PREVALENSI
ETIOLOGI
Trauma perineum saat persalinan dapat terjadi secara spontan atau setelah
tindakan insisi bedah perineum (episiotomi) untuk menambah diameter muara
vulva. Istilah episoomi sebenarnya merujuk pada tindakan memotong
pudenda(genitalia eksterna). Secara anatomi ruptura perineum adalah trauma
perineum posterior yang diartikan sebagai kerusakan dinding vagina posterior,
otot perineum, otot sfingter ani eksterna dan interna serta mukosa rektum.
KLASIFIKASI
Tingkat 2 : laserasi termasuk otot perineum tetapi tidak termasuk otot sfingter
ani.
Tingkat 3 : kerusakan termasuk otot sfingter ani dan dibagi lagi menjadi :
DIAGNOSIS
Pemeriksaan dimulai dengan membuka labia dengan jari telunjuk dan jari tengah
untuk memastikan seberapa luas robekan dinding vagina serta puncak/ujung
laserasi harus teridentifikasi. Kemudian ditentukan juga apakah laserasi itu
tunggal atau banyak dan kedalaman laserasi tersebut. Pemeriksaan melalui anus
berguna untuk menyingkirkan ada tidaknya kerusakan mukosa rektum dan otot
sfingter ani. Setiap wanita postpartum harus dilakukan pemeriksaan colok dubur
setelah penjahitan untuk menghindari adanya robekan yang tidak terlihat seperti
robekan buttonhole dimana terdapat robekan dinding vagina dengan otot
sfingter ani utuh. Kadang juga bisa didapatkan ruptura perineum tingkat 3 atau 4
dengan kulit perineum yang utuh. Untuk itu diperlukan penerangan yang baik
pada saat melakukan colok dubur. Untuk mendiagnosis adanya kerusakan otot
sfingter ani ini harus dilakukan dengan cara perabaan/palpasi dimana telunjuk
dimasukkan ke dalam rongga anus dan jempol didalam vagina kemudian jari
digerakkan seperti memegang pil (pill-rolling motion). Apabila masih tidak jelas,
maka penderita disuruh untuk mengkontraksikan otot sfingter ani, perbedaan
kontraksi akan terasa dibagian depan. Karena otot tersebut berkontraksi maka
ujung laserasi akan tertarik kearah ujung otot sfingter ani eksterna. Otot sfingter
ani interna juga harus diidentifikasi dan direparasi tersendiri. Otot sfingter ani
interna ini merupakan otot polos dan warnanya lebih pucat dibanding dengan
otot sfingter ani eksterna. Posisi ujung otot ini hanya beberapa milimeter
proksimal dari ujung distal otot sfingter ani eksterna.
PENATALAKSANAAN
Sesuai dengan diagnosis yang dibuat, ruptura tingkat 1 dan 2 cukup dilakukan
reparasi di kamar bersalin, ruptura tingkat 3 dan 4 idealnya dilakukan di kamar
operasi karena butuh suasana yang aseotik, penerangan yang cukup serta
peralatan yang memadai. Untuk mendapatkan hasil penjahitan sfingter yang
baik, diperlukan anestesi yang adekuat.
Pada ruptur perineu tingkat 3 dilakukan penjahitan dengan metoda end to end
atau overlapping, sedangkan ruptura perineum tingkat 4, setelah teridentifikasi
dilakukan penjahitan mukosa rektum secara terputus kemudian dilanjutkan
penjahitan otot sfingter ani interna secara terputus atau jelujur. Setelah itu
dilanjutkan reparasi otot sfingter ani eksterna secara end to end atau
overlapping.