Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama
timbulnya kematian pada ibu, disamping infeksi dan preeklampsia.
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang massif yang berasal
dari tempat implantasi plasenta atau robekan pada jalan lahir dan
jaringan sekitarnya, serta merupakan salah satu penyebab kematian ibu.
Perdarahan pasca persalinan bila tidak mendapat penanganan semestinya
akan meningkatkan mordibitas dan mortalitas ibu.1
Perdarahan pasca persalinan tersebut dapat disebabkan oleh
perdarahan dari tempat implastasi plasenta (hipotonia sampai atonia
uteri, sisa plasenta), perdarahan karena robekan (episiotomy yang
melebar, robekan pada perineum, vagina dan serviks, serta ruptur uteri),
dan gangguan koagulasi.1
Ruptur perineum merupakan komplikasi persalinan pervaginam
yang jarang tetapi serius. Angka kejadiannya bervariasi berkisar 1-3%, di
AS berkisar 2,2-19%. Ruptur perineum ini terjadi pada saat lahirnya kepala
atau bahu dan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain :
persalinan dengan bantuan alat seperti ekstraksi vakum, ekstraksi
forceps, persalinan pertama, janin besar, kala II lama, posisi oksipito
2
posterior persisten, episiotomi mediana, dan anestesi epidural.
Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering
kematian ibu yang dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur
pada anal spingter merupakan komplikasi terbesar yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup seorang wanita.3
Ruptura perineum dibagi dalam 4 tingkatan : tingkat 1 dan 2,
disebut ruptur perineum ringan, tingkat 3 dan 4 disebut ruptur perineum
berat. Meningkatnya kejadian inkontinensia fekal sangat berkaitan erat
dengan ruptur perineum tingkat 3 - 4, baik sfingternya utuh atau terdapat
defek. Diagnosis ruptur pasca persalinan tersebut penting karena akan
menentukan keadaan selanjutnya. Pada keadaan otot sfingter ani yang

1
utuh setelah penjahitan luka ruptur perineum kadang masih terdapat
inkontinensia fekal yang disebabkan kerusakan nervus pudendus selama
persalinan atau proses denervasi saraf otot sfingter ani yang progressif. 2
Diagnosis ruptur perineum ini bertujuan mengurangi komplikasi
robekan otot perineum terutama sfingter ani eksterna dan otot sfingter
interna. Dengan demikian otot sfingter ani tersebut dapat direparasi
secepatnya.1

B. PREVALENSI
Episiotomi merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya
trauma perineum, di Inggris lebih dari 85% wanita pernah mengalami
trauma perineum saat melahirkan. Angka rata-rata episiotomi di AS
bervariasi antara 20 sampai 70%, hal tersebut tergantung unit
pelayanannya. Di Belanda berkisar 8%, Inggris 14% dan 99% di negara
Eropa Timur. Tetapi hanya sekitar 1,7-12% (2,9-19% pada primipara) yang
mengalami ruptura perineum tingkat 3 dan 4.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Ruptur adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa.4
Perineum adalah lantai pelvis dan struktur yang berhubungan yang
menempati pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi disebelah anterior
oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadikum, dan di
sebelah posterior oleh os. Coccygeus (Dorland, 2002) 4. Dalam
kepustakaan lain dinyatakan bahwa secara anatomi, perineum itu berada
di sepanjang arcus pubis sampai ke kokigis, dan dibagi kedalam the
anterior urogenital triangle and the posterior anal triangle3.
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan
atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh
kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan
ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan
perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fascia
1
pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

B. ANATOMI PERINEUM
Menurut ahli anatomi, perineum adalah wilayah pelvic outlet diujung
diafragma pelvic (levator ani). Batasannya dibentuk oleh pubic rami di
depan ligament sacro tuberos di belakang. Pelvic outletnya dibagi oleh
garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial tuberosities
ke dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga belakang anal.5

3
6
Gambar Anatomi perineum

Segitiga urogenital
Otot-otot diwilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial
(dangkal) dan dalam bergantung pada membran perineal. Bagian
bulbospongiosus, perineal melintang dangkal dan otot ischiocavernosus
terletak dalam bagian terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus
melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa
clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu
dengan otot contralateral superfisial transverse perineal (otot yang
melintang contralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot
anus (sfingter).5
Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong
dan bagian duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan
selaput dara pada persimpangan duapertiga bagian atas dan sepertiga
bagian bawah labia minora.5
Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan
dan belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma
urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu
kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Dibagian yang sama terletak
juga otot cincin external uretra.5

4
Segitiga anal
Wilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorectal.5

Badan perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut)
antara vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga.
Pada sudut segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya
dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva dan
anus. Dalam bagian perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus,
dataran perineal melintang dan otot cincin anus bagian luar.5
Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah
otot pubo rectalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus
urogenitalis antara otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan
perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk
sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal
anus.5

Anatomi anorektum
Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus
gastrointestinalis dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum.
Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah persambungan
anorektal yang dibentuk oleh otot puborectalis. Otot cincin anus terdiri
dari tiga bagian ( subcutaneus / bawah kulit ), superfisial (permukaan) dan
bagian profunda (dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari permukaan
puborectalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan lanjutan
menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian
luar cincin otot anus oleh otot penyambung yang membujur rektum.5

C. FAKTOR RISIKO RUPTUR PERINEUM

3,7,8
Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana :
1. Penggunaan forceps

5
2. Berat bayi lebih dari 4 kg
3. CPD persisten
4. Primiparitas
5. Induksi
6. Anastesi epidural
7. Kala 2 memanjang lebih dari 1 jam
8. Distosia bahu
9. Etnik asian
10. Episiotomy mediana

Persalinan seringkali menyebabkan perlukaan pada jalan lahir.


Perlukaan pada jalan lahir tersebut terjadi pada : Dasar
panggul/perineum, vulva dan vagina, servik uteri, uterus sedangkan
ruptur pada perineum spontan disebabkan oleh : Perineum kaku, kepala
janin terlalu cepat melewati dasar panggul, bayi besar, lebar perineum,
paritas.1
Trauma perineum saat persalinan dapat terjadi secara spontan atau
setelah tindakan insisi bedah perineum (episiotomi) untuk menambah
diameter muara vulva. Istilah episiotomi sebenarnya merujuk pada
tindakan memotong pudenda (genitalia eksterna). Secara anatomi ruptura
perineum adalah trauma perineum posterior yang diartikan sebagai
kerusakan dinding vagina posterior, otot perineum, otot sfingter ani
eksterna dan interna serta mukosa rektum.2

D. KLASIFIKASI RUPTUR PERINEUM


1) Ruptur Perineum Spontan
Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu
tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada
saat persalinan dan biasanya tidak teratur.1,5
2) Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan
atau perobekan pada perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat
pada perineum untuk memperbesar saluran keluar vagina.1,5

6
D.1. RUPTURE PERINEUM SPONTAN
Definisi :
Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu
tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada
saat persalinan dan biasanya tidak teratur.

KLASIFIKASI2,8
Klasifikasi OASIS :
Tingkat 1 : hanya laserasi mukosa vagina atau kulit perineum
Tingkat 2 : laserasi termasuk otot perineum tetapi tidak termasuk otot
sfingter ani.
Tingkat 3 : kerusakan termasuk otot sfingter ani dan dibagi lagi menjadi :
3a. Robekan otot sfingter ani eksterna <50%
3b. Robekan otot sfingter ani eksterna >50%
3c. Robekan sudah termasuk otot sfingter ani interna
Tingkat 4: robekan tingkat 3 dan termasuk mukosa anus

7
9
Gambar klasifikasi laserasi perineum

D.2. RUPTURE PERINEUM YANG DISENGAJA ( EPISIOTOMI )


Definisi
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang
menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara,
jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit
sebelah depan perineum.10
Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin
yang tujuannya adalah untuk mencegah robekan berlebihan pada
perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan ,
mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi tetapi hal
tersebut ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup

8
(Enkin dkk, 2000; Wooley, 1995). Tetapi sebaliknya, hal ini tidak boleh
diartikan bahwa episiotomi tidak boleh dilakukan karena ada indikasi
tertentu untuk melakukan episiotomi (misalnya, persalinan dengan
ekstraksi cunam, distosia bahu, rigiditas perineum, dsb). Para penolong
persalinan harus cermat membaca kata rutin pada episiotomi karena hal
itulah yang tidak dianjurkan, bukan episiotominya.12
Episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan :
1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma
2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada
episiotomi rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum
4. Meningkatnya resiko infeksi.11

Trauma perineum terjadi baik secara spontan pada saat persalinan


atau dapat merupakan pelebaran dari episiotomi. Trauma perineum yang
berat dapat mengakibatkan kerusakan pada sfingter anus dan mukosa
anus. Obstetric anal sphingter injury termasuk robekan perineum derajat
8
tiga dan empat.

INDIKASI
Indikasi untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun
pihak janin.10
1. Indikasi janin.
a. Sewaktu melahirkan janin premature. Tujuannya untuk mencegah
terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan
cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar.10
2. Indikasi ibu
Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga
ditakuti akan terjadi robekan perineum, misal pada primipara,
persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan
anak besar.10

9
Namun indikasi sekarang yang digunakan untuk melakukan episiotomi
telah banyak berubah. Indikasi untuk melakukan episiotomi untuk
mempercepat kelahiran bayi bila didapatkan :
1. Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan.
2. Penyulit kelahiran pervaginam ( sungsang, distosia bahu, ekstraksi
cunam (forcep) atau ekstraksi vakum )
3. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat
kemajuan persalinan10

E. DIAGNOSIS
Untuk membuat diagnosis yang tepat sebaiknya penderita
diletakkan dalam posisi lithotomi dengan penerangan yang cukup.
Sebelumnya harus dimintakan dulu pernyataan persetujuan, dilakukan
pemeriksaan melalui vagina dan rektum. Apabila pemeriksaan terkendala
karena rasa nyeri dapat diberikan analgesia sebelum dilakukan
pemeriksaan.2
Pemeriksaan dimulai dengan membuka labia dengan jari telunjuk
dan jari tengah untuk memastikan seberapa luas robekan dinding vagina
serta puncak/ujung laserasi harus teridentifikasi. Kemudian ditentukan
juga apakah laserasi itu tunggal atau banyak dan kedalaman laserasi
tersebut. Pemeriksaan melalui anus berguna untuk menyingkirkan ada
tidaknya kerusakan mukosa rektum dan otot sfingter ani. Setiap wanita
postpartum harus dilakukan pemeriksaan colok dubur setelah penjahitan
untuk menghindari adanya robekan yang tidak terlihat seperti robekan
buttonhole dimana terdapat robekan dinding vagina dengan otot sfingter
ani utuh. Kadang juga bisa didapatkan ruptura perineum tingkat 3 atau 4
dengan kulit perineum yang utuh. Untuk itu diperlukan penerangan yang
baik pada saat melakukan colok dubur. Untuk mendiagnosis adanya
kerusakan otot sfingter ani ini harus dilakukan dengan cara
perabaan/palpasi dimana telunjuk dimasukkan ke dalam rongga anus dan
jempol didalam vagina kemudian jari digerakkan seperti memegang pil
(pill-rolling motion). Apabila masih tidak jelas, maka penderita disuruh
untuk mengkontraksikan otot sfingter ani, perbedaan kontraksi akan

10
terasa dibagian depan. Karena otot tersebut berkontraksi maka ujung
laserasi akan tertarik kearah ujung otot sfingter ani eksterna. Otot sfingter
ani interna juga harus diidentifikasi dan direparasi tersendiri. Otot sfingter
ani interna ini merupakan otot polos dan warnanya lebih pucat dibanding
dengan otot sfingter ani eksterna. Posisi ujung otot ini hanya beberapa
milimeter proksimal dari ujung distal otot sfingter ani eksterna.2

F. PENATALAKSANAAN
Sesuai dengan diagnosis yang dibuat, ruptura tingkat 1 dan 2 cukup
dilakukan reparasi di kamar bersalin, ruptura tingkat 3 dan 4 idealnya
dilakukan di kamar operasi karena butuh suasana yang aseptik,
penerangan yang cukup serta peralatan yang memadai. Untuk
mendapatkan hasil penjahitan sfingter yang baik, diperlukan anestesi
2
yang adekuat.

Teknik menjahit robekan perineum


1. Derajat I :
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya
dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture)
atau dengan cara angka delapan (figure of eight)9,10
2. Derajat II :
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II
maupun tingkat III, jika dijumpai pinggir yang tidak rata atau bergerigi,
maka pinggir bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu.pinggir
robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu
Kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan
penjahitan luka robekan. Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut.
Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-
putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak
robekan . Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang sutera secara
terputus-putus.9,10
3. Derajat III :

11
Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian
fascia perirektal dan fascia septum rektovaginal dijahit dengan catgut
kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang
terpisah oleh karena robekan diklem dengan klem pean lurus. Kemudian
dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan
perineum derajat 2.7 Pada ruptur perineum tingkat 3 dilakukan penjahitan
2,9,12
dengan metoda end to end atau overlapping
4. Derajat IV :
Ruptur perineum tingkat 4, setelah teridentifikasi dilakukan
penjahitan mukosa rektum secara terputus kemudian dilanjutkan
penjahitan otot sfingter ani interna secara terputus atau jelujur. Setelah
itu dilanjutkan reparasi otot sfingter ani eksterna secara end to end atau
overlapping.2 Pasien dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang
memadai.9,11
Tujuan menjahit laserasi atau episiotomi adalah untuk menyatukan
kembali jaringan tubuh (mendekatkan) dan mencegah kehilangan darah
yang tidak perlu (memastikan haemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum
masuk kedalam jaringan tubuh, jaringan akan terluka dan menjadi tempat
yang potensial untuk timbulnya infeksi. Oleh sebab itu pada saat menjahit
laserasi atau episiotomi gunakan benang yang cukup panjang dan
gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan pendekatan
dan haemostasis.11

G. DAMPAK KLINIS
OASIS dapat memiliki dampak yang signifikan pada wanita
dengan mengganggu kualitas hidup mereka baik dalam jangka pendek
dan panjang. Salah satu komplikasi langsung yang paling berat dari
cedera perineum adalah nyeri perineum. Nyeri perineum jangka pendek
dikaitkan dengan edema dan memar , yang dapat terjadi akibat jahitan
yang terlalu ketat, infeksi atau kerusakan luka. Nyeri perineum dapat
menyebabkan retensio urin dan masalah defekasi segera setelah
postpartum. Dalam jangka panjang, wanita dengan nyeri perineum dapat

12
mengalami dispareunia dan perubahan fungsi seksual. Komplikasi
tambahan dari robekan perineum yang berat termasuk terbentuknya
abcess, kerusakan luka dan fistula rektovagina.8
Cedera pada sfingter anal diakui sebagai penyebab paling umum
dari gejala inkontinensia anal (AI) dan anorektal pada wanita sehat.
Obstetrical sphingter injuri memiliki berbagai komplikasi jangka panjang
yang mana inkontinensia anal adalah yang paling menyusahkan dan
menimbulkan cacat. inkontinensia anal menggabungkan berbagai gejala
termasuk: inkontinensia flatal, passive soiling, atau inkontinensia kotoran
cair atau padat.Urgensi tinja juga bisa menjadi gejala yang dialami oleh
banyak wanita. Gejala-gejala tersebut dapat berpotensi menjadi masalah
higienis, sosial, dan psikologis bagi perempuan. Wanita tidak selalu
datang dengan gejala inkontinensia anal baik karena malu atau mereka
merasa bahwa gejala tersebut adalah hasil normal persalinan
pervaginam.8

H. PERAWATAN POSTOPERATIF8
1. antibiotika profilaksis
Profilaksis dengan antibiotika intravena dosis tunggal (sefalosporin
generasi kedua contoh cefoten atau cefoxitin) harus diberikan untuk
mengurangi komplikasi luka perineum yang diikuti dengan repair OASIS
2. Postoperatif bowel regimen
Laksatif (contoh laktulosa) harus diberikan sesudah repair OASIS.
Obat untuk konstipasi tidak dianjurkan
3. Analgesia postoperatif
Antiinflamasi non steroid dan asetaminofen merupakan analgesia
lini pertama.
4. Kateter urin

13
BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama


timbulnya kematian pada ibu, contohnya dikarenakan adanya ruptur pada
perineum. Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering
kematian ibu yang dihubungkan dengan persalinan pervaginam Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Ruptur perineum dibagi menjadi ruptur yang
spontan dan ruptur yang disengaja. Ruptur perineum yang spontan ini
contohnya adalah dikarenakan adanya berat badan janin yang lebih dari 4
kg, kala 2 memanjang lebih dari 1 jam, induksi dan lain lain. Sedangkan
ruptur perineum yang disengaja yaitu dengan melakukan episiotomy,
dimana untuk mempermudah jalan lahir, namun hal ini juga dapat
mengakibatkan ruptur perineum sampai ke derajat 3 atau 4 ( terutama
dengan dilakukannya episiotomy mediana ).
Terapi yang dilakukan yaitu dengan dilakukan penjahitan tergantung dari
derajat kerusakan perineum tersebut. Teknik terbaik yang saat ini
dianjurkan adalah dengan menggunakan teknik overlapping, dimana
dengan dilakukannya teknik ini dapat mengurangi angka komplikasi
inkontenensia ani, terutama pada kasus ruptur perineum derajat 3 dan 4.
Prognosa untuk ruptur perineum ini dapat dikatakan baik, bila penjahitan
dilakukan dengan benar dan tindakan aseptik serta antiseptic dilakukan
dengan baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifudin, Abdul Bari. 2008.Ilmu Kebidanan Sarwono


Prawiohardjo(edisi keempat). Jakarta . PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 664-666
2. Fauzi Amir.2011,Ruptur perineum, Buku Ajar Uroginekologi
Indonesia,bab 20, 179-183
3. Queensland maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Perineal Care. Queensland. 2012
4. Kamus kedokteran Dorlan. Jakarta . EGC. 2002
5. Snell, Richard S. 2000.Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran
(Edisi keenam). Jakarta. EGC
6. Henry Gray .1918. Anatomy of the Human Body. Gray's Anatomy,
Plate 408
7. Royal College of Obstetricians and Gynecologist, March 2007
8. Harvey,MD et al.2015. Obstetrical Anala Sphingter Injuries (OASIS) :
Prevention, Recognition, and repair. SOGC Clinical Practice
Guideline,1131-1148
9. Cunningham FG et al. 2010.William Obstetrics. 23 rd . New York.
McGraw-Hill,400-404

15
10 Wiknjosastro , Hanifa. 2007.Ilmu Bedah Kebidanan (Edisi Pertama)
Jakarta. Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo,175-176
11 DEPKES RI. Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal. 2008
12 Thakar Ranee, MD, MRCOG, Sultan Abdul H., MD, FRCOG. Surgical
Techniques. OBS Management. 2008

LAPORAN KASUS
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Ny. Herni Dayanti
Umur : 28 tahun
Alamat : Jl. Intan Tebing Tinggi
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Kawin
Pendidikan Terakhir : SMA

NyH, 28 tahun, P2AO, menikah 1 x usia 23 tahun, APK 1 thn 6 bln , IRT
i/d Tn.A , 32 tahun, S-I ,wiraswasta, datang dengan
Keluhan Utama : buang air besar keluar melalui lubang kemaluan
Telaah : Hal ini disadari os 4 bulan ini. Riwayat trauma (-) ,
Riwayat nyeri saat campur (+) , Riw . proses
persalinan sebelumnya yang lama (+) , BAB / BAK (+)
normal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : ( - )

16
Riwayat Pemakaian Obat : (-)
Riwayat Haid : menarche 11 thn, teratur , 30 hari, lama : 4-5
hari , vol :
2-3 x ganti doek/hr, nyeri haid (-) ,
HT : 1 November 2016
Riwayat persalinan : Anak 1 : Perempuan, 3800 gr , cukup bulan ,
psp , klinik
bersalin , bidan , 2thn 6 bulan , sehat
Anak 2 : Laki laki, 3400 gr, cukup bulan , sc , RS ,
SpOG , 1
thn 6 bulan , sehat
Riwayat Operasi : sc 1x
Riwayat KB : implan

STATUS PRESENS
Sensorium : compos mentis Anemis : -
Tekanan Darah : 120/80 mmHg Ikterus : -
Frekuensi Nadi : 80 x/i Sianosis : -
Frekuensi Nafas : 20 x/i Dispnoe : -
Temperatur : 36 oC Oedem : -
STATUS LOKALISATA
Kepala : Dalam batas normal
Leher : Dalam batas normal
Thorak : Dalam batas normal
Abdomen : soepel, tidak teraba massa

STATUS GINEKOLOGI
Inspeksi : tampak ruptur perineum total , darah (-) , jar nekrotik (-),
darah (-)
Inspekulo : portio licin, erosi (-),darah (-), Fluor albus (+)
RT : sphincter ani laserasi (+) , mucosa recti licin

DIAGNOSA

17
Ruptur Perineum Grade III (old rupture)

Rencana penatalaksanaan : repair perineum tgl 30/11/2016


Persiapan operasi :
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Hb : 14,5 gr/dl (11,5 16,5 g/dL)
Leukosit : 7.830 /mm3 (4.400 11.300/mm3)
Ht : 44,0 % ( 36,0 45,0%)
Trombosit : 245.000/mm3 (150.000 450.000/mm3)
KGD ad : 88,0 mg/dl (N : 0,00 - 140
mg/dl)
Ureum : 15,0 mg/dl (N : 10 50 mg/dl)
Creatinin : 0,61 mg/dl (N : 0,6 1,2 mg/dl)
SGOT : 15,0 U/L (N: 0 40 U/I )
SGPT : 20,0 U/L (N: 0 40 U/I )
Natrium : 139,0 mmol/L (N : 136,0 155,0)
Kalium : 3,80 mmol/L ( 3,50 5,50)
Chlorida : 106,0 mmol/L (95,0 103,0)
Albumin : 3,9 g/dL ( 3,5 5,0)
PT : 13,6 det (C : 14,0 det)
INR : 0,98
APTT : 28,8 det (C : 34,8 det)
TT : 14,6 det (C : 17,0 det)
HbsAg : non reaktif
Anti HIV : non reaktif
Foto Thorax : Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo
EKG : sinus rhytme

Laporan Operasi Repair Perineum


- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi lititomi
- Dilakukan asepsis dan antisepsis pada regio introitus vagina sampai ke
perineum dengan povidon iodine lalu ditutup dengan doek steril
- Dilakukan pengosongan kandung kemih

18
- Dibawah spinal anestesi , dilakukan evaluasi tampak luka laserasi
yang sudah lama sampai ke sfingter ani eksterna , dibersihkan di buat
luka baru pada kedua tepi bekas luka
- Lalu kedua ujung otot dijepit dengan klem dan didekatkan ujungnya
satu dengan yang lain dan dijahit secara terputus dengan metode end
to end
- Selanjutnya otot dan mukosa vagina dijahit secara terputus putus
- Evaluasi perdarahan terkontrol
- Luka operasi ditutup kasa betadine
- Ku ibu post operasi stabil
Terapi :
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Drip Metronidazole 500 mg/8 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Laxadine syr 3 x CI
Kateter terpasang

Follow up
Tanggal
1/12/2016 2/12/2016 3/12/2016 4/12/2016 5/12/2016
Keluha Nyeri Luka Nyeri Luka Nyeri luka - -
n operasi Operasi operasi
berkurang berkurang
VS Sens : CM Sens : CM Sens : CM Sens : CM Sens : CM
TD : 110/70 TD : 120/70 TD : 120/70 TD : 120/80 TD : 120/70
mmHg mmHg mmHg mmHg mmHg
N : 88 x/i N : 84 x/i N : 86 x/i N : 88 x/i N : 90 x/i
RR : 20 x/i RR : 20 x/i RR : 20 x/i RR : 20 x/i RR : 20 x/i
0 0 0 0
T : 36,8 C T : 36,7 C T : 36,6 C T : 36,9 C T : 36,50C
VAS : 4 VAS : 2 VAS : 2 VAS : 2 VAS : 2

19
Status L/O : L/O:tertutup L/O:tertutup L/O : pus (-) L/O : pus (-)
Lokalis tertutup kasa kasa Bak : oup Bak : N
kasa betadin betadin betadin 60 cc/jam Bab : (+)
Bak : oup 50 Bak : oup Bak : oup Bab : (+)
cc/jam 40 cc/jam 50 cc/jam
Bab : (-) Bab : (-) Bab : (+)
Diagno Post repair Post repair Post repair Post repair Post repair

sa perineum a/i perineum perineum perineum perineum


ruptur a/i ruptur a/i ruptur a/i ruptur a/i ruptur
perineum perineum perineum perineum perineum
grd III + H1 grd III + H2 grd III + H3 grd III + H4 grd III + H5
Terapi IVFD RL 20 IVFD RL 20 Cefadroxil 2 Cefadroxil 2 Cefadroxil 2
gtt/i gtt/i x 500 mg x 500 mg x 500 mg
Inj.Ceftriaxo Inj.Ceftriax Metronidazo Metronidazo Metronidazo
n 1 gr/12 on1 gr/12 l3 x 500 mg le 3 x 500 le 3 x 500
jam jam Asam mg mg
Drip Drip mefenamat Asam Asam
Metronidazo Metronidaz 3 x 500 mg mefenamat mefenamat
l 500 mg/8 ol 500mg/8 Laxadin syr 3 x 500 mg 3 x 500 mg
jam jam 3 x C1 Laxadin syr Laxadin syr
Inj. Inj. Kateter 3 x C1 3 x C1
Ketorolac 30 Ketorolac terpasang
mg/8 jam 30 mg/8
Inj. Ranitidin jam
50 mg/12 Inj. Ranitidin

jam 50 mg/12

Laxadine jam

syr 3 x CI Laxadine

Kateter syr 3 x CI

terpasang Kateter
terpasang

Rencan Lanjut Lanjut Aff infus Aff kateter PBJ


a terapi terapi

20
21

Anda mungkin juga menyukai