OSEANOGRAFI PERIKANAN
Disusun Oleh:
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
2.1 Karakteristik Air Laut...........................................................................3
2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Primer Di Laut................6
2.3 Oseanografi Indonesia........................................................................8
2.4 Hubungan Antara Faktor Oseanografi Dan pertumbuhan Primer
Perairan Indonesia..................................................................................11
BAB III KESIMPULAN................................................................................16
3.1 Kesimpulan.......................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................17
3
BAB I PENDAHULUAN
1
produktivitas perairan. Tisch et al. (1992) mengatakan perubahan kondisi
suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat massa air yang
meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan nutrien.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui parameter-parameter oseanografi.
2. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan
primer di laut.
3. Mengetahui kondisi oseanografi Indonesia.
4. Mengetahui hubungan antara faktor oceanografi dan pertumbuhan
primer perairan Indonesia.
5. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Oceangrafi Perikanan.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Suhu
3
kira sebesar 0,1oC pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan
hanya kira-kira 0,12oC pada kedalaman 10 75 m. Disamping itu Lukas
and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan
laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan
tercampur.
B. Salinitas
4
memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang
mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga
mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan perairan.
5
massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan oleh adanya run-
off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.
A. Cahaya
6
cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di
lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang
sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih
banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau
pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan
dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin. Hal ini juga
dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan
di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi
klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit
dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan
tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga
tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis
pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara
lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada
panjang gelombang 400 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen
fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih
dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang
gelombang kurang dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen
pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).
B. Nutrien
7
Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh
tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya
amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen
nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon,
nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium,
sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat
kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut
Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk
pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca
dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan
elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya
disebut mikronutrien atau trace element.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada
konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat
sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di
bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien
memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan
konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta
akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 1500
m.
C. Suhu
8
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan
meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah
mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap
spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu
tertentu.
9
saat Muson Tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke
barat yang akhirnya akan menuju ke Laut Cina Selatan (Wyrtki, 1961).
Sumber air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Lautan Pasifik
bagian utara dan selatan. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores lebih
banyak dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut
Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari
Pasifik Selatan. Gordon et al. (1994) mengatakan bahwa massa air
Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui 2 (dua) jalur utama, yaitu:
2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan
Laut Maluku terus ke Laut Banda. Dari Laut Banda, menurut
10
Gordon (1986) dan Gordon et al.,(1994) massa air akan mengalir
mengikuti 2 (dua) rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat
Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu
dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor
melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan
paparan benua Australia.
11
laut berkisar antara 31,2 34,5 (Tomascik et al. 1997 a). Nontji (1993)
mengatakan bahwa suhu permukaan perairan Indonesia berkisar antara
28 31oC dan di Laut Banda pada saat upwelling, suhu turun sampai
25oC. Hal ini disebabkan karena massa air dingin dari lapisan bawah
terangkat ke lapisan atas. Ilahude and Gordon (1996) mengatakan bahwa
suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim timur berkisar
antara 25,7 26,1oC dengan salinitas 34,1 34,4 sedangkan musim
barat suhu berkisar antara 29,6 30,3oC dan salinitas 34,5.
12
lingkungan laut lainnya, misalnya perairan pantai, dimana produktivitasnya
melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.
13
Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada
kedalaman 25 m.
Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim
Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling,
rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim
Barat sekitar 0,18 mm/l.
2. Percampuran Vertikal Massa Air
Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam
menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat
nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan
meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan
penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan
dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas
fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan
bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan
konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif
meningkatkan produksi baru.
Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh
tiupan angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup
angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar
perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang
mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal.
Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya
pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran
vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang
umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam
kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan
bagian lain dari perairan Laut Timor.
3. Percampuran Massa Air secara Horisontal
Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola
sirkulasi massa air di Perairan Indonesia. Sistem ini
mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang
berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur,
massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut
Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin
14
muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia
Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi
pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian
sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan
mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan. Tingginya
produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal
dimana massa air di peroleh. Nontji (1974) dalam Monk et al.
(1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di
perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama
Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.
Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan
termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi
primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari
lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi
nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang
meningkatnya produktivitas primer. Lapisan termoklin yang
dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan.
Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien
pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan
tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih
dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam
kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa
kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada
bagian batas atas lapisan termoklin. Matsuura et al. (1997) dari
hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan
bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur
sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari
lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum
terdapat pada kedalaman kira-kira 75 100 m. Sedangkan
Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum
klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa Bali berada pada
kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat.
15
Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan
termoklin.
16
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
Bakti, M. Y., 1998. Dinamika Perairan di Selatan Jawa Timur Bali pada
Musim Timur 1990. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
18
Hendiarti, N., S. I. Sachoemar, A. Alkatiri, dan B. Winarno, 1995.
Pendugaan Lokasi Upwelling di Perairan Selatan P. Jawa Bali
Berdasarkan Tinjauan Parameter Fisika Oceanografi dan
Konsentrasi Klorofil-a. Prosiding Seminar Kelautan Nasional 1995.
Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta
Industri Maritim, Jakarta.
Lukas R., and E. Lindstrom, 1991. The Mixed Layer of the Western
Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 3357.
19
Monk, K. A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley, 1997. The Ecology
of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series.
Vol. V. Periplus Editions.
Naulita, J., 1998. Karakteristik Massa Air Pada Perairan Lintasan Arlindo.
Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nontji, A., 1975. Distribution of Chlorophyll-a in the Banda Sea by the End
of Upwelling Season. Marine Research in Indonesia, 14:49-59.
20
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 b. The Ecology
of the Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian
Series. Vol. VIII. Periplus Editions (HK) Ltd.
21