Anda di halaman 1dari 11

Meningitis Bakterialis

Malvin Himawan
102014018 / A3
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : malvinhmn@gmail.com

Pendahuluan

Meningitis purulenta akut adalah suatu proses inflamasi sebagai respon terhadap infeksi
bakteri yang mengenai lapisan pia dan arakhnoid yang menutupi otak dan medula spinalis.
Meningitis yg disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis
penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yg disebabkan oleh bakteri
maupun produk bakteri lebih berat. Sebanyak 50 persen pasien meningitis yang berhasil
sembuh biasanya menderita kerusakan otak permanen yang berdampak pada kehilangan
pendengaran, kelumpuhan, atau keterbelakangan mental.

Anamnesis
Ada beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan pada orang tua atau orang terdekat anak.
- Riwayat Penyakit Sekarang
1. Apakah terdapat demam tinggi yang tidak turun-turun? Sejak kapan? Apa saja
tindakan yang dilakukan?
2. Apakah didapatkan kejang-kejang pada anak? Kejang seperti apa? Kapan? Berapa
lama durasi dari kejangnya?
3. Apakah didapatkan penurunan kesadaran?
4. Apakah adalah perubahan perilaku seperti letargik, dan tidak responsive?
5. Apakah terdapat keluhan sakit kepala?
6. Apakah terdapat gejala mual muntah? 1

- Riwayat Penyakit Terdahulu


1. Riwayat infeksi jalan napas bagian atas, otitis media, mastoiditis.
2. Riwayat tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala.
3. Riwayat sakit TBC jika ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalan obat anti
tuberculosis.
4. Riwayat pemakaian obat kortikosteroid.
5. Apakah ada riwayat menjalani perawatan di RS, pernakah menjalan tindakan invasive
yang memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama tindakan melalui
pembuluh darah?
6. Apakah ada riwayat berpergian ke daerah endemis malaria / meningitis? 1
Pemeriksaan Fisik 1-4

1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu diagnosis meningitis.
a. Pemeriksaan Tanda Vital
Pada pasien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh (38-41C),
mengigil, kemerahan, panas, kulit kering, dan berkeringat. Keadaan ini biasanya
dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu
pusat pengatur suhu tubuh. Bradikardi juga dapat ditemukkan, berhubungan dengan
adanya peningkatan TIK. Tekanan darah (TD) biasanya normal atau meningkat dan
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
b. Inspeksi
Apakah pasien batuk (kering / berdahak), dyspneu, dan peningkatan frekuensi napas
yang sering didapatkan pada pasien meningitis yang disertai adanya gangguan pada
sistem pernapasan. Inspeksi kulit dapat ditemukan adanya ptekie, purupura, atau rash
eritromakular (meningococcemia), kadang juga terlihat fontanella yang menonjol.
c. Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada pasien dengan meningitis tuberkulosa.
d. Kesadaran
Glasgow Coma Scale (GCS) dipakai untuk menentukan/menilai tingkat kesadaran
pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran pasien meningitis biasanya berkisar pada tingkat stupor, semikoma,
bahkan koma.
Gambar 1: Fontanella yang menonjol karena peningkatan TIK, dan efloresensi kulit
meningococcemia.

e. Tanda Meningeal
- Kaku kuduk
Pasien diatur dengan posisi terlentang kemudian leher ditekuk apabila terdapat
tahanan dagu dan tidak menempel atau mengenai bagian dada maka terjadi kaku
kuduk positif. positif (+)
- Brudzinski sign
o Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu
lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini
adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

o Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign)

Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada


sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila
timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi
lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.

- Kernig sign
Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90. Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap
paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135, maka
dikatakan Kernig sign positif.

- Laseque sign
Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai
diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan
(fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam
keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 sebelum timbul
rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70
maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya
diambil patokan 60.1-4

Gambar 2: Kernigs sign dan Brudzinskis sign

Pemeriksaan Penunjang

Complete Blood Count, Erektolit, dan AGD


Dapat ditemukan adanya leukositosis pergeseran ke kiri. Bisa ditemukan adanya
bakteri patogen pada kultur darah(80-90% kemungkinan). Selain itu dapat ditemukan
penurunan faktor pembekuan darah, gangguan fungsi renal dengan metabolic acidosis,
hipokalsemia, dan hiponatremia, selain itu pemeriksaan elektrolit juga digunakkan untuk
menyingkirkan diagnosis banding kejang. 4
Lumbal Pungsi
Secara makroskopis, hasil pungsi lumbal dapat ditemukan LCS yang berwarna
opalesen sampai keruh, tapi pada stadium dini dapat ditemukan warna jernih. Pada hitung
jenis, ditemukan leukositosis (>1000/mm3) dan biasanya neutrofilik. Jika leukosit 200-
400/mm3, CSF (cerebrospinal fluid) nampak keruh. Normalnya, leukosit pada LCS
neonatus paling banyak 30/mm3 (biasanya <10/mm3) dan <5/mm3 pada anak-anak, dan
predominasi limfosit atau monosit. Leukosit <250/mm 3 dapat ditemukan pada 20% pasien,
dan pleositosis mungkin tidak ada pada keadaan sepsis yang hebat dan meningitis dan
merupakan tanda prognostic yang buruk.
Ditemukan glukosa yang menurun dan pada pemeriksaan Nonne dan Pandy ditemukan
positif kuat. Pada pewarnaan gram dapat ditemukan bakteri penyebab pada 70-90%
penderita meningitis yang tidak diobati. Pada anak yang telah diobati dengan antibiotik,
pewarnaaan gram mungkin menjadi negatif. Walaupun hasil kultur negatif, diagnosis
presumptive dapat ditegakan.
Kultur postif terdapat pada 70-90% kasus dari meningitis bakterialis, dan paling baik
sampel diambil dengan tube steril dan langsung diinokulasi di agar darah yang juga
berguna untuk mengidentifikasi S. pneumoniae, agar coklat yang untuk mengisolaasi N.
meningitidis dan H. influenzae yang fastidious, Mc-Conkey, dan thioglikolat (untuk
anaerob).
Teknik yang paling sensitif untuk mengidentifikasi bakteri adalah dengan amplifikasi
gen dengan PCR. 4-6

Gambar 3: Pungsi Lumbal


Pemeriksaan Radiologi
Digunakan untuk mencari lesi, masa, efusi subdural, hidrosefalus, atau edema serebral.
CT Scan lebih mudah untuk mendeteksi lesi intrakranial maupun spinal. Sedangankan MRI
dengan enhancment gadolinum akan lebih mudah untuk mendeteksi exudat meningeal dan
reksi kortikal. Dan CT maupun MRI dapat menunjukan adanya oklusi venous dan infark
disekitarnya dengan teknik yang tepat.1

Working Diagnosis

Menginitis Bakterialis

Meningitis bakterialis merupakan suatu peradangan selaput jaringan otak dan medula spinalis
yang disebabkan oleh bakteri patogen. Peradangan tersebut mengenai araknoid, piamater dan
cairan serebrospinalis. Peradangannya dapat meluas melalui ruang subaraknoid sekitar otak,
medula spinalis, dan ventrikel. 3

Differential Diagnosis

Meningitis jenis lain dapat dibedakan dengan lumbal pungsi, dimana viral meningitis biasa
tidak terdapat pleositosis yang sangat tinggi, dan biasa predominasinya mononuklear, elevasi
protein ringan, glukosa biasanya normal atau sedikit menurun.
Ensefalitis atau meningoensefalitis biasa disebabkan oleh virus, dan biasanya kejang focal,
penurunan kesadaran, gangguan neurologis multipel, gangguan bicara, gangguan dalam
hipotalamus sehingga bisa hypopirexia, dan ada riwayat kontak dengan bakteri patogen dan
dalam keadaan imunosupresi. Pada pemeriksaan CSF didapatkan hasil seperti viral
meningitis.3,6

Etiologi

Patogen penyebab meningitis bervariasi, terbagi berdasarkan kelompok usia. Selama bulan
pertama kehidupan, bakteri penyebab meningitis pada bayi normal merefleksikan flora normal
dari ibu atau lingkungannya, (yaitu, streptokokus grup B, basil enteritik gram-negatif, dan
Listeria monocytogenes). 1,6

Meningitis pada anak usia 2 bulan sampai 12 tahun biasanya karena infeksi oleh H.influenzae
tipe b, Streptococcus pneumonia, atau Neisseria meningitidis. Meningitis pada anak yang
sudah divaksin HIB dan orang dewasa, biasanya disebabkan oleh N.meningitidis dan
S.Pneumoniae. Adanya cacat anatomik atau defisit imun meningkatkan resiko menigitis dari
patogen lainnya, seperti Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcuss aureus, Staphylococcus
epidermidis, salmonella dan L.monocytogenes. 1,2,6

Patofisiologi

Meningitis bakterialis paling sering berasal dari diseminasi hematogen dari tempat
infeksi yang jauh (misal: infeksi nasofaring), sehingga biasanya meningitis didahului atau
bersamaan oleh adanya bakteremia. Patogen (N.meningitidis dan H.influenzae, tipe B)
menempel (bisa juga dengan fagositosis) pada epitel nasofaring dengan pili dan berkolonisasi,
kemudian menembus mukosa dan masuk ke dalam sirkulasi darah. Ketahanan bakteri dalam
darah meningkat karena kapsul yang melindungi bakteri dari fagositosis. 3

Bakteri masuk ke CSF melalui plexus choroid dan meninges, kemudian bersirkulasi ke CSF
ruang subarachnoid. Kemudian faktor kemotaktik (sitokin) akan merangsang respon inflamasi
lokal yang ditandai dengan infiltrasi sel PMN. Keberadaan endotoxin dari dinding gram
negatif (H.influenza dan N.meningitidis) dan komponen-komponen dinding dari pneumokok
dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui produksi lokal TNF, IL-1, prostaglandin, dan
mediator inflamasi lainnya. Inflamasi ini ditandai dengan infiltrasi neutrofilik, peningkatan
permeabilitas vaskular, dan perubahan komposisi sawar darah-otak. 3

Pada trauma, meningitis tidak hanya terjadi karena bakteri, tapi juga karena keberadaan
kaskade inflamasi. Meningitis dapat juga terjadi karena invasi bakteri dari tempat lain seperti
sinusitis paranasal, otitis media, mastoiditis, orbital celulitis, atau cranial atau vertebral
osteomyelitis, dan melalui trauma penetratif cranial, dermal sinus tracts, atau
meningomyelocele tapi semua ini jarang terjadi.3

Infark serebral dengan ukuran mikroskopik bisa terjadi karena adanya oklusi vaskuler
karena proses vasospasm, inflamasi, dan thrombosis. Peningkatan ICP bisa menyebabkan
neuropati N.III dan palsy N.VI. ICP dapat meningkat karena kematian sel (sitotoksik edema
serebral), peningkatan permeabilitas vaskuler, dan penurunan reabsorbsi CSF oleh vili
arachnoid. Peningkatan ICP ini jarang menyebabkan herniasi falx, tentorium, dan serebelum
karena seluruh kenaikan ICP disalurkan ke ruang subarachnoid dan kelainan struktural jarang
terjadi. Peningkatan ICP ini bisa mencapai >300mm H 2O dan bisa menganggu perfusi
serebral.

Communicating hidrosefalus bisa terjadi karena kerusakan dari vili araknoid sehingga
reabsorbsi terganggu, dan uncommunicating hidrosefalus bisa terjadi karena fibrosis dan
gliosis foramen Luscha Magendi, walau lebih jarang terjadi. Peningkatan protein pada CSF
terjadi karena peningkatan permeabelitas vaskuler dari sawar darah otak dan hilangnya cairan
kaya albumin dari kapiler dan vena yang berjalan di ruang subdural. Faktor-faktor inilah yang
berperan dalam manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran, kejang, defisit saraf kranial,
motor, dan sensori, dan nantinya bisa menjadi retardasi psikomotor. 3
Gambar 4: Bagan patofisiologi Meningitis

Epidemiologi dan Faktor Resiko

Di Indonesia angka kejadian tertinggi pada umur 2 bulan-2 tahun. Anak (1-5 tahun)
yang asplenik dan yang terinfeksi HIV meningkatkan kemungkinan infeksi 20-100x lebih
tinggi. Faktor resiko lain adalah otitis media, sinusitis, pneumonia, CSF otorrhea atau
rinorhea, implan cochlear, dan transplan sumsum tulang. N. meningitidis serogrup B, C, dan
Y menyebabkan dari 30% seluruh kasus meningitis di USA. Di negara berkembang,
serogrup yang epidemik adalah serogrup A. Kasus meningitis meningokok ini lebih sering
terjadi pada saat musim dingin, semi, dan setelah infeksi virus influenza. 2,3

Kebanyakan infeksi menigokok didapat dari fasilitas daycare, orang dewasa yang
terkolonisasi oleh meningokok, atau dari pasien meningitis. Sebelum ada vaksin Hib,
meningitis oleh H.influenza di US 70% pada umur 1-5 tahun. Resiko tertular ada pada anak
dengan vaksinasi tidak sempurna, tidak divaksinansi pada negara yang kurang berkembang,
2,3
dan pada anak dengan kelainan imunologis (contohnya pada AIDS).
Faktor resiko mayor dari meningitis bakterialis adalah kurangnya imunitas yang
spesifik patogen, termasuk asplenia, kelainan komplemen (C5-C8), kelainan sistem
properidin, dan kelainan limfosit T. Resiko tambahan berupa kolonisasi bakteri patogen pada
orang-orang yang dekat baru-baru ini, crowding, kemiskinan, kulit hitam atau ras Amerika
asli, dan laki-laki. Faktor resiko lain berupa kebocoran CSF meningkatakan resiko infeksi
pneumokok, implan cochlear meningkatkan kemungkinan infeksi S. pneumoniae, sinus
lumbosacral dan meingomyelocele berhubungan dengan meningitis stafilokok dan enterik
gram negatif, dan shunt CSF meningkatkan kemungkinan meningitis karena stafilokokus
(terutama coagulase negatif) dan bakteri-bakteri virulensi rendah yang biasa berkolonisasi di
kulit.3

Gejala dan Manifestasi Klinis

Gejala infeksi akut berupa anak mudah menjadi lesu, mudah terangsang, panas,
muntah, anoreksia dan pada anak yang besar mungkin didapatkan keluhan sakit kepala. Pada
infeksi meningokokus terdapat ptekeia dan herpes labialis.3

Gejala ICP meninggi berupa anak sering muntah, nyeri kepala (pada anak besar),
moaning cry (pada neonatus) yaitu tangis yang merintih. Kesadaran bayi/anak menurun dari
apatis sampai koma. Kejang yang terjadi dapat bersifat umum, fokal atau twitching. Ubun-
ubun besar menonjol dan tegang, terdapat kelainan serebral lainnya seperti paresis atau
paralisis, strabismus. Crack pot sign dan pernapasan Cheyne-Stokes. Kadang-kadang pada
anak besar terdapat hipertensi dan Choked disk dari papila nervus optikus.1-3

Gejala rangasangan menigeal berupa kaku kuduk, malahan rigiditas umum dapat
terjadi. Tanda-tanda spesifik seperti Kernig dan Brudzinsky positif. Pada anak besar sebelum
terjadi gejala di atas terjadi, sering terdapat keluhan sakit di leher dan punggung.1-4

Komplikasi

Dapat terjadi pada pengobatan yang tidak sempurna atau terlambat. Komplikasi yang
mungkin adalah efusi subdural, empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri, sekuele
neurologis berupa paresis atau paralisis sampai deserebrasi, hidrosefalus akibat sumbatan
pada jalan atau resorbsi atau produksi CSF yang berlebihan. Pada pengawasan lama bisa juga
ditemukan tanda-tanda retardasi mental, epilepsi, maupun meningitis berulang.2

Terapi
Medikamentosa
Pada meningitis dengan manifestasi <24jam, antibiotik harus diberikan setelah
dilakukan lumbal pungsi. Antibiotik juga harus diberikan tanpa dilakukan lumbal pungsi
dan sebelum CT scan, apabila terdapat tanda-tanda oedem dan peningkatan ICP atau defisit
neurologis fokal. Dalam keadaan ini, antibiotik harus diberikan sebelum CT scan dan
pungsi lumbal. Terapi inisial yang digunakan pada meningitis pada infeksi S. pneumoniae,
H. influenzae dan N. meningitidisa adalah sefotaksim (200mg/kg/24jam, diberikan tiap 6
jam) dan seftriakson (100mg/kg/24jam, diberi 1x sehari atau 50mg/kg/dosis tiap 12 jam).

Pada pasien yang alergi dengan beta lactam dan berumur >1 bulan dapat diberikan
kloramfenikol (100mg/kg/24jam, diberi tiap 6 jam), atau bisa dilakukan desensitasi. Pada
infeksi S. pneumoniae yang resiten beta lactam, dapat diberikan vankomisin(60mg/kg/24
jam, diberikan tiap 6 jam). Lama terapi dari S. pneumoniae adalah 10-14 hari, N.
meningitidis 5-7 hari, dan H.influenzae tipe b 7-10 hari. Selain itu, berikan deksametason
0,15mg/kg/dosis tiap 6 jam selama 2 hari secara intravena, diberikan 1-2 jam sebelum
antibiotik diberikan atau diberikan bersamaan dengan antibiotik. pam (0,05-0,10
mg/kg/dosis) dengan memperhatikan depresi napas, serum glukosa, kalsium dan natrium.
Setelah kejang diatasi, berikan fenitoin (15-20mg/kg loading dose, 5mg/kg/24 jam
rumatan) untuk mengurangi kemungkinan rekurens. Peningkatan ICP dapat diberikan
intravena furosemid (1mg/kg) dan manitol (0,5-1,0g/kg).1,3,4
Non-Medikamentosa
Berikan terapi suportif berupa pembatasan cairan pada pasien normovolemic sebanyak
1/2 sampai 2/3 dari rumatan atau 800-1000mL/m2/24jam, sampai ICP dan SIADH hilang,
sehingga pemberian cairan dapat dikembalikan ke nilai normal(1500-1700mL/m2/24jam)
jika kadar natrium normal. Pembatasan cairan tidak baik diberikan pada penderita
hipotensi, karena dapat menyebabkan pengurangan perfusi serebral dan iskemi SSP. 3

Preventif

Prevensi dengan vaksinasi dan profilaksis antibiotik. Pada N. meningitidis, profilaksis


antibiotik, berupa rifampin 10mg/kg/hari tiap 12 jam selama 2 hari diberikan pada orang-
orang yang dekat dengan penderita meningitis, dan vaksin quadrivalen (A,C,Y, W-135)
diindikasikan pada anak 11-12 tahun, dan anak >2 tahun yang rentan. Pada H.influenzae tipe
b, profilaksis berupa rifampin selama 4 hari diberikan kepada orang-orang yang tinggal
serumah dengan pasien yang mengalami infeksi invasif, anak <48bulan yang belun
divaksinasi, atau orang dengan immunocompromised, dan orang yang bersama pasien 4jam
selama 5-7 hari. Vaksin dengan 4 konjugat harus diberikan pada anak berumur 2 bulan. Vaksin
heptavalen S. pneumoniae direkomendasikan untuk diberikan secara rutin pada anak <2tahun
dan resiko tinggi. Pemberian awal pada umur 2 bulan.3

Prognosis

Mortalitas tergantung pada virulensi kuman penyebab, daya tahan tubuh penderita,
terlambat atau cepatnya mendapat pengobatan yang tepat dan pada cara pengobatan dan
perawatan yang diberikan.2

Daftar pustaka

1. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi
15. Jakarta: EGC; 2000
2. Infection of nervous system (bacterial, fungal, spirochaetal, parasitic, and sarcoidosis).In:
Ropper AH, Samuels MA. Adam and Victors principle of neurology.USA:McGraww-
Hill;2009.p.667-710
3. Prober CG.Central nervous system infection. In:Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. USA:Elsevier;2007.p2513-21
4. Meningitis purulenta. Dalam: Hassan R, Alatas H, Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A,
Ghazali MV, dkk.Buku ajar ilmu penyakit anak. Edisi ke-4. Jakarta: Infomedika
Jakarta;2007.h.558-62
5. Howard R, Manji H. Infection in nervous system.In: Clarke C, Howard R, Sharron S.
Neurology a queen square textbook. Singapore: Blackwell publishing;2009.p.289-335
6. Meningitis and othr infections of the central nervous system.In:Forbes BA, Sham DF,
Weissfeld AS. Bailey & Scotts diagnostic microbiology.12th ed.China:Mosby
elsevier;2007.p822-31

Anda mungkin juga menyukai