Anda di halaman 1dari 13

1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari
barang dan jasa. Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari
produksi tetapi tujuan yang utama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup
seseorang. Islam adalah agama komprehensif dan mencakup seluruh aspek
kehidupan, yang mengatur segala tingkah laku manusia, bahkan tidak ada satu
sistem kemasyarakatan, baik modern atau lama, yang menetapkan etika untuk
manusia dan megatur segala aspek kehidupan manusia sampai pada persoalan
yang detail selain Islam, termasuk dalam hal ini konsumsi.
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi
barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam,
karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-
Nya Yang, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: " ...dan makanlah
barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan
kehendakmu ...," dan yang menyuruh semua umat manusia: "Wahai umat
manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik".
2

PEMBAHASAN

A. Konsumsi Dalam Islam


Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Konsumsi meliputi keperluan, kesenangan, dan
kemewahan. Kesenangan atau keindahan diperbolehkan asal tidak berlebihan,
yaitu tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak pula
melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan. Konsumen muslim tidak
akan melakukan permintaan terhadap barang sama banyak dengan pendapatan,
sehingga pendapatan habis. Karena mereka mempunyai kebutuhan jangka
pendek (dunia) dan kebutuhan jangka panjang ( akhirat). Allah swt berfirman
dalam surat al Araaf ayat 31-32 :

31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)
mesjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Yang dapat dipahami bahwa permintaan harus dihentikan setelah


kebutuhan dunia terpenuhi, karena ada kebutuhan akhirat yang harus
dipenuhi, yaitu zakat. Ajaran islam sebenarnya bertujuan untuk mengingatkan
umat manusia agar membelanjakan harta sesuai kemampuannya. Pengeluaran
tidak seharusnya melebihi pendapatan dan juga tidak mengeluarkan
pengeluaran terlalu rendah sehingga mengarah kepada kebakhilan.1

B. Prinsip-prinsip dalam Konsumsi


Pandangan terhadap atmosfer kehidupan seperti itu sangat berbeda
dengan konsepsi nilai Islami. Etika Islam berusaha mengurangi kebutuhan
material manusia yang hampir tanpa batas, untuk bisa menghasilkan energy
dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan batiniah telah dijadikan
cita-cita tertinggi dan mulia dalam hidup. Sekalipun diakui bahwa manusia
butuh materi sebagai pemuas kebutuhan fisiko-biologisnya, tetapi
bagaimanapun kebutuhan spiritual tetap harus dikedepankan. Sikap semacam
ini tentu saja akan berpengaruh pada bagaimana cara seorang konsumen

1 Ilfi Nur Diana, Hadits-hadist Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008), 57.
3

mengkonsumsi sebuah produk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini


Islam telah menetapkan prinsip-prinsip konsumsi yang dapat menjadi panduan
bagi produsen selaku penghasil produk dan bagi konsumen selaku penikmat
produk. Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang
dikemukakan M.Abdul Mannan sebagai berikut.2
1. Prinsip keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang
maksudnya, dalam mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang halal
dan tidak dalarang hukum. Kata halal dimaksudkan bahwa cara
perolehannya harus sah secara hukum, memperhatikan prinsip keadilan,
dalam arti tidak menipu dan merampas hak orang lain karena apabila tidak,
maka harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai yang
haram dimakan. Oleh karena itu, langkah bahagia dan mulianya orang yang
mengedepankan prinsip keadilan, baik dalam mencari rezeki maupun dalam
mengkonsumsinya. Kemuliaan itu tidak hanya dihadapan sesame manusia,
bahkan lebih jauh dari itu yakni kemuliaan di hadapan Tuhan.
2. Prinsip kebersihan
Halal dalam prinsip yang pertaman, bisa saja dikatakan bersih
secara yuridis. Lain halnya dengan prinsip yang kedua yang menekankan
adanya kebersihan. Bersih disini dimaksudkan dalam arti lahir (fisik).
Faktor kebersihan memang sangat diutaman dalam ajaran Islam. Bahkan
sedemikian pentingnya sampai kita dituntun memperhatikan kebersihan itu
yang di dalam Islam dikaitkan dengan makanan hendaknya harus yang
baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor atau pun menjijikkan sehingga
merusak selera. Nabi saw menyatakan bahwa kebersihan dalam segala hal
adalah sebagian dari iman. Selain itu Rasulullah saw mengatakan
Makanan diberkahi jika mencuci tangan sebelum dan sesudah
memakannya(HR. Tirmizi). Namun demikian sisi lain yang perlu disadari
bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah kenicyaan sebagai
prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat
dianjurkan dalam ilmu medis.
3. Prinsip kesederhanaan
Prinsip ketiga ini menekankan agar dalam mengkonsumsi dan
minuman manusia tidak berlebih-lebihan. Berlebihan merupakan symbol

2 Muhammad Djakfar, Etika Bisnis (Bogor: Penebar Plus Imprit, 2001), 150.
4

keserakahan dalam segala hal di duinia ini. Berlebihan dalam apa pun,
berarti seseorang berada dalam titik ekstrem yang seringkali menimbulkan
kesenjangan di tengah kehidupan. Berlebihan dalam hal makanan berarti
seseorang dikendalikan oleh nafsu perut. Bila berkelanjutan, nafsu ini akan
merambah pada nafsu ingin berkuasa, karena dengan kekuasaan seseorang
akan berlimpah fasilitas. Dengan fasilitas yang berlebih seseorang akan
mudah mengumpulkan harta yang bisa memfasilitasi keinginan nafsu perut
dan seksualnya. Demikian seterusnya srikulasi kehidupan bisnis
(produsen), bukanlah mustahil ia akan memperlakukan konsumen hanya
untuk mengeruk keuntungan diri sendiri. Di sinilah relevasi perlunya Islam
melarang seseorang berlebihan dalam hal makanan dan minuman. Tentu
saja larangan ini bisa kita eksplanasikan pada kebutuhan yang lain.3
4. Prinsip kemurahan hati
Dengan mentaati perintah Islam, maka tidak aka nada bahaya
maupun dosa dalam mengonsumsi makanan dan minuman halal yang
dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-nya. Pada hakikatnya semua rezeki
yang kita konsumsi adalah anugerah Allah. Apa yang kita konsumsi pada
hakikatnya adalah milik Allah yang diamanatkan kepada manusia dimuka
bumi. Sangatlah logis jika kita dalam memiliki dan mengonsumsi harta
tidak boleh berlebihan karena di dalam apa yang kita miliki itu ada hak
orang lain yang harus ditunaikan. Hak-hak itu secara umum bisa berupa
zakat, infak dan shadaqah. Namun, dalam hal-hal khusus bagi seorang
pelaku bisnis mekurahan hati itu bisa diwujudkan dalam bentuk melindungi
konsumen dari segala modus kecurangan, seperti harga yang pantas,
kualitas barang yang wajar, takaran yang jujur, dan lain sebagainya. Sikap
murah hati merupakan salah satu sifat Allah SWT yang harus dibumikan
oleh manusia di dunia sebagai wujud ajaran Islam sebagai rahmatan
lilalamin.
5. Prinsip Moralitas
Berakhlak dalam Islam tidak hanya dialamatkan kepada sesame
manusia, tetapi juga kepada diri sendiri, lingkungan (alam) sekitar, dan
bahkan terhadap Tuhan sekalipun. Wujud terima kasih kepada Tuhan di
dalam mengelola dan mengonsumsi harta hendaknya kita mengikuti
petunjukNya. Apa yang kita makan dan minum yang di peroleh dengan cara

3 Ibid., 151.
5

yang halal sama halnya dengan menghargai diri sendiri dan hormat kepada
Tuhan. Menjaga lingkungan alam karena sebagian telah kita konsumsi
sama halnya dengan menghargai lingkungan dan mentaati ajaran Tuhan.
Dalam kita mengkonsumsi dituntut agar selalu ingat kepadaNya, karena
Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual secara
simultan.4

C. Sasaran Islam Dalam Pembatasan Konsumsi


Sasaran Islam dalam pembatasan konsumsi adalah sebagai berikut :5
a. Pendidikan moral
Yaitu semacam pendidikan moral psikologis karena skap berlebih-lebihan
dalam makan dan minum bukan moral seorang mu`min . disamping aka
menjerumuskan mereka kedalam api neraka jahannam bersama orang-
orang kafir yang bersenang-senang dengan makan-makan bagaikan
binatang ternak. Oleh karena itu, seorang mu`min hendaklah berhemat
dalam menikmati kesenangan dunia.
b. Pendidikan sosial
Yang dimaksud dengan pendidikan sosial disini adalah upaya untuk
menghilangkan kesenjangan sosial. Antara orang berpunya dengan orang
tidak mampu, karena faktor yang menambah kesengsaraan orang-orang
melarat adalah sikap orang-orang kaya yang secara tidak disadari telah
melipat gandakan kepedihan kaum tidak mampu dimasyarakat dengan
berbuat berlebih-lebihan dalam menkmati kesenangan hidup.6
c. Pendidikan ekonomi
pendidikan ekonomi bagi setiap individu muslim dan umat Islam
karena sikap berlebih-lebihan dalam konsumsi adalah menyia-nyiakan
semua usaha untuk penambahan produksi. Disamping itu siakap demikian
juga akan menghambur-hamburkan harta.
d. Pendidikan kesehatan dan jasmani
Dimaksudkan dengan pendidikan kesehatan jasmani disini adalah
sikap berlebih-lebihan dalam makanan dan minuman yang berakibat pada
sakit perut karena kekenyangan dan kegemukan.

4 Ibid., 152.
5 Yusuf Qardhawi, Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (Jakarta: Robbani press, 1997),
262.
6 Ibid., 263.
6

e. Pendidikan kemiliteran dan politik


Dimaksudkan dengan pendidikan kemiliteran dan politik bagi umat
Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan umat untuk menghadapi
musuh-musuh mereka karena musuh-musuh umat Islam memiliki
kekuatan dan ketangguhan sehingga untuk melatih umat ini agar memiliki
kekuatan fisik dan akal mau tidak mau harus melalui pendidikan militer.
Umat yang berlebih-lebihan dan bersenang-senang cenderung kepada
hidup santai dan mewah.

D. Norma dan etika dibidang Konsumsi


Menurut Yusuf Qardhawi ada beberapa norma dasar yang menjadi
landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim, antara lain:
1. Pembelanjaan pada hal-hal yang baik dan memerangi kebakhilan serta
kekikiran
a. Menggunakan Harta Secukupnya
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah
hak sah menurut Islam. Namun, pemilikan harta itu bukanlah tujuan
tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk
mewujudkan kemaslahatan umum, yang memang tidak sempurna
kecuali dengan harta yang dijadikan Allah bagi manusia sebagai batu
pijakan. Islam mengatur kosep kebutuhan dalam 3 konsep ( Al Hajjah
adh Dharuriyah (kebutuhan primer), al Hajjah al Hajjiyah (kebutuhan
sekunder), Al Hajjah atTahsiniyah (kebutuhan tersier), yang harus
didahulukan kebutuhan primer dari kebutuhan-kebutuhan lainnya.
b. Wajib Membelanjakan Harta
Kombinasi antara iman dan infak banyak terdapat di dalam ayat al-
Quran, dari salah satu ayat tersebut kita dapat menemukan bahwa Al-
Quran menetapkan infak berupa sebagian dari rizki Allah. Artinya
yang dinafkahkan itu hanya sebagian, sedangkan sebagian lagi
disimpan. Barang siapa membelanjakan sebagian dari yang
diperolehnya, maka ia jarang mengemis kepada orang lain.7
c. Dua Sasaran Membelanjakan Harta
Ada dua sasaran untuk membelanjakan harta :
1. Fi sabilillah

7 Ibid., 210.
7

Bentuk membelanjakan harta atau menafkahkan harta fi


sabilillah (di jalan Allah) terdapat bermacam-macam bentuk
variasi:
a. Dalam bentuk perintah dan peringatan.
b. Dalam bentuk ingkar dan anjuran
c. Dalam bentuk ganjaran mulia
d. Dalam bentuk ancaman yang keras
2. Diri sendiri dan keluarga
Seorang muslim tidak diperbolehkan mengharamkan harta
halal dan harta yang baik untuk dikonsumsi bagi dan keluarganya,
padahal sudah jelas mampu mendapatkannya apakah terdorong
sikap zuhud dan hidup serba kekurangan atau karena pelit dan
bakhil. Perintah diwajibkannya manusia untuk menikmati
kenikmatan yang halal, seperti makanan, minuman dan perhiasan,
dalam al-Quran surah al-A`raaf 31-32.
2. Memerangi kemegahan, kemewahan dan kemubadziran
Jika Islam telah mewajibkan kepada pemilik harta untuk
menafkahkan sebagiannya untuk diri, keluarga dan dijalan Allah, serta
mengharamkan baginya sikap pelit, dan kikir, maka disisi lain Allah telah
mengharamkan pemborosan dan penghamburan harta. Karena itu Allah
meletakkan batasan dan ketentuan dalam konsumsi dan pembelanjaan.8
a. Arahan Islam tentang konsumsi
Sesungguhnya pengarahan pembelanjaan dan konsumsi adalah jalan
hidup Islam yang terpuji, baik dalam makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan lain-lain.
b. Memperingatkan dari berutang
Seorang muslim harus menyeimbangkan antara pemasukan dan
pengeluarannya, atau antara penghasilan dan pembelanjaannya supaya
tidak terpaksa untuk berutang dan mendapatkan kehinaan dari orang
lain karena berutang.
c. Menjaga barang-barang inventaris
Menjaga dan memelihara barang-barang yang kita namakan dengan
inventaris tetap yang terdiri dari tanah, bangunan, pabrik, dan

8 Ibid., 211.
8

sebagainya. Untuk itu,tidak sepatutnya menyia-nyiakannya tanpa


kepentingan yang mendesak.
d. Kecaman Al-Quran terhadap orang yang hidup mewah
Kemewahan yang dimaksudkan adalah tenggelam dalam kenikmatan
dan hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba
menyenangkan.9
E. Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen menurut Janus Sidabalok adalah


hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen
dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Sedangkan
menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan konsumen berbicara mengenai jaminan atau kepastian tentang
terpenuhinya hak-hak konsumen.
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 April 1999 telah
mengesahkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999. Sebenarnya sebelum Undang-Undang
Perlindungan Konsumen diundangkan, hak dan kewajiban konsumen serta
pelaku usaha secara tidak langsung telah diatur dan tersebar di dalam
berbagai peraturan yang dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian besar,
yakni perindustrian, perdagangan, kesehatan dan lingkungan hidup. 10 Namun
tidak mungkin bagi seorang konsumen yang buta hukum, untuk mencari
berbagai hak dan kewajibannya. Selain itu, kelemahan dari peraturan-
peraturan yang muncul sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah:
1. Defenisi yang digunakan tidak dikhususkan untuk perlindungan
konsumen
2. Posisi konsumen lebih lemah

9 Ibid., 211.
10 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006), 50.
9

3. Prosedurnya rumit dan sulit dipahami oleh konsumen.


4. Penyelesaian sengketa memakan waktu yang lama dan biayanya tinggi

Undang-undang tentang perlindungan konsumen ini berlaku kepada


konsumen dengan syarat-syarat yang tidak adil. Hal ini berkaitan erat dengan
perilaku produsen dalam memproduksi yang tidak sama dengan produk asli.
Keinginan pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya
dapat mendorong pelaku usaha untuk berbuat curang, baik melalui berbagai
kiat promosi yang memikat konsumen, cara penjualan dan penerapan
perjanjian standar yang cenderung lebih melindungi pelaku usaha dan dapat
merugikan konsumen. Kecenderungan pelaku ini menjadikan kedudukan
pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan menempatkan
konsumen dalam posisi yang lemah.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan lemahnya kedudukan


konsumen adalah karena rendahnya tingkat kesadaran konsumen mengenai
hak-hanya. Faktor lain yang menempatkan konsumen dalam posisi yang
lemah adalah karena kurangnya pengetahuan konsumen mengenai proses
produksi dan posisi tawar menawar konsumen yang lebih lemah secara
ekonomi.
Kerugian yang dialami konsumen tidak selalu terjadi karena
perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha, namun juga dapat terjadi
karena kesalahan konsumen sendiri yang disebabkan karena ketidak tahuan
konsumen mengenai suatu produk. Hukum yang berlaku, selain mampu
melindungi konsumen dari perbuatan curang pelaku usaha, juga harus
mampu memberikan pendidikan kepada konsumen mengenai pentingnya
keamanan dan keselamatan dalam menggunakan suatu produk. Perlindungan
konsumen mencakup dua aspek utama, yaitu:11
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen
barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati
atau melanggar ketentuan undang-undang.Hal ini mencakup bidang yang

11 Ibid.,10.
10

cukup luas, mulai dari penggunaan bahan baku, proses produksi, proses
distribusi, desain produk, hingga mengenai ganti rugi yang diterima oleh
konsumen bila terjadi kerugian karena mengkonsumsi produk yang tidak
sesuai.
2. Perlindungan terhadap mengedarkan produknya, mulai dari kegiatan
promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, hingga layanan
penjualan.

Asas-asas yang dianut dalam perlindungan konsumen menurut Pasal 2


Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagi berikut :
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga
tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak
lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 7 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai hak dan kewajiban
konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan
pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya
secara seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada
pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukumSebagaimana telah
11

disebutkan sebelumnya, perlindungan konsumen bertujuan untuk


melindungi konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai
konsumen dan tidak bertujuan untuk mematikan pelaku usaha, melainkan
menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas produk dan
pelayannya.

Tujuan perlindungan konsumen menurut Pasal 3 Undang-Undang


Perlindungan Konsumen adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastianhukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan.

Meskipun ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen,


Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak bertujuan untuk
mematikan pelaku usaha. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini, pelaku usaha diharapkan lebih termotivasi untuk
meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan
konsumen.
12

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima
prinsip dasar:
1. Prinsip keadilan
2. Prinsip kebersihan
3. Prinsip kesederhanaan
4. Prinsip kemurahan hati
5. Prinsip moralitas
Sasaran islam dalam pembatasan konsumsi adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan moral
2. Pendidikan sosial
3. Pendidikan kesehatan dan jasmani
4. Pendidikn kemiliteran dan politik
Menurut Yusuf Qardhawi ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam
berperilaku konsumsi bagi seorang muslim, yaitu:
1. Pembelanjaan pada hal-hal yang baik dan memerangi kebakhilan serta
kekikiran
2. Memerangi kemegahan, kemewahan, dan kemubadziran
Perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 April 1999 telah
mensahkanUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Sebenarnya sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diundangkan, hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha secara tidak
langsung telah diatur dan tersebar di dalam berbagai peraturan yang dapat
dikelompokkan ke dalam empat bagian besar, yakni perindustrian, perdagangan,
kesehatan dan lingkungan hidup.

Daftar Pustaka

Diana, Ilfi Nur . Hadits-Hadist Ekonomi. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Djakfar, Muhammad. Etika Bisnis. Bogor: Penebar Plus Imprit, 2001.
13

Qardhawi, Yusuf. Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta:


Robbani press, 1997.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti. 2006.

Anda mungkin juga menyukai