Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

OSEANOGRAFI PERIKANAN

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR OSEANOGRAFI TERHADAP


PERTUMBUAHAN PRIMER DI PERAIRAN INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Oseanografi Perikanan


yang di bimbing oleh:
Ir. Agus Tumulyadi, M.P

Disusun Oleh:

NAMA : ANJA NAYA


NIM : 155080200111005
KELAS : P03

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat


dan berkat-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang
Pengaruh Faktor-faktor Oseanografi terhadap Pertumbuhan Primer di
Perairan Indonesia yang diberikan oleh Bpk. Ir, Agus Tumulyadi, M.P
dalam Mata Kuliah Oseanografi Perikanan.
Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
keterbatasan penulis. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan
masukan dari pembaca untuk penyempurnaan dan perbaikan makalah ini.
Terima Kasih.

Malang, 06 Maret 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
2.1 Karakteristik Air Laut...........................................................................3
2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Primer Di Laut................6
2.3 Oseanografi Indonesia........................................................................8
2.4 Hubungan Antara Faktor Oseanografi Dan pertumbuhan Primer
Perairan Indonesia..................................................................................11
BAB III KESIMPULAN................................................................................16
3.1 Kesimpulan.......................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................17

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun


berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh
perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang
terdapat di dalam suatu perairan. Sebaran klorofil-a di laut lebih tinggi
konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan
lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai
dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar
melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di
perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan
secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas
pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup
tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang
dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam
mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela,
1984).

Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson


memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara
musim, disamping itupula juga dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik
yang melintasi perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem
arus lintas Indonesia (Arlindo). Sirkulasi massa air perairan Indonesia
berbeda antara musim barat dan musim timur. Musim barat, massa air
umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya
ketika musim timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang
berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan
mengalir menunju perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki, 1961).
Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya

1
produktivitas perairan. Tisch et al. (1992) mengatakan perubahan kondisi
suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat massa air yang
meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan nutrien.

Dengan melihat akan keberadaan perairan Indonesia dimana karena


adanya perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi pola
arus permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa
diduga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat
produktivitas perairan. Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti
bagaimana sebaran faktor fisik-kimia perairan. Untuk itu perlu dilakukan
analisa untuk mempelajari dan menelaah pengaruh faktor-faktor
oseanografi terhadap sebaran fisik-kimia perairan dan keterkaitannya
terhadap tingkat konsentrasi klorofil-a.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja parameter-parameter oseanografi?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan primer di laut?
3. Bagaimana kondisi oseanografi Indonesia
4. Apa hubungan antara faktor oceanoggrafi dan pertumbuhan primer
perairan Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui parameter-parameter oseanografi.
2. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan
primer di laut.
3. Mengetahui kondisi oseanografi Indonesia.
4. Mengetahui hubungan antara faktor oceanografi dan pertumbuhan
primer perairan Indonesia.
5. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Oceangrafi Perikanan.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Air Laut

A. Suhu

Laut tropik memiliki massa air permukaan hangat yang disebabkan


oleh adanya pemanasan yang terjadi secara terus-menerus sepanjang
tahun. Pemanasan tersebut mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di
dalam kolom perairan yang disebabkan oleh adanya gradien suhu.
Berdasarkan gradien suhu secara vertikal di dalam kolom perairan, Wyrtki
(1961) membagi perairan menjadi 3 (tiga) lapisan, yaitu: a) lapisan
homogen pada permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan
tercampur; b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin;
c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir homogen,
dimana suhu berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.

Menurut Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di


dalam kolom perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien
suhu dari permukaan sampai lapisan dalam. Lapisan permukaan
tercampur merupakan lapisan dengan gradien suhu tidak lebih dari
0,03oC/m (Wyrtki, 1961), sedangkan kedalaman lapisan termoklin dalam
suatu perairan didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana
gradien suhu lebih dari 0,1oC/m (Ross, 1970).

Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti


presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan
faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi
di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut,
sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya
aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut
McPhaden and Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-

3
kira sebesar 0,1oC pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan
hanya kira-kira 0,12oC pada kedalaman 10 75 m. Disamping itu Lukas
and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan
laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan
tercampur.

Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy,


dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan
tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes
(1991), adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan
terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua
faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada
suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling.
Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi lebih
rendah. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin.
Angin yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya
percampuran massa air pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran
suhu menjadi homogen.

B. Salinitas

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti


pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan
dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai
memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki
penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi. Selain itu pola
sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan.
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan
bertambahnya kedalaman.

Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran


salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan

4
memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang
mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga
mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan perairan.

Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat


berpengaruh terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal
maupun secara horisontal. Secara horisontal berhubungan dengan arus
yang membawa massa air, sedangkan sebaran secara vertikal umumnya
disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan terjadinya gerakan air
secara vertikal.

Menurut Wyrtki (1961), sistem angin muson menyebabkan


terjadinya musim hujan dan panas yang akhirnya berdampak terhadap
variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim tersebut
selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang
bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara
sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari
sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan
distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi.

Pengaruh sistem angin muson terhadap sebaran salinitas pada


beberapa bagian dari perairan Indonesia telah dikemukakan oleh Wyrtki
(1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air lapisan dalam
(upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda bagian
timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di
pengaruhi oleh arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi
dari Lautan Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres.
Di Laut Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat
dari pengaruh masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim
Timur, tingginya salinitas dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores
mengakibatkan meningkatnya salinitas Laut Flores. Laut Jawa memiliki

5
massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan oleh adanya run-
off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.

C. Densitas air laut (st)

Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi


densitas secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara
horisontal yang disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan
dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang
berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu.
Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas serta semua proses
yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas
permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari
daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu
permukaan.

Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses


percampuran dan pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses
tersebut adalah tiupan angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991),
mengatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya
hubungan yang positif antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin,
dimana ada kecenderungan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur
akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara umum densitas meningkat
dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan
menurunnya suhu.

2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Primer Di Laut

A. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi


klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia

6
cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di
lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang
sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih
banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau
pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan
dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin. Hal ini juga
dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan
di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi
klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit
dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan
tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga
tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis
pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara
lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada
panjang gelombang 400 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen
fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih
dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang
gelombang kurang dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen
pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).

Adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka


jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan
berbeda pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi
fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga
laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a
dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid
untuk diatom, dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin
untuk alga merah dan alga hijau biru.

B. Nutrien

7
Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh
tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya
amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen
nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon,
nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium,
sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat
kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut
Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk
pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca
dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan
elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya
disebut mikronutrien atau trace element.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada
konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat
sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di
bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien
memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan
konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta
akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 1500
m.

C. Suhu

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara


langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu
berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses
fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa
(Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah
struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi
fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).

8
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan
meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah
mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap
spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu
tertentu.

2.3 Oseanografi Indonesia

Perairan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia


berada dalam suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin muson.
Angin muson bertiup ke arah tertentu pada suatu periode sedangkan pada
periode lainnya angin bertiup dengan arah yang berlawanan. Terjadinya
angin muson ini karena terjadi perbedaan tekanan udara antara daratan
Asia dan Australia (Wyrtki, 1961).

Pada bulan Desember Pebruari di belahan bumi utara terjadi


musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim panas
sehingga pusat tekanan tinggi di daratan Asia dan pusat tekanan rendah
di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari
daratan Asia menuju Australia. Angin ini dikenal di sebelah selatan
katulistiwa sebagai angin Muson Barat Laut. Sebaliknya pada bulan Juli
Agustus berhembus angin Muson Tenggara dari daratan Australia yang
bertekanan tinggi ke daratan Asia yang bertekanan rendah.

Sirkulasi air laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem


angin muson. Oleh karena sistem angin muson ini bertiup secara tetap,
walaupun kecepatan relatif tidak besar, maka akan tercipta suatu kondisi
yang sangat baik untuk terjadinya suatu pola arus. Pada musim barat,
pola arus permukaan perairan Indonesia memperlihatkan arus bergerak
dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa. Di Laut Jawa, arus kemudian
bergerak ke Laut Flores hingga mencapai Laut Banda. Sedangkan pada

9
saat Muson Tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke
barat yang akhirnya akan menuju ke Laut Cina Selatan (Wyrtki, 1961).

Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan


arus yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia yang
biasanya disebut Arus Lintas Indonesia/Arlindo (Fieux et al., 1996b).
Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik
Selatan (Tomascik et al., 1997a; Wyrtki, 1961; Ilahude and Gordon, 1996;
Molcard et al., 1996; Fieux et al., 1996a). Terjadinya arlindo terutama
disebabkan oleh bertiupnya angin pasat tenggara di bagian selatan Pasifik
dari wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian
tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian
timur. Hasilnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan
mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia. Arus lintas
Indonesia selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari pada di
Muson Barat Laut.

Sumber air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Lautan Pasifik
bagian utara dan selatan. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores lebih
banyak dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut
Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari
Pasifik Selatan. Gordon et al. (1994) mengatakan bahwa massa air
Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui 2 (dua) jalur utama, yaitu:

1. Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi


dan Basin Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui
Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian
lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut
Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor.

2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan
Laut Maluku terus ke Laut Banda. Dari Laut Banda, menurut

10
Gordon (1986) dan Gordon et al.,(1994) massa air akan mengalir
mengikuti 2 (dua) rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat
Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu
dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor
melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan
paparan benua Australia.

Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi


karakteristik massa air Lautan Pasifik dan sistem angin muson. Dimana
pada Musim Barat (Desember Pebruari) bertiup angin muson barat laut
di bagian selatan katulistiwa dan timur laut di utara katulistiwa,
karakteristik massa air perairan Indonesia umumnya ditandai dengan
salinitas yang lebih rendah, sedangkan pada Musim Tmur (Juni Agustus)
bertiup angin muson tenggara di selatan katulistiwa dan barat daya di
utara katulistiwa, perairan Indonesia memiliki karakteristik dengan nilai
salinitas yang lebih tinggi.

Schalk (1987) mengatakan bahwa pergantian musim


mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi hidrologi perairan.
Dikatakan pula bahwa Musim Timur (Juni September) menyebabkan
terjadinya upwelling di Laut Banda dan stabilitas vertikal pada kolom
perairan menjadi rendah. Namun pada Musim Barat (Desember Maret)
terjadi downwelling dengan stabilitas vertikal kolom perairan menjadi
tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa pada bulan Agustus di saat
terjadinya upwelling, suhu permukaan perairan berkisar pada 25 oC,
sedangkan pada bulan Pebruari di saat terjadinya downwelling, suhu
permukaan perairan lebih dari 25 oC dan umumnya perairan lebih
berstratifikasi di bagian barat Laut Banda.

Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara


2530oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan
bertambahnya kedalaman hingga 80 db, sedangkan salinitas permukaan

11
laut berkisar antara 31,2 34,5 (Tomascik et al. 1997 a). Nontji (1993)
mengatakan bahwa suhu permukaan perairan Indonesia berkisar antara
28 31oC dan di Laut Banda pada saat upwelling, suhu turun sampai
25oC. Hal ini disebabkan karena massa air dingin dari lapisan bawah
terangkat ke lapisan atas. Ilahude and Gordon (1996) mengatakan bahwa
suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim timur berkisar
antara 25,7 26,1oC dengan salinitas 34,1 34,4 sedangkan musim
barat suhu berkisar antara 29,6 30,3oC dan salinitas 34,5.

Sebaran konsentrasi nutrien perairan Indonesia menunjukkan suatu


karakteristik perairan tropis, dimana konsentrasinya rendah pada lapisan
permukaan. Menurut Wyrtki (1961), untuk perairan Asia Tenggara,
konsentrasi fosfat di bagian permukaan kurang dari 0,2 mg-at/l, dan
selanjutnya meningkat hingga 1,5 mg-at/l pada lapisan diskontinyu,
sedangkan untuk lapisan dalam, konsentrasi fosfat berkisar antara 2,5
3,0 mg-at/l. Delsman (1939) yang dikutip oleh Wyrtki (1961) mengatakan
konsentrasi fosfat Laut Jawa kira-kira 0,08 mg-at/l dengan fluktuasi antara
0,03 dan 0,012 mg-at/l di dekat permukaan dan memiliki nilai yang agak
lebih tinggi di dekat dasar perairan yakni antara 0,08 0,15 mg-at/l
dengan rata-rata 0,12 mg-at/l.

2.4 Hubungan Antara Faktor Oseanografi Dan pertumbuhan Primer


Perairan Indonesia

Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan


oleh cukup tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien
rendah. Keadaan ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah.
Seperti halnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan
perairan bahari yang memiliki laju produktivitas rendah.

Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut


dunia memiliki laju produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan

12
lingkungan laut lainnya, misalnya perairan pantai, dimana produktivitasnya
melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.

Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor


fisika antara lain:
1. Upwelling
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami
upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada
lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses
pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh
Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju
produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi
aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah
divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang
mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah
Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987),
Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan
Laut Timor (Tubalawony, 2000).
Berdasarkan pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di
Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a
tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut
terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah
dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak
terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi
nutrien di perairan lebih kecil. Perairan Banda (Vosjan and
Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode
bloom fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan
Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi
distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan
September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian
timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar.

13
Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada
kedalaman 25 m.
Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim
Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling,
rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim
Barat sekitar 0,18 mm/l.
2. Percampuran Vertikal Massa Air
Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam
menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat
nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan
meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan
penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan
dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas
fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan
bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan
konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif
meningkatkan produksi baru.
Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh
tiupan angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup
angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar
perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang
mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal.
Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya
pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran
vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang
umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam
kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan
bagian lain dari perairan Laut Timor.
3. Percampuran Massa Air secara Horisontal
Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola
sirkulasi massa air di Perairan Indonesia. Sistem ini
mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang
berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur,
massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut
Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin

14
muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia
Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi
pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian
sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan
mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan. Tingginya
produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal
dimana massa air di peroleh. Nontji (1974) dalam Monk et al.
(1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di
perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama
Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.
Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan
termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi
primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari
lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi
nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang
meningkatnya produktivitas primer. Lapisan termoklin yang
dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan.
Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien
pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan
tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih
dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam
kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa
kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada
bagian batas atas lapisan termoklin. Matsuura et al. (1997) dari
hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan
bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur
sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari
lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum
terdapat pada kedalaman kira-kira 75 100 m. Sedangkan
Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum
klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa Bali berada pada
kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat.

15
Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan
termoklin.

16
BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Karaktersitik massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi


oleh sistem angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya
arus lintas Indonesia (arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik
Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat
suhu permukaan perairan Indonesia lebih dingin dengan salinitas yang
lebih tinggi sebagai pengaruh terjadinya upwelling di beberapa daerah
selama musim timur dan juga akibat dari masuknya massa air Lautan
Pasifik, sedangkan pada musim barat, suhu permukaan perairan lebih
hangat dengan salinitas yang lebih rendah. Rendahnya salinitas akibat
pengaruh massa air dari Indonesia bagian barat yang banyak bermuara
sungai-sungai besar.

Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia


mengalami upwelling dan percampuran massa air yang mengakibatkan
terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur dan
mengakibatkan tingginya produktivitas primer perairan bila dibandingkan
dengan musim barat.

Faktor-faktor oseanografi yang sangat berperan dalam mendukung


tingginya produktivitas perairan Indonesia adalah upwelling, percampuran
massa air secara vertikal dan horisontal, yang terjadi sebagai akibat
adanya sistem pola angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bakti, M. Y., 1998. Dinamika Perairan di Selatan Jawa Timur Bali pada
Musim Timur 1990. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Brown, J., A. Colling, D. Park, J. Phillips, D. Rothery, J. Wright, 1989.


Ocean Chemistry and Deep Sea Sediments. Open University.

Chavez, F. P., and R. T. Barber, 1987. An Estimate of New Production in


the Equatorial Pacific. Deep-Sea Res., 34:1229-1243.

Cullen, J. J., M. R. Lewis, C. O. Davis, and R. T. Barber, 1992.


Photosynthetic Characteristics and Estimated Growth Rates Incate
Grazing is the Proximate Control of Primary Production in the
Equatorial Pacific. J. Geophys. Res., 97 (C1): 639 654.

Fieux, M., C. Andrie, E. Charriaud, A. G. Ilahude, N. Metzl, R. Molcard,


and J. C. Swallow, 1996 a. Hydrological and
Chlorofluoromenthane Measurements of the Indonesian
Throughflow Entering the Indian Ocean. J. Geophys. Res., 101
(C5): 12,433 12,454.

Fieux, M., R. Molcard, and A. G. Ilahude, 1996 b. Geostrophic Transport of


the Pacific Indian Oceans Througflow. J. Geophys. Res., 101
(C5): 12,421 12,432.

Gordon, A., 1986. Interocean Exchange of Thermocline Water. J.


Geophys. Res., 91, 5037 5046.

Gordon, A. L., A. Ffield, and A. G. Ilahude, 1994. Thermocline of the Flores


and Banda Seas. J. Geophys. Res., 99, 18,235 18,242.

18
Hendiarti, N., S. I. Sachoemar, A. Alkatiri, dan B. Winarno, 1995.
Pendugaan Lokasi Upwelling di Perairan Selatan P. Jawa Bali
Berdasarkan Tinjauan Parameter Fisika Oceanografi dan
Konsentrasi Klorofil-a. Prosiding Seminar Kelautan Nasional 1995.
Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta
Industri Maritim, Jakarta.

Ilahude, A. G., and A. L. Gordon, 1996. Thermocline Stratification within


the Indonesian Seas. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,401
12,420.

Laevastu, Taivo dan Ilmo Hela. 1970. Fisheries Oceanography: New


Ocean Environmental Services. Fishing News (BOOK) LTD.
London.

Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice Hall inc.

Lukas R., and E. Lindstrom, 1991. The Mixed Layer of the Western
Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 3357.

Matsuura, M., T. Sugimoto, M. Nakai, and S. Tsuji, 1997. Oceanographic


Conditions near the Spawning Ground of Southern Bluefin Tuna:
Northeastern Indian Ocean. J. Oceanogr., 53: 421 433.

McPhaden, and S. P. Hayes, 1991. On the Variability of Winds, Sea


Surface Temperature, and Surface Layer Heat Content in the
Western Wquatorial Pacific. J. Geosphys. Res. 96: 3331 3342.

Molcard, R., M. Fiuex, and A. G. Ilahude, 1996. The Indo Pacific


Throughflow in the Timor Passage. J. Geophys. Res., 101 (C5):
12,411 12,420.

19
Monk, K. A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley, 1997. The Ecology
of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series.
Vol. V. Periplus Editions.

Naulita, J., 1998. Karakteristik Massa Air Pada Perairan Lintasan Arlindo.
Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nontji, A., 1975. Distribution of Chlorophyll-a in the Banda Sea by the End
of Upwelling Season. Marine Research in Indonesia, 14:49-59.

Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Jembatan, Jakarta.

Parsons, T. R., M. Takashi, and B. Hargrave, 1984. Biological


Oceanography Process. Third Edition. Pergamon Press, New
York.

Schalk, P. H., 1987. Monsoon Related Changes in Zooplankton Biomass


in the Eastern Banda Sea and Aru Basin. Biol. Oceanogr., 5: 1
12.

Tisch, T. D., S. R. Ramp, and C. A. Collins, 1992. Observations of the


Geostrophic Current and Water Mass Characteristics off Point Sur,
California, From May 1988 through November 1989, J. Geophys.
Res. 97 (C8): 12,355 12,555.

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 a. The Ecology


of the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian
Series. Vol. VII. Periplus Editions (HK) Ltd.

20
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 b. The Ecology
of the Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian
Series. Vol. VIII. Periplus Editions (HK) Ltd.

Tubalawony, S., 2000. Karakteristik Fisik-Kimia dan Klorofil-a Laut


Timor. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Valiela, I., 1984. Marine Ecological Processes. Library of Congress


Catalogy in Publication Data, New York, USA.

Vosjan, J. H., and G. Nieuwland, 1987. Microbial Biomass and Respiratory


Activity in the Surface Waters of the East Banda Sea and
Northwest Arafura Sea (Indonesia) at the Time of the Southeast
Monsoon. Limnol. Oceanogr. 33 (3): 767 775.

Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asean


Waters, NAGA Rep. 2. Scripps Inst. of Oceanography La jolla,
Calif.

21

Anda mungkin juga menyukai