Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi yang beryugas
menerima rangasangan, menghantarkan rangsangan keseluruh bagian tubuh, serta memberikan
respon terhadap rangsangan tersebut. Pengaturan penerima rangsangan dilakukan oleh alat indra,
pengolahan rangsangan dilakukan oleh sistem saraf pusat yang kemudian meneruskan untuk
menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh sistem saraf dan alat indra.
Sitem koordinasi merupakan suatu sistem yang mengatur kerja semua sistem organ agar dapat
bekerja secara serasi. Sistem koordinasi ini bekerja untuk menerima rangsangan, mengolahnya dan
kemudian meneruskannya untuk menanggapi setiap rangsangan. Setiap rangsangan-rangsangan yang
diterima melalui indra, akan diolah diotak. Kemudian otak akan meneruskan rangsangan tersebut
keorgan yang bersangkutan.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana
patofiologi mengenai sel saraf dan Gangguan Transmisi Neuromuskular

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui patofiologi mengenai sel saraf dan Gangguan Transmisi Neuromuskular

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sistem Saraf

Sistem saraf adalah sistem koordinasi (pengaturan tubuh) berupa penghantaran impul
saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impul saraf dan perintah untuk memberi tanggapan
rangsangan. Unit terkecil pelaksanaan kerja sistem saraf adalah sel saraf atau neuron. Sistem
saraf sangat berperan dalam iritabilitas tubuh. Iritabilitas memungkinkan makhluk hidup dapat
menyesuaikan diri dan menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Jadi,
iritabilitas adalah kemampuan menanggapi rangsangan.
Sistem saraf termasuk sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer (sistem saraf tepi).
Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang dan sistem saraf perifer terdiri
atas sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom. Sistem saraf mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu menerima informasi dalam bentuk rangsangan atau stimulus; memproses informasi yang
diterima; serta memberi tanggapan (respon) terhadap rangsangan.
Struktur Saraf
Sistem saraf pada manusia terdiri dari sel saraf yang biasa disebut
dengan neuron dan sel gilial. Neuron berfungsi sebagai alat untuk
menghantarkan impuls (rangsangan) dari panca indra menuju otak dan
kemudian hasil tanggapan dari otak akan dikirim menuju otot. Sedangkan sel
gilial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron.
Sel Saraf (Neuron)

Unit terkecil penyusun sistem saraf adalah sel saraf atau bisa juga disebut neuron. Sel
saraf adalah sebuah sel yang berfungsi untuk menghantarkan impuls (rangsangan). Setiap satu
sel saraf (neuron) terdiri atas tiga bagian utama yang berupa badan sel saraf, dendrit, dan akson.
Berikut adalah gambar dan bagian-bagian struktur sel saraf (neuron) beserta penjelasannya:

2
1. Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang. Dendrit merupakan
perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk menerima dan mengantarkan
rangsangan ke badan sel.

2. Badan Sel adalah bagian yang paling besar dari sel saraf. Badan sel berfungsi untuk
menerima rangsangan dari dendrit dan meneruskannya ke akson. Badan sel saraf
mengandung inti sel dan sitoplasma.

3. Nukleus adalah inti sel saraf yang berfungsi sebagai pengatur kegiatan sel saraf (neuron).

4. Neurit (Akson) adalah tonjolan sitoplasma yang panjang (lebih panjang daripada
dendrit), berfungsi untuk menjalarkan impuls saraf meninggalkan badan sel saraf ke
neuron atau jaringan lainnya. Jumlah akson biasanya hanya satu pada setiap neuron.

5. Selubung Mielin adalah sebuah selaput yang banyak mengandung lemak yang berfungsi
untuk melindungi akson dari kerusakan. Selubung mielin bersegmen-segmen. Lekukan di
antara dua segmen disebut nodus ranvier.

6. Sel Schwann adalah jaringan yang membantu menyediakan makanan untuk neurit
(akson) dan membantu regenerasi neurit (akson).

3
7. Nodus ranvier berfungsi untuk mempercepat transmisi impuls saraf. Adanya nodus
ranvier tersebut memungkinkan saraf meloncat dari satu nodus ke nodus yang lain,
sehingga impuls lebih cepat sampai pada tujuan.

8. Sinapsis adalah pertemuan antara ujung neurit (akson) di sel saraf satu dan ujung dendrit
di sel saraf lainnya. Pada setiap sinapsis terdapat celah sinapsis. Pada bagian ujung akson
terdapat kantong yang disebut bulbus akson. Kantong tersebut berisi zat kimia yang
disebut neurotransmiter. Neurotransmiter dapat berupa asetilkolin dan kolinesterase yang
berfungsi dalam penyampaian impuls saraf pada sinapsis.

Sel-sel saraf (neuron) bergabung membentuk jaringan saraf. Ujung dendrit dan ujung
akson lah yang menghubungkan sel saraf satu dan sel saraf lainnya. Menurut fungsinya, ada tiga
jenis sel saraf yaitu:

1. Sel saraf sensorik adalah sel saraf yang mempunyai fungsi menerima rangsang yang
datang kepada tubuh atau panca indra, dirubah menjadi impuls (rangsangan) saraf, dan
meneruskannya ke otak. Badan sel saraf ini bergerombol membentuk ganglia, akson
pendek, dan dendritnya panjang.

2. Sel saraf motorik adalah sel saraf yang mempunyai fungsi untuk membawa impuls saraf
dari pusat saraf (otak) dan sumsum tulang belakang menuju otot. Sel saraf ini mempunyai
dendrit yang pendek dan akson yang panjang.

3. Sel saraf penghubung adalah sel saraf yang banyak terdapat di dalam otak dan sumsum
tulang belakang. Neuron (sel saraf) tersebut berfungsi untuk menghubungkan atau
meneruskan impuls (rangsangan) dari sel saraf sensorik ke sel saraf motorik.

Transmisi impuls saraf


Impuls akan dirambatkan di sepanjang neuron sampai ke saraf pusat untuk diolah. Namun antara
neuron yang satu dengan yang lain itu tidak bersambung/ menempel, melainkan ada celah. Jika
ada celah, maka impuls tidak akan bisa sampai ke saraf pusat. Jadi diperlukan suatu struktur
khusus agar impuls bisa tetap sampai ke saraf pusat. Struktur itu adalah Sinapsis.
Penghantaran impuls pada sinaps:
1. Impuls sampai di ujung akson pra sinaps

4
2. Terjadi eksositosis vesikel neurotransmiter
3. Neurotransmiter keluar di celah sinaps
4. Neurotransmiter berenang menuju dan menempel di reseptornya, di neuron pasca sinaps
5. Menempelnya neurotransmiter pada reseptornya mengakibatkan terjadinya depolarisasi
neuron pasca sinaps, shg terbentuk impuls baru
6. Impuls yg terbentuk akan dirambatkan sampai ke SSP
Sistem Saraf Pusat
1. Otak
Otak terdiri dari dua belahan. Mempunyai permukaan yang berlipat-lipat untuk memperluas
permukaan sehingga dapat ditempati oleh banyak saraf. Bagian dalamnya berwarna putih
berisi serabut saraf, bagian luarnya berwarna kelabu berisi banyak badan sel saraf.
2. Medulla spinalis
Potongan melintang medulla spinalis memperlihatkan bahwa saraf-saraf spinal dibentuk dari
dua radiks saraf, yaitu radiks posterior (dorsal/sensoris), dan radiks anterior
(ventral/motorik).
Sistem Saraf Perifer
Saraf pusat bertugas mengolah informasi, sedangkan yang bertugas menangkap/menerima
rangsang dan meneruskan tanggapan adalah saraf tepi/ saraf perifer. Saraf perifer disusun oleh
saraf otak (kranial) dan saraf medulla spinalis (spinal).
1. Saraf sensoris (saraf aferen) disebut juga sel saraf indera, karena berfungsi membawa
rangsangan (impuls) dari indera ke saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang)
2. Saraf motoris (saraf eferen) berfungsi membawa rangsangan (impuls) dari pusat saraf ke
otot atau kelenjar berupa respon.
Saraf volunter/somatik/sadar yaitu sistem saraf yang mengatur segala gerakan yang
dilakukan secara sadar atau dibawah koordinasi saraf pusat atau otak
Saraf involunter/otonom/tidak sadar berperan dalam mengendalikan tubuh yang tidak kita
sadari, seperti denyut jantung, gerakan-gerakan pada saluran pencernaan, sekresi enzim dan
keringat.
Dibagi menjadi dua berdasarkan posisi ganglion : simpatis (ganglion menempel pada sumsum
tulang belakang) dan parasimpatis (menempel pada organ yang dibantu).

5
2. Patofisiologi Sel Saraf

Dalam rangka memenuhi fungsinya, neuron harus mampu menerima informasi dari
berbagai sel dan melanjutkannya ke sel yang lain. Umumnya informasi akan diterima melalui
reseptor membran yang diaktifkan oleh neurotransmiter. Aktivitas kanal ion dapat dipengaruhi
secara langsung atau melalui mekanisme transmisi intrasel. Jadi, pada sel target yang sesuai,
asetil-kolin (Ach) akan membuka kanal kation yang tidak spesifik, yang selanjutnya
memungkinkan aliran Na+ dan K+. Hal ini akan menyebabkan depolarisasi membran sel sehingga
membuka kanal Ca+2 dan Na+ bergerbang voltase. Ion Ca+2 kemudian memperantarai pelepasan
neurotransmiter oleh sel target. Dalam jangka panjang, metabolisme sel dan ekspresi gen disel
target hingga pembentukan sinaps dan sintesis serta penyimpanan neurotransmiter juga diatur.

Gangguan dapat terjadi pada setiap bagian dirangkaian ini. Misalnya, densitas reseptor
dapat dikurangi oleh pengaturan dari atas. Demikian juga, mekanisme transmisi intrasel tertentu
dapat dihambar. Contohnya, penghambatan protein G oleh toksin pertusis. Kanal ion dapat
dihambat dengan obat atau aktivitasnya dapat diubah oleh Ca +2, Mg+2 atau H+. Selain itu, efeknya
pada potensial membran dapat diganggu oleh perubahan gradien ion, seperti peningkatan atau
penurunan konsentrasi K+ intrasel, atau yang lebih penting ekstrasel. Kedua hal diatas terjadi bila
Na+/K+- ATPase dihambat, misalnya akibat kekurangan energi. Transpor melalui akson dan

6
pembentukan, penyimpanan, pelepasan, serta inaktivasi neurotransmiter dapat terganggu,
misalnya , oleh kelaianan genetik atau obat. Gangguan fungsional dapat bersifat reversible
apabila kerusakannya tidak lagi efektif.

Lesi dapat juga menyebabkan kerusakan neuron yang irreversible. Selain menyebabkan
kematian sel dengan merusaknya secara langsung (nekrosis, missal, akibat kekurangan energi
atau kerusakan mekanis), proses yang disebut sebagai kematian sel terprogram (apoptosis)
mungkin juga berperan dalam hal ini. Pada orang dewasa, neuron tidak dapat diperbaharui lagi.
Jadi, kerusakan pada neuron akan menyebabkan gangguan fungsi yang irreversibel, sekalipun
neuron yang lain dapat mengambil alih sebagian fungsi dari sel yang mati.

Zat bahaya harus melewati sawar darah otak jika ingin mencapai neuron di sistem saraf
pusat (SSP). Sawar darah otak yang tidak menghalangi lewatnya berbagai zat dan mencegah
masuknya kuman pathogen dan sel imunokompeten. Namun, beberapa toksin (misalnya, toksin
pertusis dan botulium) dapat mencapai neuron di medulla spinalis melalui transport akson
retrograde melalui saraf perifer sehingga dapat menghindari sawar darah otak. beberapa virus
juga mencapai SSP dengan cara tersebut.

7
Jika dilakukan pemotongan pada akson, akson bagian distal akan mati melalui
apopsitosis. Penyebabnya adalah tidak adanya factor pertumbuhan saraf (nerve growth factor
{NGFI}), yang normalnya dilepaskan oleh sel pascasinaps yang dipersarafi dan, melalui
aksonnya, akan menjaga sel prasinaps tetap hidup. Gangguan transport akson retrograde selain
pada akson yang utuh juga menyebabkan kematian neuron. Bagian ujung proksimal akson
perifer dapat tumbuh kembali. Protein yang diperlukan agar hal tersebut terjadi dihasilkan di
dalam badan sel dan transport akson. Alasan yang mugnkin mengapa sel yang terkena tetap
hidup adalah makrofag yang berimigrasi ke dalam saraf perifer, melalui pembentukan interleukin
I, akan merangsang sel Schwann untuk menghasilkan NGF. Akan tetapi, makrofag tidak mampu
masuk ke dalam SSP.

Pemotongan akson tidak hanya menyebabkan kematian pada neuron mengalami


kerusakan, tetapi tidak adanya persarafan sering kali menyebabkan kematian pada sel target
(degenerasi transneuron anterograd) dan kadang-kadang juga kematian sel yang mempersarafi
sel yang rusak (degenerasi transneuron retrogard).

8
3. Gangguan Transmisi Neuromuskular

Transmisi neuromuskular adalah rangkaian kejadian yang dapat mengalami gangguan di


berbagai tingkat. Potensial aksi dihantarkan melalui aktivitas kanal Na+ ke ujung saraf, tempt
potensial aksi mendepolarisasi membran sel sehingga membuka kanal Ca+2 bergerbang voltase.
Ion Ca+2 yang masuk ke ujung saraf saraf akan memperantarai penggabungan vesikel yang
mengandung asetilkolin (ACh) dengan membrane prasinaps, kemudian ACh dilepaskan kedalam
celah sinaps. ACh akan berikatan dengan reseptor di membran subsinaps dan dengan cara ini
membuka kanal kation yang tidak spesifik. Depolarisasi membran subsinaps akan dijalarkan ke
membran pascasinaps, dan melalui pembukaan kanal Na+ bergerbang voltase akan mencetuskan
potensial aksi yang segera menyebar ke seluruh membran otot. ACh dipecah oleh
asetilkolinesterase, kolin yang dipecah akan diambil kembali ke dalam ujung saraf dan
digunakan kembali untuk menyintesis ACh.

Kelainan dapat terjadi di setiap bagian proses ini. Misalnya, anesthesia lokal
menghambat kanal Na+ bergerbang voltase di neuron sehingga menghambat transmisi saraf ke
bagian end-plate. Kanal Ca+2 dapat dihambat oleh antibodi. Toksin botulinum mengaktifkan
sinaptobrevin, protein yang berperan dalam pengikatan vesikel yang mengandung ACh ke
membran plasma, serta untuk pelepasan ACh. Seperti kanal Ca +2, reseptor ACh dapat juga
dihambat oleh antibody yang selanjutnya mempercepat internalisasi dan pemecahan reseptor.
Reseptor juga dapat dihambat oleh kurare, walaupun zat ini tidak langsung memengaruhi
reseptor, tetapi bersaing dengan menghambat ikatan ACh ke reseptor.

Suksinilkolin (suksametonium klorida) menyebabkan perangsangan reseptor yang terus-


menerus, depolarisasi membrane pascasinps yang terus-menerus sehingga menginaktifkan kanal
Na+ pascasinaps. Dengan cara ini, seperti kurare, suksinilkolin akan menghambat transmisi
neuromuskular. Pada konsentrasi yang rendah, zat yang menghambat asetilkolinesterase (misal,
fisotigmin) akan meningkatkan transmisi neuromuskular dengan meningkatkan ketersediaan ACh
di dalam celah sinaps. Namun, pada dosis tinggi, zat ini menghambat transmisi neuromuskular
karena konsentrasi ACh yang tinggi, seperti pada suksinilkolin, akan menyebabkan depolarisasi

9
membrane subsinaps yang terus-menerus meningkatkan kanal Na+ pascasinaps. Pengambilan
kembali kolin ke dalam ujung saraf dapat dihambat oleh Mg+2 dan hemikolin.

Penyakit paling penting yang mengenai end-plate adalah miastenia gravis, yakni paralisis
otot akibat penghambatan transmisi neuromuskular. Hal ini disebabkan oleh antibodi terhadap
reseptor ACh di membrane subsinaps yang mempercepat pecehan reseptor. Penyakit autonium
ini dapat disebabkan oleh infeksi virus yang memiliki struktur menyerupai reseptor ACh.
Miastenia dapat juga terjadi pada pasien tumor jinak timus. Pembentukan antibodi ini mudah
terjadi pada orang yang mengekspresikan major histocompatibility complex (MHC class II)
subtipe tertentu (DR3 dan DQw2). Pada pasien miastenia gravis, perangsangan saraf motorik
yang berulang-ulang pada awalnya akan menghasilkan penjumlahan potensial aksi otot yang
normal, namun amplitudonya akan menurun karena terus meningkatnya kelelahan transmisi
neuromuskular.

10
Penyakit autoimun lain yang mengganggu transmisi neuromuskular adalah sindrom
pseudomiastenia Lambert dan Eaton. Keadaan ini sering terjadi pada pasien yang menderita
karsinoma paru sel kecil. Kanal Ca+2 di membran plasma sel tumor mensensitisasi sistem imun
dan merangsang pembentukan antibody yang juga bereaksi dengan kanal Ca +2 di end-plate.
Akibat penghambatan kanal Ca+2, penjumlahan potensial aksi di otot pada mulanya kecil, namun
secara progresif menjadi normal karena dengan perangsangan berulang, jumlah Ca +2 yang
terkumulasi di ujung saraf akan meningkat.

4. Penyakit-penyakit yang Terjadi


1. Sistem Saraf Pusat
a. Penyakit Huntington

Penyakit Huntington yang biasa dikenal dengan nama Huntington chorea merupakan
gangguan saraf akut yang dapat diwariskan. Penyakit tersebut ditandai dengan adanya gangguan
terhadap kendali motorik, depresi, gangguan ingatan, dan gangguan kognitif lainnya. Penyakit
ini muncul pada usia 35-50 tahun, walaupun kemunculannya juga dapat terjadi pada masa kanak-
kanak hingga usia lanjut. Setelah kemunculan gejala penyakit Huntington, maka gangguan
motorik dan psikologis secara bertahap akan semakin buruk dan berujung pada kematian.

11
Semakin awal kemunculan penyakit tersebut, maka semakin cepat kerusakan yang akan terjadi.
Hingga saat ini, belum ada pengobatan yang dapat mengendalikan maupun memperlambat
penyakit ini, namun penelitian dari tikus mengidentifikasi bahwa lingkungan yang menstimulasi
dapat menunda kemunculan gejala penyakit Huntington.
Penyakit Huntington dikendalikan oleh sebuah gen autosom dominan (artinya bukan gen
pada kromosom X dan Y). Sebagai ketetapan, sebuah gen mutan yang menyebabkan hilangnya
fungsi tubuh mutan adalah gen resesif. Fakta bahwa gen untuk penyakit Huntington adalah gen
dominan, maka hal tersebut mengindikasikan terjadinya kemunculan fungsi yang tidak
diinginkan. Pemeriksaan terhadap kromosom nomor 4 dapat memperkirakan apakah di masa
depan seseorang akan terkena penyakit Huntington atau tidak. Semakin banyak pengulangan C-
A-G (sitosin-adenin-guanin) di dalam suatu gen, maka kemungkinan semakin awal pula
kemunculan gejala penyakit tersebut. Gen yang bertanggung jawab terhadap penyakit
Huntington mengubah struktur suatu protein yang disebut Huntington. Protein tersebut
menghambat fungsi mitokondria.
b. Dikinesia

Tardive dyskinesia adalah gangguan medis berupa gerakan yang tidak terkendali pada
lidah, bibir, dan wajah. Dalam beberapa kasus, pasien mungkin mengalami pergerakan juga pada
lengan, kaki, jari tangan dan jari kaki. Pada kasus yang berat, gejala tardive dyskinesia yang
muncul berupa gerakan tak terkendali pada batang tubuh, pinggul, atau otot yang berhubungan
dengan sistem pernapasan. Di samping itu, tardive dyskinesia juga dapat memengaruhi bagian
tubuh lainnya.

Tardive dyskinesia memiliki dampak negatif pada kualitas hidup dan mengganggu Anda
dalam beraktivitas sehari-hari. Karena tidak mampu bergerak normal, Anda mungkin akan
merasa stres dan tak berdaya. Berikut ini adalah gejala umum yang dialami pasien tardive
dyskinesia:

Gerakan tubuh di luar kendali.

Kerap merasa jengkel karena tidak dapat mengontrol gerak tubuh.

Merasa depresi karena kemunculan gejala tidak dapat diprediksikan.

12
Apa penyebab tardive dyskinesia?

Tardive dyskinesia biasanya dipicu oleh efek samping obat antipsikotik, atau dikenal
sebagai obat neuroleptik. Obat ini digunakan untuk mengobati gangguan mental seperti
skizofrenia, gangguan bipolar, dan gangguan otak lainnya. Obat ini bekerja dengan cara
menghalangi dopamin (zat kimia otak) yang bertanggung jawab dalam pergerakan otot secara
normal. Ketika tingkat dopamin dalam otak Anda rendah, gerakan tubuh Anda menjadi menjadi
sulit untuk dikendalikan. Meskipun tidak semua pasien pengguna obat antipsikotik akan
mengalami tardive dyskinesia, gejala tersebut bisa muncul setelah 3 bulan mengonsumsi obat.

Ada 2 jenis obat antipsikotik, yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal.
Antipsikotik tipikal adalah obat terdahulu yang memiliki risiko tardive dyskinesia lebih tinggi.
Seiring dengan kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran, jenis antipsikotik terbaru
(antipsikotik atipikal) mengurangi risiko tardive dyskinesia pada pasien.

Antipsikotik tipikal, meliputi:

Chlorpromazine (Thorazine)

Fluphenazine (Prolixin)

Haloperidol (Haldol)

Thioridazine (Mellaril)

Trifluoperazine (Stelazine).

Semakin lama Anda mengonsumsi antipsikotik tipikal, semakin tinggi pula risiko tardive
dyskinesia. Beberapa obat untuk mengobati mual, refluks, dan masalah perut lainnya juga dapat

13
menyebabkan tardive dyskinesia jika pasien mengonsumsinya selama lebih dari 3 bulan. Obat-
obatan tersebut meliputi:

Metoclopramide (Reglan)

Prochlorperazine (Compazine).

Siapa yang berisiko terkena tardive dyskinesia?

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan tardive dyskinesia. Beberapa studi
menunjukkan bahwa beberapa orang berada pada risiko dyskinesia lebih tinggi akibat konsumsi
obat lain dan penyakit yang menyebabkan gejala serupa. Misalnya, penyakit Parkinson, penyakit
Huntington, dan stroke dapat menyebabkan gerakan tubuh yang tak terkendali. Beberapa studi
menunjukkan bahwa risiko tardive dyskinesia bagi pasien yang menjalani pengobatan tersebut
mencapai 30-50%.

Pasien dengan skizofrenia, gangguan schizoafektif, atau gangguan bipolar yang telah
menjalani pengobatan antipsikotik untuk waktu yang lama berada pada risiko tardive dyskinesia
yang lebih tinggi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan tardive dyskinesia adalah pasien fetal
alcohol syndrome, cacat pertumbuhan, dan gangguan otak lainnya. Faktor-faktor lain yang dapat
meningkatkan risiko tardive dyskinesia adalah:

Jenis kelamin: Wanita menopause

Umur: Orang berusia lebih dari 55 tahun

Gaya hidup: Konsumsi alkohol atau obat-obatan berlebih

Etnis: Orang Afrika atau orang Asia.

14
Apa saja tanda dan gejala tardive dyskinesia?

Tardive dyskinesia ditandai dengan gerakan tubuh kaku dan di luar kendali. Gerakan ini
umumnya terjadi di wajah, bibir, rahang, lidah, serta lengan dan kaki. Beberapa gerakan-gerakan
tak terkendali tersebut berupa:

Wajah meringis

Jemari bergetar

Rahang berayun

Mengunyah berulang-ulang

Lidah menjulur

Lidah keluar tanpa disengaja

Kedipan mata cepat

Bibir mengerut

Pipi menggembung

Dahi merengut

Mendengkur

Jari-jari bergoyang

Kaki mengetuk

Lengan terkepak-kepak

15
Posisi panggul keluar

Tubuh bergoyang dari satu sisi ke sisi lain.

Gejala-gejala di atas mungkin membuat Anda kesulitan untuk tetap aktif beraktivitas
sehari-hari. Apabila Anda mengalami gejala tardive dyskinesia, segera hubungi dokter karena
deteksi dini dapat mencegah kondisi Anda semakin memburuk.

Bagaimana mendiagnosis tardive dyskinesia?

Diagnosis tardive dyskinesia tergolong sulit untuk dilakukan karena gejala kemungkinan
tidak muncul sesaat setelah pasien mengonsumsi obat antipsikotik. Proses diagnosis ini mungkin
memakan waktu hingga beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum Anda melihat tanda-
tanda apapun. Pada beberapa kasus, Anda mungkin baru melihat gejala ini setelah berhenti
minum obat.

Jika Anda memiliki gangguan kesehatan mental dan memerlukan obat-obatan, dokter
akan memantau gerakan tubuh Anda. Pastikan Anda melakukan kunjungan ke dokter secara
teratur.

Dokter Anda akan melakukan berbagai tes untuk menangani kondisi lain yang mungkin
menyebabkan gerakan tak terkendali seperti:

Cerebral palsy

Penyakit Huntington

Penyakit Parkinson

Stroke

Tourette syndrome.

Tes yang digunakan untuk mendiagnosa kondisi di atas adalah:

16
Tes darah

Pencitraan otak, seperti CT scan atau MRI.

Pengobatan apa yang digunakan untuk tardive dyskinesia?


Mencegah tentunya lebih baik daripada mengobati. Pengobatan yang paling efektif untuk
tardive dyskinesia adalah melalui pencegahan. Jika Anda mengonsumsi obat yang dapat memicu
tardive dyskinesia, Anda harus memiliki pemeriksaan rutin dengan dokter untuk
mengidentifikasi gejala-gejala tardive dyskinesia.

Tujuan pemeriksaan rutin ini adalah untuk mencegah tardive dyskinesia sebelum muncul.
Berkonsultasilah dengan dokter mengenai efek samping dari obat-obatan untuk gangguan
kesehatan mental. Pastikan manfaat penggunaan obat harus selalu lebih besar daripada risikonya.
Anda mungkin dapat beralih ke obat antipsikotik terbaru yang memiliki risiko tardive dyskinesia
lebih rendah.

Di samping itu, dokter akan meminimalkan risiko dengan memberikan dosis antipsikotik
efektif terendah. Bila perlu, dokter juga dapat menurunkan dosis obat antipsikotik.

Jika Anda terserang tardive dyskinesia dan pengurangan dosis obat tidak meredakan
gejala, beberapa psikiater akan menganjurkan Anda untuk beralih ke obat yang berbeda.

Hingga saat ini, belum ada obat untuk tardive dyskinesia. Penelitian telah mempelajari
berbagai obat untuk mengobati tardive dyskinesia, termasuk benzodiazepin, suplemen vitamin E
dan Gingko Biloba. Namun, efektivitas pengobatan ini untuk tardive dyskinesia masih belum
jelas terlihat. Dalam beberapa kasus tardive dyskinesia, obat yang paling menjanjikan saat ini
adalah antipsikotik clozapine.

Beberapa obat dapat membantu meringankan gerakan tak terkendali adalah:

Amantadine (Symmetrel)

Clonazepam (Klonopin)

17
Tetrabenazine (Xenazine).

Jika Anda mengalami gejala-gejala tardive dyskinesia, jangan berhenti minum obat
antipsikotik tanpa anjuran dokter. Menghentikan pengobatan untuk kesehatan mental bisa jauh
lebih berbahaya. Pastikan Anda selalu berdiskusi dengan dokter sebelum menghentikan
pengobatan.

c. Hemibalismus

Hemiballismus ialah sejenis chorea, biasanya menyebabkan gerakan melempar satu


lengan di luar kemauan dengan keras. Penyakit ini disebabkan oleh beberapa macam proses
patologis antara lain gangguan vaskuler (stroke), infeksi, trauma dan tumor. Kelainan di otak
berupa destruksi nukleus subtalamik. Gerakan ini melibatkan otot-otot proksimal dan dapat
menguras tenaga. Hemiballismus mempengaruhi satu sisi badan. Lengan terkena lebih sering
daripada kaki. Biasanya disebabkan oleh stroke yang mempengaruhi bidang kecil tepat di bawah
basal ganglia yang disebut nukleus subthalamic. Hemiballismus untuk sementara mungkin
melumpuhkan karena ketika penderita mencoba menggerakkan anggota badan, mungkin
melayang secara tak terkendali.

d. Sindrom Ekstrapiramidal

Sindroma ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan


adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat
antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal

Chlorpromazine
150-1600 ++
Thioridazine
100-900 +
Perphenazine
8-48 +++
trifluoperazine

18
Fluphenazine 5-60 +++

Haloperidol 5-60 +++

Pimozide 2-100 ++++

Clozapine 2-6 ++

Zotepine 25-100

Sulpride 75-100 +

Risperidon 200-1600 +

Quetapine 2-9 +

Olanzapine 50-400 +

Aripiprazole 10-20 +

10-20 +

PATOFISIOLOGI

Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik,
nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum berikut dengan
korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. Komponen-komponen tersebut
dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian
terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum
merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit
tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit
striatal penunjang (aksesori).

Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap
neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus
palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba
diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus

19
untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan
korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya
menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit
itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang
menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah
lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya
sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-
striatum.

e. Penyakit Neuron Motorik Sklerosis Lateral Amiotrofik


Pengertian Penyakit ALS (Sklerosis lateral amiotrofik). Sklerosis Lateral Amiotrofik atau
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) adalah penyakit saraf yang menyerang neuron yang
mengendalikan otot lurik. ALS ini merupakan penyakit penurunan fungsi (degeneratif) pada sel
saraf motorik yang berkembang dengan cepat dan disebabkan oleh kerusakan sel saraf.
Terkadang penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Lou Gehrig (Lou adalah seorang pemain
basket dari New York yang berhenti dari profesinya setelah dinyatakan menderita penyakit
tersebut), penyakit ini belum diketahui penyebab pasti dan pengobatannya.

Gejala Utama Penyakit ALS

1. Kelemahan Otot

20
2. Kram otot

3. Rasa geli

4. Kesulitan bernafas dan menelan

5. Kejang

6. Kelumpuhan

7. Kehilangan kendali pada otot

8. Ketidakmampuan untuk berdiri, berjalan atau mengangkat

9. Berbicara tidak jelas

10. Perasaan aneh mengenai kelelahan

11. Nyeri

12. Tersedak

13. Air liur berlebihan dan tidak terkendali

14. Atrofi (penyusutan) otot

15. Aliran balik (refluks) asam

16. Air liur berlebihan

17. Sembelit

18. Gangguan penyerapan nutrisi

Penyakit ini hanya berpengaruh terhadap saraf (neuron) motorik, sehingga pasien tidak
akan kehilangan fungsi kognitif dan kelainan mental lainnya. Dia juga dapat mempertahankan
fungsi tubuh lainnya seperti melihat, mendengar dan merasakan.

21
f. Meningitis Virus dan Ensefalitis
Meningitis adalah infeksi pada meninges (selaput pelindung) yang menyelimuti otak dan
saraf tulang belakang. Ketika meradang, meninges membengkak karena infeksi yang terjadi.
Sistem saraf dan otak bisa rusak pada beberapa kasus. Tiga gejala meningitis yang patut
diwaspadai adalah demam, sakit kepala, dan leher yang terasa kaku.
Gejala Meningitis yang Terjadi pada Anak-anak
Penyakit ini sering diderita oleh bayi dan anak-anak, tapi semua orang di segala usia bisa
mengidap meningitis juga. Tanda-tanda yang terjadi pada anak-anak adalah:

Mereka mungkin merasa gelisah, tapi tidak ingin disentuh

Demam tinggi dengan tangan dan kaki terasa dingin

Menangis seperti melengking (high pitched cry) secara terus menerus

Terlihat bingung, lemas, dan kurang responsif

Beberapa anak akan mudah mengantuk dan sulit dibangunkan

Mungkin ada ruam merah yang tidak hilang ketika gelas digulirkan dengan sedikit
ditekan di atasnya

Menolak menyusu atau makan disertai muntah

Kejang-kejang

Adapun gejala meningitis yang terjadi pada anak-anak yang lebih besar, remaja, dan
orang dewasa, meliputi:

Muntah-muntah

Sakit kepala parah

Leher kaku

22
Demam dengan tinggi suhu 38C atau lebih dengan kaki dan tangan terasa dingin

Napas cepat

Sensitif terhadap cahaya atau fotofobia

Ruam kulit berupa bintik-bintik merah yang tersebar (tidak terjadi pada semua orang)

Kejang-kejang

Terdapat kemungkinan bahwa tidak semua orang akan mengalami semua gejala-gejala di
atas. Cari bantuan medis secepatnya jika Anda melihat beberapa gejala meningitis terjadi pada
anak-anak.
Ensefalitis adalah peradangan pada jaringan otak setempat (lokal) atau seluruhnya
(difus). Ensefalitis berbeda dengan meningitis (radang selaput otak) dalam hal penyebab dan
proses terjadinya penyakit. Namun, ensefalitis sering disertai oleh peradangan selaput otak
sehingga disebut sebagai meningoensefalitis. Istilah ensefalitis mengacu pada peradangan otak
yang umumnya disebabkan oleh infeksi virus.
Gejala
Gejala ensefalitis akut bervariasi. Gejala awal pada orang dewasa berupa demam, nyeri
kepala, mual dan muntah, dan nyeri otot yang berlangsung selama beberapa hari. Gejala klasik
ensefalitis antara lain perubahan perilaku atau kepribadian, nyeri atau kaku leher, nyeri kepala,
silau, penurunan kesadaran, dan kejang. Pada anak, gejala berupa demam, muntah, rewel, ubun
ubun menonjol, menangis terus menerus dan lebih buruk jika digendong. Gejala spesifik pada
ensefalitis yang disebabkan oleh virus Epstein Barr, cytomegalovirus, campak dan virus
mumps adalah bercak kemerahan, pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati, limpa,
dan kelenjar liur.
Penyebab
Sebagian besar ensefalitis disebabkan oleh infeksi virus. Berbagai macam jenis virus dapat
menjadi penyebab, antara lain virus herpes simpleks, cytomegalovirus, virus varisela zoster, virus
Epstein Barr, virus campak, virus mumps, dan viru rubela. Paparan terhadap virus dapat terjadi melalui

23
makanan atau minuman yang terkontaminasi, gigitan nyamuk atau serangga lain, titik titik air liur
(droplet) dari orang yang menderita infeksi virus, dan kontak kulit.
Ensefalitis juga dapat disebabkan oleh hal lain seperti infeksi bakteri, parasit, atau jamur;
reaksi alergi; dan penyakit autoimun. Bakteri penyebab sifilis, tuberkulosis, dan penyakit Lyme
dapat menyebabkan ensefalitis. Ensefalitis akibat jamur dan parasit umumnya ditemukan pada
penderita penyakit gangguan sistem imun. Ensefalitis alergi dapat terjadi akibat reaksi imun
terhadap vaksinasi. Ensefalitis autoimun terjadi 2 3 minggu setelah infeksi virus ringan di
organ lain, dimana sistem imun tubuh menyerang jaringan otak sendiri karena adanya kemiripan
struktur jaringan otak dengan struktur virus tertentu.

g. Abses Otak

Abses otak adalah sejenis infeksi bakteri dan jamur, di mana ada nanah tertimbun di
jaringan otak. Orang yang menderita abses otak kebanyakan pada rentang usia 10-35 tahun.
Jarang sekali kasus pada usia jauh dari rentang usia tersebut. Beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan abses otak, yaitu:

Mengalami luka di kepala hingga ke otak

Bagian badan lainnya yang mengalami infeksi namun menyebar ke otak lewat pembuluh
darah

Komplikasi infeksi terhadap tindakan bedah

Adanya infeksi pada bagian kepala yang lain seperti hidung atau telinga

Sebanarnya abses otak jarang terjadi, namun sangat rentan menimpa seseorang yang
pernah melakukan transplantasi organ atau seseorang dengan gangguan imunatas tubuh
(HIV/AIDS).

Gejala
Seseorang yang menderita abses otak memiliki gejala seperti berikut ini:

Muntah-muntah

24
Mual

Rasa mengantuk

Kejang

Demam biasa

Mengalami gangguan fungsi otak lain

Mengalami gangguan kepribadian

Lemahnya otot di salah satu bagian sisi tubuh.

Pada dasarnya gejala-gejala yang ditimbulkan karena adanya abses di otak tersebut
dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran abses dan letak abses sendiri. Gejala dapat muncul dalam
kurun waktu hari atau beberapa minggu. Di awal akan merasa menggigil seperti orang demam,
namun ketika tubuh dapat membentengi dari infeksi itu, maka demam pun bisa hilang.

Patofisiologi
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar
otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma
kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap
bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi
lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik
perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada
pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag
mengelilingi jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama
kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal
kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi
perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu:

25
1. Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan
plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan meningkat
pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan
mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini
terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
2. Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis membesar
oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim
dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan
gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk
kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
3. Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast
meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum
mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh
karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu.
Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke
dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul
kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4. Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis
sebagai berikut:
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel
sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.

26
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel
nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis
media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses
lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.
h. Tumor Otak

Tumor otak adalah pertumbuhan sel-sel abnormal di dalam atau di sekitar otak secara
tidak wajar dan tidak terkendali, tapi tumor ini tidak selalu berubah menjadi kanker atau ganas.

Gejala Tumor Otak

Gejala tumor otak sangat berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Gejala yang muncul
dipengaruhi oleh ukuran, kecepatan pertumbuhan, dan lokasi tumor. Tumor yang tumbuh secara
perlahan-lahan mungkin awalnya tidak menimbulkan gejala apa pun. Setelah beberapa lama,
tumor akan memberi tekanan pada otak yang menyebabkan munculnya gejala seperti kejang-
kejang dan sakit kepala. Tumor otak yang berada pada lokasi tertentu dapat mengganggu sistem
kerja otak untuk berfungsi dengan benar.

Patofisiologi

Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis. Gejala-gejala terjadi berurutan. Hal ini
menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya sebaiknya
dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya dianggap
disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan intrakranial.
Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada
parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Tentu saja disfungsi yang paling besar terjadi
pada tumor yang tumbuh paling cepat. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan
tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan
dengan gangguan cerebrovaskuler primer.

Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro dihubungkan dengan


kompresi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapatumor membentuk kista

27
yang juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Peningkatan tekanan intra kranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor: bertambahnya massa
dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan perubahan sirkulasi cerebrospinal.
Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa, karena tumor akan mengambil ruang
yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas menimbulkan oedema dalam
jaruingan otak. Mekanisme belum seluruhnyanya dipahami, namun diduga disebabkan selisih
osmotik yang menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan oedema yang disebabkan kerusakan
sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume intrakranial. Observasi sirkulasi
cairan serebrospinaldari ventrikel laseral ke ruang sub arakhnoid menimbulkan hidrocepalus.

Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa, bila terjadi secara cepat
akibat salah satu penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi
memerlukan waktu berhari-hari/berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan oelh karena itu tidak
berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja
menurunkan volume darahintra kranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel
dan mengurangi sel-sel parenkim. Kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi
ulkus atau serebulum. Herniasi timbul bila girus medialis lobus temporals bergeser ke inferior
melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan men ensefalon
menyebabkab hilangnya kesadaran dan menenkan saraf ketiga. Pada herniasi serebulum, tonsil
sebelum bergeser ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior. Kompresi
medula oblongata dan henti nafas terjadi dengan cepat. Intrakranialyang cepat adalah bradicardi
progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi dan gangguan pernafasan).

2. Penyakit Neuromuskular
a. Miastenia Gravis
Miastenia gravis, yang kini dikenal sebagai bentuk penyakit autonium yang paling
diketahui, merupakan suatu penyakit otot yang disebabkan oleh hilangnya reseptor asetilkolin
akibat proses imunologik disertai pola sementara (temporal) dan pola anatomik yang khas serta
respons terhadap oat. Penyakit ini memiliki prevalensi sekitar 3 dari 100.000 orang. Jika timbul
sebelum usia 40 tahun, penyakit ini umumnya dijumpai pada wanita, tetapi pada kelompok usia
yang lebih tua kejadian penyakit setara untuk kedua jenis kelamin. Hyperplasia timus ditemukan
pada 65 % dan timoma pada 15 % pasien. Analisis transmisi neuromuskulus pada miastenia

28
gravis memperlihatkan penurunan jumlah reseptor asetilkolin (AChR), dan antibodi terhadap
AChR dijumpai hamper pada semua pasien miastenia gravis. Penyakit ini dapat ditularkan secara
pasif ke hewan melalui serum dari pasien yang terkena.
Gejala-gejala Myasthenia Gravis
Kondisi melemahnya otot adalah gejala utama penyakit myasthenia gravis. Indikasi
tersebut memiliki kecenderungan untuk menjadi makin parah jika otot yang lemah sering
digunakan.
Gejala pelemahan otot ini umumnya terjadi secara kambuhan dengan tingkat keparahan
yang berbeda-beda pada tiap penderita. Tetapi keparahannya akan berangsur-angsur meningkat.
Lemahnya otot biasanya tidak terasa sakit, tapi terdapat sebagian penderita yang merasa nyeri
saat gejala kambuh, terutama ketika melakukan aktivitas fisik.
Otot yang paling sering diserang penyakit ini adalah otot mata, otot wajah, dan otot yang
mengendalikan proses menelan. Gejala-gejala myasthenia gravis meliputi:

Salah satu atau kedua kelopak mata penderita yang turun.

Penglihatan ganda atau kabur.

Perubahan kualitas suara, misalnya menjadi sengau atau pelan.

Sulit menelan dan mengunyah. Gejala ini akan menyebabkan penderita mudah tersedak.

Sulit bernapas, terutama saat beraktivitas atau berbaring.

Ekspresi wajah yang terbatas, misalnya sulit tersenyum.

Melemahnya otot tangan, kaki, dan leher. Gejala ini akan memicu gangguan mobilitas,
seperti pincang atau kesulitan mengangkat barang.

Jika Anda merasakan gejala-gejala tersebut, segera periksakan diri ke dokter agar
diagnosis dan penanganan yang tepat dapat dilakukan.

29
Penyebab Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis termasuk dalam kondisi autoimun. Sistem kekebalan tubuh pada
pengidap memproduksi antibodi yang menghalangi kinerja atau menghancurkan sel-sel saraf
pada otot. Penyebab keabnormalan antibodi ini belum diketahui secara pasti.

Asetilkolin adalah salah satu senyawa neurotransmiter yang dapat mengaktifkan reseptor
otot untuk berkontraksi. Jika kinerjanya terhambat oleh antibodi, jalur komunikasi saraf dan otot
akhirnya terputus sehingga pengidap myasthenia gravis akan mengalami lemas otot dan mudah
lelah.

Para pakar juga menduga bahwa kelenjar timus berperan dalam munculnya penyakit
autoimun ini. Pada kondisi normal, ukuran kelenjar timus seseorang akan membesar selama
masa kanak-kanak dan menyusut menjelang dewasa. Tetapi pengidap myasthenia gravis dewasa
umumnya mengalami keabnormalan dengan memiliki kelenjar timus yang berukuran besar.
Sekitar 1 dari 10 penderita myasthenia gravis memiliki tumor jinak pada kelenjar timus.

b. Chorea
Chorea adalah gerakan involunter yang cepat, menyentak, pendek dan berulang-ulang
yang dimulai satu bagian tubuh dan bergerak dengan tiba-tiba, tak terduga, dan seringkali secara
terus-menerus sampai bagian tubuh lainnya yang menghasilkan berbagai pola gerakan. Pertama-
tama bagian perifer dari ekstremitas terlibat bagian proksimal akan mengikuti. Sentakan
involunter pada wajah menghasilkan wajah yang menyeringai. Yang paling penting adalah
chorea huntington, suatu penyakit degeneratif dominan, herediter uang timbul pada usia
pertengahan. Gerakan pada umum nya tidak tersentak-sentak seperti pada chorea minor. Gerakan
yang lebih komplek dan kadang-kadang lambat seperti gerakan athetosis. Mungkin terdapat
puntiran, seperti tenaga putaran, dan serupa seperti distonia torsi. Ekstremitas proksimal, tubuh
dan otot-otot wajah yang terutama terlibat menyebabkan wajah menyeringai dan retraksi dari
lidah. Bicara dan menelan menjadi sulit. Hipertonia yang terjadi dini, kemudian berubar menjadi
rigor. Penemuan paatologis terdiri dari atrofi korpus striata yang berkaitan dengan hilangnya
neuron-neuron kecil. Neuron kortikal juga dapat berdegenerasi dan penyakit dapat berakhir

30
dengan demensia. Gerakan chorea dengan perkembangan lambat yang sama mungkin merupakan
keadaan yang simptomatik, yaitu sekunder terhadap penyakit otak lainnya (ensefaflitis,
keracunan karbon monoksida, penyakit vaskuler).

c. Atetosis

Athetosis adalah aliran gerakan yang lambat, mengalir, menggeliat di luar kesadaran.
Gangguan kinetik ini biasanya disebabkan oleh kerusakan perinatal dari korpus striata.
Kerusakan ini mengambil bentuk hilang nya sirkulasi neuron-neuron kecil, menimbulkan
jaringan parut glial seperti vena-vena dalam marmer, sehingga di sebut status marmorartus.
Gerakan involunter menjadi lambat dengan kecendrungan untuk ekstensi berlebihan dari
ekstremitas bagian perifer. sebagai tambahan, terdapat peningkatan spasmodik yang irreguler
dari tegangan otot antara agonis dan antagonis, sehingga gerakan dan sikap tubuh menjadi aneh.
Gerakan voluntger berubah hebat oleh penaampilan secara spontan dari gerakan hiperkinetik
yang mungki melibatkan wajah dan lidah sehingga menyebabkan wajah menyeringai dengan
gerakan lidah yang abnormal. Mungkin terdapat ledakan spasmodik, tertawa atau menangis.
Athetosis mungkin terjadi bersamaan dengan paresis kontralateral; juga dapat ditemukan
bilateral yang di sebut athetosis ganda, yang biasanya terjadi berkaitan dengan paraplegia spastik
(penyakit little, sindrom vogt). Intelegensia dapat dipertahankan

Chorea dan athetosis, yang mungkin terjadi bersama sebagai choreoathetosis, adalah
bukan penyakit. Namun demikian, mereka adalah gejala yang bisa diakibatkan oleh beberapa
peyakit yang sangat berbeda satu sama lain. Chorea dan athetosis diakibatkan oleh over-aktivitas
pada dasar ganglia, bagian otak yang membantu mempermudah dan mengkoordinasikan gerakan
yang dimulai oleh impuls syaraf dari otak. Pada kebanyakan bentuk chorea, kelebihan dopamine,
neurotransmitter utama yang dipakai di basal ganglia, mencegah basal ganglia dari fungsinya
secara normal. Obat dan penyakit yang meningkatkan kadar dopamine atau meningkatkan
sensitivitas sel syaraf ke dopamine cenderung memperburuk chorea dan athetosis.

Chorea kadang-kadang berkembang pada orang yang lebih tua oleh sebab yang tak nyata.
Chorea ini, disebut chorea senilis, cenderung mempengaruhi otot di sekitar mulut. Chorea juga
bisa mempengaruhi wanita selama 3 bulan pertama kehamilan (suatu kondisi yang disebut
chorea gravidarum), tetapi hilang tanpa pengobatan sesaat sesudah mereka melahirkan. Jarang,

31
semacam chorea terjadi pada wanita yang meminum pil kontrasepsi. Chorea bisa juga adalah
akibat dari lupus (sistemik lupus erythematosus), over-aktivitas kelenjar gondok
(hyperthyroidism), suatu tumor atau stroke yang mempengaruhi sebagian basal ganglia yang
disebut caudate nukleus, dan obat tertentu seperti obat antipsikotis.

Obat yang dapat diberikan seperti yang memblokade dopamin dapat diberikan seperti
haloperidol dan risperidon.. pemberian antikonvulsan seperti diazepam judga dapat bermanfaat.

d. Ragiditas
Definisi Spastisitas atau hipertonus otot merupakan kelainan sistem saraf pusat yang
ditandai oleh otot yang terus menerus menerima impuls untuk menjadi kaku. Saraf yang
menginervasi otot tidak dapat mengendalikan impuls yang masuk sehingga otot terus-menerus
mengalami hipertonus. Akibatnya, terjadi kelelahan otot yang berpengaruh terhadap gait dan
gerakan, dan terkadang juga menyebabkan gangguan bicara. Spastisitas yang paling umum
dijumpai adalah diplegia spastik; bentuk lain dari spastisitas adalah cerebral palsy; pada keadaan
ini, terjadi kerusakan ganglia basalis permanen dan senantiasa memberat. Spastisitas juga dapat
terjadi pada penderita sklerosis multipel.

e. Tremor
Adalah suatu gerakan gemetar yang berirama dan tidak terkendali, yang terjadi karena
otot berkontraksi dan berelaksasi secara berulang-ulang. Terdapat dua sirkuit saraf yang sangat
penting dalam tremorogenesis. Salah satunya adalah loop corticostriatothalamocortical melalui
ganglia basal, yang secara fisiologis tugasnya adalah melakukan penggabungan kelompok otot
yang berbeda untuk melakukan gerakan yang kompleks. Loop ini juga memastikan bahwa
gerakan yang sedang berlangsung tidak akan dihentikan atau terganggu oleh pengaruh oleh hal-
hal yang tidak relevan. Sirkuit yang lainnya meliputi red nucleus, inferior olivary nucleus (ION),
dan dentate nucleus, yang membentuk segitiga Guillain and Mollaret (Guillain-Mollaret
triangle). Tugas utama fisiologis sirkuit ini adalah untuk menyempurnakan gerakan presisi. Di
antara komponen-komponennya, yakni ION, memiliki peran paling penting dalam asal-usul
tremor. Neuron dari ION menerima input dari red nucleus, kemudian ditransmisikan ke sel-sel

32
serat Purkinje di cerebellar cortex. Masing-masing neuron ION, yang terhubung oleh gap
junction, dapat bertindak sebagai sinkronisasi saraf ansambel. Di dalam tubuh manusia yang
sehat, gerakan neuron ION menunjukkan depolarisasi yang dilakukan oleh kalsium-channel.
Gerakan ini memberikan efek fisiologis sebagai pacemaker saat pemrosesan dan koordinasi
temporal dari modulasi cerebellum dalam kecermatan pergerakan. Lesi struktural karena
substansi kimia yang memperngaruhi sirkuit ini dapat menyebabkan tremor.

33
BAB III
PENUTUP

34
DAFTAR PUSTAKA
Cambridge, Communication Limited. 1998. Anatomi fisiologi, Kelenjar endokrin dan sistem
persyarafan, Edisi 2. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A dan Lorrane M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Vol 2. Jakarta: EGC

Stefan Silbernagl. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC

35

Anda mungkin juga menyukai