Anda di halaman 1dari 10

PCOS & metformin

REFERAT ENDOKRINOLOGI

Metformin untuk terapi


Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK)

Oleh:

dr Husnul Abid

Pembimbing:

Prof.dr.Moch. Anwar,M.Med.Sc.,SpOG(K)

Divisi Endokrinologi

Bagian Obstetri dan Ginekologi Universitas Gadjahmada/

Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito Jogjakarta

2010

PENDAHULUAN

Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kejadian yang sering terjadi dan
menyebabkan gangguan pada wanita pada usia reproduksi, dengan karakteristik gangguan
anovulasi kronis atau avulasi yang tidak teratur, kegemukan, hirsutism, hiperandrogen serta
jika dilihat dari ultrasonografi terlihat gambaran banyak folikel. Sindrom Ovarium Polikistik
paling sering menyebabkan infertilitas karena wanita tidak terjadi ovulasi. Kejadian Sindrom
Ovarium Polikistik pada populasi beragam antara 5%-10% pada populasi umum. Didasarkan
pada gejalanya kejadiannya sangat bervariasi, menstruasi yang tidak normal (4%-21% ),
keluhan hiperandrogen(3,5%-9%). Dari sekian banyak itu bahwa 40% wanita tersebut
menderita oligomenore, 84% dengan hirsutism dan 100% wanita tersebut dengan akne berat.

Diagnosis dan terapi PCOS masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan European Society for
Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the American Society for Reproductive
Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun 2003 telah ditetapkan poin diagnostik untuk
menegakkan PCOS yaitu adanya Oligoovulation atau anovulation, klinis dan/atau
laboratories hiperandrogenisme, polycystic ovarian morphology (sonography), Setidaknya
didapatkan 2 dari 3 kriteria tersebut maka seorang wanita dapat ditegakan diagnosis PCOS
( The Thessaloniki ESHRE/ ASRM 2007 ).

Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik tampaknya


bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan diabetes tipe II.
Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara sindrom ovarium polikistik
dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi,
demikian juga dengan gangguan anatomi dan fisiologi kardiovaskuler.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan peranan yang serius
dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk kelebihan androgen dan anovulasi.
Insulin menstimulasi produksi androgen oleh ovarium dengan mengaktivasi reseptor
homolognya, dan ovarium pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap
sensitif terhadap insulin, atau mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan
target klasik seperti otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai
tambahan, hiperinsulinemia menghambat produksi hepatik sex hormone-binding globulin,
sehingga lebih meningkatkan kadar testosterone bebas dalam sirkulasi. Insulin juga
menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan folikel atau secara
tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian atau mengubah sekresi gonadotropin.
Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin pada sindrom ovarium polikistik adalah bahwa
intervensi yang beragam, yang saling berhubungan hanya dalam hal menurunkan level insulin
sirkulasi, menyebabkan meningkatnya frekuensi ovulasi atau menstruasi, menurunkan kadar
testosterone serum, atau keduanya.

Metformin, suatu biguanide, adalah obat yang paling banyak digunakan sebagai terapi
diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk menghambat produksi glucose
hepatic, dan juga meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan
sensitivitas insulin, yang memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam
terapi diabetes, juga terjadi pada wanita non diabetic dengan sindrom ovarium polikistik.

MASALAH KLINIS
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu diagnosis klinis yang ditandai dengan adanya 2 atau
lebih ciri-ciri berikut: oligo-ovulasi atau anovulasi kronis, hiperandrogen, dan ovarium
polikistik. Sindrom ini terjadi pada 5 10% wanita usia reproduksi, dan merupakan penyebab
yang lazim pada infertilitas anovulatoir di negara berkembang. Manifestasi klinis yang sering
tampak adalah iregularitas menstruasi dan tanda-tanda kelebihan androgen berupa hirsutism,
akne, dan kebotakan.

Sindrom ovarium polikistik berhubungan dengan gangguan metabolisme yang penting.


Kejadian diabetes tipe II di Amerika Serikat 10 kali lebih tinggi pada wanita muda dengan
sindrom ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita normal, dan kelemahan toleransi
terhadap glukosa atau perkembangan diabetes tipe II yang nyata berkembang pada usia 30
tahun pada 30 50% wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Kejadian sindrom metabolik
2 atau 3 kali lebih tinggi pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan
wanita normal yang sama usia dan indeks massa tubuhnya, dan 20% wanita dengan sindrom
ovarium polikistik yang berusia kurang dari 20 tahun juga mengalami sindrom metabolik.
Walaupun data outcome yang spesifik untuk wanita dengan sindrom ovarium polikistik masih
kurang, risiko infark miokard fatal lebih tinggi 2 kali lipat pada wanita dengan
oligomenorrhea berat, dimana sebagian besarnya diduga mengalami sindrom ovarium
polikistik, dibandingkan dengan wanita eumenorrhea.

PATOFISIOLOGI DAN EFEK TERAPI

Karakteristik sindrom ovarium polikistik belum sepenuhnya dipahami tetapi telah diketahui
melibatkan interaksi kompleks antara kerja gonadotropin, ovarium, androgen, dan insulin.
Unsur penting sindrom ini adalah resistensi insulin. Mayoritas wanita dengan sindrom
ovarium polikistik, tanpa mempertimbangkan berat badan, mengalami resistensi insulin yang
intrinsik terhadap sindrom tersebut dan sangat sedikit dipahami. Wanita obes dengan sindrom
ovarium polikistik menambahkan beban resistensi insulin yang berhubungan dengan
adipositasnya.

Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik tampaknya


bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan diabetes tipe II.
Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara sindrom ovarium polikistik
dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi,
demikian juga dengan gangguan anatomi dan fisiologi kardiovaskuler.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan peranan yang serius
dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk kelebihan androgen dan anovulasi.
Insulin menstimulasi produksi androgen oleh ovarium dengan mengaktivasi reseptor
homolognya, dan ovarium pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap
sensitif terhadap insulin, atau mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan
target klasik seperti otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai
tambahan, hiperinsulinemia menghambat produksi hepatik sex hormone-binding globulin,
sehingga lebih meningkatkan kadar testosterone bebas dalam sirkulasi. Insulin juga
menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan folikel atau secara
tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian atau mengubah sekresi gonadotropin.
Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin pada sindrom ovarium polikistik adalah bahwa
intervensi yang beragam, yang saling berhubungan hanya dalam hal menurunkan level insulin
sirkulasi, menyebabkan meningkatnya frekuensi ovulasi atau menstruasi, menurunkan kadar
testosterone serum, atau keduanya. Intervensi ini meliputi penghambatan pengeluaran insulin
(dengan menggunakan diazoxide atau octreotide), memperbaiki sensitivitas insulin (dengan
diet menurunkan berat badan, metformin, troglitazone, rosiglitazone, atau pioglitazone), atau
menurunkan absorbsi karbohidrat (dengan menggunkana acarbose).

Metformin adalah suatu biguanide, obat yang paling banyak digunakan sebagai terapi
diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk menghambat produksi glukosa
hepatik, dan juga meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan
sensitivitas insulin, yang memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam
terapi diabetes, juga terjadi pada wanita non diabetik dengan sindrom ovarium polikistik.
Pada wanita dengan sindrom ini, terapi jangka panjang dengan metformin dapat
meningkatkan ovulasi, memperbaiki siklus menstruasi, dan menurunkan kadar androgen
serum serta penggunaan metformin juga dapat memperbaiki hirsutism. Jika data yang
dipublikasikan tentang efek metformin dalam pencegahan diabetes dipakai untuk
meramalkan kemungkinan pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik, maka obat
tersebut mungkin benar-benar dapat memperlambat kemajuan intoleransi glukosa pada
wanita yang terjangkit, seperti dilaporkan dalam suatu penelitian retrospektif kecil.

BUKTI KLINIS
Pada tahun 1996 dilaporkan bahwa pemberian metformin pada wanita dengan sindrom
ovarium polikistik menurunkan kadar insulin sirkulasi dan berhubungan dengan penurunan
aktiviats 17,20-lyase ovarium dan sekresi androgen ovarium. Kebanyakan penelitian
mengkonfirmasi kemampuan metformin untuk menurunkan insulin serum puasa dan kadar
androgen pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Tetapi penelitian yang secara
spesifik menilai efek metformin pada tanda klinis hiperandrogen (misalnya hirsutism, akne,
dan alopesia androgenetis) masih terbatas.

Hal yang berhubungan dengan ovulasi, hasil dari suatu RCT pada tahun 1998, terapi awal
dengan metformin dibandingkan dengan placebo meningkatkan insidensi ovulasi setelah
terapi berkelanjutan dengan klomifen. Sesudah itu beberapa penelitian membandingkan
metformin dengan placebo, metformin dengan tanpa terapi, metformin dan klomifen dengan
klomifen saja, atau metformin dan klomifen dengan placebo. Yang paling teliti dan
penelitian-penelitian ini diikutkan dalam suatu meta-analisis oleh Lord dkk pada tahun 2003.
Meta-analisis tersebut mengikutsertakan data dari 13 penelitian dan 543 wanita dengan
sindrom ovarium polikistik; disimpulkan bahwa metformin efektif dalam meningkatkan
frekuensi ovulasi (Odds Ratio 3.88; 95% confidence interval 2.25 6.69).

Sejak publikasi meta-analisis tersebut, telah dilakukan 3 RCT tambahan. Penelitian-penelitian


ini membandingkan metformin atau metformin dan klomifen dengan klomifen untuk induksi
ovulasi jangka pendek pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang menginginkan
kehamilan, dan penelitian-penelitian tersebut memberikan hasil yang bertentangan. Penelitian
terbesar, penelitian Kehamilan pada Sindrom Ovarium Polikistik, mengikutsertakan 626
wanita infertil dengan sindrom ovarium polikistik. Hasilnya mengkonfirmasi bahwa
penambahan metformin pada terapi klomifen meningkatkan tingkat ovulasi kumulatif bila
dibandingkan pemberian klomifen saja (60.4% versus 49.0%, P=0.003), tetapi tingkat
kelahiran hidup tidak berbeda antara kedua kelompok (26.8% dan 22.5%, berurutan; P=0.31).
pada penelitian tersebut, klomifen lebih efektif daripada metformin dalam induksi ovulasi
pada jangka pendek dan menghasilkan kelahiran hidup.

Mengenai diabetes, terdapat 2 RCT besar, the Indian Diabetes Prevention Programme (IDDP-
1) dan the U.S. Diabetes Prevention Programme(DPP), menunjukkan bahwa penggunaan
metformin menurunkan risiko relative perkembangan diabetes tipe II (dengan 26% dan 31%,
berurutan) diantara pasien dengan toleransi glukosa terganggu. Apakah efek metformin ini
benar-benar menggambarkan pencegahan perkembangan diabetes, bukannya karena efek
masking dengan menurunkan kadar glukosa darah, tetap menjadi kontroversi. Tetapi, setelah
penghentian metformin pada penelitian DPP, diabetes berkembang pada lebih sedikit subyek
daripada yang diharapkan jika efek masking merupakan satu-satunya efek. Tidak ada RCT
yang menilai efek metformin pada perkembangan menuju diabetes tipe II secara spesifik pada
pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Pada suatu penelitian retrospektif tidak terkontrol,
pada 50 wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang diterapi dengan metformin selama
rata-rata 43 bulan pada suatu sentra medis akademik, tidak terjadi perkembangan menjadi
diabetes tipe II, walaupun terdapat 11 wanita (22.0%) dengan toleransi glukosa terganggu.
Tingkat perubahan tahunan dari toleransi glukosa normal menjadi toleransi glukosa terganggu
hanya 1.4%, dibandingkan dengan 16 19% yang dilaporkan dalam literatur untuk wanita
dengan sindrom ovarium polikistik yang tidak mengkonsumsi metformin.

PENGGUNAAN KLINIS

Pendekatan terhadap penanganan sindrom ovarium polikistik tergantung pada tujuan terapi
pasien dan dokter. Pada sebagian wanita, infertilitas merupakan masalah utama. Pasien-
pasien tersebut seringkali diterapi dengan induksi ovulasi jangka pendek dengan klomifen .
Jika fertilitas tidak menjadi permasalahan, kontrasepsi estrogen-progestin, dengan atau tanpa
antiandrogen seperti spironolakton, merupakan terapi jangka panjang yang banyak dipakai.
Pendekatan ini efektif dalam mencapai tujuan terapi tradisional pada sindrom ovarium
polikistik, yaitu memperbaiki efek hiperandrogen (yaitu hirsutism, kebotakan pada laki-laki,
akne dan mendapatkan menstruasi teratur, dan dengan itu mencegah hiperplasia
endometrium).

Mengingat kekacauan metabolik yang berhubungan dengan sindrom ovarium polikistik,


tampaknya bijaksana dan sesuai untuk merencanakan terapi jangka panjang yang tidak hanya
bertujuan untuk menangani konsekuensi hiperandrogen dan anovulasi tetapi juga tujuan lain
untuk memperbaiki resistensi insulin dan menurunkan risiko diabetes tipe II dan penyakit
kardiovaskuler. Efek agen kontrasepsi estrogen-progestin pada toleransi glukosa masih
kontroversial. Bukti terbatas dari penelitian jangka pendek terkontrol menunjukkan bahwa
penggunaan kontrasepsi oral memperburuk resistensi insulin dan toleransi glukosa pada
wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Penggunaan kontrasepsi estrogen-progestin
berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat risiko relatif penyakit arterial kardiovaskuler
pada populasi wanita umum, risiko pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik secara
khusus belum diketahui.
Metformin memperbaiki sensitivitas insulin dan seperti telah disebutkan sebelumnya,
memperlambat atau mencegah perkembangan diabetes tipe II pada pasien dengan gangguan
toleransi glukosa. Walaupun metformin tidak secara spesifik menurunkan risiko gangguan
kardiovaskuler pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik, bukti klinis dan mekanistik
yang tersedia mendukung penggunaan metformin sebagai agen pelindung melawan efek
samping kardiovaskuler dari resistensi insulin dan kelebihan insulin. Hal lain bahwa
metformin mungkin menurunkan kadar androgen sirkulasi dan mungkin memperbaiki ovulasi
dan siklus menstruasi, sehingga memenuhi tujuan terapi jangka panjang tradisional. Untuk
alasan-alasan ini, walaupun metformin tidak disetujui oleh FDA untuk terapi sindrom
ovarium polikistik, obat ini banyak digunakan untuk tujuan ini.

Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai pada dosis yang rendah yang
diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara progresif. Pasisen-pasien diberi
metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan besar, biasanya makan malam selama 1
minggu kemudian ditingkatkan menjadi 2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam,
selama 1 minggu kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan
malam selama 1 minggu dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat
sarapan dan makan malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis metformin pada
sindrom ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada pasien diabetes menggunakan
kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000 mg
per hari sudah optimal.

Metformin sebaiknya tidak digunakan pada wanita dengan gangguan ginjal (kadar kreatinin
serum > 1.4 ml/dL), disfungsi hepar, gagal jantung kongestif berat, atau adanya riwayat
penyalahgunaan alkohol. Mengingat usia muda wanita dengan sindrom ovarium polikistik,
kontraindikasi ini jarang menjadi masalah. Mengulang pemeriksaan saat dilakukan terapi
metformin tidak disarankan kecuali bila terjadi penyakit atau kondisi (misalnya dehidrasi)
yang mungkin menyebabkan gangguan ginjal dan hepar.

Pada saat pemberian metformin, pasien juga diberi nasihat tentang diet penurunan berat
badan dan olah raga rutin terjadwal. Intervensi seperti ini berguna dalam mencegah diabetes.
Efek lain turunnya berat badan meningkatkan kemungkinan terjadinya ovulasi, sebagian
besar karena membaiknya sensitivitas insulin.
Pasien diminta untuk membuat catatan menstrual, diperingkatkan bahwa fertilitas mungkin
akan segera membaik, dan diberi nasihat untuk menggunakan kontrasepsi metode barrier.
Obat kontrasepsi oral dan antiandrogen tidak diberikan pada kunjungan awal, karena
mungkin akan mempengaruhi menstruasi ataupun kadar androgen serum dan dapat
mengacaukan penilaian kemanjuran metformin. Eflornithine topical dapat diberikan sebagai
terapi hirsutism wajah.

Kunjungan follow-up dijadwalkan pada bulan 3 dan 6. Siklus menstruasi ditinjau dan
testosterone total serum diperiksa pada setiap kunjungan. Jika terjadi perbaikan pada siklus
menstruasi, penting untuk dicatat apakah menstruasi tersebut ovulatori. Hal ini dapat
ditentukan dengan menilai kadar progesterone serum 7 hari sebelum hari pertama menstruasi
berikutnya, kadar progesterone lebih dari 4.0 ng/ml konsisten dengan fase luteal dan ovulasi.

Setelah terapi selama 6 9 bulan, dilakukan penilaian kemanjuran metformin. Jika siklus
menstruasi dan ovulasi membaik secara memuaskan, terapi lebih lanjut ditentukan per kasus.
Pada beberapa wanita, terapi dengan metformin saja mungkin sudah cukup. Wanita yang
menginginkan kontrasepsi dapat diberikan obat kontrasepsi oral sambil melanjutkan terapi
metformin. Pada kasus dimana hirsutism tetap menjadi masalah, obat kontrasepsi oral,
antiandrogen, atau keduanya dapat ditambahkan disamping metformin.

EFEK SAMPING

Asidosis laktik telah dilaporkan terjadi pada penggunaan metformin, tetapi komplikasi ini
sangat jarang (0.3 kasus per 10.000 pasien per tahun) pada pasien yang sehat dan terbatas
terutama pada pasien yang seharusnya tidak mendapat obat ini karena mempunyai penyakit
ginjal dan hepar yang mendasari.

Efek samping utama metformin terjadi pada 10 25% pasien seperti gangguan
gastrointestinal, biasanya mual dan diare. Jika mual dan diare terjadi pada dosis yang
diberikan, dosis tersebut dapat tetap dipertahankan atau diturunkan menjadi 500 mg per hari
selama 2 4 minggu sampai gejala menghilang. Efek samping gastrointestinal metformin
biasanya hanya sementara, tetapi pada beberapa kasus minor gangguan gastrointestinal
mungkin memerlukan penghentian pemberian metformin.
Metformin dapat menyebabkan malabsorbsi vitamin B12 pada beberapa pasien yang
menerima terapi jangka panjang. Pada suatu analisis, faktor risiko untuk terjadinya efek
samping ini adalah dosis harian dan durasi terapi metformin dan juga usia pasien. Walaupun
kemungkinan terjadinya defisiensi B12 klinis sangatlah rendah, pasien harus dimonitor
terhadap gejala dan tandanya.

Metformin merupakan golongan obat kategori B, dan tidak ditemukan efek teratogenik pada
hewan coba. Telah diberikan pada sejumlah kecil wanita di Afrika Selatan yang menderita
diabetes tipe II atau diabetes gestasional, selama kehamilan mereka, tidak terdapat efek
teratogenik atau gangguan pada janin.

Walaupun metformin semakin banyak digunakan untuk mengobati pasien dengan sindrom
ovarium polikistik, terapi ini sebagian didasarkan pada hasil penelitian RCT pada populasi
tanpa sindrom ovarium polikistik, yang menunjukkan bahwa diabetes dapat dicegah.
Diperlukan penelitian RCT serupa yang secara spesifik melibatkan pasien dengan sindrom
ovarium polikistik. Strategi untuk terapi metformin jangka panjang pada pasien dengan
sindrom ovarium polikistik masih dikembangkan, dan identifikasi faktor prediktor untuk
respons metformin, mungkin bahkan melalui pendekatan farmakogenomik, akan
memperbaiki kegunaan obat ini dalam penanganan sindrom ovarium polikistik. Walaupun
terapi jangka panjang dengan metformin kelihatannya menguntungkan pada banyak pasien
dengan sindrom ovarium polikistik, yang kurang jelas adalah kapan metformin digunakan
sebagai terapi tunggal atau sebagai terapi kombinasi dengan antiandrogen atau terapi
hormonal. Kemanjuran metformin memperbaiki gejala kelebihan androgen, seperti hirsutism,
belum diteliti secara kritis.

Metformin telah digunakan selama bertahun-tahun pada pasien dengan diabetes tipe II.
Tetapi, kita tidak memiliki data menyangkut efek jangka panjang potensial obat ini pada
pasien yang diterapi dengan sindrom ovarium polikistik, pada siapa terapi ini, jika efektif,
dapat dilanjutkan selama bertahun-tahun. Jika pasien kemudian hamil, belum dipastikan
apakah metformin seharusnya dilanjutkan selama kehamilan dan, jika demikian, untuk berapa
lama.

PETUNJUK
Pernyataan terakhir dari Androgen Excess Society merekomendasikan bahwa wanita dengan
sindrom ovarium polikistik, tanpa melihat berat badan, diskrining terhadap intoleransi
glukosa dengan menggunakan tes toleransi glukosa pada awal pemeriksaan dan setiap 2 tahun
setelahnya. Perlu dicatat bahwa penggunaan metformin untuk mengobati atau mencegah
perkembangan menjadi toleransi glukosa terganggu dapat dipertimbangkan tetapi tidak
diharuskan sampai dilakukan penelitian RCT berdesain baik yang menunjukkan
kemanjurannya. Pernyataan American Association of Clinical Endocrinologist
merekomendasikan bahwa metformin dipertimbangkan sebagai terapi awal pada kebanyakan
wanita dengan sindrom ovarium polikistik, khususnya pada mereka yang kelebihan berat
badan atau obes.

Anda mungkin juga menyukai

  • Adaptasi Psikologis Dan Fisiologis Ibu Postpartum
    Adaptasi Psikologis Dan Fisiologis Ibu Postpartum
    Dokumen51 halaman
    Adaptasi Psikologis Dan Fisiologis Ibu Postpartum
    Agnes Fibriyanti Ritonga
    Belum ada peringkat
  • PKN Kal
    PKN Kal
    Dokumen2 halaman
    PKN Kal
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • PKN Kal
    PKN Kal
    Dokumen2 halaman
    PKN Kal
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • DR Yasmini Fisiologi Kehamilanxxx
    DR Yasmini Fisiologi Kehamilanxxx
    Dokumen64 halaman
    DR Yasmini Fisiologi Kehamilanxxx
    Triana Amalia
    Belum ada peringkat
  • Malpresentasi Dan Malposisi
    Malpresentasi Dan Malposisi
    Dokumen44 halaman
    Malpresentasi Dan Malposisi
    Intan Permatasari Nurdin
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • MRKH
    MRKH
    Dokumen44 halaman
    MRKH
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • MRKH
    MRKH
    Dokumen44 halaman
    MRKH
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Lap Kas 3
    Lap Kas 3
    Dokumen21 halaman
    Lap Kas 3
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Sadari
    Sadari
    Dokumen13 halaman
    Sadari
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Deteksi Dini CA Serviks
    Deteksi Dini CA Serviks
    Dokumen22 halaman
    Deteksi Dini CA Serviks
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Sadari
    Sadari
    Dokumen13 halaman
    Sadari
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • TOA
    TOA
    Dokumen3 halaman
    TOA
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Metformin Dan PCOS
    Metformin Dan PCOS
    Dokumen10 halaman
    Metformin Dan PCOS
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Metformin Dan PCOS
    Metformin Dan PCOS
    Dokumen10 halaman
    Metformin Dan PCOS
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Methotrexate
    Methotrexate
    Dokumen8 halaman
    Methotrexate
    sayangqayox
    Belum ada peringkat
  • Pcos
    Pcos
    Dokumen6 halaman
    Pcos
    sayangqayox
    Belum ada peringkat