umum dari
sindrom Cushing, tetapi belum ada data epidemiologi yang akurat .
9

Semua statistik saat ini yang dilaporkan hanyameliputi pasien dengan


sindrom Cushing yang disebabkan oleh faktor endogen.
2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn
Aldosteronisme primer adalah suatu bentuk hipertensi yang dapat
disembuhkan dan bertanggung jawab untuk 1 sampai 2 persen dari semua
pasien hipertensi karena adanya suatu adenoma adrenalis, hiperplasia
adrenalis bilateral, atau jarang karsinoma adrenalis. Pada kurang dari 5
persen pasien, adenoma ini bilateral. Sebab hiperplasia adrenalis bilateral
tidak diketahui, tetapi bisa dihubungkan kerangsangan aldosteron dari
neurotransmitterhipofisis, mungkin serotonin. Aldosteronisme primer
biasanya timbul pada wanita berusia 30-50 tahun, namun anak-anak dan
dewasa muda juga terkena. Walaupun pasien aldosteronisme primer
normotensif telah diuraikan, namun hipertensi dan hiperkalemia ada dalam
hampir semua pasien serta kelemahan merupakan suatu keluhan yang lazim.
Program skrining bayi baru lahir, dengan menggunakan darah kapiler
tunmit pada lempengan kertas saring, telah dikembangkan untuk mendeteksi
defisiensi 21-hidroksilase. Data pada lebih dari 2 juta neonatus yang
diskrining menunjukkan bahwa penyakit aldosternisme primer terjadi pada 1
dari 20.000 anggota populasi dijepang, 1 dari 10.000-16.000 di Eropa dan
Amerika Utara, dan 1 dari 300 di eksimo Yupik, Alaska. Sekitar 75%
menderita bentuk virilisasi, penghilang garam dan 25% menderita bentuk
virilisasi sederhana. Bentuk non klasik tidak terdeteksi pada skrining bayi
baru lahir (Behman&Kliegman, 2000).
3. Sindrom adrenogenital
Sindrom adrenogenital adalah keadaan yang sangat jarang timbul pada
masa bayi atau anak-anak. Pada wanita timbul virilisasi pada tahap awal
kehidupan dan bisa di obati dengan kortisol. Pada pria lebih jarang
terdiagnosis dan bisa meninggal dunia akibat insufisiensoi adrenal akut.
Namun, jika selamat semasa bayi, terjadi pertumbuhan berlebihan dan
menyebabkan pubertas prekoks dan tinggi badan akhir menjadi pendek
(Rubenstein dkk, 2007).
10

4. Penyakit Addison
Penyakit addison jarang dijumpai dan memiliki prevalensi 4 dari 100.000
orang. 2/3 pasien adalah perempuan.diagnosis ditegakan antara usia 20 dan
50 tahun. Dahulu, tuberkulosis adalah penyebab utama penyakit addison.
Saat ini dengan kemoterapi yang lebih baik,hanya sedikit pasien
tuberkulosis yang mengalami insufesiensi adrenal.

2.4 Etiologi
1. Sindrom Cushing
Pada sindrom Cushing primer, terlalu banyak produksi kortisol yang
diakibatkan olehadenoma atau karsinoma adrenal.
Pada sindrom Cushing sekunder, terlalu banyak produksi kortisol yang
diakibatkanoleh hyperplasia adrenal karena banyak sekali ACTH. Terlalu
banyak produksi ACTHdapat diakibatkan oleh:a. Hipofisis mengeluarkan
terlalu banyak ACTH karena gangguan hipofisis atauhipotalamus. b.
Keluarnya ACTH yang berasal dari ektopik non hipofisis (produksi
hormon diluar hipofisis) meningkat, misalnya pada karsinoma
bronkogenik, adenoma bronchial, dan karsinoma pancreas.3. Pada
sindrom Cushing iatrogenic, kadar kortisol yang sangat tinggi sebagai
akibatterapi glukokortikoid yang berlangsung lama

2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn


Hiperaldosteronisme primer dapat disebabkan oleh satu kelenjar
adrenal yang hiperaktif (penyakit unilateral) atau keduanya
(penyakit bilateral). Penyakit unilateral biasanya disebabkan oleh
aldosteron memproduksi adenoma (tumor jinak) dan kurang umum
kanker adrenal atau hiperplasia (ketika kelenjar seluruh hiperaktif).
Penyakit Bilateral biasanya disebabkan oleh hiperplasia bilateral
(ketika kedua kelenjar yang hiperaktif). Ada sindrom genetik
langka seperti familial jenis hiperaldosteronisme I dan II yang
dapat menyebabkan kedua kelenjar menjadi hiperaktif.
11

3. Sindrom adrenogenital
Kelainan dimana terjadi kekurangan produksi glukokortikoid yang
biasanya akibat kekurangan enzim pembentuk glukokotikoid pada
kelenjar adrenal. Akibatnya kadar ACTH meningkat dan zona
retikularis dirangsang untuk mensekresi androgen yang
menyebabkan timbulnya tanda tanda kelainan sekunder pria pada
seorang wanita yang disebut virilisme.

4. Penyakit Addison
Etiologi dari adrenal insufisiensi primer atau penyakit addison terus
mengalami perubahan sepanjang tahun. Prior 1920, tuberkulosis
merupakan penyebab utama adrenal insufisiensi. Sejak 1950, adrenal
autoimun dengan adrenal atrofi dijumpai pada sekitar 80% dari kasus.
Etiologi dari insufisiensi adrenal primer ditampilkan pada tabel 1.
Autoimun pada penyakit addison semakin meningkat seiring
meningkatnya penyebab autoimun pada penyakit metabolik lainnya.
Terdapat dua perbedaan autoimun sindrom pada adrenal insufisiensi
primer. Karakteristik yang paling baik yang telah diketahui pada autoimun
polyendocrinopaty-candidiasis-ectodermal syndrome (APCED), atau
autoimun poliglandular disease tipe I. Ini merupakan kelainan autosomal
resesif yang dijumpai pada anak anak dan selalu disertai dengan
hipoparatiroidea, gagal ginjal dan mukokutaneus candidiasis. APCED
berasal dari mutasi dari autoimmune regulator gene (AIRE), yang
berlokasi pada kromosom 21q22.3. pasien tersebut mengalami defek pada
T cell-mediated immunit, terutama pada antigen candida.
Tampilan yang paling sering pada autoimun adrenokortikal inssufisiensi
ialah berhubungan dengan kerusakan pada HLA (human leukocyte
antigen) termasuk diabetes melitus tipe I, penyakit tiroid autoimun,
alopecia areata dan vitiligo (Gardner DG et all 2007). Bilateral adrenal
hemoragik saat ini relativ sering dijumpai sebagai penyabab adrenal
12

insufisiensi pada united state. Faktor anatomik yang merupakan


predisposisi terjadinya adrenal hemoragik. Adrenal glandula memiliki
banyak arteri untuk mensupply darah, namun hanya memiliki single vena
untuk drainase. Adrenal vein trombosis dapat terjadi periode stasis atau
aliran turbulen. Ini merupakan penyebab dari hemoragik pada gland.
Adrenal yang menyebabkan adrenal kortikal insufisiensi. Banyak pasien
dengan adrenal hemoragik menggunkan terapi antikoagulan untuk
menghindari koagulopati atau predisposisi terjadinya trombosis dan
hemoragik (Cooper MS et all 2003). Infeksi Human immunodefisiensi
virus (HIV) memiliki efek yang kompleks pada hipotalamik-pituitary-
adrenal axis (Gardner DG et all 2007). Adrenal infeksi dan peningkatan
penggunaan obat seperti ripamfisin, ketokonazol dan megestrol asetat
meningkatkan resiko hipoadrenalisme (Bornstein SR 2009). Insufisiensi
adrenal pada pasien HIV mulai sering dijumpai. Adrenal nekrosis sering
dijumpai pada data postmortem pasien AIDS (accured immuno defisiensy
syndrom). Adrenal insufisiensi pada AIDS biasanya disebabkan oleh
infeksi oppurtunistik seperti cytomegalovirus dan micobacterium avium
kompleks (Cooper MS et all 2003).
Sintesis adrenal kortisol dapat dipengaruhi oleh banyak mekanisme. Agen
anasthesi etomidate dan agen anti fungal ketokonazole dapat menginhibisi
aktivasi dari enzim yang mempengaruhi sintesis dari kortisol (Bornstein
SR 2009). Adrenal hemoragik dapat terjadi pada pasien yang sakit,
terutama pada kondisi septikemia dan gangguan koagulopati, dan
insufisiensi adrenal dijumpai destruksi massive jaringan adrenal karena
tumor atau infeksi. Tingginya level inflamasi sitokin pada pasien dengan
sepsis dapat juga menginhibisi sistesis kortisol (Gardner DG et all 2007).
Eksogen kortikosteroid terapi dapat mensuppresi produksi dari
corticotropin-releasing hormon dan corticotropin dan dapat menginduksi
atrofi adrenal yang dapat menjadi persisten selama bebertapa bulan setelah
penggunaan terapi kortikosteroid (Cooper MS et all 2003).
13

Penyebab paling umum penyakit Addison adalah perusakan dan/atau atrofi


dari korteks adrenal. Pada sekitar 70% dari semua kasus, atrofi ini diduga
terjadi karena adanya gangguan autoimun. Pada sekitar 20% dari semua
kasus, perusakan korteks adrenal disebabkan oleh tuberkulosis. sisa kasus
lainnya dapat disebabkan oleh infeksi jamur, seperti histoplasmosis,
coccidiomycosis, dan kriptokokosis, yang mempengaruhi glandula adrenal
(Gardner DG et all 2007). Pada sekitar 75% dari semua pasien, penyakit
Addison cenderung sangat bertahap, perlahan-lahan berkembang penyakit.
gejala signifikan tidak terjadi sampai sekitar 90% dari korteks adrenal
telah dihancurkan. Gejala yang paling umum termasuk kelelahan dan
hilangnya energi, penurunan nafsu makan, mual, muntah, diare, sakit
perut, penurunan berat badan, lemah otot, pusing ketika berdiri, dehidrasi
dan perubahan pigmen kulit (Liotta EA et all 2008).

2.5 Tanda dan Gejala


1. Sindrom Cushing
a. Rambut kepala menjadi tipis.
b. Berjerawat dan pipi kemerahan
c. Moon face.
d. Bufallo hump.
e. Bulu halus banyak pada wajah dan seluruh tubuh.
f. Striae kemerahan pada abdomen dan pendolus abdomen.
g. Lengan dan kaki kurus dengan atrofi otot.
h. Kulit cepat memar, ekimosis, dan penyembuhan luka sulit.
i. Berat badan bertambah

2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn


Tekanan darah tinggi satu-satunya tanda hiperaldosteronisme.
Hipertensi biasanya sulit untuk dikontrol dan pasien sering
mengkonsumsi 4 atau lebih obat hipertensi. Hipertensi dapat
menyebabkan sakit kepala, penglihatan kabur, dan pusing. Sementara
14

pasien dengan hiperaldosteronisme mungkin memiliki kadar kalium yang


normal, banyak pasien mungkin memiliki kadar kalium yang rendah.
Hipokalemia (kadar kalium rendah) dapat menyebabkan gejala seperti
kelelahan, mati rasa, peningkatan buang air kecil, rasa haus yang
meningkat, kram otot, dan kelemahan otot. Hiperaldosteronisme
menyebabkan peningkatan risiko serangan jantung, gagal jantung, stroke,
gagal ginjal, dan kematian dini.

3. Sindrom adrenogenital
Pada pria di bawah umur timbul pubertas perkoks, yaitu timbulnya
tanda tanda kelamin sekunder di bawah umur. Pada pria dewasa gejala
gejala diatas tertutup oleh tanda tanda kelamin sekunder normal yang
disebabkan oleh testosterone. Tetapi bila timbul sekresi berlebihan dari
estrogen dan progesterone timbul tanda tanda kelamin sekunder wanita
antara lain yaitu ginaekomastia (payudara membesar seperti pada wanita).

4. Penyakit Addison
a. Berkurangnya volume dan tekanan darah karena turunnya kadar Na+ dan
volume air dari cairan tubuh.
b. Hipoglikemia dan turunnya daya tahan tubuh terhadap stress, sehingga
penderita mudah menjadi shock dan terjadi kematian hanya karena stress
kecil saja misalnya flu atau kelaparan.
c. Lesu mental dan fisik.

2.6 Patofisiologi
1. Sindrom Cushing
Pada-penyakit Cushing, hipersersekresi ACTH berlangsung secara episodik
dan acak serta menyebabkan hipersekresi kortisol dan tidak terdapat irama
sirkadian yang normal. Inhibisi umpan balik ACTH (yang disekresi dari
adenoma hipofisis) oleh kadar glukokor tikoid y ang fisiologis tidak ada;
jadi, hipersekresi ACTH terus menetap walaupun terdapat peningkatan
sekresi kortisol dan menyebabkan berlebihan glukokortikoid kronis. Sekresi
15

ACTH dan kortisol yang berlang sungepisodik menyebabkan kadarnya tidak


menentu di dalam plasma; yang suatu saat dapat berada dalam batas normal.
Tetapi, hasil pemeriksaan kecepatan produksi kortisol; kortisol bebas dalam
urin atau kadar kortisol secara multipel yang diambil dari contoh darah di
waktu-waktu tertentu selama 24 jam memastikan adanya hiper sekresi
kortisol . Sebagai tambahan, karena tidak adanya variabilitas diurnal, kadar
AC TH dan kortisol dalam plasma tetap meninggi se panjang hari.
Keseluruhan peningkatan sekresi glukokortikoid ini menyebabkan
terjadinya manifestasi-manifestasi sindroma Cushing; tetapi, biasanya
sekresi ACTH dan -LPH tidak cukup meningkat sehingga dapat
menyebabkan hiperpigmentasi.

2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn


Pada aldosteronisme primer, ada kelebihan sekresi aldosteron yang
menstimulasi reabsorpsi natrium oleh tubula ginjal sebagai pengganti
kalium dan hidrogen. Meningkatnya retensi natrium menyebabkan
peningkatan retensi air sehingga volume cairan tubuh meningkat, yang bisa
menimbulkan perubahan pada ventrikel kiri (pembesaran) dan retinopati.
Pasien ini bisa mengeluh sakit kepala. Hilangnya kalium intraselular dan
ekstraselular bisa mengakibatkan kelemahan otot, parestesia intermiten,
disritmia, dan hipersensitivitas terhadap digitalis. Hilangnya banyak
hidrogen dapat mengakibatkan alkalosis hipokalemik (Baradero, 2009:79).
Smletzer dan Bare (2006:1332) menyatakan bahwa alkalosis hipokalemia
dapat menurunkan kadar kalsium terionisasi dalam serum dan merupakan
presdiposisi timbulnya tetanus serta parestesia pada pasien. Tanda tanda
Trousseau dan Chvostek dapat digunakan untuk menilai iritabilitas
neuromuskuler sebelum terjadi tetanus dan parestesia yang nyata. Karena
hipokalemia akan mengganggu sekresi insulin dari pankreas, maka dapat
terjadi intoleransi glukosa.

3. Sindrom adrenogenital
16

Defek utama penyakit ini karena defisiensi 21-hydroxylase adalah


korteks adrenal tidak dapat mensintesis hormon kortisol dalam jumlah yang
cukup. Tidak tercukupinya sintesis kortisol menyebabkan hipotalamus dan
hipofisis mensekresi CRH dan ACTH yang berlebih. Akibat dari ransang
kronik hormon tersebut menyebabkan kelenjar adrenal hiperplastik. Hal
yang sama juga terjadi pada sindrom adrenogenital yang disebabkan
defisiensi enzim lain, yang menyebabkan gangguan pada sintesis kortisol.
Sebagian besar pasien karena defisiensi 21-hydroxylase pembentukan
aldosteron yang tidak adekuat sehingga tidak dapat memelihara
keseimbangan natrium. Apabila hal ini tidak diketahui sejak dini,
kemungkinan timbul dehidrasi hiponatremi kemudian syok.

4. Penyakit Addison
Defisit produksi glukokortikoid atau mineralkortikoid pada glandula adrenal
menghasilkan adrenokortikal insufisiensi, yang mana disebabkan oleh salah
satu konsekuensi dari destruksi atau disfungsi dari korteks adrenal
(insufisiensi adrenokortikal primer, atau penyakit addisons) atau akibat
sekunder dari defisit sekresi adrenocorticotropin (ACTH) pituitary
(insufisiensi adrenokortikal sekunder).
Kehilangan fungsi lebih dari 90% pada kedua korteks andrenal
menghasilkan manifestasi klinis insufisiensi adrenokortikal. Destruksi dari
glandula, seperti terdapat pada kondisi idiopatik dan kondisi invasif dari
suatu penyakit, hal ini menyebabkan terjadinya kronisitas dari adrenal
insufisiensi. Bagaimanapun juga, desrtuksi yang berlangsung cepat terjadi
pada beberapa kasus; sekitar 25% dari pasien berada pada tahap krisis atau
impending krisis pada saat di diagnosis. Fase awal dari destruksi pada
glandula adrenakortikal terjadi pengurangan dari cadangan adrenal;
meskipun demikian basal sekresi steroid masih normal, namun demikian
sekresi tersebut tidak meningkat pada respon stres. Jadi, akut adrenal krisis
dapat terjadi pada kondisi stress akibat pembedahan, trauma, atau infeksi,
yang mana memerlukan peningkatan sekresi kortikosteroid. Kehilangan
17

lebih lanjut jaringan korteks pada glandula adrenal, menyebabkan terjadinya


defisit sekresi dari basal glukokortikoid, menimbulkan manifestasi
kronisitas adrenal insufisiensi. Defesiensi
mineralkortikoid dapat terjadi pada tahap awal maupun akhir. Destruksi dari
glandula adrenal akibat hemoragik menghasilkan kehilangan secara tiba tiba
sekresi dari mineralkortikoid dannglukokortikoid, menyebabkan kondisi
akut adrenal krisis.
Dengan berkurangan nya sekresi dari kortisol, level plasma dari ACTH
meningkat akibat dari penurunan umpan balik negative yang menginhibisi
sekresi ACTH.
Sebagai akibatnya, peningkatan level plasma dari ACTH pada awal
merupakan kondisi sangat supoptimal dalam mengsekresikan cadangan dari
adrenokortikal (Gardner DGet all2007)

2.7 Komplikasi dan Prognosis


1. Sindrom Cushing
Komplikasi Chussing

1. Diabetes
2. Pembesaran tumor hipofisis
3. Patah tulang karena osteoporosis
4. Tekanan darah tinggi
5. Batu ginjal
6. Infeksi berat

Prognosis Chussing

A. Sindroma Cushing: Sindroma Cushing yang tidak di terapi sering


berakibat fatal, dan kema tian dapat disebabkan oleh tumor-tumor yang
mendasarinya, seperti pada sindroma ACTH ektopik dan karsinoma
adrenal. Pada sebagian besar kasus,kematian terjadi akibat
hiperkortisolisme yang menetap dan komplikasi-komplikasinya, termasuk
hipertensi, penyakit kardiovaskular,stroke, trom boembolisme, dan
kerentanan terhadap infeksi.
18

B. Penyakit Cushing : Dengan kemajuan teknik pembed ahan mikro hipofisis


dan iradiasi dengan partikel berat, sejumlah besar penderitapenderita
penyakit Cushing dapat berhasil diterapi, dan angka morbiditas serta
mortalitas operasi yang terjadi dengan mela kukan adrenalektomi bilateral
tidak lagi merupakan gambaran dari riwayat alamiah penyakit tersebut.
Harapan hidup pasien ini diperkirakan lebih panjang pad a penelitian terda
hulu. Namun, harapan hidup masih lebih pendek dibanding d engan
kelompok umur kontrol; namun, peningkatan angka mortalitas ialah
kerena oleh kardiovaskular. Penderita -penderita penyakit Cushing yan g
mempunyai tumor hipofisis berukuran besar pada saat didiagnosis akan
mem punyai prognosis yang lebih buruk dan dapat meninggal akibat invasi
tumor atau hiperkortisolisme y ang menetap.
C. Tumor-tumor Adrenal : Prognosis pada adenoma sangat baik, walaupun
angka mortalitas dan morbidita s yang terjadi dalam kaitan dengan
tindakan adrenalektomi harus dipertimbangkan pada penderita-penderita
tersebut.
D. Sindroma ACTH Ektopik : Prognosis juga buruk pada pend erita-penderita
sindroma ACTH ektopik yang disebabkan tumor-tumor maligna, pada
penderita-penderita ini yang disertai dengan hiperkortisolisme yang berat;
sering hanya bertahan hidup berhari atau berminggu belaka. Sebagian
penderita menunjukkan respons terhadap s ekresi tumor atau kemoterapi.
Prognosis lebih baik pada penderita -penderita sindroma ACTH ektopi k
yang disebabkan tumor -tumor benigna

2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn


a. dapat menyebabkan perkembangan penyakit ginjal
b. kelemahan otot
c. menyebabkan kematian dini
d. mungkin menderita aritmia
e. pembesaran jaringan otot (di dalam ruangan pompa jantung (ventrikel
kiri)
f. sering buang air kecil
g. sering haus
19

3. Penyakit Addison
Komplikasi Addison

1. Syok, (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan garam)

2. Kolaps sirkulasi

3. Dehidrasi

4. Hiperkalemiae

5. Sepsis

6. Ca. Paru

7. Diabetes melitus

Prognosis addison

Sebelum terapi glukokortikoid dan mineralokortikoid ada, insufisiensi


adrenokortikal primer tanpa kecuali akan fatal, dengan kematian biasanya
terjadi dalam 2 tahun setelah onset. Mereka yang bertahan hidup sekarang
tergantung pada dasar penyebab insufisiensi adrenal. Pada pasien dengan
autoimun Addison disease, kelangsungan hidup mencapai normal populasi,
dan pasie terbanyak tetap hidup normal. secara umum, kematian dari
insufisiensi adrenal sekarang terjadi hanya pada pasien dengan onset
penyakit cepat sebelum didiagnosa tegak dan mendapat terapi
standar.Insufisiensi adrenal sekunder memiliki prognosis yang baik dengan
terapi glukokortikoid. Insufisiensi adrenal akibat perdarahan adrenal
bilateral tetap sering fatal, dengan paling banyak kasus didapat hanya saat
autopsy.

2.8 Pengobatan
20

1. Sindrom Cushing
Tujuan terapi sindroma Cushing adalah untuk mengangkat atau
menghancurkan lesi dasar sehingga dapat mengoreksi hiper -sekresi
hormon-hormon adrenal tanpa menyebabkan induksi terjadinya kerusakan
adrenal ata u hipofisis, yang membutuhkan terapi pengganti permanen terh
adap defisiensi hormon-hormon yang timbul. Terapi penyakit Cushing pada
m asa kini ditu jukan untuk mengontrol hipersekresi ACTH oleh hipofisis;
metode-metode melakukan hal tersebut yang dapat dikerjakan pada masa
sekarang ada lah pembedahan mikro, berbagai bentuk terapi radiasi dan
inhibisi sekresi ACTH secara farmakologis.

2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn


Ketidakseimbangan elektrolit dan kelebihan cairan ditangani dengan
pemberian obat kalium dan spironolakton atau amilorid. Spironolakton
diberikan dalam dosis tinggi 200-400 mg per hari dan amilorid 20-40 mg
per hari. Spironolakton adalah antagonis mineralkortikoid yang bisa
menghalangi efek aldosteron pada tubula ginjal. Spironolakton dapat
menahan kalium. Untuk hiperplasia bilateral, pasien diberi kalium dan
spironolakton. Asupan natrium dibatasi. Apabila hipertensi tidak dapat
dikendalikan dengan obat ini, pasien diberikan obat antihipertensi
(Baradero, 2009:81). Smeltzer dan Bare (2006:1332) menyatakan bahwa
penanganan aldosteronisme primer biasanya meliputi operasi untuk
mengangkat tumor adrenal melalui adrenalektomi. Spironolakton dapat
diresepkan untuk mengendalikan hipertensi.

3. Sindrom adrenogenital
Sabiston (2010:456) menyatakan bahwa terapi sindrom adrenogenital
melibatkan pemberian kortisol dan rekonstruksi genitalia dalam wanita
terpilih. Pada bayi dengan defisiensi enzim lengkap dan insufisiensi
adrenalis, harus diberikan mineralokortikoid (fludrokortison asetat [Florinef
acetate]) dan glukokortikoid (kortisol).
21

a. Glukokortiroid
Pada pasien anak diberikan hidrokortison dengan dosis 10-20 mg per
hari, jika pada pasien dewasa dapat diberikan prednison dosis rendah 5-7
mg per hari atau deksametason dosis rendah 1,25-1,5 mg per hari.
Pemberian pengobatan ini bertujuan untuk menekan sekresi CRH dari
hipotalamus dan ACTH dari hipofisis yang berlebihan dan mengurangi
kadar steroid seksual.
b. Mineralokortikoid
Pemberian fludrokortison pada bayi dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari
dengan tambahan suplemen natrium klorida 1-2 mg per hari dan tiap
gram natrium klorida mengandung mEq natrium.
c. Adrenalektomi
Jika terapi glukokortikoid dan mineralokotikoid tidak adekuat dapat
dilakukuan adrenalektomi dengan laparoskopi
d. Pembedahan Korektif
Hal ini dapat dilakukan jika pasien merasa yakin akan gender atau jenis
kelamin yang dipilihnya dan pasien merasa nyaman. Anak ditakutkan
akan mengalami trauma psikologis karena orang tua yang mungkin tidak
dapat menerima membesarkan anak dengan gender yang belum pasti.

4. Penyakit Addison
Glukokortikoid pengganti
1. Berikan kortisol (dalam bentuk hidrokortison fosfat atau homosuksinat),
100 mg intravena setiap 6 jam untuk 24 jam.
2. Bila keadaan pasien stabil, dosis dikurangi menjadi 50 mg setiap 6 jam.
3. Turunkan berangsur-angsur sampai terapi rumatan pada hari ke 4 atau ke 5
dan tambahkan terapi mineralokortikoid sesuai kebutuhan.
4. Pertahankan atau tingkatkan dosis sampai 200-400 mg/hari jika
komplikasi timbul atau menetap.

Tindakan-tindakan suportif dan umum


1. Koreksi deplesi volume, dehidrasi, dan hipoglikemia, dengan salin dan
glukosa intravena
2. Evaluasi dan koreksi infeksi dan faktor-faktor presipitasi lainnya.
22

Terapi Rumatan
Pasien-pasien penyakit Addison memerlukan terapi di seluruh sisa
hidupnya, biasanya dengan glukokortikoid dan mineralokortikoid, kortisol
(hidrokortisol) adalah preparat gluko kortikoid yang paling sering
digunakan. Dosis total biasanya 25-30 mg/hari per oral, diberikan 15-20 mg
di pagi hari pada waktu bangun 10 mg pada jam 4-5 sore. Glukokortikoid
lain seperti kortison asetat per oral (37,5 mg/hari), yang akan cepat
diabsorpsi dan dikonversi menjadi kortisol, atau sintetik-sintetik steroid
dalam dosis ekuivalen (misal, prednison atau prednisolon) dapat pula
digunakan.

2.9 Pencegahan
1. Sindrom Cushing
Upaya Preventif adalah upaya untuk mencegah timbulnya penyakit atau
kondisi yang memperberat penyakit Cushings Sindrom yang meliputi
Pencegahan Primer dan Pencegahan Sekunder. Pencegahan Primer
merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah timbulnya penyakit
pada individu-individu yang sehat. Pencegahan sekunder adalah
pengendalian melalui jalur kesehatan (medical control), antara lain : 1.
Pendidikan kesehatan : gaya hidup, gizi , faktor lingkungan, cara
pengobatan dll.

2. Aldosteronisme primer/sindrom Conn


Pencegahan aldosteronisme primer menurut Baradero (2009:80)
yaitu sebagai berikut.
1. Tindakan
Pengobatan pilihan untuk aldosteronisme primer karena aldosterone-
secreting adenoma adalah adrenalektomi unilateral.
2. Diet
Selain makanan rendah natrium, dianjurkan untuk mengkonsumsi
makanan yang kaya dengan kalium.
3. Aktivitas
23

Kegiatan ditingkatkan secara bertahap. Apabila kadar kalium serum


sudah pulih, rasa lemah dan cepat lelah bisa berkurang. Jelaskan pada
pasien untuk mengubah posisi secara perlahan untuk menghindari
hipotensi postural. Misalnya, menghindari langsung berdiri dari posisi
baring. Lebih baik duduk dulu baru berdiri. Pasien dibantu menghindari
trauma akibat parastesia dan retinopati.

3. Penyakit Addison
Berkembangnya insufisiensi adrenal pada pasien yang telah didiagnosis
dan diterapi sebelumnya hampir seluruhnya dapat dicegah pada individu
yang kooperatif. Elemen penting ialah pendidikan pasien dan meningkatkan
dosis glukokortikoid selama sakit. Pasien harus diberitahukan pentingnya
untuk melakukan terapi sepanjang hidupnya, kemungkinan-kemungkinan
akibat-akibat dari penyakit akut, dan kebutuhan meningkatkan terapi dan
bantuan medis selama penyakit akut. Suatu kartu atau gelang identifikasi
harus dibawa atau dipakai setiap waktu.
Dosis kortisol harus ditingkatkan oleh pasien sampai 60-80 mg/hari
dengan berkembangnya penyakit-penyakit minor; dosis rumatan umum
yang diberikan dalam 24-48 jam jika kemajuan terjadi. Peningkatan dosis
mineralokortikoid tidak dibutuhkan. Bila gejala-gejala menetap atau
memburuk, pasien harus meningkatkan dosis kortisol dan pergi ke dokter.
Muntah-muntah yang dapat timbul berakibat kortisol oral tidak dapat ditelan
atau diabsorpsi, diare pada pasien-pasien Addison dapat menimbulkan krisis
karena kehilangan cairan dan elektrolit dengan cepat. Pasien harus mengerti
bahwa jika gejala-gejala ini terjadi, mereka harus segera mencari bantuan
medis sehingga terapi glukokortikoid parenteral dapat diberikan.
24

BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

3.1.1 Identitas Klien


Nama : An.S No. RM : 00000099
Umur : 7 tahun Pekerjaan : pelajar
Jenis : Laki-laki Status : belum
Kelamin Perkawina kawin
n
Agama : Islam Tanggal : 15
MRS September
2014
Pendidika : SD Tanggal : 15
25

n Pengkajian September
2014
Alamat : Jember Sumber : Keluarga
Informasi dan Pasien

3.1.2 Riwayat Kesehatan


1 Diagnosa medik: Sindrom Cohn
2 Keluhan utama:
Badan terasa lemah, banyak minum, banyak kencing, sering kencing
malam, dan sakit kepala.
3 Riwayat penyakit sekarang:
Setiap malam, pasien sering terbangun karena sering ingin
buang air kecil pada malam hari, menurut pasien setiap hari
dirinya banyak minum air tapi badan masih saja terasa lemas.
Selain itu pasien sering kali merasa sakit kepala. Pasien juga
merasa nyeri akibat sering kencing dan perut terasa tegang.
4 Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami: tidak ada riwayat penyakit
sebelumnnya
b. Alergi (obat, makanan, plester, dll): tidak mempunyai alergi
c. Imunisasi: pasien sudah imunisasi campak
d. Kebiasaan:
e. Obat-obat yang digunakan: pasien sering dibelikan obat
penurun demam di warung.
Riwayat penyakit keluarga: Keluarga pasien tidak ada yang
menderita sakit seperti pasien, karena penyakit ini bukan
merupakan penyakit herediter.

3.1.3 Pengkajian Pola Gordon


1 Persepsi & pemeliharaan kesehatan: saat sakit pasien langsung
membeli obat di warung terdekat untuk mengatasinya atau membeli
mnuman berenergi ketika lelah/kecapaian.
2 Pola nutrisi/ metabolik: sebelum sakit pola makan pasien baik, pasien
makan 3 kali sehari dengan porsi yang cukup. Saat sakit pola makan
26

pasien berubah, pasien merasakan mual, muntah, dan tidak nafsu


makan.
3 Pola eliminasi: pasien banyak minum dan sering buang air kecil pada
saat malam hari.
4 Pola aktivitas & latihan: pasien merasa lemah dan susah melakukan
aktivitas sehari-hari
c.1. Aktivitas harian (Activity Daily Living)
Kemampuan 0 1 2 3 4
perawatan diri
Makan / minum v
Toileting v
Berpakaian v
Mobilitas di tempat V
tidur
Berpindah v
Ambulasi / ROM v
Ket: 0: tergantung total, 1: bantuan petugas dan alat, 2: bantuan
petugas, 3: bantuan alat, 4: mandiri
5 Pola tidur & istirahat:
Sebelum sakit pola istirahat dan tidur pasien tidak terganggu
saat sakit pola tidur dan istirahat pasien terganggu karena sering
merasakan ingin buang air kecil pada malam hari.
6 Pola kognitif & perceptual:
pasien kurang memahami/mengetahui tentang penyakit yang
dialaminya. Pasien juga tidak tahu apa yang menyebabkan
munculnya penyakit pada dirinya.
7 Pola persepsi diri:
pasien merasa kurang percaya diri saat berkumpul dengan
teman-temannya dikarenakan ketika bermain dirinya selalu
merasa lemah terlebih dahulu sehingga waktu bermain dengan
temannya juga berkurang
8 Pola seksualitas & reproduksi: pasien belum dalam kondisi yang
produktif
9 Pola peran & hubungan:
27

Dalam keluarga pasien merupakan anak bungsu, sehingga


pasien mendapatkan perhatian lebih dari keluarganya ketika
pasien dalam keadaan sakit seperti ini.
10 Pola manajemen koping-stress: pasien merasa cemas dan gelisah
akibat sakit yang dialami dan merasa kurang percaya diri.
11 System nilai & keyakinan: pasien selalu berdoa

3.1.4. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum:
compos mentis, pasien merasa lemas, sering kecing dan banyak
minum
Tanda vital:
TD: 120/80 mmHg,
nadi 80 kali/menit,
RR 25 kali per menit,
suhu 370C.

1 Kepala: bentuk kepala simetris, tidak ada benjolan, wajah tampak


pucat, dan tidak ada nyeri tekan.
2 Mata: sklera putih, konjungtiva anemis, pupil isokor miosis
Telinga: telinga bersih, tidak ada lesi, bentuk telinga
simetris kanan kiri, tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa
di sekitar telinga
3 Hidung: terlihat adanya cuping hidung, hidung terlihat kotor, tidak
ada lesi, bentuk simetris kanan kiri, tidak ada nyeri tekan, tidak ada
benjolan
4 Mulut: tidak ada lesi, mukosa bibir kering, bibir terlihat pucat, terlihat
bernafas dengan mulut, pasien tampak haus.
5 Leher: tidak teraba massa abnormal di leher, pasien merasa serak
pada tenggorokkan.
6 Dada:
28

bentuk dada simetris kanan kiri, tidak ada lesi atau benjolan
abnormal, terlihat adanya bantuan otot pernafasan, RR: 25 x/
menit.
P: retraksi dada tidak simetris kanan kiri, fokal fremitus teraba
lemah pada dada kanan, tidak ada massa teraba, ada nyeri
tekan.
P: redup pada dada bagian kanan, nyeri terasa menyebar hingga
punggung.
A: suara ronkhi pada dada bagian kanan atas dan wheezing.
7 Abdomen: terasa keras pada bagian epigastrium, ada nyeri tekan terlebih
pada epigastrium, terasa ada tahanan pada abdomen
8 Urogenital: frekuensi kencing pasien sering
9 Ekstremitas: pasien mengalami edema anasarka, dengan pitting edema
pada ekstremitas bawah ++/++
10 Kulit dan kuku:
kulit berwarna pucat, kuku sianosis, tidak ada lesi pada kulit, akral
hangat, tidak ada nyeri tekan, CRT >2 detik, turgor kulit menurun.
11 Keadaan lokal: lemah, sesak di setiap waktu, wajah tampak pucat.

1. B1 (Breathing)
Terdapat gangguan pola nafas yaitu frekuensi nafas meningkat,
sesak nafas (RR 25x/menit), suara nafas vesikuler dan dalam.
2. B2 (Blood)
penurunan tekanan darah TD 95/80 mmHg, nadi 100x/menit.
pasien mengalami edema anasarka, dengan pitting edema pada
ekstremitas bawah ++/++. CRT > 2 detik
3. B3 (Brain)
GCS 4-5-6, keadaan composmentis
4. B4 (Bladder)
Terdapat nyeri tekan pada abdomen, pasien mengalami poliuri,
warna urin kuning pekat.
5. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah sehingga sering didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
6. B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder.
29

3.1.5 Terapi
Prinsip Terapi :
a. Terapi kausal tergantung penyebab:
b. Operatif
c. Medikamentosa
d. Kombinasi
e. Kadang diberi simptomatik
Penunjang penting terapi :
a. Diet
b. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
c. Pengobatan terhadap komplikasi

3.1.6 Pemeriksaan Penunjang & Laboratorium


1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Peningkatan aldosteron plasma
b. Aktivitas renin plasma ditekan atau tidak dapat dirangsang
c. Gagal untuk menekan aldosteron dengan manuver biasa
d. Hipernatremia 167 mEg/L (normal: 135-150 mEg/L)
e. Hipokalemia (normal: 3,5-5 mEg/L)
f. Alkalosis metabolik
g. Ekskresi urin berlebih sebanyak 1500 ml/hari (normal: 900-1200 ml/hari)
h. Segmen ST dan gelombang T tertekan, terlihat gelombang U
i. Kontraksi ventrikel prematur
j. Scan CT kelenjar adrenal untuk menentukan letak adenoma atau untuk
membedakan hiperplasia dari adenoma

2.1.7. Pathway
30

a. Pathway Hipersekresi (Aldosteronisme Primer)

Tumor kelenjar dan hiperplasia korteks adrenal

Peningkatan produksi
aldosteron

Peningkatan Penurunan Peningkatan


reabsorpsi kadar kalium ekskresi
natrium dan serum dan ion kalium dalam
air hidrogen urin

Peningkatan Menurunkan penurunan


volume kadar kalsium kadar kalium
intravaskuler terionisasi dalam darah
dalam serum
Kelemahan
Peningkatan Timbul otot
konsentrasi tetanus dan Intoleransi
dan volume parestesia aktivitas
urin
Resiko
Ginjal tidak Cedera
mampu
mengkompen
Peningkatan
Ekskresi urin volume cairan
berlebih tubuh

Kelebihan
Poliuria volume
cairan
Gangguan rasa
nyaman: nyeri akut
31

b. Pathways Hiposekresi Adrenal


Atropi autoimun /
idiopatik

Insufisiensi korteks
adrenal

Insufisensi Defisiensi Defisiensi


Aldoseron / Androgen

Sekresi Respon mineralkortikoid


Berkurangnya
melanin normal thd Hilangnya rambut
glukogenesis Natrium Reabsorbsi
setres < ketiak, dan pubis
kalium pada wanita
MSH
hiperpigment Ansieta
Glikogen Air & cairan Pengeluaran
asi s
hati ACTH plasma cairan >> melalui
berkurang urine
hipoglike Adanya
mia jaringan parut
meningka menuru Irama jantung tdk pH Volume cairan
& bbrp bgian
kulit tampak t n teratur dan kurang dari
Perubahan nutrisi
gelap output << kebutuhan
& metabolisme
energi Insufisiensi Insufisiensi Gg
Gg Konsep Hipotesi postural
kortek kortek keseimbangan
Prod. Asam Diri: Harga
adrenal adrenal asam-basa
klorida dlm Diri Rendah
primer sekunder
lambung Menurunnya Asidosi
Enzim aliran vena / vol s
Kelemaha BB pencernaan sirkulasi Metabo
n otot
Mual, muntah, Penurunan
Nutrisi Kurang diare curah
Intolerans Dari jantung
i Aktivitas Kebutuhan Anoreksi
a
32

3.2 Analisa Data

No Data Masalah Etiologi


1 DO: Pasien mengeluh Tumor kelenjar dan hiperplasia Hiper-
sering kali kencing di korteks adrenal sekresi
aldosteron
malam hari Peningkatan produksi aldosteron

DS : kadar natrium : Peningkatan reabsorpsi natrium dan


air
167 mEg/L
Output urin sebanyak Peningkatan volume cairan tubuh
1500 ml/hari
Kelebihan volume cairan
Tampak edema
anasarka
2 DO : Paien Peningkatan ekskresi kalium dalam Penuruna
mengatakan lemas dan urin n kadar
kalium
sulit beraktivitas
Penurunan kadar kalium dalam darah dalam
sehari-hari darah
Kelemahan otot

DS : pasien tampak
Intoleransi aktivitas
pucat
Konjunctiva anemis
3 DO : pasien Peningkatan reabsorpsi natrium dan Poliuria
mengatakan nyeri saar air

buang air kecil dan


Peningkatan konsentrasi dan volume
perut terasa tegang urin

Ginjal tidak mampu mengkompensasi


DS : adanya nyeri
tekan abdomen Ekskresi urin berlebih
Pasien tampak pucat
Poliuria

Nyeri Abdomen

Gangguan rasa nyaman: nyeri akut


33

3.3 Rencana Keperawatan

Tanggal No DIAGNOSA KEPERAWATAN


15 September 1 Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan
2014 dengan hipersekresi aldosteron ditandai
dengan nocturia, edema anasarka, kadar
natrium 167 mEg/L, output urin 1500 ml/hari.
15 September 2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
2014 penurunan kadar kalium dalam darah ditandai
dengan pasien mengatakan lemas dan sulit
beraktivitas sehari-hari, pasien tampak pucat,
konjungtiva anemis.
15 September 3 Gangguan rasa nyaman: nyeri akut berhubungan
2014 dengan poliuria ditandai dengan pasien mengatakan
nyeri saat buang air kecil dan perut terasa tegang,
adanya nyeri tekan abdomen, pasien tampak pucat
34

PERENCANAAN
DX.KEPERAWATAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
TUJUAN JANGKA TUJUAN JANGKA
PENDEK PANJANG
1. Kelebihan 1. Kadar natrium 1. Menunjukkan 1. Ukur 1. Menunjukkan status
volume cairan normal (135 volume cairan masukan volume sirkulasi,
tubuh 145 mmol/L) stabil, dengan dan terjadinya/perbaikan
2. Tanda vital dalam
berhubungan keseimbangan haluaran, perpindahan cairan,
rentang normal
dengan pemasukan dan catat dan respon terhadap
3. Tak ada edema.
hipersekresi pengeluaran keseimbang terapi.
2. Berat badan
aldosteron an positif Keseimbangan
stabil
ditandai dengan (pemasuka positif/peningkatan
nocturia, edema n melebihi berat badan sering
anasarka, kadar pengeluara menunjukkan
natrium 167 n). Timbang retensi cairan
mEg/L, output berat badan lanjut. Catatan: pen
urin 1500 tiap hari, urunan volume
ml/hari. dan catat sirkulasi
35

peningkata (perpindahan cairan)


n lebih dari dapat
0,5 kg/hari mempengaruhi
secara langsung
fungsi/haluaran
urine,
2. Awasi mengakibatkan
tekanan sindrom hepatorenal
2. Peningkatan
darah dan
tekanan darah
CVP. Catat
biasanya
JVD/Distensi
berhubungan
vena
dengan kelebihan
volume cairan,
mungkin tidak
terjadi karena
perpindahan cairan
keluar area vaskuler.
3. Awasi
Distensi juguler
disritmia
36

jantung. eksternal dan vena


Auskultasi abdominal
bunyi sehubungan dengan
jantung, kongesti vaskuler.
3. Mungkin disebabkan
catat
oleh GJK, penurunan
terjadinya
perfusi arteri
irama
koroner, dan
gallop
ketidakseimbangan
S3/S4
4. Kaji derajat elektrolit
perifer/ede
4. Perpindahan cairan
ma
pada jaringan
dependen
sebagai akibat
retensi natrium dan
air, penurunan
5. Ukur lingkar
albumin, dan
abdomen
penurunan ADH
5. Menunjukkan
akumulasi cairan
37

(asites) diakibatkan
oleh kehilangan
protein
plasma/cairan
kedalam area
6. Dorong peritoneal. Catatan:
untuk Akumulasi kelebihan
istirahat cairan dapat
baring bila menurunkan volume
ada asites sirkulasi
7. Berikan
menyebabkan defisit
perawatan
(tanda dehidrasi)
mulut 6. Dapat meningkatkan
sering; posisi rekumben
kadang- untuk diuresis
kadang beri
7. Menurunkan rasa
es batu
haus
(bila
puasa)
38

2. Intoleransi 1. Kadar 1. Menyadari 1. Kaji respon 1. Menetapkan


aktivitas natrium keterbatasan emosi, kemampuan/kebutuh
berhubungan normal (135 energi social, dan an pasien dan
2. Tingkat daya
dengan 145 spiritual memudahkan pilihan
tahan
penurunan kadar mmol/L) terhadap intervensi
2. Klien dapat adekuat
kalium dalam aktifitas
2. Menentukan
menyeimban untuk
darah ditandai
gkan beraktifitas 2. Kaji intervensi yang
dengan pasien
penyebab tepat
aktifitas dan
mengatakan 3. Mengetahui
istirahat kelemahan
lemas dan sulit 3. Kaji tanda- perubahan yang
beraktivitas tanda vital terjadi pada pasien
sehari-hari, yaitu respon
pasien tampak automatic meliputi
pucat, perubahan tekanan
konjungtiva darah, nadi,
anemis. pernafasan dan suhu
berhubungan
dengan keluhan
4. Pantau kelemahan tubuh
39

asupan karena berpengaruh


nutrisi pada aktifitas tubuh
4. Memastikan
keadekuatan
5. Ciptakan
sumber-sumber
lingkungan
energi
yang
nyaman 5. Lingkungan yang
nyaman dapat
menurunkan reaksi
terhadap stimulasi
dari luar dan
6. Bantu meningkatkan
aktivitas relaksasi sehingga
pasien pasien dapat
sesuai istirahat dengan
kemampuan nyaman
pasien
7. Kolaborasi
6. Meminimalkan
dengan ahli
kelelahan dan
40

gizi membantu
keseimbangan suplai
dan kebutuhan
oksigen
7. Merencanakan
makanan untuk
meningkatkan
asupan makanan
yang tinggi energy

3. Gangguan rasa 1. Tanda vital 1. Mampu 1.Lakukan 1. Untuk menentukan


nyaman: nyeri akut dalam mengontrol penilaian intervensi yang sesuai dan
berhubungan rentang nyeri (tahu terhadap nyeri, keefektifan dari therapi yang
dengan poliuria normal penyebab lokasi, diberikan
2. Melaporkan
ditandai dengan nyeri, mampu karakteristik dan
bahwa nyeri
pasien mengatakan menggunaka faktor-faktor yang
berkurang
nyeri saat buang air n tehnik dapat menambah
2. Membantu dalam
dengan
kecil dan perut nonfarmakolo nyeri
mengidentifikasi derajat
menggunakan
terasa tegang, gi untuk 2.Amati
manajemen ketidaknyamnan
41

adanya nyeri tekan nyeri mengurangi isyarat non verbal


3. Menyatakan
abdomen, pasien nyeri, tentang 3. Meningkatkan kenyamanan
rasa nyaman
tampak pucat. mencari kegelisahan
setelah nyeri
bantuan) 4. Mengurangi nyeri dan
berkurang 2. Mampu
3.Fasilitasi memungkinkan pasien untuk
mengenali
lingkungan mobilisasi tampa nyeri
nyeri (skala,
nyaman
5. Peninggin lengan
intensitas,
menyebabkan pasie rileks
frekuensi dan
4.Berikan obat anti
tanda nyeri)
nyeri
6. Meningkatkan relaksasi dan
membantu untuk
menfokuskan perhatian shg
5.Bantu pasien
dapat meningkatkan sumber
menemukan
coping
posisi nyaman
6.Ajarkan
penggunaan
tehnik tanpa
pengobatan (ct:
42

relaksasi,
distraksi,
massage, guided
imagery)
43

BAB 4. KESIMPULAN

Kelainan pada korteks adrenal terjadi akibat hiposekrsi atau


hipersekresi hormon adrenokortikal. Aldosteronisme primer (sindrom conn)
merupakan sindrom klinik akibat sekresi aldosteron yang berlebihan.
Sindrom adrenogenital adalah keadaan yang sangat jarang timbul pada masa
bayi atau anak-anak. Pada wanita timbul virilisasi pada tahap awal
kehidupan dan bisa diobati dengan kortisol. Pada pria lebih jarang
terdiagnosis dan bisa meninggal dunia akibat insufisiensoi adrenal akut.
Namun, jika selamat semasa bayi, terjadi pertumbuhan berlebihan dan
menyebabkan pubertas prekoks dan tinggi badan akhir menjadi pendek
(Rubenstein dkk, 2007). Aldosteronisme primer diakibatkan oleh hiperplasia
adrenal bilateral (kedua adrenal) atau salah satu adrenal (unilateral) dengan
adenoma yang menghasilkan aldosteron (single aldosterone-producting
adenoma) (Baradero, 2009:79). Penurunan kadar kortisol disirkulasi sebagai
akibatnya memproduksi ACTH berlebihan, yang pada gilirannya
menstimulasi adrenal untuk menghasilkan steroid androgenik berlebihan.
44

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary. 2009. Klien Gangguan Endokrin Seri Asuhan


Keperawatan. Jakarta: EGC.

Behrman, Richard E., Khegman, Robert M., Arvin, Ann M. 2000. Ilmu
Kesehatan Anak Nelson Volume 3. Jakarta: EGC.

Gotore & Mariadi. 2007. Insufisiensi Adrenanl Pada Pasien Kritis. Jurnal.
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah,
Denpasar.

Price, Sylvia A. Dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Rubenstein, David, Wayne, David, dan Bradley, John. 2005. Lecture Notes:
Kedokteran Klinis. Surabaya: Erlangga.

Sabiston, David C. 2010. Buku Ajar Bedah Bagian I. Jakarta: EGC.

Sanjaya, Ailing. Tanpa Tahun. Addisons disease. Bagian Ilmu Kesehatan


Anak. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2006. Buku Ajar Keperawatan


Medikal-Bedah Brunner&Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
EGC.

Tucker, Susan Martin. 1998. Standar Perawatan Pasien: Proses


Keperawatan, Diagnosis, dan Evaluasi. Jakarta: EGC.
45

Anda mungkin juga menyukai