Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi


perhatian para ahli dan para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan
soma) saling terkait secara erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang selanjutnya
tercermin dengan jelas dalam ilmu kedokteran psikosomatik. 1
Di masa prasejarah masyarakat percaya bahwa penyakit disebabkan
oleh kekuatan roh jahat/setan. Oleh karena itu pengobatannya harus
dilakukan dengan mantera-mantera. Di masa peradaban kuno kemudian
dipercaya bahwa pikiran memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi
badan, sehingga gangguan pada badan tidak bisa disembuhkan tanpa
mengobati kepalanya (pikiran).1
Dalam perkembangannya tidak hanya aspek fisis dan psikis saja
yang menjadi titik perhatian, tetapi juga aspek spiritual (agama) dan
lingkungan merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mencapai
keadaan kesehatan yang optimal. Hal ini sesuai dengan definisi WHO
tentang pengertian sehat yang meliputi kesehatan fisis, psikologis, sosial,
dan spiritual. Jadi mempunyai 4 dimensi yaitu bio-psiko-sosio-spiritual.1
Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek bio-
psiko-sosio-spiritual tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan
pendekatan dan pengobatan terhadap pasien secara holistic (menyeluruh)
dan ekliktik (rinci) yaitu pendekatan psikosomatik.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan
gejala-gejala yang menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya
hubungan yang erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan
timbulnya gejala-gejala tersebut. Ada juga yang memberikan batasan
bahwa gangguan psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu

4
alat atau sistem organ yang dapat dinyatakan secara obyektif, misalnya
adanya spasme, hipo atau hipersekresi, perubahan konduksi saraf dan lain-
lain. Keadaan ini dapat disertai adanya organik/struktural sebagai akibat
gangguan fungsional yang sudah berlangsung lama.1
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan
psikosomatik ialah adanya gangguan psikis dan somatik yang menonjol
dan tumpang tindih. Berdasarkan pengertian dan kenyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik adalah
gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan
somatik yang dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan
ataupun tanpa gejala objektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan
organik/ struktural yang berkaitan dengan stressor atau peristiwa
psikososial tertentu.1
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan
struktural organis dapat berhubungan sebagai berikut:

Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau
mempengaruhi timbulnya gangguan struktural seperti asma
bronchial, hipertensi, penyakit jantung koroner, arthritis
rheumatoid dan lain-lain

Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan
psikis dan menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti
pada pasien penyakit jantung, penyakit kanker, gagal ginjal dan
lain-lain.

gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh
sebab yang berbeda.1
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi
seperti frustasi, konflik, ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai
keluhan utama oleh pasien. Justru keluhan keluhan fisis yang beraneka
ragam yang selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan yang
dirasakan pasien umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti
keluhan sitem kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran
urogenital, dan sebagainya.
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya
ketidakseimbangan sistem saraf otonom vegetatif, seperti sakit kepala,

5
pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan, banyak keringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada lambung, dan usus, diare,
anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin
seluruh tubuh dan banyak lagi gejala lainnya.1

II. PATOMEKANISME
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan
gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan
psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan
biokimia pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat
dengan adanya gangguan pada sistem saraf autonom vegetatif, sistem
endokrin dan sistem imun.1
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui
beberapa teori sebagai berikut:
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui
korteks serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya
ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat
berupa hipertoni parasimpatik, ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi
antara simpatik dan parasimpatik sudah tidak ada lagi dan amfotoni
bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi silih berganti.1
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada
reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah
diketahui berupa amin biogenik antara lain noradrenalin, dopamine,
dan serotonin.1

c. Hiperalgesia Alat Viseral


Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya
gangguan fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral
hyperalgesia. Keadaan ini mengakibatkan respon reflex yang
berlebihan pada beberapa bagian alat visceral tadi. Konsep ini telah

6
dibuktikan pada kasus-kasus non-cardiac chest pain, non-ulcer
dyspepsia dan irritable bowel syndrome.1
d. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya
stress dapat terjadi akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan
tersebut terjadi melalui hypothalamic-pitutary-adrenal axis (jalur
hipotalamus-pituitari-adrenal). Hormone yang berperan pada jalur ini
antara lain: hormon pertumbuhan (growth hormone), prolactin, ACTH,
katekolamin.1
e. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan
sistem endokrin melalui hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat
mempengaruhi imunitas seseorang sehingga mempermudah timbulnya
nfeksi dan penyakit neoplastik. Fungsi imun menjadi terganggu karena
sel-sel imunitas merupakan immunotransmitter mengalami berbagai
perubahan. 1
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai
berikut:

Kualitas dan kuantitas stress yang timbul

Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif

Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas

Lamanya stress

Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien

Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)1

III. DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak
berbeda dengan menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium
atau pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pada umumnya pasien
dengan gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan keluhan
somatiknya. Jarang sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan
secara spontan. Keluhan psikis yang menjadi stressornya baru akan
muncul setelah dilakukan anamnesis yang baik dan mendalam. Keluhan
somatisnya sangat beraneka ragam dan sering berpindah-pindah dari satu
sistem organ ke organ lain.1

7
Gangguan psikosomatik pada orang yang tidak stabil, dapat
disebabkan bukan saja oleh stress yang luar biasa, tetapi juga oleh
kejadian-kejadian dan keadaan sehari-hari, umpamanya rumah tangga
yang sibuk, terlalu banyak orang di dalam satu rumah, suami atau isteri
yang tidak dapat menyesuaikan diri atau tidak mengindahkan keinginan
satu sama lain.2
Untuk itu, penting ditanyakan beberapa pertanyaan berikut dalam
proses anamnesis:
-
Faktor sosial dan ekonomi: kepuasan dalam pekerjaan; kesukaran
ekonomi; pekerjaan yang tidak tentu; hubungan dengan keluarga dan
orang lain; minatnya; pekerjaan yang terburu-buru; kurang terbiasa
-
Faktor perkawinan: perselisihan, perceraian, dan kekecewaan dalam
hubungan sexual; anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
-
Faktor kesehatan: penyakit-penyakit yang menahun; pernah masuk
rumah sakit; pernah dioperasi; adiksi terhadap obat-obatan, tembakau,
dan lain-lain
-
Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi;
status dalam keluarga.2
Untuk menentukan gangguan fungsional, maka anmnesa penting
sekali. Bila kita sudah menentukan bahwa penderita itu mempunyai
gangguan fungsional, maka selanjutnya kita harus menetapkan apakah
sebabnya itu gangguan psikogenik atau non-psikogenik. Apabila kita
sudah menduga bahwa hal itu merupakan gangguan psikogenik, sebaiknya
harus dicari juga korelasi antara gejala-gejala dan stress psikologik.2
Lewis memberikan beberapa kriteria untuk diagnosa gangguan
psikomatik:
1.
Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi
dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan
psikosomatik
2.
Dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak didapati penyakit
organik yang dapat menyebabkan gejala-gejala (atau sebagian gejal-
gejala)
3.
Adanya suatu stress atau konflik yang menyukarkan penderita
4.
Reaksi penderita terhadap stress ini banyak hubungannya dengan
gejala-gejala yang dikeluhkannya, yaitubahwa gejala-gejala itu secara

8
psikosomatik merupakan manifestasi badaniah dari konflik atau
penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
5.
Terjadinya stress itu harus mempunyai korelasi antara waktu dan
timbulnya keluhan, bertambah beratnya atau/dan menahunnya penyakit
yang ada.2
Tidak semua kriteria harus ada, tetapi apabila terdapat beberapa
kriteria yang sesuai sudah merupakan indikasi kea rah gangguan
psikosomatik.1

IV. JENIS GANGGUAN PSIKOSOMATIK


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan
dibagi menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan
gastrointestinal, gangguan kardiovaskular, gangguan pernapasan,
gangguan endokrin, gangguan kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-
onkologi.
a. Gangguan Gastrointestinal
1. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah
epigastrium, sering disebabkan karena kelainan fungsi lambung:
sekresi asam lambung yang berlebihan, motilitas dan tonus yang
meninggi pada otot-otot dinding lambung.2 Legarde dan Spiro
(1984) mengatakan bahwa keluhan tidak enak pada perut bagian
atas yang bersifat intermitten sedangkan pada pemeriksaan tidak
didapatkan kelainan organis. Gejala-gejala yang sering dikeluhkan
pasien berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah makan, kembung,
sering bersendawa, cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa
terbakar pada daerah ulu hati dan regurgitasi.3
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat
penting karena dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini:
-
Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
-
Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
-
Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
-
Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat
mempengaruhi lambung dengan dua cara:

9
-
Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke
nucleus vagus, dan kemudian ke lambung
-
Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri
diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis
anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini
merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan
hormon adrenal yang selanjutnya merangsang produksi asam
lambung.3
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan
memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan.
Terhadap keluhan-keluhan dispepsia dapat diberikan pengobatan
simptomatis seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti
Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti
omeprazole, lansoprazole. Yang tidak kalah pentingnya ialah
melakukan psikoterapi dengan beberapa edukasi dan saran agar
dapat mengatasi atau mengurangi stress dan konflik psikososial.3

2. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di
hipotalamus yang diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui
susunan saraf autonom. Pada waktu tertentu kemungkinan
rangsangan tersebut tidak timbul. Hal ini dapat terjadi pada
seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan gangguan
jiwa lain. Pasien sering mempunyai keluhan tidak dapat atau
mengalami kesulitan buang air besar. Akibat kelainan tersebut,
rangsangan di hipotalamus ikut menurun sampai tidak ada,
sehingga rangsangan di usus besar pun sangat berkurang. Bila
berlangsung terus-menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi
kronik yang selanjutnya disebut konstipasi psikogenik. 4
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih
menitikberatkan pada psikoterapi. Perlu pendekatan psikomatik
dengan memperdulikan faktor-faktor psikis sebagai penyebabnya. 4

3. Diare Psikogenik

10
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang
emosi, atau sedang dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur.
Keadaan demikian akan menyebabkan terangsangnya hipotalamus
terus-menerus secara tidak teratur. Rangsangan di hipotalamus ini
akan diteruskan ke susunan saraf autonom. Susunan saraf yang
berulang kali terangsang ini akan menyebabkan timbulnya
hiperperistaltik kolon, sehingga bolus makanan terlalu cepat
dikeluarkan karena hiperperistaltik tersebut, reabsorpsi air di kolon
terganggu, dan timbullah diare. Bila terjadi berulang kali, timbul
diare kronik. Keadaan demikian disebut diare psikogenik kronik. 4
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering
buang air besar yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat
cair, jarang disertai lender dan darah, dan tidak pernah disertai
demam. Diare yang timbul biasanya berlangsung beberapa hari,
selama masih ada gangguan psikis. 4

4. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik.
Tidak dapat diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi
otot-otot yang tinggi, respiratory quotient yang rendah, specific
dynamic action dari makanan atau penyimpanan yang abnormal
oleh orang gemuk itu. 2
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan smapai
dengan suatu nerosa yang hebat dapat menyebabkan makan
berlebihan. Kadang-kadang orang yang merasa tidak bahagia
mencari kesenangan dalam makanan. Mungkin bila ia mengalami
banyak kekecewaan dalam pekerjaan atau kehidupan seksual,
makanan bukan saja daoat merupakan pembelaan atau hiburan,
tetapi juga dapat merupakan substitusi. 2
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu
perlu diturunkan, mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan
psikoterapi bila terdapat konflik; dapat juga diberikan obat-obat
untuk menekan nafsu makan beserta vitamin supaya tidak
kekurangan bila makan berkurang. 2

11
b. Gangguan Kardiovaskular
1. Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu
penyakit yang multifaktorial. Selain faktor psikis yang
menstimulasi efek simpatikotonik, pengaruh lingkungan sekitar
dan sosio-kultural juga ikut berperan. Faktor-faktor psikis
stuasional yang menyebabkan kenaikan tekanan darah, merupakan
model outlet yang aman sebagai reaksi normal fisiologis. 5
Menurut Groen, mekanisme utama perkembanghan menjadi
hipertensi yaitu perubahan suatu reaksi fisiologis yang
dihubungkan dengan behavior readiness, oleh suatu reaksi
neuroviseral; sebagai ganti aktivitas neuromuscular yang kuat dan
volume semenit jantung yang meningkat, serta resistensi pembuluh
darah yang meningkat pula.5
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien
membutuhkan terapi kombinasi. Terapi dengan obat seringkali
perlu diberikan, namun efek samping harus diperhatikan.
Reserpine, misalnya, juga mempunyai efek samping depresif.
Latihan autogen (autogenic training) sebagai latihan rileks pada
hakikatnya sangat baik, namun seringkali menambah rasa takut dan
kegelisahan, karena aktivitas defense yang menutup-nutupi rasa
takut dihilangka, sehingga konflik internal malah dialami lebih
jelas. 5

2. Gangguan Irama Jantung


Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap
rangsangan pikis dan penilaiannya dalam hal khayalan dan
pengalaman merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam
terjadinya penyakit. Faktor-faktor emosional dapat bekerja dengan
3 cara:
a.
Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan jiwa
mempengaruhi fungsi somatik secara tidak khas.emosi agresif
mempercepat frekuensi jantung. Pengalaman depresif menekan
dan memperlambatnya.

12
b.
Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur, maka
persepsi gangguan irama dapat menimbulkan kecemasan atau
ketidakseimbangan vegetatif.5
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya gangguan
frekuensi denyut dan disaritmia jantung. Pada gangguan frekuensi
jantung, pengaruh fisis, toksik, infeksi dan degenerasi, juga faktor
piskis.5
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada
umumnya tidak akan menyebabkan kematian, namun dapat
memberikan impilkasi yang buruk terhadap kondisi ppsikis pasien.
Maka psikoterapi suportif dan pemberian ansiolitik dapat
mencegah perburukan kondisi psikis dan menghilangkan ritma.5

c. Gangguan Pernapasan
1. Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan
ventilasi berlebihan yang menyebabkan perubahan hemodinamik
dan kimia sehingga menimbulkan berbagai gejala. Mekanisme
yang mendasari hingga terjadi sindrom hiperventilasi belim jelas
diketahui.6
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab yang
mencetuskan penyakit ini ialah perubahan pernapasan, yang ia
namakan sindrom pernapasan nervous yang biasanya disebabkan
oleh faktor emosional/stress psikis. Terapat 2 jenis pernapasan
yang dapat ditemukan, yaitu: 6
a. Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai
pengutaraan rasa takut yang khas.
b. Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan
napas dalam sebagai pengutaraan situasi pribadi yang bersifat
keletihan dan pasrah, yaitu pertanda tujuan tidak dapat dicapai
kendati sudah diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah napas
sesak, napas pendek, dada tertekan, nyeri pada epigastrium, pusing,
sakit kepala,mulut dan tenggorokan kering, disfagi, dan rasa penuh
pada lambung.penyebab paling sering untuk hiperventilasi ialah
emosi rasa takut dan kegelisahan. 6

13
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:
a. Pasien disuruh bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam
sungkup kantong plastic bila didapatkan tanda alkalosis agar
PCO2 dalam darah naik.
b. Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena
mempunyai efek placebo. Pasien merasa hangat dan enak,
tetapi kadar ion kalsium tidak akan naik.
c. Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan
diafragma.
d. Psikoterapi: membantu menyelesaikan problem-problem
emosional pada pasien, termasuk melakukan terapi pelaku
(Cogntive Behavioral Teraphy)
e. Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan
panic (panic disorder), maka pemberian obat yang tepat adalah
golongan benzodizepin atau golongan SSRI (Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor)

2. Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas yang
diikuti bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi
inflamasi kronik serta kerusakan epitel. Dalam perkembangannya,
pathogenesis asam dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor genetik ,
permusuhan, kejengkel(atopi dan hiperaktivitas bronkus pada
keluarga), faktor lingkungan, allergen seperti debu rumah, serbuk
sari bunga, virus dan bakteri, polusi udara; faktor individu, adanya
stressor dan kemampuan untuk mengatasi asma.7
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial,
sebagai berikut:
-
Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian,
pertama masuk kerja, menderita penyakit, berpisah dengan
orang tua, dll
-
Kejadian-kejadian traumatic: perkelahian/pertentangan dengan
orang tua, permusuhan, kejengkelan dalam kerja.
-
Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau anak,
kehilangan harta benda, dan musibah lainnya7
Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar
yang sudah baku sesuai dengan tingkat beratnya penyakit

14
(bronkodilator, kortikosteroid). Sedangkan untuk gangguan
psikosomatik seperti adanya anxietas atau depresi secara
bersamaan dilakukan psikoterapi dan psikoedukasi serta
psiokfarmaka yang sesuai. Pada gangguan anxietas yang menyertai
atau mencetuskan asma dapat diberikan golongan benzodiazepine
seperti alprazolam, klobazam. Bila dijumpai adanya presi, maka
dapat diberikan antidepresan yang aman misalnya golongan SRI
seperti sertraline, fluoksetin.7
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma
memang belum ada standar, namun pada umumnya pengobatan
meliputi psikoterapi superfisial, edukasi, instruksi.
-
Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka
diberikan edukasi mengenai perjalanan penyakit asma,
mekanisme timbul, faktor resiko, pengobatan dan pencegahan.
Psikoterapi ini diberikan untuk meningkatkan daya adaptasi
dan kemampuan untuk menyelesaikan atau menghilangkan
stressor psikososial yang dialami pasien.2,7
-
Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring
PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) di rumah.
-
Autogrnic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan
memahami bahwa faktor psikis dapat menimbulkan reaksi
bronkospasme.
-
Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian
diri sendiri kepada hal-hal yang bermanfaat.
-
Psikoterapi analisis yang sederhana.7

d. Gangguan Endokrin
1. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang
dianggap bersifat psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah
marah, paranoid, rasa seperti leher tercekik atau terikat, rasa takut
tanpa sebab yang jelas, insomnia dengan mimpi buruk, dan gugup.
Keluhan ini sering diikuti dengan hiperaktivitas saraf otonom
seperti keringat banyak, mulut kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi
cepat, dan sebagainya.8

15
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism
dengan obat-obat dan bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat
sangat membantu. Psikoterapi perlu, terutama pada penderita
dengan konflik yang mendalam dan yang tidak dapat
menyesuaikan diri.2

2. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik
yang ditandai dengan adanya defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Hipetglikemia kronik pada pasien diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah serta mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan
psikis yang biasa terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah
depresi. 9
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang
berhubungan dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada
diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang dialami
dari penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan adaptasi
dengan gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:9
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan
dan adaptasi psikologis menjadi lebih baik sehingga
mengurangi kemungkinan gejala depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama
dengan psikoterapi, psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak.
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT) sangat bermanfaat
diberikan pada pasien depresi dengan diabetes mellitus dan
dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT tersebut
adalah:9
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan
kehidupan sosial yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.

16
c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi
dan menggantinya dengan pandangan yang akurat, adaptif dan
akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan
untuk penderita diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor) dapat mengurangi resistensi insulin
sehingga gula darah dapat lebih terkontrol. Beberapa golongan obat
SSRI seperti fluoksetin memiliki efek menurunkan berat badan
sehingga baik diberikan pada penderita diabetes yang gemuk. Efek
samping yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien yang disertai gangguan
ginjal.9

e. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan
pathogenesis autoimun dan etiologi yang multikompleks. Berbagai
faktor yang dapat berperan penting seperti immunogenetik, kelamin,
umur dan stress. Hubungan stress dengan AR masih belum jelas,
meskipun pada berbagai penelitian terdapat perkembangan bahwa
faktor stressor lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi faktor
predisposisi.10
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri
psikodinaik dan kepribadian yang khas, yaitu:
-
Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan
kecenderungan menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.
-
Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat
menolong yang berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung
depresif.
-
Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan
berkebun sebagai penyaluran agresi.2,10
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR,
kemampuan menanggulangi nyeri dan menanggulagi ketidakmampuan
serta dukungan sosial telah terbukti berhubungan dengan derajat nyeri,

17
disabilitas dn aktivitas penyakit AR. Faktor psikososial seperti stress
psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan dalam kemampuan
menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada keadaan
sakit dengan mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang
selanjutnya berpengaruh pada mekanisme dalam tubuh termasuk
kerentanan dan kekambuhan penyakit AR.10

f. Gangguan Urologi
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik
terutama pada wanita hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara
psikofisiologis yang mendasari terjadinya irritable bladder ialah
sensibilitas fungsi kandung kemih yang berlebihan atau ambang
rangsang yang rendah yang bersifat psikovegetatif, yang dapat
ditemukan dengan pengukuran tegangan intravesikal. Dengan
demikian perubahan-perubahan pengisian kandung kemih yang
berlebihan. Secara psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi
konflik seksual, rasa malu dan takut pada percobaan koitus, rasa segan
terhadap pasangan.11
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:
-
Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
-
Polakisuria tanpa ada kelainan organ
-
Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
-
Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual11

V. PENATALAKSANAAN
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter
umum tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai
gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan.2
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan
psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita
tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak
terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur.
Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat

18
diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi
merah, orang yang takut menjadi
bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan
dan pengetahuan penderita.2

Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi


yaitu: 2
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan
dokter bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis
yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu.
Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan
tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk
bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara.
Untuk memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta
menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :
Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh
dan menderita
Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang
sudah kita obati
Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain
Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan
gangguan emosional
Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau berkurang bila diobati dengan baik
Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan
kecemasan
Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala
Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa

19
Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat.
Sering gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.

Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini
pasien yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan
wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa
sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian.
Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak
terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan. Terdapat 3 golongan
senyawa psikofarmaka2
1. Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan
kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin,
prometazin.2,12
2. Obat penenang minor dan mayor
Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas,agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine
hanya diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan sebelum
dicoba dihentikan secara perlahan (tapering off) untuk menghindari
toleransi dan adiksi.2,12
Obat penenang mayor
Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan
butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol.
Diberikan hanya pada kasus gejala agitasi , kegelisahan yang
berlebihan, agresi dan kegaduhan.2,12
3. Antidepresan
Yang biasa digunakan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan

20
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik
sudah jarang digunakan karena efek samping yang banyak akibat kerja
anti kolinergiknya. Antidepresan baru dengan efek samping yang
minimal adalah golongan:
-
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin,
fluoksetin, fluvoksamin
-
SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
-
SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
-
RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A):
Moklobemid
-
NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
-
Atipik: Trazodon, Nefazodon12

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan psikosomatik merupakan gangguan yang melibatkan antara


pikiran dan tubuh. Hal ini berarti bahwa adanya faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis.

21
Komponen emosional memainkan peranan penting pada gangguan
psikosomatik.
Manifestasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepribadian
seseorang.
Gangguan psikosomatik dapat rnelibatkan berbagai sistem organ di
dalam tubuh sehingga memerlukan penanganan secara terintegrasi dari
ahli medis dan ahli psikiatri.
Pengobatan gangguan psikosomatik dari sudut pandang psikiatrik
adalah tugas yang sulit.
Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan
fungsi dan untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.
Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan
lebih sehat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran Umum


dan Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI.
Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p896-8
2. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. p339-72
3. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang
Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2010.p287-93
4. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906
5. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p907-9
6. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p913-4
7. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI. 2006. p920-1
8. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p922-3
9. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p937-8
10. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
11. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik Pada
Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p924-5

23
12. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran
Kemih. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p953
13. Mudjaddid, E. Budihalim, S. Sukatman, D. Psikofarmaka dan Psikosomatik.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p901-2

24

Anda mungkin juga menyukai