Anda di halaman 1dari 28

A.

REVIEW

ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Anatomi Paru
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut.
Selanjutnya pada Groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut membagi diri
menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea.
Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung
bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-cabangnya.
Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli
baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak
berumur 8 tahun. Ukuran alveol bertambah besar sesuai dengan perkembangan
dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru berjalan terus menerus
tanpa terputus sampai pertumbuhan somatic berhenti.
Gambar 1. Anatomi Paru-paru

Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,
trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni
saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui
paru-paru atau pernafasan external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut.
Pada waktu bernafas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli
dan dapat erat hubungan dengan darah didalam kapiler pulmunaris.
Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli, memisahkan oksigen dan
darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah
merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua bagian
tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mm hg dan
tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu
hasil buangan. Metabolisme menembus membran alveoli, kapiler dari kapiler
darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar
melalui hidung dan mulut.
2. Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang
telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi,
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas
dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (Price,
2004)
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi (Price, 2004)
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi
membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m). Kekuatan
pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan
fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya
sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka
tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi
tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan
uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh
lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir (Price, 2004).
Gambar 2. Gambar C menunjukkan Pertukaran Gas di Alveolus
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama (Pearce, 2013).
3. Sistem Pertahanan Paru
Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai
kemungkinan terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh.
Sebagaimana mekanisme tubuh pada umumnya, maka paru-paru mempunyai
pertahanan seluler dan humoral. Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang
penting pada paru-paru dibagi atas(Pearce, 2013) :
1. Filtrasi udara
Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :
a) Yang berdiameter 5-7 akan tertahan di orofaring.
b) Yang berdiameter 0,5-5 akan masuk sampai ke paru-paru
c) Yang berdiameter 0,5 dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat
pula di keluarkan bersama sekresi.
2. Mukosilia
Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan
oleh silia keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini
tergantung pada kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia
yang mungkin terganggu oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun
hiperkapnia.
3. Sekresi Humoral Lokal
zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :
a) Lisozim, dimana dapat melisis bakteri
b) Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat
bakteriostatik
c) Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan
dalam membunuh virus.
d) Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah
terjadinya infeksi virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya
infeksi paru yang berulang.

4. Fagositosis
Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan
kemudian menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit
berperan sebagai fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :
a) Gerakan mukosiliar.
b) Faktor humoral lokal.
c) Reaksi sel.
d) Virulensi dari kuman yang masuk.
e) Reaksi imunologis yang terjadi.
f) Berbagai faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru,
seperti alkohol, stress, udara dingin, kortekosteroid, dan sitostatik.
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk
mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk
mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang
dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan
mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh otot otot dinding thoraks dan otot
pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang teradapat di dalam cavum pleura
(Pice & Wilson, 2005).
5. Cavum thoraks
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka
cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama
dari trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas
12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis,
sternum, dan otot otot rongga dada. Otot otot yang menempel di luar cavum
thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas
superior(Pice & Wilson, 2005).

6. Pleura
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru juga
dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari
coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni
pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral
adalah pleura yang menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara
pleura parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel
langsung dengan paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi
radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura
parietal dan pleura visceral (Price & Wilson, 2005).
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura.
Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura
mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum thoraks, pleura
sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan sternum.
Sementara cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura thoracis superior.
Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan
pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura (Price &
Wilson, 2005).
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang
disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada
proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada
cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika
diafragma dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut tertarik
mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit
cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura (Price & Wilson, 2005).
Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi
dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya
adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi maksimal drainase sistem limfatik
sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein lebih
rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan
hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta
kemampuan drainase limfatik. Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan
keseimbangan faktor-faktor di atas
Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut
a. Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal dari
pleura parietalis
b. pH 7,60-7,64
c. Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)
d. Kadungan sel darah putih < 1000 /m3
e. Kadar glukosa serupa dengan plasma
f. Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.14

B. EFUSI PLEURA
1. Definisi
Efusi pleura adalah jumlah cairan non purulen yang berlebihan dalam rongga
pleural, antara lapisan visceral dan parietal (Mansjoer, 2001)
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi
tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara
normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml)
berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
tanpa adanya friksi (Smeltzer, 2002).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat (Price & Wilson, 2005).
Efusi pleura berarti terkumpulnya cairan pada rongga pleura, jika teinfeksi
disebut empiema, jika berhubungan dengan pneumonia disebutt efusi
parapneumonik (Davey, 2006).
Beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa efusi pleura merupakan
keadaan dimana terjadi penumpukan cairan dalam ruang pleura antara lapisan
visceral dan parietal cairannya dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat
berasal darik penyakit lain.

2. Etiologi
Berdasarkan jenis cairan yang terbnetuk, cairan pleura dibagi menjadi
transudat, eksudat dan hemoragis
a. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal
jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis kepatis),
syndroma vena cava superior, tumor, sindromameig.
b. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia dan sebagainya, tumor,
ifarkparu, radiasi, penyakit kolagen.
c. Effusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark
paru, tuberkulosis.
d. Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral
dan bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik
dengan penyakit penyebabnya akan tetapi effusi yang bilateral ditemukan
pada penyakit-penyakit dibawah ini:Kegagalan jantung kongestif,
sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor
dan tuberkolosis (Muttaqin, 2008).
e. Gangguang reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena tumor)
f. Peningkatan produksi cairsan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura)
g. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung).
h. Meningkatnya tekanan osmotik koloid plasma (misalnya
hipoproteinemia).
i. Meningkatnya persmeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
j. Berkurangnya absorbsi limfatik

3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik efusi pleura akan tergantung dari jumlah cairan yang ada
serta tingkat kompresi paru. Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya < 250 ml),
mungkin belum menimbulkan manifestasi klinik dan hanya dapat dideteksi
dengan X-ray foto thorakks. Dengan membesarnya efusi akan terjadi restriksi
ekspansi paru dan pasien mungkin mengalami :
a. Dispneu bervariasi
b. Nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit
pleura
c. Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
d. Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
e. Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
f. Perkusi meredup di atas efusi pleura
g. Egofoni di atas paru-paru yang tertekan dekat efusi
h. Suara nafas berkurang di atas efusi pleura
i. Fremitus vokal dan raba berkurang (Misnadiarly, 2008).
4. Patofisiologi
Pleura terdiri dari dua lapisan yang berbeda yakni pleura visceralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam keadaan
normal seharusnya tidak ada rongga kosong antara kedua pleura tersebut, karena
biasanya disana hanya terdapat sedikit ( 10 20 cc ) cairan yang merupakan
lapisan tipis serosa dan selalu bergerak secara teratur. Cairan yang sedikit ini
merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga mereka mudah bergeser satu
sama lainnya. Dalam keadaan patologis rongga antara kedua pleura ini dapat terisi
dengan beberapa liter cairan atau udara.
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan
selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura
visceralis lewat sistem limfatik dan vaskuler. Pergerakan cairan dari pleura
parietal ke pleura visceral dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan
hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan di absorpsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler
pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah
terdapatnya banyak mikrofili di sekitar sel-sel mesothelial.
Efusi pleura sebagai komplikasi dari TB paru terjadi melalui fokus sub pleura
yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya
perkejuan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga, atau
kolumna vertebralis. Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Cairan efusi biasanya serous, kadang-kadang hemoragik. Jumlah
leukosit antara 500 2000 / cc. Caiaran efusi sangat sedikit mengandung kuman
tuberkulosis. Timbulnya cairan efusi bukanlah karena adanya bakteri tuberkulosis,
tapi karena reaksi hipersensitifitas terhadap tuberkulo protein. Pada dinding pleura
dapat ditemukan adanya granuloma.

5. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang


Pemersiksaan khusus untuk mencasi penyebab efusi adalah dengan
membedakan kandungan protein tinggi atau rendah, yaitu apakah efusi berupa
eksudat atau trsansudat (Davey, 2006).
Jika diduga tersjadi infeksi pleursa, pH cairan harsus diukur (pH 7,2
menunjukkan efusi parsapneumonik dengan komplikasi atau empema. Juga harus
dilakukan pemersiksaan biokimiawi cairsan (laktat dehidrsogenase [LDH] tinggi
pada efusi reumatoid dan perkirsaan kadar protein), mikrsobiologi kultur dan
pemersiksaan sitologi (Davey, 2006).
Pemeriksaan pencitraan radiologis
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah
cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas
intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.7
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini
masih merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura
pada awal diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang
menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke
lateral, serta sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA
setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul sebelumnya agar dapat
terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral dekubitus dapat
mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto
lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah
melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk
dilakukantorakosentesis. Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin tidak
dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga masif dapat
memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang menyebar pada
bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi hemidiafragma, disposisi
kubah diafragma pada daerah lateral.
C

B
A

Gambar 1. Efusi pleura masif pada paru kanan. (A) Gambaran luscens pada paru normal.
(B) Gambaran opaque menunjukkan efusi pleura. (C) Gambaran luscen yang lebih sempit
pada paru yang terdesak cairan efusi pleura

Pemeriksaan Laboratorium
Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :

a. Pemeriksaan Biokimia
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut :

Transudat Eksudat
Kadar protein dalam effusi 9/dl <3 >3
Kadar protein dalam effusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam effusi (1-U) < 200 > 200
Kadar LDH dalam effusi < 0,6 > 0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan effusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negatif Positif
Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan
juga cairan pleura :
- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-
penyakit infeksi, arthritis reumatoid dan neoplasma
- Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan
metastasis adenocarcinona (Soeparman, 2008).
b. Analisa cairan pleura
- Transudat : jernih, kekuningan
- Eksudat : kuning, kuning-kehijauan
- Hilothorax : putih seperti susu
- Empiema : kental dan keruh
- Empiema anaerob : berbau busuk
- Mesotelioma : sangat kental dan berdarah
c. Perhitungan sel dan sitologi
Leukosit 25.000 (mm3):empiema
Banyak Netrofil: pneumonia, infark paru, pankreatilis, TB paru
Banyak Limfosit : tuberculosis, limfoma, keganasan.
Eosinofil meningkat: emboli paru, poliatritis nodosa, parasit dan
jamur
Eritrosit : mengalami peningkatan 1000-10000/ mm3 cairan tampak
kemorogis, sering dijumpai pada pankreatitis atau pneumoni.
Bila erytrosit > 100000 (mm3 menunjukkan infark paru, trauma
dada dan keganasan.
Misotel banyak: Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan.
Sitologi : Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan dapat ditemukan
sel ganas. Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi
cairan pleura lewat mekanisme obstruksi, preamonitas atau
atelektasis
d. Bakteriologis
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah
pneamo cocclis, E-coli, klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada
pleuritis TB kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat
menunjukkan yang positif sampai 20 % (Soeparman, 2008).

6. Terapi efusi pleura


Prinsip terapi pasien dengan efusi pleura adalah mengeluarkan isi abnormal di
dalam cavum pleura dan berusaha mengembalikan fungsi tekanan negatif yang
terdapat di dalam cavum pleura.
Beberapa pilihan untuk terapi pada efusi pleura adalah sebagai berikut :
a. Water Seal Drainage (tube thoracostomy) : modalitas terapi yang bekerja
dengan menghubungkan cavum pleura berisi cairan abnormal dengan
botol sebagai perangkat WSD yang nantinya akan menarik keluar isi cairan
abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan mengembalikan cavum
pleura seperti semula, menyebabkan berkurangnya kompresi terhadap paru
yang tertekan dan paru akan kembali mengembang.
b. Thoracocentesis : modalitas terapi yang bekerja dengan cara melakukan
aspirasi menggunakan jarum yang ditusukkan biasanya pada linea axillaris
media spatium intercostalis. Aspirasi dilakukan dengan menggunakan
jarum dan spuit, atau dapat juga menggunakan kateter. Aspirasi dilakukan
dengan batas maksimal 1000 1500 cc untuk menghindari komplikasi
reekspansi edema pulmonum dan pneumothoraks akibat terapi.
c. Pleurodesis : modalitas terapi yang bekerja dengan cara memasukkan
substansi kimiawi pada dinding bagian dalam pleura parietal, dengan
tujuan merekatkan hubungan antara pleura visceral dan pleura parietal.
Dengan harapan celah pada cavum pleura akan sangat sempit dan tidak
bisa terisi oleh substansi abnormal. Dan dengan harapan supaya paru yang
kolaps bisa segera mengembang dengan mengikuti gerakan dinding dada.
7. Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang
mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan
pleura. Namun demikian, pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan lebih
rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi
memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien dengan pneumonia saja.
Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat,
biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak ditangani
dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva hingga
sepsis (Muttaqin, 2008).
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk,
dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada pria
hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita
lebih sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup adalah
3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap
kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan hidup yang
lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan analisa
biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan pleura
dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan tumor
yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk(Muttaqin, 2008).

1. Clinical Pathway

Payah Penyakit ginjal infeksi


jantung

Efusi Pleura

Nyei Akut

Iritasi memban mukosa


Pengumpulan cairan di rongga pleura dalam salauran pernafasan

Nodmal cairan 10- 20 ml Ekspansi paru


menurun
batukSebagai pelicin gesekan Pertukaran O2
kedua plera pada waktu alveoli menuun

sputum bernafas

Kesuulitan tidur dypsnea


Nutrisi kurang Bersihan jalan
dimalam
Kompensasi hari
Ketidaknyamanan
Gangguan dan
tubuh
pola PolaBau
nafas
sputum nafas tidak
dari kebutuhan
Mual, muntah anoreksia darah Serosa jernih
Nanah saat siang
untuk
tidur
Cairan harisusu
bernafas
terlentang
tidur
sepeti tidak efektif
tertinggal dimulut efektif
tubuh
2. Asuhan Keperawatan
Pengkajian Umum
a. Identitas klien
Nama: mengetahui identitas klien
Umur dan tanggal lahir: dapat terjadi pada semua usia.
Jenis kelamin: bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan
Suku bangsa: dapat terjadi pada semua suku bangsa
Pekerjaan: pekerjaan yang meningkatkan efusi pleura dapat memicu lebih
banyak terjadinya misalnya pekerjaan yang setiap hari terpapar dengan
AC, lingkungan udara yang kurang sehat.
Pendidikan: pendidikan menentukan pengetahuan dalam memahami proses
penyakit
Status menikah: dukungan dari istri/suami dapat mempercepat proses
penyembuhan dari pada klien yang hidup sendiri
Alamat: mengetahui identitas klien
Tanggal MRS: mengetahui identitas klien
Diagnosa medis: Efusi Pleura
b. Identitas penaggung jawab meliputi nama, umur, tanggal lahir, jenis
kelamin, alamat.
c. Alasan MRS dan Keluhan Utama: Keluhan utama merupakan faktor utama
yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa
sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang
bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta
batuk non produktif.
d. Riwayat penyakit sekarang: Pasien dengan effusi pleura biasanya akan
diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri
pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. Perlu
juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah
dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya
tersebut.
e. Riwayat penyakit dahulu: Perlu ditanyakan apakah pasien pernah
menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma,
asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
adanya faktor predisposisi.
f. Riwayat penyakit keluarga: Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga
yang menderita penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi
pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya
g. Pola pemeliharaan kesehatan
1) Merupakan pola kesehatan yang sering dilakukan misalnya :
2) Kebiasaan minum alkohol
3) Kebiasaan merokok
4) Menggunakan obat-obatan
5) Aktifitas atau olahraga
6) Stress

Pengkajian Fisik (B1-B6)


Setelah melaukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan
focus pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien. Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa
TTV. Pada klien pneumonia biasanya didapatkan sesak nafas, peningkatan
suhu tubuh lebih dari normal yaitu 38-48 oC, kemerahan, panas, kulit kering,
dan berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi
dan iritasi alveoli yang sudah menggangu pusat pengatur suhu tubuh
(Muttaqin, 2008).

B1 Breathing
Inspeksi apakah terdapat batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering
didapatkan pada pasien pneumonia. Palpasi adanya ketidaksimetrisan
pernapasan pada klien. Perkusi seluruh dada dan lapang paru untuk
menentukan letak gangguan di paru sebelah mana. Auskultasi bunyi napas
tambahan yaitu stridor maupun ronkhi pada pasien efusi untuk menentukan
efusi terletak pada lobus paru sebelah mana.
B2 Blood
Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokonstriksi, kualitas darah
menurun. Berhubungan dengan adanya agen asing yang masuk di dalam
tubuh.
B3 Brain
Pada klien dengan efusi pleura pada fase akut dapat terjadi penurunan GCS,
refleks menurun atau normal, letargi. Terjadi karena virus atau bakteri di
dalam paru besirkulasi mengikuti aliran darah menuju sistem saraf pusat.
B4 Bladder
Pada efusi pleura produksi dapat menurun atau normal. Observasi adanya
penurunan urin sebagai tanda terjadinya penurunan tekanan darah atau syok
hipovolemik.
B5 Bowel
Efusi pleura kadang tidak mempengaruhi sistem pencernaan, feses normal
atau dapat terjadi mual dan muntah akibat terapi pengobatan dan anoreksia.
B6 Bone
Akibat gangguan pada ventilasi paru maka suplai O2ke jaringan juga
menurun mengakibatkan penurunan tonus otot dan nyeri otot. Kulit nampak
pucat, sianosis, banyak keingat, suhu kulit meningkat serta kemerahan.

Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit
mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga
memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan
penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui
status nutrisi pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan
minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan
mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan
penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi
akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnya
lemah.

3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan ilusi dan defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan
umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga
akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur
abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.

4) Pola aktivitas dan latihan


Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
dan Px akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya
nyeri dada. Dan untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian
kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.

5) Pola tidur dan istirahat


Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu
akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang
ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir,
berisik dan lain sebagainya.

6) Pola hubungan dan peran


Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami
perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh
anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di
masyarakatpun juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi
hubungan interpersonal pasien.

7) Pola persepsi dan konsep diri


Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya
sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang
awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah
penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan
kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.

8) Pola sensori dan kognitif


Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian
juga dengan proses berpikirnya.

9) Pola reproduksi seksual


Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse
akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah
sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.

10) Pola penanggulangan stress


Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan
mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada
perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap
lebih tahu mengenai penyakitnya.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu
cobaan dari Tuhan.
Diagnosis Keperawatan

1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan nafas berhubungan dengan penumpukan


sekret pada bronkus
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pengembangan
paru
3. Nyeri akut berhubungan dengan cedera membran mukosa paru
4. Nutisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
5. Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang
menetap dan sesak nafas
Rencana tindakan keperawatan
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan Bersihan NOC: NIC:
- Respiratory 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal 1. Membebaskan
Jalan nafas berhubungan
status : Ventilation (NOC: suctioning. jalan napas
dengan penumpukan sekret
2. Berikan O2 l/mnt,
434b)
pada bronkus (NANDA: 2. Memperkuat
- Respiratory metode
380) 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan keadekuatan pernapasan
status : Airway patency(NOC:
DS: 3. Mengurangi
napas dalam
- Dispneu 432-433b)
4. Posisikan pasien untuk kebutuhan energi dan
DO: - Aspiration
- Penurunan suara nafas memaksimalkan ventilasi penggunaan O2
Control
- Orthopneu 5. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu 4. Mempertahankan
Setelah dilakukan tindakan
- Cyanosis 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
keadekuatan pernapasan
- Kelainan suara nafas (rales, keperawatan selama 1 x24
suction 5. Membantu
wheezing) jampasien menunjukkan 7. Auskultasisuaranafas,
mengeluarkan sekret yang
- Kesulitan berbicara
keefektifan jalan nafas dibuktikan catatadanyasuaratambahan
- Batuk, tidak efekotif atau menumpuk
8. Berikanbronkodilator :
dengan kriteria hasil : 6. Membantu
tidak ada 9. Monitor statushemodinamik
a. Mendemonstrasikan batuk
- Produksi sputum 10. Berikan pelembab udara Kassa mengeluarkan sekret yang
- Gelisah efektif dan suara nafas yang
basah NaCl Lembab menumpuk
- Perubahan frekuensi dan
bersih, tidak ada sianosis dan 11. Berikanantibiotik : 7. Mengetahui apakah
irama nafas 12. Atur intake untuk cairan
dyspneu (mampu sekret sudah keluar
mengoptimalkan keseimbangan. 8. Melebarkan
mengeluarkan sputum,
13. Monitor respirasi dan status O2
bronkus
bernafas dengan mudah, tidak 14. Pertahankanhidrasi yang
9. Mengontrol
ada pursed lips) adekuatuntukmengencerkansekret
b. Menunjukkan jalan nafas 15. Jelaskan pada pasien dan keluarga keadaan kardiopulmonal
10. Melembabkan
yang paten (klien tidak tentang penggunaan peralatan : O2,
udara yang baik bagi penapasan
merasa tercekik, irama nafas, Suction, Inhalasi.
11. Membantu
frekuensi pernafasan dalam
membunuh invasi antigen dari
rentang normal, tidak ada
eksternal
suara nafas abnormal) 12. mengoptimalkan
c. Mampu mengidentifikasikan
keseimbangan
dan mencegah faktor yang 13. mengetahui status
penyebab. O2
d. Saturasi O2 dalam batas 14. mengencerkan
normal sekret
e. Foto thorak dalam batas 15. mengurangi
normal kecemasan keluaga
3. Nyeri kepala akut NOC: NIC:
Pain Control (NOC: 615b) Pain Management
berhubungan dengan
Pain Level (NOC: 392b) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui gambaran klinis
peningkatan tekanan Comfort Status (NOC: 158b)
komprehensif termasuk lokasi, nyeri yang dirasakan
intracranial (TIK) Setelah dilakukan tinfakan
karakteristik, durasi, frekuensi,
(NANDA: 440) keperawatan selama . Pasien
kualitas dan faktor presipitasi 2. Memvalidasi ketidaknyamanan
tidak mengalami nyeri, dengan 2. Observasi reaksi nonverbal dari
klien melalui subjektif dan
kriteria hasil: ketidaknyamanan
objektif
Mampu mengontrol nyeri (tahu 3. Dukungan untuk kesembuhan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk
penyebab nyeri, mampu klien
mencari dan menemukan dukungan
menggunakan tehnik 4. Kontrol lingkungan yang dapat 4. Memberikan kenyamanan klien
nonfarmakologi untuk mempengaruhi nyeri seperti suhu agar tidak fokus pada nyeri
mengurangi nyeri, mencari ruangan, pencahayaan dan
5. Menghindari timbulnya nyeri
bantuan) kebisingan 6. Untuk menentukan intervensi
Melaporkan bahwa nyeri 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri 7. Memberikan kenyamanan klien
6. Kaji tipe dan sumber nyeri
berkurang dengan menggunakan 7. Ajarkan agar tidak fokus pada nyeri
tentang teknik non
manajemen nyeri farmakologi: napas dada, relaksasi, 8. Bantuan farmakologis dasar
Mampu mengenali nyeri (skala,
distraksi, kompres hangat/ dingin
intensitas, frekuensi dan 8. Berikan analgetik untuk mengurangi 9. Mengurangi timbulnya nyeri
10. Meningkatkan koping diri klien
tandanyeri) nyeri: ...
Menyatakan rasa nyaman 9. Tingkatkan istirahat
setelah nyeri berkurang 10. Berikan informasi tentang nyeri
Tanda vital dalam rentang seperti penyebab nyeri, berapa lama
normal (Suhu : 36,5-3,5C; TD: nyeri akan berkurang dan antisipasi
100/70-140/90 mmHg; nadi: 60- ketidaknyamanan dari prosedur
100 x/menit; RR: 16-24
x/menit)
Tidak mengalami gangguan
tidur
4. Nyeri akut berhubungan NOC : NIC:
- Pain Level, Pain Management
dengan cedera jaringan - pain control, 11. Lakukan pengkajian nyeri secara 11. Mengetahui gambaran klinis
alveoli - comfort level
komprehensif termasuk lokasi, nyeri yang dirasakan
Setelah dilakukan tinfakan
DS: keperawatan selama 2 x 24 karakteristik, durasi, frekuensi,
- Laporan secara verbal
jamPasien tidak mengalami nyeri, kualitas dan faktor presipitasi
DO: 12. Memvalidasi ketidaknyamanan
12. Observasi reaksi nonverbal dari
- Posisi untuk menahan dengan kriteria hasil:
klien melalui subjektif dan
a. Mampu ketidaknyamanan
nyeri
objektif
- Tingkah laku berhati-hati mengontrol nyeri (tahu
13. Bantu pasien dan keluarga untuk 13. Dukungan untuk kesembuhan
- Gangguan tidur (mata
penyebab nyeri, mampu
mencari dan menemukan dukungan klien
sayu, tampak capek, sulit
menggunakan tehnik 14. Kontrol lingkungan yang dapat 14. Memberikan kenyamanan klien
atau gerakan kacau,
nonfarmakologi untuk mempengaruhi nyeri seperti suhu agar tidak fokus pada nyeri
menyeringai)
mengurangi nyeri, mencari ruangan, pencahayaan dan
- Terfokus pada diri 15. Menghindari timbulnya nyeri
bantuan) kebisingan 16. Untuk menentukan intervensi
sendiri
b. Melaporkan 15. Kurangi faktor presipitasi nyeri 17. Memberikan kenyamanan klien
- Fokus menyempit
16. Kaji tipe dan sumber nyeri
bahwa nyeri berkurang agar tidak fokus pada nyeri
(penurunan persepsi 17. Ajarkan tentang teknik non
dengan menggunakan
waktu, kerusakan proses farmakologi: napas dada, relaksasi, 18. Bantuan farmakologis dasar
manajemen nyeri
berpikir, penurunan distraksi, kompres hangat/ dingin
c. Mampu 19. Mengurangi timbulnya nyeri
18. Berikan analgetik untuk mengurangi
interaksi dengan orang 20. Meningkatkan koping diri klien
mengenali nyeri (skala,
nyeri: ...
dan lingkungan)
intensitas, frekuensi dan tanda 19. Tingkatkan istirahat
- Tingkah laku distraksi,
20. Berikan informasi tentang nyeri
nyeri)
contoh : jalan-jalan,
d. Menyatakan seperti penyebab nyeri, berapa lama
menemui orang lain
rasa nyaman setelah nyeri nyeri akan berkurang dan antisipasi
dan/atau aktivitas,
berkurang ketidaknyamanan dari prosedur
aktivitas berulang-ulang) e. Tanda vital
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan dalam rentang normal
f. Tidak
tekanan darah, perubahan
mengalami gangguan tidur
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
Discharge Planning(NIC: 150)
a. Kaji kemampuan klien untuk
meninggalkan RS
b. Kolaborasikan dengan
terapis, dokter, ahli gizi, atau petugas kesehatan lain tentang kebelanjutan
perawatan klien di rumah
c. Identifikasi bahwa pelayanan
kesehatan tingkat pertama (puskesmas atau petugas kesehatan di rumah
klien) mengetahui keadaan klien
d. Identifikasi pendidikan
kesehatan apa yang dibutuhkan oleh klien yaitu hindari penyebab
kambuhnya pneumonia, cara penularan, dan pencegahan kekambuhan,
melakukan gaya hidup sehat.
e. Komunikasikan dengan klien
tentang perencanaan pulang
f. Dokumentasikan
perencanaan pulang
g. Anjurkan klien untuk
melakukan pengontrolan kesehatan secara rutin
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner
dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Bulecked, G.M, et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). United
Sates of America: Elsevier.

Davey, P. 2006. At a glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluan Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Penumonia Atipik & Pneumonia Atypik
Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Moorhead, S., et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC). United Sates
of America: Elsevier.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Penapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Pearce, E.C. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.

Price, A & Wilson, L. 2004. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC.

Soemantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai