REVIEW
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,
trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni
saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui
paru-paru atau pernafasan external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut.
Pada waktu bernafas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli
dan dapat erat hubungan dengan darah didalam kapiler pulmunaris.
Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli, memisahkan oksigen dan
darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah
merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua bagian
tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mm hg dan
tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu
hasil buangan. Metabolisme menembus membran alveoli, kapiler dari kapiler
darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar
melalui hidung dan mulut.
2. Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang
telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi,
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas
dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (Price,
2004)
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi (Price, 2004)
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi
membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m). Kekuatan
pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan
fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya
sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka
tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi
tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan
uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh
lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir (Price, 2004).
Gambar 2. Gambar C menunjukkan Pertukaran Gas di Alveolus
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama (Pearce, 2013).
3. Sistem Pertahanan Paru
Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai
kemungkinan terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh.
Sebagaimana mekanisme tubuh pada umumnya, maka paru-paru mempunyai
pertahanan seluler dan humoral. Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang
penting pada paru-paru dibagi atas(Pearce, 2013) :
1. Filtrasi udara
Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :
a) Yang berdiameter 5-7 akan tertahan di orofaring.
b) Yang berdiameter 0,5-5 akan masuk sampai ke paru-paru
c) Yang berdiameter 0,5 dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat
pula di keluarkan bersama sekresi.
2. Mukosilia
Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan
oleh silia keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini
tergantung pada kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia
yang mungkin terganggu oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun
hiperkapnia.
3. Sekresi Humoral Lokal
zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :
a) Lisozim, dimana dapat melisis bakteri
b) Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat
bakteriostatik
c) Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan
dalam membunuh virus.
d) Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah
terjadinya infeksi virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya
infeksi paru yang berulang.
4. Fagositosis
Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan
kemudian menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit
berperan sebagai fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :
a) Gerakan mukosiliar.
b) Faktor humoral lokal.
c) Reaksi sel.
d) Virulensi dari kuman yang masuk.
e) Reaksi imunologis yang terjadi.
f) Berbagai faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru,
seperti alkohol, stress, udara dingin, kortekosteroid, dan sitostatik.
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk
mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk
mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang
dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan
mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh otot otot dinding thoraks dan otot
pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang teradapat di dalam cavum pleura
(Pice & Wilson, 2005).
5. Cavum thoraks
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka
cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama
dari trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas
12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis,
sternum, dan otot otot rongga dada. Otot otot yang menempel di luar cavum
thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas
superior(Pice & Wilson, 2005).
6. Pleura
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru juga
dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari
coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni
pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral
adalah pleura yang menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara
pleura parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel
langsung dengan paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi
radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura
parietal dan pleura visceral (Price & Wilson, 2005).
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura.
Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura
mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum thoraks, pleura
sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan sternum.
Sementara cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura thoracis superior.
Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan
pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura (Price &
Wilson, 2005).
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang
disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada
proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada
cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika
diafragma dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut tertarik
mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit
cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura (Price & Wilson, 2005).
Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi
dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya
adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi maksimal drainase sistem limfatik
sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein lebih
rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan
hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta
kemampuan drainase limfatik. Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan
keseimbangan faktor-faktor di atas
Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut
a. Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal dari
pleura parietalis
b. pH 7,60-7,64
c. Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)
d. Kadungan sel darah putih < 1000 /m3
e. Kadar glukosa serupa dengan plasma
f. Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.14
B. EFUSI PLEURA
1. Definisi
Efusi pleura adalah jumlah cairan non purulen yang berlebihan dalam rongga
pleural, antara lapisan visceral dan parietal (Mansjoer, 2001)
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi
tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara
normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml)
berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
tanpa adanya friksi (Smeltzer, 2002).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat (Price & Wilson, 2005).
Efusi pleura berarti terkumpulnya cairan pada rongga pleura, jika teinfeksi
disebut empiema, jika berhubungan dengan pneumonia disebutt efusi
parapneumonik (Davey, 2006).
Beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa efusi pleura merupakan
keadaan dimana terjadi penumpukan cairan dalam ruang pleura antara lapisan
visceral dan parietal cairannya dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat
berasal darik penyakit lain.
2. Etiologi
Berdasarkan jenis cairan yang terbnetuk, cairan pleura dibagi menjadi
transudat, eksudat dan hemoragis
a. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal
jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis kepatis),
syndroma vena cava superior, tumor, sindromameig.
b. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia dan sebagainya, tumor,
ifarkparu, radiasi, penyakit kolagen.
c. Effusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark
paru, tuberkulosis.
d. Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral
dan bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik
dengan penyakit penyebabnya akan tetapi effusi yang bilateral ditemukan
pada penyakit-penyakit dibawah ini:Kegagalan jantung kongestif,
sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor
dan tuberkolosis (Muttaqin, 2008).
e. Gangguang reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena tumor)
f. Peningkatan produksi cairsan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura)
g. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung).
h. Meningkatnya tekanan osmotik koloid plasma (misalnya
hipoproteinemia).
i. Meningkatnya persmeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
j. Berkurangnya absorbsi limfatik
3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik efusi pleura akan tergantung dari jumlah cairan yang ada
serta tingkat kompresi paru. Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya < 250 ml),
mungkin belum menimbulkan manifestasi klinik dan hanya dapat dideteksi
dengan X-ray foto thorakks. Dengan membesarnya efusi akan terjadi restriksi
ekspansi paru dan pasien mungkin mengalami :
a. Dispneu bervariasi
b. Nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit
pleura
c. Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
d. Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
e. Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
f. Perkusi meredup di atas efusi pleura
g. Egofoni di atas paru-paru yang tertekan dekat efusi
h. Suara nafas berkurang di atas efusi pleura
i. Fremitus vokal dan raba berkurang (Misnadiarly, 2008).
4. Patofisiologi
Pleura terdiri dari dua lapisan yang berbeda yakni pleura visceralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam keadaan
normal seharusnya tidak ada rongga kosong antara kedua pleura tersebut, karena
biasanya disana hanya terdapat sedikit ( 10 20 cc ) cairan yang merupakan
lapisan tipis serosa dan selalu bergerak secara teratur. Cairan yang sedikit ini
merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga mereka mudah bergeser satu
sama lainnya. Dalam keadaan patologis rongga antara kedua pleura ini dapat terisi
dengan beberapa liter cairan atau udara.
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan
selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura
visceralis lewat sistem limfatik dan vaskuler. Pergerakan cairan dari pleura
parietal ke pleura visceral dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan
hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan di absorpsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler
pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah
terdapatnya banyak mikrofili di sekitar sel-sel mesothelial.
Efusi pleura sebagai komplikasi dari TB paru terjadi melalui fokus sub pleura
yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya
perkejuan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga, atau
kolumna vertebralis. Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Cairan efusi biasanya serous, kadang-kadang hemoragik. Jumlah
leukosit antara 500 2000 / cc. Caiaran efusi sangat sedikit mengandung kuman
tuberkulosis. Timbulnya cairan efusi bukanlah karena adanya bakteri tuberkulosis,
tapi karena reaksi hipersensitifitas terhadap tuberkulo protein. Pada dinding pleura
dapat ditemukan adanya granuloma.
B
A
Gambar 1. Efusi pleura masif pada paru kanan. (A) Gambaran luscens pada paru normal.
(B) Gambaran opaque menunjukkan efusi pleura. (C) Gambaran luscen yang lebih sempit
pada paru yang terdesak cairan efusi pleura
Pemeriksaan Laboratorium
Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :
a. Pemeriksaan Biokimia
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam effusi 9/dl <3 >3
Kadar protein dalam effusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam effusi (1-U) < 200 > 200
Kadar LDH dalam effusi < 0,6 > 0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan effusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negatif Positif
Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan
juga cairan pleura :
- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-
penyakit infeksi, arthritis reumatoid dan neoplasma
- Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan
metastasis adenocarcinona (Soeparman, 2008).
b. Analisa cairan pleura
- Transudat : jernih, kekuningan
- Eksudat : kuning, kuning-kehijauan
- Hilothorax : putih seperti susu
- Empiema : kental dan keruh
- Empiema anaerob : berbau busuk
- Mesotelioma : sangat kental dan berdarah
c. Perhitungan sel dan sitologi
Leukosit 25.000 (mm3):empiema
Banyak Netrofil: pneumonia, infark paru, pankreatilis, TB paru
Banyak Limfosit : tuberculosis, limfoma, keganasan.
Eosinofil meningkat: emboli paru, poliatritis nodosa, parasit dan
jamur
Eritrosit : mengalami peningkatan 1000-10000/ mm3 cairan tampak
kemorogis, sering dijumpai pada pankreatitis atau pneumoni.
Bila erytrosit > 100000 (mm3 menunjukkan infark paru, trauma
dada dan keganasan.
Misotel banyak: Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan.
Sitologi : Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan dapat ditemukan
sel ganas. Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi
cairan pleura lewat mekanisme obstruksi, preamonitas atau
atelektasis
d. Bakteriologis
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah
pneamo cocclis, E-coli, klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada
pleuritis TB kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat
menunjukkan yang positif sampai 20 % (Soeparman, 2008).
1. Clinical Pathway
Efusi Pleura
Nyei Akut
sputum bernafas
B1 Breathing
Inspeksi apakah terdapat batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering
didapatkan pada pasien pneumonia. Palpasi adanya ketidaksimetrisan
pernapasan pada klien. Perkusi seluruh dada dan lapang paru untuk
menentukan letak gangguan di paru sebelah mana. Auskultasi bunyi napas
tambahan yaitu stridor maupun ronkhi pada pasien efusi untuk menentukan
efusi terletak pada lobus paru sebelah mana.
B2 Blood
Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokonstriksi, kualitas darah
menurun. Berhubungan dengan adanya agen asing yang masuk di dalam
tubuh.
B3 Brain
Pada klien dengan efusi pleura pada fase akut dapat terjadi penurunan GCS,
refleks menurun atau normal, letargi. Terjadi karena virus atau bakteri di
dalam paru besirkulasi mengikuti aliran darah menuju sistem saraf pusat.
B4 Bladder
Pada efusi pleura produksi dapat menurun atau normal. Observasi adanya
penurunan urin sebagai tanda terjadinya penurunan tekanan darah atau syok
hipovolemik.
B5 Bowel
Efusi pleura kadang tidak mempengaruhi sistem pencernaan, feses normal
atau dapat terjadi mual dan muntah akibat terapi pengobatan dan anoreksia.
B6 Bone
Akibat gangguan pada ventilasi paru maka suplai O2ke jaringan juga
menurun mengakibatkan penurunan tonus otot dan nyeri otot. Kulit nampak
pucat, sianosis, banyak keingat, suhu kulit meningkat serta kemerahan.
3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan ilusi dan defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan
umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga
akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur
abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
Baughman, D.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner
dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Bulecked, G.M, et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). United
Sates of America: Elsevier.