Anda di halaman 1dari 3

PENDAHULUAN

Ruptura perineum merupakan komplikasi persalinan pervaginam yang jarang


tetapi serius. Angka kejadiannya bervariasi berkisar 1-3%, di AS berkisar 2,2-
19%. Ruptura perineum ini terjadi pada saat lahirnya kepala atau bahu dan ada
beberapa faktor yang mem pengaruhinya antara lain : persalinan dengan
bantuan alat seperti ekstraksi vakum, ekstraksi forceps, persalinan pertama,
janin besar, kala II lama, posisi oksipito posterior persisten, episiotomi mediana,
dan anestesi epidural. 1

Ruptura perineum dibagi dalam 4 tingkatan : tingkat 1 dan 2, disebut ruptura


perineum ringan, tingkat 3 dan 4 disebut ruptura perineum berat. Meningkatnya
kejadian inkontinensia fekal sangat berkaitan erat dengan ruptura perineum
tingkat III-IV, baik sfingternya utuh atau terdapat defek. Diagnosis ruptura pasca
persalinan tersebut penting karena akan menentukan keadaan selanjutnya. Pada
keadaan otot sfingter ani yang utuh setelah penjahitan luka ruptura perineum
kadang masig terdapat inkontinensia fekal yang disebabkan kerusakan nervus
pudendus selama persalinan atau proses denervasi saraf otot sfingter ani yang
progressif.1

Diagnosis ruptura perineum ini bertujuan mengurangi komplikasi robekan otot


perineum terutama sfingter ani eksterna dan otot sfungter interna. Dengan
demikian otot sfingter ani tersebut dapat direparasi secepatnya. 1

PREVALENSI

Episiotomi merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya trauma


perineum, di Inggris lebih dari 85% wanita pernah mengalami trauma perineum
saat melahirkan. Angka rata-rata episiotomi di AS bervariasi antara 20 sampai
70%, hal tersebut tergantung unit pelayanannya. Di Belanda berkisar 8%, Inggris
14% dan 99% di negara Eropa Timur. Tetapi hanya sekitar 1,7-12% (2,9-19%
pada primipara) yang mengalami ruptura perineum tingkat 3 dan 4. 1

ETIOLOGI

Trauma perineum saat persalinan dapat terjadi secara spontan atau setelah
tindakan insisi bedah perineum (episiotomi) untuk menambah diameter muara
vulva. Istilah episoomi sebenarnya merujuk pada tindakan memotong
pudenda(genitalia eksterna). Secara anatomi ruptura perineum adalah trauma
perineum posterior yang diartikan sebagai kerusakan dinding vagina posterior,
otot perineum, otot sfingter ani eksterna dan interna serta mukosa rektum.

KLASIFIKASI

Untuk membakukan standar klasifikasi ruptura perineum, Sultan membuat


rancangan klasifikasi sebagai berikut :

Tingkat 1 : hanya laserasi mukosa vagina atau kulit perineum

Tingkat 2 : laserasi termasuk otot perineum tetapi tidak termasuk otot sfingter
ani.
Tingkat 3 : kerusakan termasuk otot sfingter ani dan dibagi lagi menjadi :

3a. Robekan otot sfingter ani eksterna <50%

3b. Robekan otot sfingter ani eksterna >50%

3c. Robekan sudah termasuk otot sfingter ani interna

Tingkat 4: robekan tingkat 3 dan termasuk mukosa anus

DIAGNOSIS

Untuk membuat diagnosis yang tepat sebaiknya penderita diletakkan dalam


posisi lithotomi dengan penerangan yang cukup. Sebelumnya harus dimintakan
dulu pernyataan persetujuan, dilakukan pemeriksaan melalui vagina dan rektum.
Apabila pemeriksaan terkendala karena rasa nyeri dapat diberikan analgesia
sebelum dilakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan dimulai dengan membuka labia dengan jari telunjuk dan jari tengah
untuk memastikan seberapa luas robekan dinding vagina serta puncak/ujung
laserasi harus teridentifikasi. Kemudian ditentukan juga apakah laserasi itu
tunggal atau banyak dan kedalaman laserasi tersebut. Pemeriksaan melalui anus
berguna untuk menyingkirkan ada tidaknya kerusakan mukosa rektum dan otot
sfingter ani. Setiap wanita postpartum harus dilakukan pemeriksaan colok dubur
setelah penjahitan untuk menghindari adanya robekan yang tidak terlihat seperti
robekan buttonhole dimana terdapat robekan dinding vagina dengan otot
sfingter ani utuh. Kadang juga bisa didapatkan ruptura perineum tingkat 3 atau 4
dengan kulit perineum yang utuh. Untuk itu diperlukan penerangan yang baik
pada saat melakukan colok dubur. Untuk mendiagnosis adanya kerusakan otot
sfingter ani ini harus dilakukan dengan cara perabaan/palpasi dimana telunjuk
dimasukkan ke dalam rongga anus dan jempol didalam vagina kemudian jari
digerakkan seperti memegang pil (pill-rolling motion). Apabila masih tidak jelas,
maka penderita disuruh untuk mengkontraksikan otot sfingter ani, perbedaan
kontraksi akan terasa dibagian depan. Karena otot tersebut berkontraksi maka
ujung laserasi akan tertarik kearah ujung otot sfingter ani eksterna. Otot sfingter
ani interna juga harus diidentifikasi dan direparasi tersendiri. Otot sfingter ani
interna ini merupakan otot polos dan warnanya lebih pucat dibanding dengan
otot sfingter ani eksterna. Posisi ujung otot ini hanya beberapa milimeter
proksimal dari ujung distal otot sfingter ani eksterna.

PENATALAKSANAAN

Sesuai dengan diagnosis yang dibuat, ruptura tingkat 1 dan 2 cukup dilakukan
reparasi di kamar bersalin, ruptura tingkat 3 dan 4 idealnya dilakukan di kamar
operasi karena butuh suasana yang aseotik, penerangan yang cukup serta
peralatan yang memadai. Untuk mendapatkan hasil penjahitan sfingter yang
baik, diperlukan anestesi yang adekuat.

Pada ruptur perineu tingkat 3 dilakukan penjahitan dengan metoda end to end
atau overlapping, sedangkan ruptura perineum tingkat 4, setelah teridentifikasi
dilakukan penjahitan mukosa rektum secara terputus kemudian dilanjutkan
penjahitan otot sfingter ani interna secara terputus atau jelujur. Setelah itu
dilanjutkan reparasi otot sfingter ani eksterna secara end to end atau
overlapping.

Anda mungkin juga menyukai