Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN

Anemia merupakan kondisi dimana sel darah merah tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Hal tersebut karena Hb dalam sel darah merah
yang yang berfungsi untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh ikut terpengaruh.
Prevalensi anemia di dunia adalah sekitar 51%, dimana penyakit ini cenderung
terjadi lebih banyak pada negara berkembang daripada negara yang maju.
Terdapat 36% dari perkiraan populasi 3.800 juta orang di negara berkembang
menderita anemia. Anemia yang paling umum ditemukan pada masyarakat adalah
anemia defisiensi besi. Diperkirakan 25% dari penduduk dunia atau setara dengan
3.5 milyar orang menderita anemia (Abdulsalam, 2005).
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia;
diperkirakan terdapat pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun. Survei
Nasional di Indonesia (1992) mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5
tahun menderita anemia, pada survei tahun 1995 ditemukan 41% anak di bawah 5
tahun dan 24-35% dari anak sekolah menderita anemia. Gejala yang samar pada
anemia ringan hingga sedang menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat
ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian
pada anak (Irawan, 2013).
Autoimmune Hemolytic anemia (AIHA) merupakan salah satu jenis
Anemia yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang mengikat permukaan
membran eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Anemia ini timbul akibat reaksi
autoreaktif antibodi sel darah merah yang menyebabkan kerusakan pada sel darah
merah (Erin and Scott., 2015).
Kejadian AIHA relatif jarang, kejadiannya diperkirakan 1 hingga 3 kasus per
100.000 jiwa, dengan jumlah tertinggi pada anak usia pra sekolah . Pada anak
anak penyakit ini sering terlihat setelah adanya infeksi virus. AIHA tidak
diturunkan dan dapat terjadi pada usia berapapun, namun berkaitan dengan
penyakit malignant limpoproliferatif. Sebagian besar kasus tidak diketahui
sebabnya (idiopatik). Kejadian AIHA sangat jarang pada infant dan usia sekolah
(0.2 per 100000/ tahun), pada 37 % kasus, AIHA bersifat primer, dan 57% lainnya
berkaitan dengan penyakit imun (Bass, 2014; Zanella, 2014).

1
Anemia hemolitik tidak spesifik pada semua ras manusia. Namun, gangguan
sel sabit terutama ditemukan di Afrika, Amerika, beberapa orang Arab, dan
Aborigin di India Selatan. Pada sebagian kasus, anemia hemolitik tidak spesifik
dengan jenis kelamin. Namun AIHA akut lebih sering menyerang wanita
dibanding pria. Walaupun anemia hemolitik dapat menyerang pada semua umur,
kelainan herediter biasanya timbul pada awal kehidupan. AIHA lebih sering
terjadi pada pertengahan usia dari pada usia lanjut (Hoffbrand, 2005). AIHA
diklasifikasikan menjadi AIHA tipe hangat, AIHA tipe dingin, Paroxysmal cold
hemoglobinuri dan AIHA atipik (Elias dan Kartika, 2009).
Penanganan pada pasien dengan AIHA harus dilakukan secara cepat dan
tepat, karena jika tidak ditangani dengan baik komplikasi dari AIHA salah satunya
adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler Deteksi dini adanya anemia
seharusnya dapat dilakukan dokter umum di layanan primer. Sehingga dapat
diobati secara dini, cepat, dan tepat. Pada referat ini kami akan membahas
mengenai anemia hemolitik autoimun.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Anemia adalah istilah yang diberikan untuk penurunan jumlah eritrosit,
konsentrasi hemoglobin dan/atau hematokrit selama volume darah total
berada dalam batas normal. Dengan menggunakan parameter eritrosit volume
korpuskular rata-rata (MCV) dan hemoglobin korpuskular rata-rata (MCH),
anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan volume sel (MCV : mikrositik,
normositik, atau makrositik) dan berdasarkan perbandingan konsentrasi Hb
atau jumlah eritrosit (MCH : hipokrom, normokrom atau hiperkrom).
Pembagian anemia berdasarkan patogenesisnya menggambarkan setiap tahap
dari eritropoesis dan masa hidup eritrosit yang beredar di pembuluh darah
(Anemia hemolitik) (Silbernagl & Lang, 2006).
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan
penghancuran sel darah merah (eritrosit) lebih besar dari pada normal. Pada
anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit
100-120 hari). Pada anemia hemolitik keadaan anemi terjadi karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit. Untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut,
penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hiperplasi sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari
normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi
15-20 hari tanpa diikuti dengan anemi. Namun bila sumsum tulang tidak
mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia (Elias &
Kartika, 2009).

B. Epidemiologi
Kejadian AIHA relatif jarang, kejadiannya diperkirakan 1 hingga 3 kasus
per 100.000 jiwa, dengan jumlah tertinggi pada anak usia pra sekolah . Pada
anak anak penyakit ini sering terlihat setelah adanya infeksi virus. AIHA tidak
diturunkan dan dapat terjadi pada usia berapapun, namun berkaitan dengan
penyakit malignant limpoproliferatif. Sebagian besar kasus tidak diketahui
sebabnya (idiopatik). Kejadian AIHA sangat jarang pada infant dan usia

3
sekolah (0.2 per 100000/ tahun), pada 37 % kasus, AIHA bersifat primer, dan
57% lainnya berkaitan dengan penyakit imun (Bass, 2014; Zanella, 2014).
Insidensi AIHA di Amerika Serikat tidak terlalu tinggi, terjadinya AIHA
di Amerika Serikat yaitu 2,6 per 100,000 tiap tahunnya, dengan rata-rata
insidensi 3400 orang terkena AIHA di Amerika. Insiden AIHA di Rumah
Sakit Sanglah Denpasar pada tahun 2005 ditemukan sebanyak 5 orang
(2,3%). Perbandingan AIHA pada pria dan wanita memiliki frekuensi yang
sama yaitu 1:1 (Bagus, 2007).
Anemia hemolitik tidak spesifik pada semua ras manusia. Namun,
gangguan sel sabit terutama ditemukan di Afrika, Amerika, beberapa orang
Arab, dan Aborigin di India Selatan. Pada sebagian kasus, anemia hemolitik
tidak spesifik dengan jenis kelamin. Namun AIHA akut lebih sering
menyerang wanita dibanding pria. Walaupun anemia hemolitik dapat
menyerang pada semua umur, kelainan herediter biasanya timbul pada awal
kehidupan. AIHA lebih sering terjadi pada pertengahan usia dari pada usia
lanjut (Hoffbrand, 2005).

C. Etiologi
Etiologi secara pasti dari penyakit autoimun masih belum jelas.
Kemungkinan terjadi akibat gangguan central tolerance, dan gangguan pada
proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. AIHA juga dapat disebabkan
oleh coinfeksi EBV dan mycoplasma, drug induced (peniciline, a-metldopa,
quinidine), penyakit autoimun kronik, dan keganasan (Elias & Kartika, 2009).

D. Patofisologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui
aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler atau kombinasi
keduanya (Elias dan Kartika, 2009).

1. Aktifasi sistem komplemen


Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler
yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem
komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik
adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM memiliki peran sebagai aglutinin

4
pada AIHA tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen
polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu
tubuh. Antibodi IgG berperan sebagai aglutinin hangat karena bereaksi
dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh (Elias dan
Kartika, 2009).
a. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
Komplemen jalur klasik dimulai dengan pengikatan komplemen
protein 1q (C1q), bagian dari kompleks C1 pada kompleks antibodi
antigen (AgAb) pada permukaan sel darah merah, yang
memungkinkan aktivasi C1r. Pengaktifan C1r memotong C1S,
menghasilkan serin protease aktif yang memotong C4 dan C2.
Reaksi-reaksi ini menghasilkan pembentukan C3 convertase. C3
convertase akan memotong C3 menjadi C3a, Anafilatoksin, dan C3b,
yang mengikat secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan
komplemen dan bertindak sebagai opsonin serta enzim proteolitik. C3
juga dapat membelah menjadi C3b,d, dan C3c. C3d dan C3g akan
tetap berikatan pada memberan sel eritrosit dan merupakan produk
final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C3
convertase menjadi C5 convertase. C5 convertase akan memecah C5
menjadi C5a ,anafilatoksin, dan C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks penghancur membran sel eritrosit
terdiri dari C5b, C6, C7, C8, dan C9. Kompleks C5b6789 akan
menyusup ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran
sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. dan memicu
terjadinya lisis sel (Berentsen, 2015).

b. Aktivasi komplemen jalur alternatif


Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3 dan C3b yang
terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B
kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba
da Bb. Bb merupakan suatu protease serin dan tetap melekat pada
C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi
menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb

5
akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam
penghancuran membran (Elias dan Kartika, 2009).

2. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular


Jika eritrosit disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak
terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel eritrosit tersebut akan
hancur oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel.
Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan
menyebabkan fagositosis (Elias dan Kartika, 2009).

Gambar 1. Aktivasi komplemen pada AIHA (Elias dan Kartika,


2009).

E. Klasifikasi
1. Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
a. AIHA tipe hangat
1) Idiopatik
2) Sekunder (karena limfoma, SLE)
b. AIHA tipe dingin
1) Idiopatik
2) Sekunder (infeksi mycoplasma, virus, keganasan limforetikuler)
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
1) Idiopatik
2) Sekunder (viral dan sifilis)
d. AIHA atipik
1) AIHA tes antiglobulin negatif

6
2) AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
2. AIHA diinduksi obat
3. AIHA diinduksi aloantubodi
1) Reaksi hemolitik transfusi
2) Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

F. Penegakan Diagnosis

Mikrositik Normositik Makrositik


Defisiensi besi Anemia hemolitik Sumsum tulang
Keracunan timbal kronis kongenital megaloblastik
- Hemoglobinmutan - Defisiensi vitamin B12
Keracunan timbal kronis
- Defek enzim eritrosit - Defisiensi asam folat
Anemia sideroblastik - Gangguan pada
Tanpa sumsum tulang
Inflamasi kronis membran eritrosit
megaloblastik
Anemia hemolitik didapat
- Anemia aplastik
- Autoimun - Hipotiroid
- Anemia hemolitik - Diamond Blackfan
mikroangiopatik Syndrome
- Sekunder oleh infeksi - Penyakit hati
- Infiltrasi sumsum
akut kehilangan darah
tulang
akut
- Anemia
diserotropoietik
Tabel 1. Anemia berdasarkan ukuran eritrosit (Irawan, 2013).

Organ Tanda dan Gejala Kemungkinan Anemia


Kulit Pucat Anemia berat
Hiperpigmentasi Anemia aplastik fanconi
Jaundice Anemia hemolitik akut atau
kronis, hepatitis, anemia
aplastik
Ptekie, purpura Anemia hemolitik autoimun
dengan trombositopenia,
haemolytic uremic syndrome,
aplasia atau infiltrasi sumsum
tulang
Hemangioma Anemia hemolitik
kavernosus mikroangiopati
Kepala dan leher Tulang frontal yang Hematopoisis ekstramedular

7
menonjol, tulang (thalasemia mayor, anemia
maksila dan malar yang sickle cell, anemia hemolitik
menonjol kongenital lainnya)
Sklera ikterik Anemia hemolitik kongenital
dan krisis hiperhemolitik yang
berkaitan dengan infeksi
(defisiensi enzim eritrosit, defek
membran eritrosit, thalasemia,
hemoglobinopati
Stomatitis angularis Defisiensi besi
Glositis Defisiensi besi atau vitamin B12
Dada Ronki, gallop, takikardi, Gagal jantung kongesti, anemia
murmur akut atau berat
Ekstremitas Displasia alat gerak Anemia aplastik fanconi
radius
Spoon nails Defisiensi besi
Triphalangeal thumbs Aplasia eritrosit
Limpa Splenomegali Anemia hemolitik kongenital,
infeski, keganasan hematologis,
hipertensi portal
Tabel 2. Pemeriksaan fisik pada pasien anemia (Irawan, 2013).

8
Gambar 2. Pendekatan diagnostis berdasarkan MCV dan jumlah retikulosit
(Irawan, 2013).

Manifestasi klinis AIHA menunjukkan adanya anemia, dan jaundice


sebagai manifestasi utama. Onset dari gejala umumnya berjalan berlahan atau
berjalan dalam beberapabulan, namun juga terdapat manifestasi akut yang
dapat mengancam nyawa, pada pemeriksaan fisik umumnya normal dengan
splenomegali yang terlihat pada 20 pasien. Pada kasus yang sanagt berat
dapat ditemukan demam, jaundice, hepatospenomegali, takikardi, angina, dan
gagal jantung (Bass, 2014). Diagnosa anemia hemolitik autoimun secara pasti
dilihat dari pemeriksaan deteksi autoantibodi pada eritrosit, yaitu:
1. Direct antiglobulin test (direct coombs test)

9
Direct antiglobulin test digunakan untuk melihat komponen autoimun
berupa molekul IgG atau komplement pada permukaan sel darah merah.
Jika ditemukan IgG atau C3d pada permukaan sel darah merah maka
akan terjadi aglutinasi. Hasil DAT yang positif pada kasus anemia
hemolitik menunjukkan diagnosis AIHA. Namun, apabila DAT negatif
pada kasus anemia hemolitik, maka hemolisis disebabkan oleh penyebab
lainnya (Elias dan Kartika, 2009).
Tanda dan gejala anemia hemolitik autoimun tergantung dari klasifikasi
dari AIHA, yaitu (Elias dan Kartika, 2009) :
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
1) Gejala dan tanda
Gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik dan demam. Pada
beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi
hemoglobinuria. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik
splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30% dan
limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% tidak disertai
pembesaran organ dan limfonodi.
2) Laboratorium
Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7g/dl, MCV meningkat, leukosit
meningkat dengan hitung jenis leukosit predominan neutrofil,
trombosit normal/ turun. Apusan darah tepi : polikromasia dan
makrositosis dari retikulositosis, peningkatan jumlah retikulosit.
Pemeriksaan Coomb direct biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat
biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel
eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari IgG dan bereaksi dengan semua
sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi
dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh
(Elias dan Kartika, 2009; Friedberg dan Johari, 2009; Bass,
2014;Kliegman, et al., 2015).

b. Anemia hemolitik tipe dingin


1) Gambaran klinik
Terjadi aglutinasi jika suhu permukaan dalam kondisi dingin, yaitu
22 + 10oC, hemolisis berjalan kronik, anemia biasanya ringan

10
dengan Hb 9-12 g/dl. Sering disertai dengan akrosianosis dan
splenomegali (Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. 2006).
2) Laboratorium
Anemia ringan, MCV menurun, apusan darah tepi: aglutinasi,
polikromatosia,anisocytosis, poikilositosis, sferositosis,
polikromatosia, tes DAT anti C3 positif dan IgG negatif (Gehrs
and Friedberg, 2002; Bass, 2014;Kliegman, et al., 2015).

c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri


1) Gambaran klinis
AIHA 2-5%, hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas,
mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam,
sering disertai urtikaria.
2) Laboratorium
Hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos, coombs positif,
antibodi Donath-landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.

d. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin


1) Gambaran klinis
Gejala yang timbul sering sama dengan AIHA tipe hangat dan
AIHA tipe dingin, mempunyai autoantibodi yang reaktif
optimalnya pada suhu 37 C dan 0 sampai 10 C. Seringkali
aglutinasi sel darah merah ditemukan pada apusan darah tepi. Pada
pemeriksaan DAT sering kali IgG dan C3 positif (Gehrs and
Friedberg, 2002; Bass, 2014).

e. Anemia hemolitik imun diinduksi obat


1) Gambaran klinis
Riwayat pemakaian obat tertentu. Pasien yang timbul hemolisis
melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya
bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila
kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi
secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal (Hoffman PC,
Gertz MA, Brodsky RA. 2006).
2) Laboratorium

11
Penurunan Hb, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb IgG dan C3
positif, leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia,
hemoglobinuria terjadi pada hemolisis yang diperantarai oleh
kompleks tertary (Gehrs and Friedberg, 2002; Bass, 2014).

f. Anemia hemolitik aloimun karena transfusi


Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang
disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit yang akan memicu
aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskuler yang akan
menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien
akan sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah,
syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi,
biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah
terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel
antigenik,antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan
menyebabkan hemolisis ekstravaskuler (Elias dan Kartika, 2009).

G. Penatalaksanaan
Penalataksanaan Terapi anemia hemolitik autoimun disesuaikan dengan
penyebabnya, yaitu:
1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Terapi yang diberikan dapat berupa:
a. First line
1) Kortikosteroid, berupa prednisone 1-1.5 mg/kgbb/hari. Dalam 2
minggu sebagian besar akan menunjukan respon klinis baik yang
ditunjukan dengan peningkatan hematokrit, retikulosit, tes coombs
direk positif lemah dan indirek negatif). Nilai akan kembali nomal
setelah pengobatan selama 30-90 hari. Jika respon terhadap steroid
baik maka dosisi diturunkan sampai 10-20 mg/hari. Terapi steroid
< 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari. Pasien tetap
membutuhkan pengobatan rumatan dengan dosis rendah. Tetapi
jika dosis perhari melebihi 15 mg/hari dapat diberikan denga terapi
modalitas lain (DeLoughery, 2013; Zanella, A. And Wilma. B.
2014).
2) Asam folat 1 mg/ hari
b. Second line

12
1) Rituximab 375 mg/m2 setiap minggu dalam 4 minggu
2) Splenektomi
3) Prosedur ini dilakukan ketidak pemberian steroid tidak adekuat
atau tidak bisa dilakukan tappering off dosis selama 3 bulan, maka
dapat dipertimbangkan dilakukan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancur sel eritrosit. Meskipun
sudah dilakukan splenektomi, hemolisis masih dapat terjadi tetapi
membutuhkan sel eritrosit terikat antibodi yang lebih besar untuk
menimbulkan kerusakan eristrosit dengan jumlah yang sama
(DeLoughery, 2013; Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
c. Third line
1) Danazol 600-800 mg/hari dapat diberikan berbarengan dengan
steroid sebagai terapi kombinasi. Bila terjadi perbaikan maka
steroid dapat diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Kombinasi antara danazol
dan prednison sering memberikan respon pada 80% kasus. Efek
danazol dapat berkurang pada kasus relaps atau evans syndrome
(DeLoughery, 2013; Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
2) Terapi imunoglobulin intravena 400mg/kgbb/hari selama 5 hari
dapat menunjukan perbaikan pada beberapa kasus. Tetapi
penggunaannya kurang efektif jika dibandingan dengan terapi
kombinasi (Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
3) Pada AIHA refrakter dapat diberkan Mycophenolate mofetil 500
mg perhari sampai 100 mg/hari
4) Imunosupresi, berupa Azathioprin 50-200 mg/hari atau
siklofosfamid 50-150 mg/hari
d. Terapi transfusi
Terapi tranfusi bukanlah kontraindikasi mutlak tetapi dapat diberikan
pada kondisi mengancam jiwa dengan Hb < 3g/dl. Sambil menunggu
efek steroid dan imunosupresif(Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
a. First line
1) Rituximab 375 mg/m2 per minggu dalam 4 minggu
4) Penggunaan rituximab hingga saat ini masih menjadi drug of
choice pada anemia jenis ini. Respon terapi terlihat pada 45 hingga
75% pasien,tetapi sering berespon sebagian, dan penanganan ulang
seringkali dibutuhkan (DeLoughery, 2013).

13
2) Asam folat 1 mg/ hari
3) Menghindari suhu dingin yang dapat memicu timbulnya anemia
dan menjaga pasien tetap dalam keadaan hangat.
b. Second line
1) Rituximab 375 mg/m2 hari ke 1, 29, 57, 85, dengan
2) Fludarabine 40 mg/m2 oral pada hari 1-5, 29-34,57-61, dan 85-89.
c. Third line
1) Bortezomib
2) Eculizumab
d. Chlorambucil 2-4 mg/hari
e. Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM untuk mengurangi
hemolisis, walaupun prosedur ini sulit untuk dilakukan
f. Terapi prednison dan splenektomi tidak banyak membantu
(DeLoughery, 2013; Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
3. Paroxysmal cold hemoglobinuri
Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH) sering terjadi pada anak anak
yang didahului oleh infeksi virus. Anemia jenis ini akan bertahan 1 hingga
3 bulan, namun hampir selalu self limiting. Pada kasus yang berat,
penggunaan steroid dapat bermanfaat. Terapi paling baik pada anemia
jenis ini adalah hindari pencetusnya, karena penurunan suhu tubuh dapat
berakibat penurunan Hb secara masif terlebih jika sering terpapar suhu
dingin (DeLoughery, 2013; Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
4. Anemia hemolitik imun diinduksi obat
Terapi paling efektif adalah menghentikan penggunaan obat yang menjadi
pemicu, untuk mengurangi hemolisis. Kortikosteroid dan transfusi dapat
diberikan pada kondisi berat (DeLoughery, 2013; Zanella, A. And Wilma.
B. 2014).

H. Komplikasi
Komplikasi AIHA yang paling sering terjadi terutama dalam masa
pengobatan adalah Anemia, DVT, emboli paru, infark lien, dan kelainan
kardiovaskuler. komplikasi dari AIHA bervariasi tergantung pada jenis AIHA,
pada AIHA tipe hangat memiliki risiko terjadinya tromboemboli cukup
tinggi. Selain itu, penyakit AIHA juga mempunyai risiko tinggi terhadap
kelainan limfoproliferatif (Dave, 2012). infeksi dapat menjadi komplikasi
dari terapi dengan steroid atau splenektomi. hal terseut karena terapi tersebut

14
mempunyai efek samping yang menyebabkan melemahnya kemampuan
tubuh untuk melawan infeksi.

I. Prognosis
Prognosis berdasarkan tipe AIHA (Elias dan Kartika, 2009) :
1) Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan
sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik,
namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli
pulmo, infark lien dan kejadian kardiovaskular lain bisa terjadi selama
periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%.
2) Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan
cukup stabil.
3) Paroxysmal cold hemoglobinuri
Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis.
Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan
survival yang panjang.

15
III. KESIMPULAN

1. Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan


penghancuran sel darah merah (eritrosit) lebih besar dari pada normal. Pada
anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit
100-120 hari). Pada anemia hemolitik keadaan anemi terjadi karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit.
2. Etiologi secara pasti dari penyakit autoimun masih belum jelas. Kemungkinan
terjadi akibat gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses
pembatasan limfosit autoreaktif residual. AIHA juga dapat disebabkan oleh
coinfeksi EBV dan mycoplasma, drug induced (peniciline, a-metldopa,
quinidine), penyakit autoimun kronik, dan keganasan.
3. AIHA diklasifikasikan menjadi AIHA tipe hangat, tipe dingin, Paroxysmal
cold hemoglobinuri, tipe campuran, AIHA induksi obat dan AIHA diinduksi
aloantibodi.
4. Pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara
umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan
hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala
dengan efek samping minimal.

16
Daftar Pustaka

Abdulsalam, .M. Triasih S. 2005. Anemia Defisiensi Besi: Diagnosis


Pengobatan, Dan Pencegahan. Jakarta: EGC
Bagus Mudita Ida. 2007. Pola Penyakit Dan Karakteristik Pasien Hemato-
Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univeritas
Udayana/RS Sanglah Denpasar Periode 2000-2005. Sari Pediatri;
Denpasar
Bass, Garrett F. Emily T. Tuscano, and Joseph M. Tuscano. 2014. Diagnosis
and classification of autoimmune hemolytic anemia. Autoimmunity
Reviews 13 (2014) 560564
Berentsen, Sigbjrn. 2015. Role of Complement in Autoimmune Hemolytic
Anemia. Transfus Med Hemother 2015;42:303310
Dave, Krishna, Diwan. 2012. Evans Syndrome Revisited. Journal Association
of Physician India. Vol 60: 60-61.
DeLoughery, Thomas G. 2013. Hematology Board Review Manual:
Autoimmune Hemolytic Anemia. Hematology. Vol 8(1).
Erin, Q., and Scott K. 2015. Autoimmune Hemolytic Anemia and Red Blood
Cell Autoantibodies. Arch Pathology Lab Med. Vol 139.
Gehrs, Bradley C and Richard C Friedberg. 2002. Autoimmune Hemolytic
Anemia. American Journal of Hematology. 69: 258-271.
Hoffbrand A, Pettit J, Moss P. 2005. Eritropoesis dan Aspek Umum Anemia
dalam Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC. Hal. 11-89
Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. 2006. Immune Hemolytic Anemia-
Selected Topic. Haemtology : 1-6.
Irawan, Hendry. 2013. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-
205;Vol 40 No.6.
Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2015. Nelson Textbook of Pediatrics
20th Edition. Philadelphia : Elsevier
Parjono Elias & Kartika Widayanti. 2009. Anemia Hemolitik Autoimun
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta :
InternalPublishing
Silbernagl, Stefan., Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : EGC
Zanella, A. And Wilma. B. 2014. Treatment of Autoimmune Hemolytic
Anemias. Haematologica; 99 (10)

17

Anda mungkin juga menyukai