Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesuai dengan Visi Departemen Kesehatan yaitu masyarakat yang mandiri

untuk hidup sehat, dan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi

masyarakat maka diselenggarakan upaya kesehatan dengan pemeliharaan, promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitative, yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan dan diselenggarakan bersama antara pemerintah dan masyarakat.


Untuk mencapai tujuan tersebut, upaya kesehatan harus dilakukan secara

integral oleh seluruh komponen, baik pemerintah, tenaga kesehatan maupun

masyarakat. Oleh karena itu masyarakat harus berperan aktif dalam mengupayakan

kesehatannya sendiri. Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal

dengan istilah swamedikasi. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi

keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam,

nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-

lain.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan

keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya swamedikasi dapat menjadi sumber

terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan

masyarakat akan obat dan penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk

dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat

terhindar dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug

misuse). Masyarakat cenderung hanya tahu merk dagang obat tanpa tahu zat

berkhasiatnya.

1
Sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfungtion syndrome

disingkat MODS) dapat terjadi pada penderita-penderita penyakit dengan kondisi kritis

atau pasca trauma berat. Perjalanan alamiah sindrom ini meliputi perawatan yang lama

diruang intensif sehingga menghabiskan dana dan upaya yang besar. MODS muncul

sebagai akibat langsung dari meningkatnya kecanggihan alat-alat maupun obat-obatan

untuk menunjang kehidupan sehingga berhasil memperpanjang hidup pasien-pasien

kritis yang pada masa-masa sebelumnya tidak ada harapan lagi. Berdasarkan data dari

penelitian-penelitian retrospektif terungkap bahwa ancaman utama terhadap

kelangsungan hidup pasien-pasien kritis ini bukanlah penyakit yang mendasarinya

ataupun komplikasinya, tetapi akibat suatu proses kegagalan fisiologis yang progresif

pada beberapa system organ. Terminologi dysfungtion, lebih dinamis dari pada failure,

menunjukkan bahwa fenomena ini adalah suatu proses menuju kegagalan system organ

dalam fungsinya mempertahankan homeostasis.


Penelitian-penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi, kadang-kadang

tersamar, sebagai factor klinis utama yang berhubungan dengan MODS. Tetapi dalam

penelitian-penelitian terakhir terbukti MODS dapat terjadi tanpa adanya focus infeksi,

dan secara eksperimental MODS dapat ditimbulkan dengan menyuntikkan mediator-

mediator inflamasi. Lebih jauh, penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa

kegagalan fungsi satu organ dapat merugikan fungsi organ-organ lain dan

mempercepat kegagalan organ-organ tersebut.


Angka kematian MODS lebih dari 60%. Mortalitasnya tergantung dari jumlah

organ dan lamanya organ-organ tersebut mengalami kegagalan fungsi, dan tetap

menjadi penyebab kematian tertinggi di ruang gawat darurat intensif non-koroner.


B. Tujuan

2
Untuk memahami MODS dan penatalaksanaan asuhan keperawatan terhadap

pasien MODS secara profesional.

BAB II

KONSEP DASAR

A. Multiple Organ Disfungsi System


1. Definisi
Sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfungtion syndrome

disingkat MODS) dapat terjadi pada penderita-penderita penyakit dengan kondisi

kritis atau pasca trauma berat. Perjalanan alamiah sindrom ini meliputi perawatan

yang lama diruang intensif sehingga menghabiskan dana dan upaya yang besar

(Tabrani Rab, 2007).


MODS muncul sebagai akibat langsung dari meningkatnya kecanggihan

alat-alat maupun obat-obatan untuk menunjang kehidupan sehingga berhasil

memperpanjang hidup pasien-pasien kritis yang pada masa-masa sebelumnya tidak

ada harapan lagi. Berdasarkan data dari penelitian-penelitian retrospektif terungkap

bahwa ancaman utama terhadap kelangsungan hidup pasien-pasien kritis ini

3
bukanlah penyakit yang mendasarinya ataupun komplikasinya, tetapi akibat suatu

proses kegagalan fisiologis yang progresif pada beberapa system organ.


Dalam dekade yang terakhir ini pendekatan ICU baik monitoring maupun

resusitasi diarahkan kepada kegagalan beberapa organ dalan waktu yang sama.

Berdasarkan kematian yang terjadi oleh karena penyakit kardiovaskular, ARDS,

trauma mayor, perdarahan yang massif, pancreatitis nekrotik, kegagalan hati, shosk

dan sepsis akan menimbulkan kegagalan berbagai organ dan secara progresif

menunjukkan perburukan keadaan. Dalam terninologi klinis digunakan istilah

multiple organ dysfungtion syndrome atau dalam tingkat selanjutnya terjadi

multiple organ system failure atau disebut juga dengan MOSF. Walaupun terdapat

berbagai ketidaksepahaman, penyakit ini digolongkan kedalam MOSF akan tetapi

terdapat hubungan antara organ yang disfungsi dengan monitor dan pengatasan

prognose pasien.
MODS dapat bersifat primer maupun sekunder. MODS primer terjadi

akibat langsung dari jejas (insult) pada organ-organ tertentu, misalnya kontusio

paru, gagal ginjal karena rabdomiolisis, atau koagulopati karena transfuse multiple.

Respon inflamasi pada MODS primer tidak menonjol. MODS sekunder bukan

akibat langsung jejas awal (initial insult), tapi terjadi sebagai konsekuensi respon

inflamasi yang berlebihan, dan meluas keseluruh oragn didalam badan; fenomena

inni dinamakan systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Bila proses ini

terjadi akibat infeksi disebut sepsis.


2. Etiologi
Beberapa jenis jejas (insult) fisiologik maupun patologik dapat

menyebabkan MODS, antara lain (Aryanto Suwoto, 2007) :


a. Infeksi (bakteri, virus)
b. Trauma (trauma multiple, pasca operasi, heart injury, iskemia visceral)
c. Inflamasi (HIV, eklamsia, gagal hati, tranfusi masif)
4
d. Non infeksi (reaksi obat, reaksi tranfusi)
3. Patogenesis
Akibat dari jejas local atau infeksi, mediator-mediator proinflamasi

dilepaskan untuk melawan antigen-antigen asing dan mempercepat penyembuhan

luka. Kemudian akan diikuti pelepasan mediator-mediator anti-inflamasi untuk

meregulasi proses ini. Homeostasis dicapai dan pasien sembuh. Bila jejas patologis

berat, dan mekanisme pertahanan lokasi tidak berhasil mengatasinya, maka

mediator-mediator inflamasi akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan merekrut

leukosit-leukosit baru di daerah inflamasi. Terjadilah respons terhadap stress di

seluruh tubuh. Sekali lagi, mediator-mediator anti-inflamasi dilepaskan ke dalam

sirkulasi sistemik untuk memperbaiki kaskade proinflamasi sehingga tercapai

kembali homeostasis (Aryanto Suwoto, 2007).


Bila respon proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya berat, atau bila

respon anti-inflamasi sebagai kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal

meregulasi respons proinflamasi, terjadilah ketidakseimbangan dengan predominan

respons proinflamasi. Pada keadaan ini didapat tanda-tanda SIRS, dan mulai

didapat ancaman terjadinya disfungsi organ. Sebaliknya, bila terjadi predominansi

respon anti inflamasi, dengan akibat alergi dan imunosupresi, keadaan ini

dinamakan compensatory antiinflamatory response syndrome disingkat CARS,

kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya homeostasis. Bila homeostasis

tidak berhasil dicapai, sampailah pada fase terakhir proses patogenik ini,

immunological dissonance. Pada fase ini keseimbangan antara proses pro dan anti

inflamasi hilang.
4. Manifestasi Klinis
a. Disfungsi kardiovaskular; edema dan restribusi cairan
b. Disfungsi respirasi; takipnea, hipoksemia, hiperkarbia
c. Disfungsi ginjal; gagal ginjal akut
5
d. Disfungsi gastrointestinal; perdarahan stress ulcer, pancreatitis, hiperglikemia
e. Disfungsi neurologis; ensefalopati (Aryanto Suwoto, 2007).
5. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya dibagi atas 2 yakni prevensi dan pengobatan dengan hal

ingin dicapai terdapatnya adekuat oksigenasi jaringan, mengobati infeksi, adekuat

nutrisional support dan bila mungkin melakukan tindakan seperti hemodialisis.

Adapun tindakan yang perlu dilaksanakan (Tabrani Rab, 2007):


a. Pencegahan; teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena penelitian

didapat 40% kasus MODS disebabkan karena kesalahan pembedahan. Infeksi

nosokomial menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat. Cuci tangan, ruangan

isolasi serta pelapisan kateter IV dengan silikon/ zat antibakteri dapat

mengurangi insiden MODS.


b. Resusitasi untuk mengatasi shock dan monitor kulit, tekanan darah,

temperature, aliran urin, O2 saturasi dan asam laktat dan pH.


c. Debridement dari jaringan yang telah membusuk
d. Mengatasi infeksi yang terjadi baik infeksi intraabdominal, sepsis, infeksi oleh

karena pemasangan kateter, infeksi yang berasal dari usus dan infeksi daari

daerah lainnya.
e. Memberikan nutrisi yang cukup baik dengan enteral, parenteral, bila perlu

memberikan kalori yang berlebih. Pada MOSF non kalori intake 23-35

kalori/kg/hari (3-5 gr/kg/hari glukosa ditambah dengan 0,5-1 gm/kg/hari

protein), untuk memberikan kalori digunakan keseimbangan harris benedict.


f. Terapi yang diberikan kortikosteroid dan prostaglandin-1 inhibitor. Kemudian

diberikan pula imunoterapi, fibronisentin yang merupakan suatu glikoprotein

kompleks yang merangsang fagositosis, dan dapat pula diberikan ibuprofen.


g. Control kasus; hal terpenting dalam penatalaksanaan MODS adalah

menghilangkan factor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi.


B. Asuhan Keperawatan dengan Pasien MODS
1. Pengkajian

6
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.

Airway

a. Yakinkan kepatenan jalan napas

b. Berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal)

c. Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan bawa

segera mungkin ke ICU

Breathing

a. Kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang

signifikan

b. Kaji saturasi oksigen

c. Periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan

asidosis

d. Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask

e. Auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada

f. Periksa foto thorak

Circulation

a. Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan

b. Monitoring tekanan darah, tekanan darah <>

c. Periksa waktu pengisian kapiler

d. Pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar

e. Berikan cairan koloid gelofusin atau haemaccel

f. Pasang kateter

7
g. Lakukan pemeriksaan darah lengkap

h. Siapkan untuk pemeriksaan kultur

i. Catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari

36oC

j. Siapkan pemeriksaan urin dan sputum

k. Berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.

Disability

Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal

sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran dengan

menggunakan AVPU.

Exposure

Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat

suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.

Tanda ancaman terhadap kehidupan

Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan

kegagalan fungsi organ (MODS). Jika sudah menyembabkan ancaman terhadap

kehidupan maka pasien harus dibawa ke ICU, adapun indikasinya sebagai berikut:

a. Penurunan fungsi ginjal

b. Penurunan fungsi jantung

c. Hyposia

8
d. Asidosis

e. Gangguan pembekuan

f. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) tanda cardinal oedema

pulmonal.

2. Masalah Keperawatan yang Muncul

a. Penurunan kardiak output berhubungan dengan penurunan afterlod, penurunan

preload, ketidak efektifan kontraktilitas otot jantung, deficit volume cairan.

b. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan kardiak output yang tidak

mencukupi.

c. Deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan.

d. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakefektifan ventilasi,

edema pulmonal.

e. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernafasan.

f. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

peningkatan metabolism.

g. Risiko ketidakseimabangan temperature tubuh behubungan dengan proses

infeksi.

h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kardiak output yang rendah,

ketidak mampuan mencukupi metabolism otot rangka, kongesti pulmonal yang

menyebabkan hipoksia, dan status nutrisi yang buruk.

i. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan perfusi

jaringan dan adanya edema.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfungtion syndrome disingkat

MODS) dapat terjadi pada penderita-penderita penyakit dengan kondisi kritis atau pasca

trauma berat. Perjalanan alamiah sindrom ini meliputi perawatan yang lama diruang

intensif sehingga menghabiskan dana dan upaya yang besar.

10
Pelaksanaan Asuhan Keperawatan terhadap pasien MODS selalu menggunakan

pendekatan ABCDE pada pengkajian. Pada intervensi keperawatan selalu melibatkan

paramedic dalam memberikan pengobatan. Pelaksanaan secara professional harus

dilakukan untuk menghindari resiko negative.


B. Saran
Kepada teman-teman apabila melakukan tindakan asuhan keperawatan dapat

berpedoman pada proses keperawatan. Dengan memperhatikan aspek bio, psiko, sosio dan

spiritual.

11

Anda mungkin juga menyukai