Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia masih menghadapi masalah kekurangan gizi. Hal ini
terkait erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah.
Salah satu kelompok rawan gizi adalah anak usia sekolah. Kekurangan
gizi pada anak sekolah berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan.
Dampak jangka panjang dari kekurangan gizi ini adala rendahnya kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang akhirnya akan menghambat
pembangunan nasional (Desfita, 2012). Salah satu kekurangan zat gizi
yang dapat mengganggu potensi anak sekolah adalah kekurangan zat gizi
besi yang sering disebut juga dengan istilah anemia defisiensi besi (ADB)
(Izah, 2011).
World Health Organization (WHO) dalam Worldwide Prevalence of
Anemia melaporkan bahwa total keseluruhan penduduk dunia yang
menderita anemia adalah 1,62 miliar orang dengan prevalensi pada anak
sekolah dasar 25,4% dan 305 juta anak sekolah di seluruh dunia
menderita anemia (WHO, 2008). Secara global, prevalensi anemia pada
anak usia sekolah menunjukkan angka yang tinggi yaitu 37%, sedangkan
di Thailand 13,4% dan di India 85,5% (Khomsan, 2012). Prevalensi
anemia di kalangan anak-anak di Asia mencapai 58,4%, angka ini lebih
tinggi dari rata-rata di Afrika (49,8%) (Sirajuddin dan Masni, 2015).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010 yaitu
sementara lebih dari 10 % anak usia sekolah di Indonesia mengalami
anemia. Menurut laporan Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan bahwa anemia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia dengan prevalensi sebesar 27,1% dan untuk anak
usia 5-14 tahun dengan prevalensi 26,41%. Data Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi anemia
pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar

1
45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun
sebesar 39,5%. Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi
terutama pada remaja putri (Kemenkes, 2013).
Pemberian makan yang baik harus sesuai dengan jumlah, jenis dan
jadwal pada umur anak tertentu. Ketiga hal tersebut harus terpenuhi
sesuai usia anak secara keseluruhan, bukan hanya mengutamakan jenis
tapi melupakan jumlahnya atau sebaliknya memberikan jumlah yang
cukup tapi jenisnya tidak sesuai untuk anak, contoh, pemberian makanan
jumlahnya sudah cukup banyak tapi jenis makanannya kurang
mengandung nilai gizi yan baik. Pada usia sekolah sudah harus dibagi
dalam jenis kelaminnya mengingat kebutuhan mereka yang berbeda.
Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik sehingga memerlukan
kalori yang lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Sarapan pagi
bagi anak usia sekolah sangatlah penting, karena waktu sekolah adalah
penuh aktifitas yang membutuhkan energi dan kalori yang cukup besar.
Untuk sarapan pagi harus memenuhi sebanyak kalori sehari (Syafri,
2013).
Berdasarkan hasil penelitian Lista, 2014 menunjukan bahwa terdapat
55,8% siswa SDN 05 Mandonga tidak terbiasa melakukan sarapan pagi.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ada hubungan kebiasaan
sarapan pagi dengan status gizi yang disebabkan karena dengan sarapan
dapat memberikan sumbangan terhadap kecukupan kalori dalam sehari
sehingga apabila mempunyai kebiasaan sarapan pagi maka akan
cenderung mempunyai status gizi yang baik. Penelitian tersebut juga
sejalan dengan Mariza, 2012 yang menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan status gizi anak SD.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Hubungan Kebiasaan Sarapan Pagi Dengan Status Anemia
Pada murid SDN 01 Mandonga Kota Kendari Sulawesi Tenggara.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan sebagai
berikut : Adakah Hubungan Kebiasaan Sarapan Pagi Dengan Status
Anemia Pada murid SDN 01 Mandonga Kota Kendari ?.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan
status anemia pada murid SDN 01 Mandonga Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui kebiasaan sarapan pagi (frekuensi, jumlah, dan
jenis) pada murid SDN 01 Mandonga Kota Kendari.
b) Untuk mengetahui status anemia pada murid SDN 01 Mandonga
Kota Kendari.
c) Untuk mengetahui hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan
status anemia pada murid SDN 01 Mandonga Kota Kendari.

D. Manfaat
1. Bagi Sekolah
Dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai masukan untuk
dasar pelaksanaan pengembangan kegiatan di sekolah dalam rangka
program peningkatan gizi dan kesehatan berbasis sekolah.

2. Bagi Peneliti
Sebagai suatu pengalaman yang berharga dalam
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dan menambah wawasan
ilmu pengetahuan, sekaligus syarat untuk menyelesaikan pendidikan
di Politeknik Kesehatan Kendari.

3. Bagi Peneliti selanjutnya


Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan untuk
dilakukannya penelitian lanjutan yang berkaitan dengan kebiasaan
sarapan pagi dengan status anemia pada anak sekolah.

3
E. Keaslian Skripsi
Tabel 1. Keaslian Penelitian
No. Penelitian Subjek Metode Persamaan Perbedaan
1. Sirajuddin dan Siswa Studi Potong - Murid Sekolah - Cross Sectional Study
Masni (2015) sekolah Lintang Dasar - Tempat penelitian di SDN 01
Dasar - Anemia dan Mandonga
kelas 3 - 5 kebiasaan - Variabel bebas : kecacingan,
SD Negeri sarapan pagi makanan sumber heme,
Cambaya makanan penghambat zat besi,
Kecamatan dan pola konsumsi.
Ujung Tanah
Kota
Makassar.
2. Tandirerung, dkk Murid SD Cross Sectional - Murid Sekolah - Tempat penelitian di SDN 01
(2013) Negeri 3 Study Dasar Mandonga
Manado - Cross Sectional
Study
- Variabel bebas
dan terikat
3. Sri Desfita, 2012 Siswa Cross Sectional - Murid Sekolah - Tempat penelitian di SDN 01
sekolah Study Dasar Mandonga
Dasar di - Anemia dan - Status gizi
Kecamatan kebiasaan
Bukit Raya sarapan pagi
Kota - Cross Sectional

4
Pekanbaru Study
4. Izah (2011) Anak Sekolah Cross Sectional - Anak Sekolah Dasar - Tempat Penelitian di SDN 01
Dasar kelas Study - Anemia dan Mandonga
V dan VI MI kebiasaan - Melakukan uji laboratorium
Negeri 02 sarapan pagi - Perilaku makan
Cempaka - Cross Sectional
Putih Ciputat Study
Timur
Tangerang
Selatan
5. Syafri, dkk (2013) Anak Sekolah Cross Sectional - Anemia - Tempat Penelitian di SDN 01
Dasar Inpres Study - Cross Sectional Mandonga
Cilallang Study - Pendidikan,
Kota - Pengetahuan,
- Pekerjaan,
Makassar
- Pendapatan,
Tahun 2013 - Sikap.
- Tepat penelitian
- Kebiasaan sarapan pagi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Teori

1. Tinjauan Umum tentang Kebiasaan Sarapan Pagi


a. Pengertian Sarapan Pagi
Sarapan Pagi adalah kegiatan makan pada pagi hari yang
dilakukan seseorang sebelum berangkat beraktivitas, dengan
makanan yang terdiri dari sumber zat tenaga, sumber zat
pembangun dan sumber zat pengatur. Makan pagi juga sangat
berperan terhadap pemenuhan gizi seimbang pada anak
(Tandirerung, dkk, 2013).
b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sarapan Pagi
Anak yang tidak sarapan pagi akan mengalami kekosongan
lambung sehingga kadar gula akan menurun. Padahal gula darah
merupakan sumber energi utama bagi otak. Dalam keadaan
demikian anak akan sulit untuk dapat menerima pelajaran dengan
baik. Gairah belajar dan kecepatan reaksi juga akan menurun.
Kebiasaan tidak sarapan pagi yang terus menerus akan
mengakibatkan pemasukan gizi menjadi berkurang dan tidak
seimbang sehingga pertumbuhan anak menjadi terganggu.
Dengan demikian seorang anak yang biasa tidak sarapan pagi
dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk pada penampilan
intelektualnya, prestasi di sekolah menurun dan penampilan sosial
menjadi terganggu (Khomsan, 2010).
Anak sekolah mempunyai banyak aktivitas sehingga sering
melupakan waktu makan. Anak yang tidak sarapan pagi
cenderung mengonsumsi energi dan zat gizi lebih sedikit daripada
anak yang sarapan pagi. Kebiasaan makan pagi perlu
diperhatikan untuk menyediakan energi bagi tubuh dan agar anak
lebih mudah menerima pelajaran (Aprillia, 2011).
Sarapan pagi sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi
orang dewasa, sarapan pagi dapat memelihara ketahanan fisik,

6
mempertahankan daya tahan tubuh saat bekerja dan
meningkatkan produktivitas kerja. Bagi anak sekolah, sarapan
pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan
penyerapan pelajaran sehingga prestasi belajar lebih baik.
Sari (2015) menyatakan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi kebiasaan sarapan pada anak sekolah :
1) Uang Saku
Pemberian uang saku pada anak merupakan bagian dari
pengalokasian pendapatan keluarga kepada anak untuk
keperluan harian, mingguan atau bulanan baik untuk
keperluan jajan atau keperluan lainnya seperti alat tulis,
menabung, dan sebagainya. Namun, anak usia sekolah
biasanya diberi uang saku untuk keperluan jajan di sekolah.
Hal ini terjadi pada anak dari keluarga berpendapatan tinggi
maupun keluarga berpendapatan rendah. Pemberian uang
saku ini berpengaruh kepada anak untuk belajar mengelola
dan bertanggungjawab atas uang saku yang dimilikinya. Salah
satu alasan seorang anak mengonsumsi makanan yang
beragam adalah uang saku.
2) Pekerjaan Ibu
Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud
memperoleh atau membantu penghasilan. Seorang ibu rumah
tangga yang memiliki peran ganda, jenis kegiatannya akan
bertambah sehingga biasanya ibu rumah tangga yang bekerja
mengurangi alokasi waktunya untuk pekerjaan rumah tangga
dan kegiatan sosial lainnya. Ibu yang bekerja tidak lagi
memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan untuk
keluarga. Faktor kesibukan ibu, khususnya yang bekerja
seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat
sarapan.
3) Jenis Kelamin
Banyak penelitian dilakukan yang menunjukkan adanya
kecenderungan perbedaan konsumsi pangan antara laki-laki

7
dan perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan yang dikutip
oleh (Kusumaningsi, 2007) menunjukkan bahwa remaja laki-
laki cenderung menyukai makanan yang ringan atau tidak
mengenyangkan. Selain itu diketahui pula bahwa sumbangan
makanan selingan terhadap total konsumsi ternyata cukup
besar terutama terhadap anak perempuan.
4) Besar Anggota Keluarga
Besar keluarga adalah sekelompok orang yang terdiri dari
ayah, ibu, anak serta anggota keluarga lainnya yang hidup
dari pengeluaran sumberdaya yang sama. Besar keluarga
akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Semakin
besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya
kebutuhan individu terkait dengan kemampuan keluarga.

c. Manfaat Sarapan Pagi


Lista (2014) menyatakan bahwa sarapan di pagi hari
mempunyai beberapa manfaat yaitu :
1) Memberi energi untuk otak
Sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap
digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Dengan
kadar gula darah yang terjamin normal, maka gairah dan
konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif
untuk meningkatkan produktifitas.
Hanya dengan minum teh manis atau makan beberapa
potong biskuit hingga waktunya makan siang bukan
merupakan sarapan, karena belum cukup memberikan energi
untuk otak. Makan makanan secara benardan dengan gizi
yang seimbang akan memberikan energi yang cukup. Manfaat
sarapan adalah meningkatkan kemampuan otak, menjaga
tubuh tetap langsing dan meningkatkan semangat atau
suasana hati.
2) Meningkatkan Asupan vitamin
Jus buah segar adalah minuman yang dianjurkan untuk
sarapan karena mengandung vitamin dan mineral yang

8
menyehatkan. Sari buah alami dapat meningkatkan kadar gula
darah setelah semalaman tidak makan. Setelah itu bisa
dilanjutkan dengan makanan seperti sereal, nasi atau roti.
Menu pilihan lain berupa roti dan telur, bubur, susu, mie, pasta
dan lain-lain.
3) Memperbaiki Memori atau Daya Ingat
Penelitian terakhir membuktikan bahwa tidur semalaman
membuat otak kelaparan. Jika tidak mendapat glukosa yang
cukup pada saat sarapan, maka fungsi otak atau memori
dapat terganggu.
4) Memperkuat Ikatan Dalam Keluarga
Sarapan bersama keluarga berarti mempertemukan
keluarga diskusi banyak hal bersama-sama. Riset
menunjukan bahwa keluarga yang duduk bersama saat
sarapan akan lebih dekat secara emosi satu sama lain
dibandingkan keluarga yang anggotanya masing-masing buru-
buru pergi ke kantor atau ke sekolah. Hal ini bisa terjadi pula
pada pasangan suami istri.
5) Meningkatkan Daya Tahan Terhadap Sterss
Sebuah penelitian pada sebuah perusahaan multinasional
mengungkapkan bahwa karyawan yang melewatkan sarapan
paginya ternyata lebih mudah terkena depresi. Sebaliknya,
mereka yang sempat sarapan merasa lebih puas dan
menunjukan minat yang tinggi terhadap pekerjaan. Penelitian
itu mengungkapkan bahwa karyawan yang sarapan akan
mendapatkan asupan lebih banyak vitamin A,D, E, zat besi,
kalsium dibandingkan dengan mereka yang tidak sarapan
(Lista, 2014)

d. Akibat Tidak Konsumsi Sarapan Pagi


1) Hipoglikemia
Pada anak yang tidak sarapan, menipisnya ketersediaan
glikogen otot tidak tergantikan. Untuk menjaga agar kadar
gula darah tetap normal, tubuh memecah simpanan glikogen

9
dalam hati menjadi gula darah. Jika bantuan pasokan gula
darah ini habis juga, tubuh akan kesulitan memasok jatah gula
darah ke otak. Akibatnya anak bisa menjadi gelisah, bingung,
pusing, mual, berkeringat dingin, kejang perut bahkan bisa
sampai pingsan. Ini merupakan gejala hipoglikemia atau
merosotnya kadar gula darah (Sari, 2015)
2) Obesitas
Orang yang tidak sarapan merasa lebih lapar pada siang
dan malam hari daripada orang yang sarapan karena asupan
energi cenderung meningkat ketika sarapan dilewatkan.
Mereka akan mengonsumsi lebih banyak makanan pada
waktu siang dan malam hari. Asupan makanan yang banyak
pada malam hari akan berakibat pada meningkatnya glukosa
yang disimpan sebagai glikogen. Karena aktivitas fisik pada
malam hari sangat rendah, glikogen kemudian disimpan
dalam bentuk lemak. Hal inilah yang akan mengakibatkan
terjadinya obesitas. (Sari, 2015).

e. Jenis dan Frekuensi Sarapan Pagi


Jenis makanan untuk sarapan dapat dipilih dan disusun
sesuai dengan keadaan dan akan lebih baik bila terdiri dari
makanan makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan
minuman dalam jumlah yang seimbang (Depkes, 2014).
Frekuensi sarapan pagi didefinisikan sebagai tingkat
keseringan sarapan pagi di rumah dalam satu minggu sebelum
anak beraktifitas. Frekuensi ini kemudian digolongkan menjadi 2
kategori yaitu kadang-kadang (2-3 kali/minggu) dan sering (4-7
kali/minggu) (Sirajuddin dan Masni, 2015). Jumlah dari makanan
yang dimakan ketika sarapan/makan pagi adalah sekitar kurang
lebih 1/3 dari makanan sehari.
Sarapan sehat setiap pagi dapat diwujudkan dengan bangun
pagi, menyiapkan dan mengonsumsi makanan dan minuman pagi
sebelum melakukan aktivitas harian. Sarapan yang baik terdiri dari

10
pangan karbohidrat, pangan lauk-pauk, sayuran atau buah-
buahan dan minuman (Sirajuddin dan Masni, 2015).
Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi juga turut
berperan terhadap kejadian anemia. Menurut Kiswaorini (2005)
anemia dapat disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi dalam
makanan, baik karena pola konsumsi makanan yang tidak tepat,
kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai, maupun
karena adanya peningkatan kebutuhan zat besi. Masalah utama
pemanfaatan zat besi oleh tubuh adalah rendahnya penyerapan di
dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu absorbsi besi heme dan nonheme yang menunjukkan
keberadaan dua jenis zat besi yang berbeda di dalam pangan.
Sumber heme pada pangan manusia adalah daging, ikan, dan
unggas, sedangkan sumber nonheme adalah sereal, kacang-
kacangan, sayur dan buah (Sirajuddin dan Masni, 2015).
Pengelompokan jenis hidangan yang dikonsumsi oleh anak
sekolah untuk sarapan (Sari, 2015) adalah :
1) Makanan Pokok
2) Makanan Pokok Dan Hewani
3) Makanan Pokok Dan Nabati
4) Makanan Pokok, Hewani Dan Nabati
5) Makanan Pokok, Hewani, Nabati Dan Sayuran
6) Makanan Pokok, Nabati Dan Sayuran
7) Makanan Pokok, Hewani, Nabati, Sayuran Dan Makanan
Jajanan
8) Makanan Jajanan
Anak sekolah sangat membutuhkan asupan zat gizi. Sarapan
sangat penting bagi anak sekolah. Anak yang terbiasa sarapan
pagi akan mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding
anak yang tidak terbiasa sarapan pagi. Sarapan pagi akan
memacu pertumbuhan dan memaksimalkan kemampuan anak di
sekolah (Alamin, 2014).
Berikut ini sajian daftar kandungan gizi beberapa jenis
makanan sarapan :

11
Tabel 2. Kandungan Gizi Makanan Sarapan Pagi Per 100 Gram
Makanan Sarapan Energi (kkal) Protein (gr)
Beras 335 6,2
Mie 339 10,0
Ayam Goreng 300 34,2
Abon 212 18,0
Telur Dadar 251 16,3
Burger 276 12,8
Kornet 241 16,0
Sosis 452 14,5
Tahu 68 7,8
Tempe 149 18,3
Sumber : Khomsan (2010)

f. Pola Konsumsi Sarapan Pagi Anak Sekolah


Pola makan anak umumnya terdiri dari tiga kali makan utama
(pagi, siang dan malam) dan dua kali makan selingan (snack).
Waktu memberikan makanan selingan adalah diantara dua waktu
makan yaitu tepatnya diantara waktu makan pagi dan makan
siang serta diantara siang dan makan malam. Waktunya jam 10
pagi dan jam 4 sore.
Konsumsi sarapan pagi dimulai antara bangun pagi sampai
jam 9 pagi untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian atau
sekitar 15-30% dari kebutuhan gizi harian dalam rangka
mewujudkan hidup sehat, aktif dan cerdas dengan kadar tidak
lebih dari 300-400 kilo kalori atau 25% dari kebutuhan kalori
harian sebesar 1.400-1.500 kilo kalori (Hardiansyah, 2012).

g. Kecukupan Gizi Anak Sekolah


Anak dari golongan usia sekolah memerlukan makanan yang
kurang lebih sama dengan yang dianjurkan untuk anak prasekolah
tetapi porsinya harus lebih besar karena kebutuhannya yang lebih
banyak, mengingat bertambahnya berat badan badan dan
aktivitas (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Angka kecukupan gizi yang
dianjurkan untuk anak sekolah yaitu :

12
Tabel 3. Angka Kecukupan Gizi Anak Sekolah
Umur BB TB Energi Protein Vit.A Vit.C Besi Kalsium
(Tahun) (kg) (cm) (kkal) (gr) (g) (mg) (mg) (mg)
10-12 34 142 2100 56 600 50 13 1200
(pria)
13-15 46 158 2475 72 600 75 19 1200
(pria)
10-12 36 145 2000 60 600 50 20 1200
(wanita)
13-15 46 155 2125 69 600 75 19 1200
(wanita)
Sumber : PERMENKES RI No.75 Tahun 2013

2. Tinjauan Umum Tentang Anemia Anak Sekolah


a. Pengertian Anemia
Anemia merupakan salah satu permasalahan gizi yang sangat
penting terutama jika diderita oleh anak usia sekolah
menyebabkan rasa lemah, letih, pusing, pucat, kurang nafsu
makan, menurunnya kebugaran tubuh, menurunnya kekebalan
tubuh dan gangguan penyembuhan luka, dan mengganggu
kemampuan belajar mereka di sekolah (Ambarwati, 2013)
Anemia merupakan salah satu permasalahan gizi yang sangat
penting terutama jika diderita oleh anak usia sekolah karena
berdampak pada menurunnya kemampuan serta konsentrasi
belajar, meningkatkan resiko penyakit infeksi yang berhubungan
dengan menurunnya sistem imun dan menghambat pertumbuhan
fisik dan perkembangan otak (Yusuf, 2013). Anemia gizi besi
adalah suatu keadaan dimana kadar haemoglobin dalam darah
kurang dari normal. Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi
adalah perdarahan pada waktu melahirkan BBLR, dan penurunan
produktivitas bagi pekerja (Prokes Sultra, 2012). Anemia, status
gizi yang kurang serta kebiasaan makan pagi yang jarang
merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat kemampuan
belajar anak sehingga berdampak pada tingkat kecerdasan
(Desfita, 2012).

13
Anemia defisiensi besi merupakan masalah umum dan luas
dalam bidang gangguan gizi di dunia. Kekurangan zat besi bukan
satu-satunyapenyebab anemia. Secara umum penyebab anemia
yang terjadi di masyarakatadalah kekurangan zat besi. Prevalensi
anemia defisiensi besi masih tergolong tinggi sekitar dua
miliar atau 30% lebih dari populasi manusia di dunia. Prevalensi
ini terdiri dari anak-anak, wanita menyusui, wanita usia subur,
danwanita hamil di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia (WHO, 2011).
Zat besi merupakan salah satu mikronutrien terpenting
kehidupan anak. Kekurangan atau defisiensi besi yang berat akan
menyebabkan anemia atau kurang darah. Di dunia, defisiensi besi
terjadi pada 20-25% bayi. Di Indonesia,ditemukan anemia pada
40,5% balita, 47,2% usia sekolah, 57,1% remaja putri,dan 50,9%
ibu hamil. Penelitian pada 1000 anak sekolah yang dilakukan oleh
IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) di 11 propinsi menunjukkan
anemia sebanyak 20-25%. Jumlah anak yangmengalami
defisiensi besi tanpa anemia tentunya jauh lebih banyak lagi
(Yusuf, 2013).
b. Epidemiologi
Anemia merupakan permasalahan kesehatan yang
mendunia dan memiliki prevalensi yang tinggi di berbagai negara
di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) dalam
Worldwide Prevalence of Anemia melaporkan bahwa total
keseluruhan penduduk dunia yang menderita anemia adalah 1,62
miliar orang dengan prevalensi pada anak sekolah dasar 25,4%
dan 305 juta anak sekolah di seluruh dunia menderita anemia
(WHO, 2008). Secara global, prevalensi anemia pada anak usia
sekolah menunjukkan angka yang tinggi yaitu 37%, sedangkan di
Thailand 13,4% dan di India 85,5%. Prevalensi anemia di
kalangan anak-anak di Asia mencapai 58,4%, angka ini lebih
tinggi dari rata-rata di Afrika (49,8%)(Sirajuddin & Masni 2015).

14
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, anemia terbanyak pada
orang dewasa dan anak-anak adalah anemia mikrositik
hipokromik yaitu anemia yang disebabkan karena kekurangan zat
gizi besi dengan prevalensi 60,2%. Jika dibandingkan antara
anak-anak dan dewasa, anemia defisiensi besi ini lebih besar
proporsinya pada anak-anak yaitu 70,1%. Menurut laporan Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa
anemia gizi besi masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia dengan prevalensi sebesar 27,1% dan
untuk anak usia 5-14 tahun dengan prevalensi 26,41%.
c. Gejala Anemia
Menurut Sudoto (2009) dalam Izah (2011) gejala anemia
defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu:
gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, dan
gejala penyakit dasar.
1) Gejala umum Anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom
anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi
besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala
ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi
besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara
perlahan-lahan sehingga seringkali gejalanya tidak terlalu
menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan
kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat. Hal ini dikarenakan
mekanisme tubuh untuk mempertahankan kadar Hb berjalan
dengan baik. Anemia bersifat simtomatik (menimbulkan
gejala) jika hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
2) Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi
tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah :

15
a) Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung
sehingga mirip sendok.
b) Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
c) Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada
sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna
pucat keputihan.
d) Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring.
e) Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
f) Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim.
Seperti : tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
g) Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom
Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari
anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan
disfagia.
3) Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala
penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi
tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit
telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia
karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala
gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain
tergantung dari lokasi kanker tersebut.
d. Penyebab Anemia
Zat gizi yang paling berperan dalam proses terjadinya
anemia gizi adalah besi. Defisiensi besi adalah penyebab utama
anemia gizi dibanding defisiensi zat gizi lain seperti asam folat,
vitamin B12, protein, dan vitamin lainnya (Wijayanti, 2011). Secara
umum, faktor utama yang menyebabkan anemia gizi sebagai
berikut :
1) Banyak Kehilangan Darah

16
Pendarahan menyebabkan tubuh kehilangan banyak sel
darah merah. Pendarahan dapat terjadi secara mendadak dan
dalam jumlah banyak seperti pada kecelakaan yang disebut
pendarahan eksternal. Sedangkan pendarahan kronis terjadi
secara terus menerus dalam jumlah sedikit demi sedikit yang
disebabkan oleh kanker saluran pencernaan, wasir, atau
peptik ulser.
2) Rusaknya Sel Darah Merah
Perusakan sel darah merah dapat berlangsung di dalam
pembuluh darah akibat penyakit malaria atau thalasemia.
Meskipun sel darah merah telah rusak, zat besi yang berada
di dalamnya tidak ikut rusak tetapi asam folat yang berada di
dalam sel darah merah ikut rusak sehingga harus dibuat lagi.
Oleh sebab itu pada pengobatan anemia hemolitik lebih
diperlukan penambahan asam folat daripada pemberian zat
besi.
3) Kurangnya Produksi Sel Darah Merah
Pembuatan sel darah merah baru akan terganggu
apabila zat gizi yang diperlukan tidak mencukupi.
Terganggunya produksi sel darah merah bisa disebabkan
makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat gizi,
terutama zat gizi penting seperti, besi, asam folat, vitamin
B12, protein dan vitamin C.
e. Akibat Dari Anemia
Kekurangan zat besi menyebabkan terjadinya anemia, yaitu
kadar Hb berada di bawah normal. Anemia pada ibu hamil dapat
menyebabkan perdaraha pada saat melahirkan dan gangguan
pertumbuhan janin. Sementara pada anak sekolah dan pekerja
akan menyebabkan menurunnya prestasi (Wijayanti, 2011).
Kekurangan besi dapat menurunkan ketahanan tubuh
menghadapi penyakit infeksi. Anemia gizi besi yang terjadi pada
anak-anak, baik balita maupun usia sekolah, akan mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya. Anak menjadi lemah karena

17
sering terkena infeksi akibat pertahanan tubuhnya menurun.
Dalam kegiatan sehari-hari anak menjadi tidak aktif, malas, cepat
lelah, dan di sekolah sulit berkonsentrasi dalam belajar, serta cepa
mengantuk. Akibat lanjutnya akan mempengaruhi kecerdasan dan
daya tanngkap anak (Wijayanti, 2011).
f. Batasan Anemia
Untuk menentukan apakah seseorang menderita anemia atau
tidak, umumnya digunakan nilai-nilai batas normal yang tercantum
dalam SK Menkes RI No. 736a/Menkes/XI/1989, yaitu:
1) Hb laki-laki dewasa = 13 g/dl
2) Hb perempuan dewasa = 12 g/dl
3) Hb anak-anak = 11 g/dl
4) Hb ibu hamil = 11 g/dl
Seseorang dikatakan menderita anemia apabila kadar Hb nya
kurang dari nilai baku tersebut di atas (Riskesdas, 2007 dalam
Izah 2011).
g. Anemia dan Anak Usia Sekolah
Kelompok anak usia sekolah adalah kelompok anak dengan
usia 5,00-14,99 tahun (WHO, 2008). Kelompok anak usia sekolah
ini merupakan kelompok anak yang sedang berada pada proses
tumbuh kembang fisik dan psikososial yang pesat, dan bila
berlangsung secara optimal, sangat diharapkan akan terjadi
peningkatan prestasi akademik, produktifitas kerja dan prestasi
olahraga di masa kini dan akan datang. Tetapi apabila anak
sekolah mengalami anemia akan menyebabkan berbagai macam
dampak yang tidak menguntungkan. Anak usia sekolah yang
menderita anemia gizi besi akan mengalami penurunan
kemampuan kognitif, penurunan kemampuan belajar, dan pada
akhirnya akan menurunkan prestasi belajar.
Anemia karena defisiensi zat besi pada anak-anak
mengganggu kamampuan belajar mereka di sekolah. Penyebab
utama anemia defisiensi besi yaitu kurangnya asupan makanan
yang adekuat yang menghambat penyerapan zat besi seperti teh
(Izah, 2011).

18
3. Hubungan Kebiasaan Sarapan Pagi Dan Anemia
Anemia Gizi merupakan salah satu masalah kesehatan gizi
Indonesia. Setiap tahun prevalensi kejadian anemia pada anak
Sekolah Dasar meningkat : 2000 = 35%, 2001 = 49,5%, dan 2012
survei Asian Development Bank 22 juta anak Indonesia mengalami
anemia 44,6% anak Indonesia Sarapan dengan kualitas yang rendah,
dan 26,1% nya hanya mengonsumsi minuman untuk sarapan
(Wulandari, 2014).
Kebiasaan sarapan pagi merupakan faktor risiko kejadian
anemia gizi pada siswa sekolah dasar. Siswa yang jarang atau
kadang-kadang sarapan pagi yaitu 2 - 3 kali dalam seminggu berisiko
mengalami anemia 2,95 kali dibanding siswa yang sering sarapan
pagi. Survei Pergizi Pangan Indonesia tahun 2010 pada 35.000 anak
usia sekolah dasar menunjukkan 44,6% anak yang sarapan kurang
dari 15% kebutuhannya (Sirajuddin dan Masni, 2015).
Menurut penelitian Tandirerung, dkk di Manado mengenai
hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan kejadian anemia
menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara
kebiasaan makan pagi dengan kejadian anemia. Peran makan pagi
sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Penelitian
tersebut juga menyatakan bahwa anak yang tidak memiliki kebiasaan
makan pagi akan lebih mudah mengarah ke anemia dibandingkan
dengan anak yang memiliki kebiasaan makan pagi (Tandirerung dkk,
2013). Selain itu, menurut penelitian Sri Desfita menyatakan bahwa
masih banyak ditemukan anak sekolah dasar yang jarang makan pagi.
Menurut Izah 2011 menyatakan bagi Responden yang tidak memiliki
kebiasaan sarapan lebih memiliki resiko untuk terkena anemia
defisiensi besi daripada responden yang memiliki kebiasaan sarapan.

4. Tinjauan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Anak


Sekolah

19
Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada anak sekolah
(Izah, 2011), yaitu :
a. Pekerjaan Ibu
Peranan orang tua dalam penyediaan makanan sangatlah
penting, dan membutuhkan waktu juga perhatian bagi seorang
ibu. Sedangkan sebagian besar ibu yang bekerja mendelegasikan
penyediaan makanan pada orang lain (pembantu rumah tangga),
dimana hal ini sangat mempengaruhi kualitas dan keragaman dari
makanan yang dikonsumsi oleh anaknya (Linda, 2003). Apabila
kualitas makanan tidak diperhatikan, maka pemenuhan zat gizi
bagi anak-anak sulit terpenuhi akibatnya anak-anak akan
mengalami kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhannya.
b. Pendidikan Ayah
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator sosial
yang dapat mencerminkan keadaan sosial ekonomi seseorang.
Latar belakang pendidikan orangtua merupakan unsur penting
yang dapat menentukan keadaan gizi anak. Pendidikan ayah
dapat berperan dalam menentukan keadaan ekonomi keluarga
sehingga dapat meningkatkan daya beli terhadap pangan (Farida,
2006)
Faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi
anemia besi di negara berkembang adalah keadaan sosial
ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orang tua dan
penghasilan yang rendah serta keadaan kesehatan lingkungan
yang buruk (Linda, 2003).
c. Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu merupakan modal utama untuk menunjang
perekonomian keluarga serta berperan dalam penyusunan menu
makanan dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan ibu
diharapkan makin positif sikap ibu terhadap gizi makanan
sehingga semakin mendekati ideal pula tingkat konsumsi energi,
protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C keluarganya (Farida,

20
2006). Oleh karena itu, ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih
mengerti tentang kebutuhan gizi keluarganya dan akan lebih
kreatif dalam menyajikan menu hidangan daripada ibu yang
memiliki pendidikan rendah. Selain itu, pendidikan ibu penting
hubungannya dengan pemenuhan gizi keluarga karena ibu sangat
berperan dalam proses pengambilan keputusan mengenai jenis
makanan yang akan dikonsumsi oleh keluarga.
d. Pendapatan Keluarga
Yayuk Farida, dkk (2004) dalam Nursari (2010) menyatakan
bahwa perubahan pendapatan secara langsung dapat
mempengaruhi perubahan pangan konsumsi keluarga.
Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan
penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli.
Menurunnya kualitas dan kuantitas maknaan yang dibeli dapat
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat gizi,
salah satunya kubutuhan tubuh akan zat gizi besi sehingga
berdampak pada timbulnya kejadian anemia.
e. Jumlah Anggota Keluarga
Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antara
anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Dalam acara makan bersama seringkali anak-anak yang lebih
kecil akan mendapat jatah makanan yang kurang mencukupi
karena kalah dengan kakaknya yang makannya lebih cepat dan
porsi sekali suap yang besar pula. Jika pendapatan keluarga pas-
pasan sedangkan memiliki anak yang banyak maka pemerataan
dan kecukupan makanan di dalam keluarga kurang terjamin.
Keluarga ini disebut dengan keluarga rawan, karena kebutuhan
gizinya kurang tercukupi dengan demikian masalah kekurangan
gizi terus mengintai (Triana, 2010).
f. Kebiasaan Sarapan Pagi

21
Sarapan Pagi adalah kegiatan makan pada pagi hari yang
dilakukan seseorang sebelum berangkat beraktivitas, dengan
makanan yang terdiri dari sumber zat tenaga, sumber zat
pembangun dan sumber zat pengatur (Depkes, 2007 dalam
Najwa, 2010). Sarapan pagi merupakan suatu kegiatan yang
penting sebelum melakukan aktifitas fisik pada hari itu karena
sarapan pagi menyumbang gizi sekitar 25 % dari angka
kebutuhan gizi sehari, dimana jumlah tersebut cukup signifikan
(Khomsan, 2003 dalam Najwa, 2010). Dengan demikian,
kebutuhan zat besi pada hari itu didapatkan pada waktu sarapan
pagi. Bagi anak sekolah, makan pagi atau sarapan dapat
meningkatkan konsentrasi belajar dan memudakan penyerapan
pelajaran, sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik.
g. Konsumsi Sumber Vitamin C
Adapun cara penyerapan besi dalam usus ada 2 cara, yang
pertama adalah penyerapan dalam bentuk non heme (sekitar 90%
berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu menjadi
bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah
bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat
langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam
tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi
(Raspati, 2010).
Selain vitamin C, protein juga mempermudah absorpsi besi.
Protein diperlukan sebagai pengangkut besi dan sebagai
pembentuk hemoglobin dan beberapa enzim yang secara
langsung berhubungan dengan metabolisme besi (Farida, 2006).
Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar terhadap absorbsi
besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat pada
masa pertumbuhan, absorbsi besi non heme dapat meningkat
sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali (Almatsier,
2006).
h. Konsumsi Sumber Zat Tanin

22
Tanin yang terdapat dalam teh dan kopi dapat menurunkan
absorpsi besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh. Minum
teh satu jam sesudah makan dapat menurunkan absorpsi besi
hingga 85%, hal ini disebabkan karena terdapatnya polyphenol
seperti tanin dalam teh (Gutrie, 1989 dan Bhargava et al., 2000
dalam Farida, 2007). Selain teh, Ramayulis (2008) menyebutkan
bahwa kandungan akar, bunga, kulit batang dan kulit buah delima
mengandung tanin. Waluyo (2009) juga menyebutkan bahwa
alpukat dan daun salam mengandung kadar tanin. Astawan (2009)
menyebutkan bahwa kacang merah memiliki kandungan tanin
yang cukup tinggi, dan Suwarto (2010) juga menyebutkan bahwa
apel juga memiliki kandungan tanin (Izah, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chiwile (2001)


yang berjudul Anemia and Its Determinant Factors Among School
Children 6-10 Years in Alor District, East Nusa Tenggara Province,
Indonesia diketahui bahwa terdapat tiga penyebab langsung kejadian
anemia pada anak sekolah dasar, yaitu kurangnya asupan zat gizi,
malaria, dan infeksi kecacingan.

a. Kurangnya Asupan Zat Gizi


Dari berbagai penelitian, dibuktikan bahwa besi heme yang
dapat diserap hampir 30%, sedangkan besi non heme hanya
dapat diserap sebesar 5%. Namun, tingkat penyerapan zat besi
non heme yang rendah itu dapat ditingkatkan dengan
penambahan faktor yang mempermudah yaitu vitamin C. Vitamin
C dapat meningkatkan absorbsi besi non heme hingga empat kali
lipat. Di dalam tubuh, vitamin C dan besi membentuk senyawa
kompleks askorbat-besi sehingga lebih mudah diserap oleh usus.
Karena itu, sayuran hijau dan buah-buahan yang mengandung
vitamin C tinggi sangat baik sebagai sumber zat besi (Anwar,

23
2009). Selain vitamin C, protein juga mempermudah absorpsi
besi. Protein diperlukan sebagai pengangkut besi dan sebagai
pembentuk hemoglobin dan beberapa enzim yang secara
langsung berhubungan dengan metabolisme besi (Farida, 2006).
b. Malaria
Anemia pada malaria terjadi karena lisis atau hancurnya sel
darah merah yang mengandung parasit. Manifestasi atau akibat
yang paling sering ditimbullkan pada orang yang terkena malaria
adalah anemia baik itu pada saat infeksi ataupun setelah infeksi.
Bukti yang menyatakan bahwa malaria dapat menyebabkan
anemia terdapat dalam beberapa mekanisme, yaitu kemungkinan
hambatan pada Iron Haemazoin Complexes (pigmen malaria),
kehilangan zat besi melalui urin, dan penurunan kemampuan
absorbs zat besi selama periode akut (Acute Illness Period)
(Chiwille, 2001).
c. Infeksi Kecacingan
Prevalensi Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides
terbesar terjadi pada anak sekolah. Anak sekolah merupakan
kelompok umur yang memiliki kasus kecacingan paling banyak,
hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan pada anak sekolah
di Zanzibar 80,6% kecacingan oleh Necator americanus dan
58,9% oleh Ancylostoma duodenale. Infeksi kecacingan dapat
menyebabkan perdarahan kronik dengan menempel pada dinding
usus dan memakan jaringan dan darah. Kehilangan darah terjadi
karena dimakan oleh cacing dan karena perdarahan mukosa yang
rusak (Chiwille, 2001).

5. Pengukuran Kadar Haemoglobin Darah


Haemoglobin adalah bagian dari pembahasan hemotologi.
Hematologi adalah kajian tentang aspek yang berhubungan dengan
darah. Darah merupakan campuran dari dari sel darah merah, sel
darah putih dan trombosit yang tersuspensi didalam plasma, warna

24
darah dipengaruhi oleh komponen mineral dan protein. Pengukuran
status nutrisi darah adalah parameter jumlah darah lengkap.
Pada struktur haemoglobin, unsur mineral Fe adalah salah satu
penyusun yang penting dari haemoglobin. Haemoglobin merupakan
pigmen yang berfungsi membawa oksigen didalam sel darah merah.
Molekul haemoglobin adalah ikatan antara protein (globin) dan empat
molekul heme. Pengukuran kosentrasi haemoglobin pada darah
adalah skrening untuk mengetahui kondisi anemia.
Darah yang mengalir didalam tubuh terdiri dari 2 komponen
(cairan darah dan sel-sel darah). Cairan darah mengandung : air, KH,
protein, lemak, enzim, dan elektrolit. Sel-sel darah : eritosit, leukosit, &
trombosit. Hb : protein yang ada di dalam eritrosit. Hb berfungsi
mengikat O2 yang kita isap dan membagikannnya keseluruh jaringan
tubuh. O2 sangat dibutuhkan tubuh untuk pembakaran dan
sebaliknya. CO2 dilepaskan oleh jaringan dan ditangkap oleh Hb
untuk kemudian dilepaskan melalui pernapasan. Kekurangan Hb
dalam darah di kenal dengan sebagai penyakit kurang darah
Anemia. Dengan gejala kurang darah (lesu, cepat lelah, pucat, dan
pusing kepala). Kurang darah pada anak dapat mengakibatkan
gangguan tumbuh kembang. Kadar Hb menurut WHO adalah 11 gr/dl.
Pemeriksaan kadar Hb merupakan pemeriksaan rutin. Beberapa
cara/metode pemeriksaan Hb seperti Metode Sianmethemoglobin, di
puskesmas lebihsering menggunakan Metode Sahli atau Talquist
(sensitivitasnya rendah). Untuk kepentingan pemeriksaan telah
banyak dikembangkan alat pengukuran Hb menggunakan alat KIT
(Wiralis, 2014).
Pengukuran kadar Hb ini dilakukan dengan menggunakan
metode cyanmethemoglobin dengan alat hemocue. Menurut
Riskesdas (2013) anak usia 6-12 tahun dikatakan menderita Anemia
apabila Hb < 12 gr/dl % dan Tidak Anemia : Hb 12 gr/dl %.
HEMOQUE
B. Kerangka Teori

25
Anemia pada anak sekolah dasar masih menjadi masalah kesehatan
di Indonesia. Anemia dapat ditemukan pada setiap tahap siklus hidup,
namun lebih menonjol pada wanita hamil dan anak-anak. Anemia apada
anak-anak terjadi akibat kurang gizi yang berdampak buruk pada
kesehatan, pertumbuhan dan sistem imun. Faktor-faktor yang
mempengaruhi anemia anak sekolah yaitu karakteristik orang tua,
kebiasaan sarapan pagi, konsumsi sumber vitamin C dan tanin serta
kurangnya asupan zat gizi, malaria, dan infeksi kecacingan. Kebiasaan
sarapan pagi merupakan faktor resiko kejadian anemia gizi pada siswa
sekolah dasar. Bagi anak sekolah, makan pagi atau sarapan dapat
meningkatkan kosentrasi belajar dan memudahkan peyerapan pelajaran,
sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik. Berdasarkan tinjauan
pustaka, faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya anemia pada
anak sekolah dapat dilihat pada bagan sebagai berikut :

26
Karakteristik Orang Tua :
1. Pekerjaan Ibu
2. Pendidikan Ayah
3. Pendidikan Ibu
4. Pendapatan Orang Tua
5. Jumlah Anggota Keluarga

Riwayat Kesehatan : 1. Konsumsi faktor Riwayat Kesehatan : Kebiasaan


4. Kurangnya peningkat 1. Kurangnya Sarapan :
Asupan Zat Gizi absorbsi Fe (vit Asupan Zat Gizi 1. Jumlah,
5. Malaria C, protein, dll) 2. Malaria 2. Jenis, dan
6. Infeksi 2. Konsumsi faktor 3. Infeksi 3. Frekuesi.
Kecacingan penghambat
Kecacingan
absorbsi Fe (zat
tanin)
Anemia Pada
Anak Sumber : Chiwile (2001), Soetjiningsih (1995) dalam Izah (2011)
Gambar 1. Kerangka Teori

27
C. Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kebiasaan
sarapan pag dengan status anemia pada murid SDN 01 Mandonga Kota
Kendari. Untuk mencapai tujuan tersebut maka disusun kerangka konsep
sebagai berikut :

Kebiasaan Sarapan Pagi :


Status Anemia
1. Jumlah,
Anak SDN 01 Mandonga
2. Jenis, dan
3. Frekuensi
= garis yang menghubungkan variabel yang diteliti
= variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
D. Hipotesis Penelitian
Ha : Ada hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan status anemia pada
anak SDN 01 Mandonga.
Ho : Tidak ada hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan status anemia
pada anak SDN 01 Mandonga.

28
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observastional analitik, desain yang


digunakan pada penelitian ini adalah crossectional study.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Dalam penelitian ini populasi yang diambil kelas III, IV, dan V
sehingga total populasi menjadi 192 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah kelas III, IV dan V di SDN
01 Mandonga Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara yang
berjumlah 100 orang. Cara pengambilan sampelnya dilakukan
secara Proporsional Random Samplig.
Proporsional Random Samplig yaitu pengambilan sampel
berdasarkan proporsi tiap-tiap kelas. Adapun rumus yang
digunakan yaitu :
Jumla h Siswa Setiap Kelas
Sampel per kelas = x Jumla h Sampel
Populasi
Perincian sampel berdasarkan proporsi setiap kelas yaitu
sebagai berikut :
29
Kelas III A = x 100=15,1=15 anak
192
29
Kelas III B = x 100=15,1=15 anak
192
36
Kelas IV A = x 100=18,7=19 anak
192
35
Kelas IV B = x 100=18,2=18 anak
192
32
Kelas V A = x 100=16,6=17 anak
192
31
Kelas V B = x 100=16,1=16 anak
192
Besar sampel pada penelitian ini diperoleh dengan rumus
sebagai berikut :
2
N Z P .Q
n= 2 2
d ( N1 ) + Z P .Q

29
Keterangan :
N : besar populasi
n : besar sampel
Z : nilai standar distribusi normal yang dipilih (1,96 )
P : perkiraan variabel yang diteliti ( 0,5 )
Q : 1 P (0,5)
d : derajat ketelitian (0,1)
Maka :
2
N Z P .Q
n=
d 2 ( N1 ) + Z 2 P .Q
1,96 2 0,5.0,5
n=
192

192 ( 3,84 ) 0,25
n=
( 0,01 )( 191 ) +3,84 .0,25
184,32
n=
1,83
n = 100
C. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SDN 01 Mandonga Kota
Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2016.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel terikat : Status Anemia
2. Variabel bebas : kebiasaan Sarapan Pagi yang terdiri dari
jenis, jumlah dan frekuensi.

30
E. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel Defenisi operasional Cara ukur Instrumen Kategori Skala


Mengkonsumsi
makanan pada pagi
hari sebelum 1. Sering = 4-7x seminggu
Kebiasaan Formulir
berangkat ke sekolah/ FFQ 2. Jarang = 2-3x seminggu Ordinal
Sarapan Pagi FFQ
sebelum beraktivitas. (Sirajuddin & Masni, 2015)
(Rodiah, 2004; Izah
2011)
Anemia adalah suatu
keadaan dimana kadar
Hb (Haemoglobin) 1. Anemia : Hb < 12 gr/dl %
pada anak umur 6 -12 Pengambila 2. Tidak Anemia : Hb 12
Status Anemia KIT Nesco Ordinal
tahun dalam darah n darah. gr/dl %
lebih rendah dari (Riskesdas, 2013)
normal yaitu < 12 g/dl.
(Riskesdas, 2013)
Anak sekolah dasar
adalah anak yang
sedang menempuh
Anak Sekolah
pendidikan dasar
Dasar
dengan kisaran umur
6-12 tahun.
(Lista, 2014)

31
F. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis Data :
a. Data Primer
Data primer meliputi identitas sampel, kebiasaan sarapan
pagi, status anemia pada murid SDN 01 Mandonga Kota
Kendari.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu profil SDN 01 Mandonga Kota
Kendari yang meliputi data populasi murid, data geografis,
demografis serta sarana dan prasarana umum lainnya.
2. Teknik Pengumpulan Data :
a. Data primer
1) Identitas sampel meliputi : nama, umur, agama, suku,
serta alamat diperoleh denga cara wawancara
menggunakan kuesioner.
2) Kebiasaan sarapan pagi diperoleh dengan wawancara
menggunakan kuesioner.
3) Status anemia diperoleh dengan hasil pengukuran.
b. Data sekunder
Data profil SDN 01 Mandonga Kota Kendari Provinsi
Sulawesi Tenggara diperoleh dengan melihat buku profil SDN
01 Mandonga.

G. Instrumen dan Bahan Penelitian


1. Instrumen
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan yaitu :
a) KIT Nesco
Prosedur Pengukuran Kadar Hemoglobin Darah :
1) Saat pertama kali menggunakan alat ukur Nesco Multi
Chek atau buka botol strip baru test, masukan kunci kode
dari dari botol strip test. Setiap botol strip test terdapat
satu kunci kode. Pastikan nomor kunci kode sama dengan
nomor kode pada botol strip test yang digunakan.
2) Ambil satu trip dari botol. Tutup botol dengan cepat.
(Perhatikan : strip test dapat rusak ketika strip-strip tidak
tertutup dan tersimpan dengan tepat).
3) Masukkan strip test kedalam lubang strip test pada alat
ukur.

32
4) Saat layar menampilkan simbol darah, bersihkan/usap
dengan alkohol. Biarkan sampe kering.
5) Tempatkan alat penusuk (Puncturer) pada jari anda.
6) Tekan pemicu pada alat penusuk (Puncturer).
7) Angkat alat penusuk (Puncturer).
8) Tetesan darah keluar.
9) Simpan tetasan darah pada target area strip. Darah akan
terserap dan target area menjadi berwarna merah. Reaksi
pengetesan berawal saat terdengan bunyi Beep pada lat
ukur. Awal pengukur dimulai dengan menghitung mundur
selama 6 detik kemudian hasilnya dapat dilihat pada layar.
10)Tarik strip test keluar alat ukur. Alat ukur akan mati dengan
sendirinya. Lepaskan ujung alat penusuk/sekrup dari
badan alat penusuk dengan cara memutarnya.
11) Pasang tutup pelindung lanset dari lansetnya. Pegang
dengan erat alat tusuk, dan lansetnya tarik keluar.
12)Buang lanset yang telah digunakan dengan tutupnya pada
sebuah wadah yang sesuai.
13)Pasang kembali sekrup/ujung alat penusuk pada alat
penusuk (puncturer). Perhatian : untuk menghindari cidera
kecelakaan, jangan mengninggalkan langset lanset yang
telah digunakan pada alat penusuk (puncturer). Selalu
ambil dengan segera lanset yang telah digunakan setelah
sehabis test.
b) Kuesioner
Kuesioner yang berisi tentang daftar pertanyaan tentang
karakteristik responden, kebiasaan sarapan pagi.
c) Formulir Food Frequency (FFQ)
FFQ digunakan untuk mengetahui jumlah, jenis, dan frekuensi
makanan yang dikonsumsi oleh sampel.
2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar kuesioner
FFQ, dan strip untuk mengukur status anemia.

H. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan

33
Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan tahap-tahap sebagai
berikut :
a. Mengurus surat pengantar untuk melakukan pengambilan data
awal di SDN 01 Mandonga
b. Melakukan pengambilan data awal untuk menyusun proposal dan
dilanjutkan dengan ujian proposal dengan menentukan besar
sampel yang akan diteliti.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016
dengan jumlah sampel 57.
b. Setelah mendapatkan sampel, kemudian sampel dimintai
persetujuan sebagai sampel penelitian dan menjelaskan tujuan
penelitian kepada sampel.
c. Melakukan prosedur pengukuran status anemia, setelah itu
melakukan wawancara menggunakan kuesioner.
d. Data hasil penelitian dikumpul kemudian dilakukan pengecekan
kembali.
e. Data yang telah dicek kemudian diolah secara manual ataupun
menggunakan aplikasi yang ada dikomputer.
3. Tahap Akhir
a. Setelah semua data terkumpul dan telah mendapatkan hasil
penelitian kemudian peneliti membuat laporan hasil penelitian.
b. Pada tahap akhir setelah laporan hasil penelitian selesai
kemudian mempersiapkan diri untuk ujian Hasil.

I. Manajemen Data
1. Pengolahan Data
a. Kebiasaan sarapan pagi diolah secara manual dengan melihat
jawaban dari kuesioner yang dibagikan pada sampel.
b. Status anemia diolah secara manual dengan melihat hasil
pengukuran yang tertulis dari kuesioner.

2. Analisis Data
Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih muda di baca dan diinterprestasikan. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan kuesioner.
a. Analisa univariat

34
Analisa data yang dilakukan secara manual dengan
menggunakan kalkulator kemudian hasilnya disajikan dalam
bentuk tabel frekuensi disertai dengan penjelasan.
Adapun rumus yang digunakan yaitu :
f
P= X 100
N
Keterangan :
f = frekuensi yang dicari presentasenya
N = Number of cases (jumlah frekuensi/banyaknya individu)
P = Angka presentase (Sugiyono, 2009)
b. Analisa Bivariat
Analisa data bivariat dilakukan untuk melihat apakah ada
hubungan yang bermakna antara variabel dependen yaitu
status anemia dengan variabel independen yaitu kebiasaan
sarapan pagi (Jenis, Jumlah dan Frekuensi).
Pada analisis dilakukan uji chi-square. Melalui uji statistik
chi square akan diperoleh nilai p, dimana dalam penelitian ini
digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0.05. Penelitian antara
dua variabel dikatakan bermakna jika mempunyai nilai p
0.05 dan dikatakan tidak bermakna jika mempunyai nilai p >
0.05.
Adapun rumus Chi-Square sebagai berikut :
a+b ( c+ d )( a+ c )(b+d )

X2 =
N ( adbc )2

Keterangan :
X2 = Chi-Square
N = jumlah sampel
ABCD = faktor pada sel ABC dan D

3. Penyajian Data
Dari sumber variabel penelitian, adapun penyajian data
dilakukan setelah data diolah, kemudian disajikan dalam bentuk
tabel yang disertai dengan narasi.

35

Anda mungkin juga menyukai