Anda di halaman 1dari 13

A.

Pengertian Factoring
Dalam dunia bisnis, bagi pelaku bisnis maupun perusahaan selalu ingin
memperlancar barang produksinya, sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan
mempercepat perputaran modal, yang pada gilirannya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Cara untuk mengembangkan dan meningkatkan
tingkat keuntungan, bagi perusahaan pada umumnya maupun perusahaan yang
melakukan penjualan secara kredit, diperlukan dana segar (cash flow) melalui
lembaga pembiayaan yang bergerak dibidang Factoring (Anjak Piutang).
Factoring yang dikenal dewasa ini pertama kali tumbuh di Amerika tahun
1889, yang akhirnya dikenal di indonesia pada akhir tahun 1988 sejak berlakunya
Kepurusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tanggal 27 Desember 1988.1
Factoring atau Anjak Piutang menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun
1988 adalah pembiayaan dalam bentuk dan/atau pengalihan serta pengurusan
piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangn
dalam dan luar negeri. Factoring atau anjak piutang juga memiliki pengertian
bahwa para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan
piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank
menagihnya dari pihak ketiga itu.2
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 juncto Surat
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK.017/1995 menentukan bahwa
kegiatan factoring terdiri dari :
1. Pembelian atau pengalihan piutang atau tagihan jangka pendek yang
terbit dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
2. Penatausahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan
factoring ada tiga pihak yang terlibat, yaitu:

1
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2005), 108.
2
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009), 156.
1. Perusahaan factoring atau disebut dengan factor sebagai badan
usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau
tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan.
2. Perusahaan penjual piutang atau disebut Klien (client), atau lebih
jelas lagi adalah perusahaan yang menjual atau mengalihkan
piutang atau tagihannya kepada factor.
3. Nasabah (customer), sebagai pihak yang berutang (debitur)
kepada klien, dan piutang tersebut oleh klien dijual atau dialihkan
kepada factoring.3
B. Fungsi dan Manfaat Factoring
Factoring paling tidak mempunyai dua fungsi sebagai berikut :
1. Factoring berkaitan dengan masalah piutang klien. Dalam hal ini,
factor berfungsi menangani masalah atau mengambil alih piutang
tersebut, dan menagih pembayarannya pada debitur setelah piutang
jatuh tempo.
2. Factor bertanggung jawab atas piutang klien dan membebaskan
klien dari risiko kerugian.4
Manfaat Factoring dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain:
1. pembayaran piutang lebih cepat dari jatuh tempo ;
2. menambah dana segar perusahaan ;
3. dapat membantu peningkatan keuntungan atau laba ;
4. merupakan sarana peralihan risiko tagian yang tidak bisa dicairkan.5

3
Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), 87.
4
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2005), 110.
5
Ibid., 111.
C. Macam-Macam Factoring
Factoring dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, yang dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu sebagai berikut :
1. Segi pemberitahuan kepada pihak customer, factoring dapat dibagi
dalam bentuk :
a. Disclosed Factoring, yaitu customer diberitahu bahwa tagihan
telah dialihkan kepada lembaga factoring dan pembayaran
dilakukan langsung kepada lembaga faktoring tersebut.
b. Undisclosed Factoring, yaitu pihak customer tidak diberi tahu
tentang telah dialihnya piutang sampai terjadi sesuatu yang dapat
menimbulkan risiko kepada factor.6
2. Segi keterlibatan klien, factoring dapat dibagi dalam bentuk :
a. Resource Factoring, yaitu pihak klien ikut serta serta memikul
risiko yang mungkin timbul atas tagihan yang dialihkannya.
Factoring dapat saja mengembalikan tagihan yang telah dijual itu
kepada klien, dan ini harus dituangkan dalam kontrak factoring.
Dengan jenis resource factoring ini, pihak factoring diberikan hak
opsi untuk menjual kembali piutang tersebut kepada klien.7
b. Non Resource atau without Resource factoring, jenis ini
membebankan semua tagihan beserta risiko terhadap tagihan yang
tidak terbayar kepada perusahaanfactoring. Namun
perjanjian factoring dapat dicantumkan bahwa di luar keadaan
macetnya tagihan tersebut dapat diperlakukan resource, untuk
menghindari tagihan yang tidak terbayar jarena pihak klien
ternyata mengirimkan barang-barang yang cacat atau rendah

6
Ibid., 114.
7
Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), 110.
mutunya. Hal ini, factor dapat menual kembali tagihan tersebut
kepada klien.8
3. Segi jumlah utang yang dialihkan, factoring dapat dibedakan
menjadi :
a. Facultativ Factoring, yaitu dalam perjanjian factoring, pihak
factoring diberikan hak opsi untuk menentukan, apakah piutang
diterima dengan kontrak factoring atau tidak. Sebelum piutang itu
dinyatakan diterima, klien bebas menjual piutangnya kepada pihak
lain.
b. Whole Turn Over Factoring, perjanjian factoring dilakukan atas
seluruh turn over dari perusahaan klien, atas piutang yang ada atau
yang akan datang. Hal ini, menghindari klien untuk menjual
piutangnya kepada pihak lain.9
D. Teori Hiwalah
1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah atau hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya.10 Dalam istilah para ulama, hal
ini merupakan pemindahan beban utang dari Muhil ( orang yang berutang)
kepadamuhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.11 Hiwalah
merupakan akad pengalihan utang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain
yang wajib menanggung atau membayar. Landasan syariah hiwalah adalah Fatwa
DSN MUI No. 12/DSN/IV/2000 tentang hiwalah dan Fatwa DSN MUI No.
58/DSN-MUI/V/2007 tentang hiwalah bil ujrah.12

8
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2005), 115,
9
Ibid.
10
Nur Rianto Al Arif, Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2010), 54.
11
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani,
2001), 126.
12
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT. Kencana Prenadamedia
Group, 2009), 86.
Difinisi-difinisi hawalah yang dikemukakan diatas, secara subtansi sama,
meskipun secara redaksionalnya berbeda, yang pada intinya hawalah adalah akad
memindahkan tanggung jawab membayar hutang dari orang yang berhutang
(muhil) kepada orang lain (Muhal alaih) untuk membayar hutangnya kepada
orang yang menghutanginya (Muhal).

2. Landasan Syariah13
Firman Allah SWT, antara lain:
a. QS. al-Ma'idah [5]: 1:

...
"Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu "

b. QS.al-Baqarah [2]: 282:

...

"Hai orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya "

13
Fatwa DSN No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah Bil Ujrah
Hadis Nabi SAW, antara lain:
c. Hadis Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan
Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

"Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang


mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu
dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak
yang mampu, terimalah"(HR. Bukhari).

d. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari 'Amr
bin 'Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:

.
"Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat)
boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

e. Hadis Nabi riwayat Imam Ahmad dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar,
Nabi SAW bersabda:

.
"Siapa saja yang dialihkan hak-nya pada yang mampu maka dia
harus menerima pengalihan itu."

f. Hadis Nabi riwayat Imam Baihaqi dari Abu Hurairah serta 'Abd ar-
Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW
bersabda:

.
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
Kemudian dalam ijmak telah tercapai kesepakatan ulama tentang
kebolehan hiwalah ini. Hal ini sejalan dengan kaidah dasar di bidang
muamalah, bahwa semua bentuk muamalah diperbolehkan kecuali ada
dalil yang tegas melarangnya.14
3. Skema Hiwalah15

4. Hukum Hiwalah dan Macam-Macamnya


Hukum Hiwalah dibolehkan berdasarkan hadits dari Abu Hurairah RA
Riwayat Bukhori Muslim bahwa Nabi saw bersabda : Menunda pembayaran bagi
orang yang mampu adalah suatu kedhaliman, dan jika salah seorang dari kamu di-
hiwalah-kan kepada yang mampu, terimalah hiwalah itu.
Penjelasan hadits tersebut, jika orang yang berutang memindahkan orang
lain (orang yang mampu) hendaklah ia menerima hiwalah (pelimpahan) itu dan
hendaklah ia menagih kepada orang yang yang di-hiwalah-kan.
Hiwalah terbagi dua macam :

14
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009), 155.
15
Nur Rianto Al Arif, Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2010), 54.
a. apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak).
b. jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan hutang).
Sisi lain, Hiwalah terbagi dua, yaitu pemindahan sebagai ganti dari
pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-Hiwalah
al-Muqayyadah(Pemindahan Bersyarat) dan pemindahan hutang yang tidak
ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak
kedua yang disebut al-Hiwalah al-Mutlaqah(Pemindahan Mutlak).16
Contoh al-Hiwalah al-Muqayyadah : Ahmad memberi
pinjaman/berpihutang kepada Hasan sebesar satu juta rupiah, sedangkan Hasan
mempunyai piutang kepada Ridho juga sebasar satu juta. Hasan memindahkan
atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang terdapat pada Ridho
kepada Ahmad sebagai ganti dari pembayaran hutang Hasan kepada Ahmad. Al-
Hiwalah al-Muqayyadah, pada sisi lain menjadi hiwalah al-haqq, karena Hasan
mengalihkan hak menuntut piutangnya dari Ridho kepada Ahmad. Disisi lain,
sekaligus menjadi Hiwalah ad-dain, karena Hasan mengalihkan kewajibannya
membayar hutang kepada Ridho dan Ridholah yang berkewajiban membayar
hutang Hasan kepada Ahmad.17
Contoh al-Hiwalah al-Mutlaqah : Basuki berhutang kepada Mustofa
sebesar satu juta rupiah. Burhan berhutang kepada Basuki juga sebesar satu juta
rupiah. Basuki mengalihkan hutangnya kepada Burhan sehingga Burhan
berkewajiban membayar hutang Basuki kepada Mustofa, tanpa menyebutkan
bahwa pemindahan hutang itu sebagai ganti dari pembayaran hutang Burhan
kepada Basuki. Al-Hawalah al-Mutlaqah hanya menjadi hawalah ad-dain, karena

16
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), 222
17
Ibid., 223.
yang dipindahkan hanya hutang Basuki kepada Mustofa menjadi hutang Burhan
kepada Mustofa.18
5. Ketentuan Umum Hawalah
Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang hiwalah atau hawalah
menyatakan:19
a. Ketentuan Umum Hawalah
1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan
sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang
kepada muhil, muhal alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil
dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang
muhil keapada muhtal, dan sighat (ijab-qobul)
2. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengakadakan konrak (akad)
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespodensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern
4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal,
dan muhal alaih
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad
secara tegas
6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat
hanyalah muhtal dan muhal alaih, dan hak penagihan muhal
berpindah kepada muhal alaih.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para puhak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.20

18
Ibid.
19
Nurul Huda, Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 103.
20
Ibid., 104.
Teknis penerapan akad hiwalah atau hawalah ssebagai produk perbankan
syariah di bidang jasa dapat berpedoman pada SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal
17 Maret 2008 yang mengatur persyaratan dalam hiwalah. Jika menggunakan
akad hiwalah mutalaqah, maka berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut:21
a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas
utang nasabah kepada pihak ketiga
b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hiwalah, serta hak
dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuanm Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah
c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa
pengalihan utang atas dasar akad hiwalah bagi nasabah yang antara
lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter dan/atau
aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha, keuangan,
dan prospek usaha
d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa akad pengalihan utang atas dasar22 hiwalah
e. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal
f. Bank menyediakan dana talangan (qardh) sebesar nilai pengalihan
utang nasabah kepada pihak ketiga
g. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran
kepada nasabah
h. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran
kepada nasabah.

21
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009), 157.
22
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah: UU No. 21 Tahun 2008 (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2009), 53.
Jika pengalihan hutang itu dalam bentuk al-Hiwalah al-Muqayyadah, maka
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa
pengalihan utang atas dasar akad hiwalah mutlaqah sebagaimana
dimaksud pada angka 2, kecuali huruf a, huruf f, dan23 huruf g.
b. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas
utang nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya Bank memiliki
utang kepada nasabah,
c. Jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil oleh Bank
paling besar sebanyak nilai utang Bank kepada nasabah.24

E. Analisa Hukum Islam Terhadap Factoring


Berdasarkan mekanisme aplikasi factoring yang telah dipaparkan di
muka, dapat dikatakan bahwa factoring secara yuridis formal adalah sistem bisnis
yang memadukan antara transaksi jual beli kredit dengan jual beli pihutang.
Dikatakan jual beli kredit, ketika penjual barang (klien) menjual barang kepada
pembeli (customer) dalam jangka waktu tertentu. Dikatakan jual beli pihutang,
ketika penjual barang (Klien) menjual pihutangnya yang terdapat pada customer
kepada lembaga pembiayaan factoring (Factor). Bila dicermati, model bisnis
factoring ini, secara subtansi merupakan pengalihan pihutang dari klien (penjual
barang) mengalihkan pihutangnya yang ada pada customer kepada factor
(lembaga factoring), maka akibat hukum yang terjadi, hubungan hukum antara
pihak klien dengan customer dengan klien dipandang tidak ada, karena hubungan
hukum tersebut berpindah atau dialihkan kepada pihak factor dengan customer.
Berpihak dari analisa tersebut, maka model bisnis factoring, dilihat
bingkainya merupakan transaksi jual beli, tetapi dilihat subtansinya adalah
transaksi hutang pihutang yang disertai pengalihan tuntutan hak penagihan
pembayaran hutang dari pihak klien kepada pihak factor yang berakibat tanggung

23
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009), 157.
24
Ibid., 158.
jawab membayar hutang dari pihak customer yang sebelumnya kepada klien
akhirnya berpindah kepada pihak factor. Dengan kata lain, dalam factoring, yang
dipindahkan adalah tuntutan hak penagihan pembayaran hutang dari pihak klien
kepada pihak factor dengan cara menjual pihutang klien yang ada pada customer
kepada pihak faktor sebagai ganti pembayaran hutang customer kepada klien. Jika
dihubungkan dengan akad hiwalah dalam hukum muamalat, dilihat dari segi
pengalihan tuntutan hak penagihan pembayaran hutang, senada dengan al-hiwalah
muqayyadah karena pengalihan pihutang klien yang ada pada costomer itu
sebagai ganti pembayaran customer kepada klien, atau dapat disebut hiwalah al-
haqq karena yang dipindahkan adalah hak penagihan hutang, tetapi disisi lain
terdapat perbedaan antara keduanya, dalam factoring antara customer dengan
factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, artinya pihak customer tidak punya
pihutang dengan pihak factor. Berbeda dalam akad hiwalah al-muqayyadah,
hubungan antara muhil (dalam fatoring disebut customer) dengan pihak ketiga
(muhal alaih) yang dalam factoringdisebut factor sebelumnya ada hubungan
hukum, artinya pihak muhil( dalam factoring customer) punya pihutang dengan
muhal alaih ( dalam factoring factor). Ini berarti dalam model bisnis factoring,
dilihat dari sudut hukum muamalat, dalam hal pengalihan pihutang pihak klien
kepada factor dapat disamakan dengan al-hiwalah al-muqayyadah. Tetapi dilihar
dari sisi lain, artinya pihak customer harus membayar harga barang dalam jangka
tertentu kepada pihak factordapat disamakan dengan akad al-bay al-taqshit (jual
beli kredit yang cara pembayarannya tidak cash tetapi dengan tempo) atau dapat
juga disamakan dengan jual beli murabahah, hanya berbeda dalam hal harga
pokok barang dan tingkat keuntungan, dalam model bisnisfactoring tidak
disebutkan secara terbuka kepada pihak customer, sedang dalam jual beli
murabahah harga pokok barang dan tingkat keuntungan dijelaskan atau disepakati
oleh pihak pembeli ( dalam factoring customer).

Anda mungkin juga menyukai