Anda di halaman 1dari 26

Pendahuluan

Kusta termasuk penyakit tertua, kata kusta berasal dari bahasa India yaitu kustha, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti
oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada anggot tubuh terutama
bagian kaki. Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae termasuk bakteri gram negatif yang tahan asam. Mycobacterium leprae sudah tidak
terlalu banyak penderitanya saat ini, namun di beberapa daerah di Indonesia M leprae masih
bisa ditemukan.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan hasil pembelajaran mandiri
penulis mengenai penyakit lepra, dimana didalamnya memuat mengenati epidemiologi,
etiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan, diagnosis banding, pengobatan dan
penatalaksanaan serta prognosis dari penyakit kusta.

Epidemiologi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya terutama di negara
berkembang, merupakan penyakit bersifat endemki diseluruh dunia kecuali Antartika. Di
Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah ditemukan endemik dari kusta. Di bagian
Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta
terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki
angka tertinggi dari kusta.3

Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20 tahun
ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus pada
tahun 2006. WHO memiliki target untuk menghilangkan M. leprae di dekade berikutnya,
meskipun saat ini masih ada banyak penderita penyakit kusta.4

Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama penderita
kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun
pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan
memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh
penderita yang fase lepromatus leprosi.1,2,3,4

Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan
klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah
secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa
tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun.1
1
Sampai saat ini kusta hanya pernah ditemukan menginfeksi manusia, dan pernah dilaporkan
ditemukan pada armadilo liar. Hal ini juga menjadi pemersulit pembiakkan M leprae. M
leprae belum dapat dibiakkan dengan medium buatan maupun biakan sel, hanya dapat
tumbuh pada mouse footpad dan armadilo.1

Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat
menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di
bawah umur 14 tahun, didapatkan 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali.
Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari
kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang
dengan usia 25-35 tahun.1

Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, dari data
penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya,
sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan akan semakin
membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae
yang mengakibatkan gambaran klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan
faktor genetik yang berbeda.1

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,
mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga
karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang
ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya anestetik
disertai paralisis dan atrofi otot.1

Etiologi

Kuman penyebab dari kusta adalah Mycobacterium leprae. M leprae merupakan basil tahan
asam berukuran panjang 4 7 m dan lebar 0,3 0,4 m. Genom M leprae ada 3.3 juta
pasang, dengan kurang lebih 1600 gen.3

Patogenesis

2
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginoklusikan M leprae pada kaki mencit dan
berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai sepesimen, bentuk lesi maupun
negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tubuh diperlukan
jumlah minimum M leprae di tempat suntikkan namun jumlah maksimal tidak berarti
meningkatkan perkembangbiakan.

Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r, sehingga
kehilangan respon imun selularnya akan menghasilkan granuloma penuh kuman terutama di
bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan ekor. Kuman tersebut
selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun
belum seluruhnya dapat dipenuhi.Sebenarnya M leprae mempunyai patogenisitas dan daya
invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidak seimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda,
yang merangsang timbulnya granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat sembuh atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intesitas infeksinya.1,3

Telah sedikit dipahami mengenai perbedaan reaksi dari M leprae pada individu yang berbeda.
Kromosom 10p13 merupakan lokus yang mengandung kode dari reseptor mannose C yang
mempunyai peranan penting pada rekasi selluler dari M leprae. Pada umumnya, kusta
ditemukan berkaitan dengan HLA-DR2.

Gejala Klinis

Bila kuman M leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler
(SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, dan bila
keadaan SIS nya rendah akan memberikan gambaran lepromatosa.1-4

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar yakni
tuberkuloid 100% merupakan tipe yang stabil. Jadi berarti tidak mungkin berubah tipe.
Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe
yang stabil dan tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut sebagai
tipe borderline, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
3
cammpurang yang terdiri dari 50% tubekuloid dan 50% lepromatosanya. BT dan Ti lebih
banyak tuberkuloidnya sementara BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun
ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat di tabel di bawah
ini.

Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta


Ridley dan TT BT BB BL LL
Jopling
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Puskesmas PB MB

Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa
perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)

Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Mid Borderline (BB)


Lepromatosa (BL)
Lesi:
Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shaped (kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus

Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit


praktis tidak ada masih ada kulit sehat sehat jelas ada
kulit sehat
Simetris Hampir simetris Asimetris
Distribusi
Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
Permukaan
berkilat
Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Batas

Tidak ada sampai Tak jelas Lebih jelas


4
Anestesia tidak jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

Sekret hidung Bannyak (ada Biasanya negatif Negatif


globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)

Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline Indeterminate


Tuberculoid (BT) (I)
Lesi
Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat: infiltrat saja

Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
Asimetris Masih asimetris Variasi
Distribusi
Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
Permukaan
Jelas Jelas Dapat jelas atau
Batas
dapat tidak jelas
Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
Anestesia jelas
BTA
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif
negatif 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negative

Kusta Indeterminate merupakan kusta yang palin ringan dimana hanya sangat kecil atau
terbatas mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit bakteri yang ditemukan dan dengan
tes lepromin sering kali hanya memberikan positif lemah. Di bawah mikroskop, dapat dilihat
peradangan hanya minimal dan tidak tipikal. Kusta Indeteminate sering kali hanya pada satu
bagian tubuh, asimptomatik, berupa makula hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm.
Kusta indeterminate sering kali ditemukan di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari
ekstremitas. Bila multipel lesi yang terjadi penyebarannya tidak simetris. Sensasi kulit
5
mungkin sedikit berkurang namun fungsi dari kelenjar keringat masih normal. Penebalan
saraf biasanya hanya ditemukan pada satu saraf.5

Kusta Lepromatous merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M. leprae yang
progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada lesi kulit. Lesi kulit umumnya
asimetris, kecil, bersinar dan umunya konfluen. Plaq infiltrat memiliki batas yang tidak tegas
dengan warna merah kecoklatan, dimana sering kali berubah tergantung warna kulit
penderita. Tempat yang sering terkena adalah wajah dengan infiltrasi di bagian depan kepala,
dagu, hidung, dan telinga yang sering mengakibatkan deformitas pada wajah yang disebut
leonine facies (lions face). Tanda lain yang sering terjadi adalah madarosis. Dengan
berkembangnya penyakit anestesia dan kekeringan kulit juga akan semakin parah. Daerah
tubuh yang hangat akan terhindar seperti bagian axilla, inguinal, perineum, dan scalp.

Mukosa hidung merupakan bagian yang hampir selalu terserang. Kelainan kronik dari hidung
seperi hemorrhagic sering kali ditemukan pada penderita kusta di daerah endemis. Serangan
M. leprae pada hidung akan menganggu proses pernafasan dan merusak septum nasal dan
mengakibatkan hidung kehilangan substansinya (clover leaf nose). Mukosa lain seperti bibir,
mulut dan laring juga dapat terkena infiltrasi dari M leprae. Infiltrasi juga dapat mengenai
mata dibagian konjungtiva, kornea dan badan ciliary.5

Kerusakan saraf perifer umumnya muncul dalam waktu yang lama. Kerusakan saraf tepi
mulanya mengenai saraf sensoris dan umumnya simeteris di bagian ekstensor. Kehilangan
sensoris kemudian secara perlahan akan menyebar ke bagian tengah tubuh. Rasa sakit jarang
terjadi karna infeksi M leprae pada saraf sensoris. Saraf otonom juga terkena dengan ditandai
adanya kehilangan fungsi dari kelenjar keringat dan kelainan vasomotor pembuluh darah tepi.
Pada lepromatous leprosi, terkenanya saraf motor yang besar lebih sering terjadi
dibandingkan lepra tipe tubekuloid. Pada keadaan lepra lepromatosa yang lebih berat bisa
mengakibatkan tangan dan kaki mengecil, karena terjadinya osteoporosis dengan fraktur
kompresi. Adanya trauma yang tidak disadari penderita dan infeksi sekunder juga bisa
mengakibatkan kecacatan. Beberapa pasien memiliki limfeadenopathy. Infiltrat kadang-
kadang dapat ditemukan pada testis yang bisa mengakibatkan kemandulan dan
gynecomastia.5

Lepra tuberkuloid merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak terlalu
banyak di tubuh dan keadaan sistem imun seluler tubuh penderita yang masih baik.
Kerusakan saraf juga terjadi tetapi tidak sistemik. Lesi yang terjadi umumnya asimetris,
6
jumlahnya sedikit, dan menyebar dengan sangat pelan. Mulanya bewarna merah atau merah
keunguan, dan berupa makula atau papula. Kemudai secara perlahan membesar, dengan batas
yang tegas, dan memperlihatkan bagian tengah yang bersih dengan atrofi yang halus, bersisik
dan hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian gluteus, punggung, wajah dan ekstensor
ekstremitas. Hilangnya sensasi, anhidrosis dan hilangnya rambut juga terjadi.

Inflamasi granul akan mengakibatkan kerusakan pada saraf tepi yang mengakibatkan
hilangnya fungsi saraf tersebut. Gangguan fungsi sensoris merupakan kelainan saraf yang
awal, selanjutnya dapat mengakibatkan paralisis dan akhirnya mengakibatkan atrofi otot.
Kerusakan pada saraf wajah juga dapat terjadi dan mengakibatkan kelainan ekpresi wajah
dimana wajahnya menjadi tidak berekspresi atau Antonine facies. Paralisis pada otot-otot
vocal juga dapa terjadi.5

Masalah yang terberat daripada kusta tuberkuloid adalah bila kerusakan saraf mencapai di
bagian saraf yang menggerakan ekstremitar. Saraf yang terkenan umumny adalah saraf yang
lebih superficialis dan mudah terkena trauma. Kerusakan saraf bisa mengenai N. ulnaris dan
N medialis yang mengakibatkan terjadinya perubahan tangan yang berbentuk clawing lateral
maupun medial. Pada kaki, bila yang terkena adalah sara peroneal akan mengakibatkan
terjadinya foot drop dan bila mengenai saraf tibialis posterior akan mengakibarkan terjadinya
anestesia pada telapak kaki. Sebagai hasil kerusakan saraf dapat mengakibatkan kulit yang
kering, proses penyembuhan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, paralisis otot,
respon terhadap trauma yang kecil.Dalam keadaan ini bila ada trauma kecil seperti menginjak
batu, atau bahkan karna trauma panas pada kulit, penderita tidak akan merasakan apa-apa
sehingga bisa mengakibatkan terjadi kerusakan yang besar.

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang
termasuk tipe multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+.1

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud
dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit,
yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut
disertai dengan BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta
MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1
7
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun
1995. WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan
saraf yang terkena. Hal ini dapat di lihat di tabel di bawah ini

Tabel 4. Bagan klinis menurut WHO (1995)

Sifat PB MB
1. Lesi kulit 1 5 lesi Lebih dari 5 lesi
(makula datar, papul yang Hipopigmentasi/erit Distribusi lebih
meninggi, nodus) ema simetris
Distribusi tidak Hilangnya sensasi
simetris kurang jelas
Hilangnya sensasi
yang jelas
2. Kerusakan saraf Hanya satu cabang Banyak cabang
(menyebabkan hilangnya saraf
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)

Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat
persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus
didasarkan kepada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya
jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis
klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi
(kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya. Begitu juga dengan dasar diagnosis
histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya di ambil.
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klini, dimulai dengan inspkesi, palpasi, lalu
dilakukan pemeriksaan dengan alat yang sederhana misalnya jarum, kapas, tabung rekasi
masing-masing air panas dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.1

Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja,
infiltrat saja atau keduaya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada tidaknya anestesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak selalu jelas. Hal ini dengan
mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba

8
dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah pengujian terhadap rasa suhu
yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada
kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya. Gangguan
fungsi motoris diperiksan dengan menggunakan Voluntary Muscle Test (VMT).1

Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsitensi, ada
atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberaoa saraf superfisial yang dapat dan
perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus,
N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf
biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1

Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakang menjadi 2 yaitu
deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak
jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan
wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan
pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Cacat sekunder dapat berupa
kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1

Gejala-gejala kerusakan saraf karena kusta diantaranya:

a. N. Ulnaris:
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Clawing kelingking dan jari manis
Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medial

b. N. medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
9
c. N. Radialis
Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
d. N. popliteal lateralis
Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaku gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
e. N. tibialis posterior
Anestesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
f. N. fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
g. N. trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.

Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit
dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloa
pada tubulus seminiferus testis.1

Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih dahulu cara
membuat diagnosis kedua bentuk polat TT dan LL yang telah diuraikan secara sistematis
pada tabel 1 diatas.

Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid dan kusta tipe neural:

a. Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang pertama
dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yag
10
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisiten.
b. Kusta tipe neural
Kusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut:
Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
Ada satu atau lebih pembesara saraf
Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang
disarafinya
Bakterioskopik negatif
Tes Mitsuda umumnya positif
Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau tipe
nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.

Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya
sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui dengan pasti sampai saat ini.
Mengenai patofisiologi yang belum jelas tersebut akan diterangkan secara imunologik.
Dimana reaksi imun tubuh kita dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi
imun patologik dan reaksi kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan
menjadi eritema nodosum leprosum (ENL) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.1

ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin
tinggi tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan timbulnya ENL. Secara
imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompelks imun
akibat reaksi antara antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian
akan menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini maka ENL
termasuk di dalam golongan penyakit komplek imun. Kadar antibodi imunoglobulin
penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena
pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebig banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih
banyak terjadi pada saat pengobata. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan
hancur yang kemudian kuman kuman lepra ini akan menjadi antigen, dengan demikian
akan meningkatkan terbentuknya komplek imun. Kompleks imun ini terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap dan melibatkan berbagai organ.1

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat mengakibatkan gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
11
adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat
diterangkan secara imunologik.

Pada reaksi ENL tidak terjadi perubahan tipe kusta, lain halnya dengan reaksi reversal yang
terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi
borderline. Yang memegang pernanan utama dalam reaksi kusta ini adalah sistem imunitas
seluler, yaitu bila terjadi peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun faktor pencetusnya
belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman M leprae berada, yaitu pada
saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat
menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan
segera yang memadai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas yang memiliki peranan untuk
menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat berubah
menjadi tipe TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe
selalu terjadi perubahan SIS juga. Begitu pula reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah
TT dengan disertai peningkatan SIS hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.1

Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta saat ini sudah hampir tidak pernah
digunakan lagi, downgrading merupakan kata yang menggambarkan proses perubahan ke
arah lepromatosa.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema menjadi eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi
infiltrat semakin infiltrat lagi, dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis
akut perlu diperhatikan karena sangat menentukan prognosis dari pengobatan, bila ada
neuritis maka penggunaan kortikosteroid diperlukan untuk mengurangi reaksi peradangan.

Pada beberapa kasus kusta dapat ditemukan fenomena Lucio. Fenomena lucio merupakan
reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus.
Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, di negara lain
prevalensinya rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah
muda, bentuk rak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama pada ekstremitas, kemudian meluas
ke seluruh tubuh. Lesi yang berat akan semakin eritematosa, disertai purpura dan bula
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh
dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
12
Gambaran histopatologik dari fenomena lucio menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi enodetelial pembuh darah
lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan
infiltrat polimorfonuklear seperti pada ENL, namun dengan imunofloureseni tampak deposti
imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.

Pemeriksaan
Pada penyakit kusta pemeriksaan yang bisa dilakukan umumny adalah inspeksi, selain
itu pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan anestesi dengan
menggunakan jarum atau kapas seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pemeriksaan juga
bisa dilakukan dengan pemeriksaan dengan menggunakan tinta. Selain pemeriksaan
terserbut ada beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menunjang diagnosa
kusta.
Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopin digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat kerokan jaringan kulit atau usapan
dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai degan pewarnaan terhadap basil tahan
asam (BTA), yaitu Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.1
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya yaitu untuk riset atau rutin.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimmal 2-4 lesi lain yang
paling aktif, berarti yang paling eritamtosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua
cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut
oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung
kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus
dicatat, guna pengambilan ditempat yang sama pada pegamatan pengobatan untuk
dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi
iskemik, sehingga kerokan jaringan mengadung sedikit mungkin darah yang akan
menganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan
banyak mengadung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya mengandung kuman
13
M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api,
kemudian diwarnai dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl-Neelsen dan cara-
cara lain.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pagi
hari yang ditampung dengan sehelai plastik. Perhatikan sifat cairang hidung
tersebut apakah cair, serosa, bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah
atau tidak. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya
diambil di daerah septum nasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa.
Sediaan mukosa hidung sudah jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M.
atipik, M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif, bila diobati, hasil
pemeriksaan mukosa hidung negatif terlebih dahulu, rasa nyeri saat pengambilan.1
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan, dibedakan bentuk
utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granuler). Bentuk solid
adalah kuman hidup, sedangkan fragmented dan granuler merupakan bentuk mati.
Secara teori penting untuk membedakan bentuk solid dan nonsolid, berarti
membdekan antara M. leprae yang hidup dan yang mati. Dalam praktik susah
untuk membedakan bentuk yang solid dan yang tidak solid karena dipengaruhi
banyak faktor.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut
Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalag IB rata-rata semua lesi yang
dibuat sediaan.
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan denan jumlah
solid dan nonsolid.
Rumus :
jumlah solid
x 100
jumlah solid+ nonsolid
Syarat perhitungan:
Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

14
IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100 BTA
harus mencapai dalam 1000 sampai 10.000 lapangan pandang
Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum
harus dicari dalam 100 lapangan.

Ada pendapat bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-
nya tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh
diperkecil atau diperbesat.

Pemeriksaan Histopatologik
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis, kalau ada kuman M
leprae masuk, tergantung pada sistem kekebalan seluler orang tersebut bila sistem
imunitas selulernya baik maka makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.
Datangnya histiosit ketempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan
adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang
harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat
bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya
massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae
yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasaan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada
kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di
bawah epidermis yang jaringannnya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan
banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.

15
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat
membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit misalnya
pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta lainnya
adalah:
Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)
Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)
ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

Diagnosis Banding
Dermatofitosis
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan
jamur golongan dermatofita. Umumnya dermatofitosis pada manusia
disebabkan oleh jamur genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton.
Jamur ini dapat menyebabkan kelainan pada kulit, kuku dan rambut. Namun
untuk diagnosis pembanding dari lesi kulit karena lepra lebih mengarah ke tinea
korporis. Kelainan kulit yang dapat dilihat dari klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah tengahnya cendrung lebih tenang.
Gambaran kelainan pada dermatofitosis ini mirip dengan lesi kulit yang terjadi
pada leprae terutama dalam bentuk TT. Untuk membedakannya kerokan dapat
dilakukan baik dengan KOH atau pewarnaa Ziel-Neelsen. Cara yang paling
mudah yaitu dengan menguji keadaan saraf sensoris pada kulit. Pemeriksaan
dengan Woods light juga dapat digunaka untuk membedakan tinea korporis
yang disebabkan oleh M. canis yang memberikan warna bewarna hijau-kuning.
Tinea versikolor
Tinea verikolor merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Malassezia
furfur. Merupakan penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak
memberikan keluhan subyektif berupa bercak skuama halus yang berwarna
putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat
menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala
yang berambut.
Kelainan pada pitiriasis versikolor juga dapat berupa lesi yang bewarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Lesi pada leprae
kadang bisa sangat mirip dengan kelainan pitiriasis versikolor. Tapi pada
16
pitiriasis versikolor akan memberikan flouresensi bila diberikan cahaya dengan
woods light yaitu akan bewarna hijau-kebiruan. Tes sensibilitas saraf sensoris
juga dapat dilakukan untuk mebedakannya, kerokan juga bisa.
Pitriasis rosea
Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, dimulai
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badang, lengan dan paha atas yang
tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8
minggu. Gejala konstitusi umumnya tidak terdapat, sebagian penderita
mengeluh gatal ringan. Penyakit dimulai dengan adanya lesi pertama (herald
patch), umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular diameternya kira-
kira 3 cm. Ruam terdiri dari eritema dan skuama halus dipinggir. Lamanya
beberapa hari hingga beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4 10 hari
setelah lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, hingga
menyerupai pohon cemara terbalik. Lesinya mirip dengan lesi pada kusta.
Pitriasis alba
Pitiriasi alba merupaja bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum
diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skauma
halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi.
Terjadinya diduga karena infeksi dari Streptococcus, tetapi belum dapat
dibuktikan. Pitiriasis alba memiliki lesi yang berbentuk bulat, oval atau plakat
yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama
halus. Setelah eritema hilang lesi dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama
halus.
Dermatitis seboroika
Dermatitis seboroika dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh
faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Kelainan
kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan,
batasnya agak kurang tegas. D.S. yang ringan hanya mengenai kulit kepala
berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian
mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama yang halus dan kasar. Kelainan
tersebut disebut pitiriasis sika (ketombe dandruff). Bentuk yang berminyak
disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta yang
tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan rontok, mulai di
bagian verteks dan frontal.

17
Psoriasis
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan
lilin, Auspitz dan Kobner. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang
meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata,
tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema ditengah menghilang dan
hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis dan kasar dan bewarna putih
mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi.

Pengobatan

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diamniodifeni sulfon)
kemudian kloafizimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat
antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.

Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug treatment
(MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971. Pada saat ini ada
berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi
WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling
dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS karena DDS adalah obat antikusta yang paling
banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara
berkembang dengan sosial ekonomi rendah.

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:

Mencegah dan mengobat resistensi


Memperpendek masa pengobatan
Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:

Efek terapeutik obat


Efek samping obat
Ketersediaan obat
Harga obat
Kemungkinan penerapannya

DDS

18
DDS merupakan obat pertama yang berhasil untuk mengobati M leprae yang dalam keadaan
dorman atau sleeping. Dengan DDS kuman aktif kembali dan akhirnya bisa mati karena efek
DDS. Memang ada beberapa kasus kusta yang resisten terhadap DDS, kusta yang resisten
terhadap DDS adalah tipe multibasiler tidak pernah dilaporkan ada kusta tipe pausibasiler
yang resisten terhadap DDS, karena pad kusta pausibasiler kadar SIS dalam darah penderita
tinggi dan tidak perlu waktu lama untuk membunuh kuman yang tersisa.

Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi pada
penderita yang ditulari oleh M leprae yang telah resisten dan manifestasinya dapat dalam
berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada kadar SIS penderita. Derajat
resistensinya yang rendah dapat diobati degan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada
derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi dari DDS dapat terjadi
karena monoterapi DDS, dosis yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, minum obat
tidak adekuat baik dosis maupun lama pemberiannya, pengobatan terlalu lama, setelah 4-24
tahun.

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemina hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksis, hepatitis,
hipoalbuminemia dan methemoglibinemia.

Rifampisin

Rifampisin adalah salah satu obat yang menjadi sala satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10 mg / kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi,
tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan tidak boleh diberikan setiap minggu
karena efek sampingnya. Efek samping yang dapat terjadi adalah hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi obat.

Klofazimin (lamprene)

Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg
setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasti sehingga dpat digunakan pada ENL dengan dosis
yang lebih besar yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.
Resistensi pertama pada satu kasus telah dibuktikan pada tahun 1982.

19
Efek sampingnya adalah perubahan warna kulit menjadi merah kecoklatan pada kulit dan
warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis yang lebih besar.
Hal ini bisa terjadi karena Klofazimin merupakan zat warna yang dideposit terutama pada sel
sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun
menghilangnya lambat sejak penggunaan obat dihentikan. Efek samping lain yang terjadi
karena penggunaan dosis besar adalah nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus.
Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.

Protionamid

Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini jarang
digunakan. Distribusi protionamid di dalam tubuh tidak merata sehingga kadar hambat
minimalnya sukat ditentukan.

Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang panting aktif terhadap. Mycobacterium


leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22
dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek
sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan
susuanan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
Walaupun demikian hal ini jarang membutuhkan penghentian pemakainan obat.

Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui haru hati-hati, karena dalam
percobaan pada hewan muda kuinolon mengakibtakan atropati.

Minosiklin

Termasuk kedalam golongan tertasiklin, mempunyai efek bakterisid yang lebih tinggi dari
pada klofazimin tetapi lebih rendah dibandingkan rifampisin. Dosis harian yang bisa
diberikan adalah 100 mg. Efek samping dari penggunaan minoksidil adalah sama seperti
tertrasiklin dapat mengakibatkan berubahnya warna gigi pada anak, kadang-kadang dapat
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai saluran cerna dan
susunan saraf pusat, termasuk dizzined, dan unsteadiness. Oleh sebab itu minosiklin tidak
boleh diberikan pada anak-anak dan ibu yang hamil.

Klaritromisin

20
Merupakan kelompok antibiotik makrolif dan mempunyai aktivitas baktersid terhadap M
leprae. Pada penderita kusta lepromatosa dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman
hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 200 mg.

Sediaan obat-obat di atas merupakan obat dapat di sesuaikan dengan tipe dari kusta,
beberapa terapi kombinasi yang dapat dilakukan adalah:

MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif)

Untuk kusta tipe multibasiler dapat digunaka:

Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengunaannya harus diawasi


DDS 100 mg setiap hari
Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari atau
100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.

Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan
syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis harus negatif. Apabila
bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara kinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta
multibasiler ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat
singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelumnya
yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup. Penghentian pemberian
obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut
(tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada
keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Releas From Control
(RFC).

Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian oral dapat
dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.

MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT dengan BTA negatif) adalah:


Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
DDS 100 mg setiap hari

21
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah
6-9 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan pemeriksaan
secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis,
dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.

Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksaan RFC. Apabila RFT telah
tercapai tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi diawasi sampai RFC,
walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan diberlakukan kembali antara lain untuk
mengawasi adanya reaksi dan relaps.

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta


dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan lesi 2-5
buah, dan penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah.

Sebagai standar pengobatan. WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah
memperpendek masa pengobatan menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan
pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulot 2-5 bulan tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi
kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan
Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.

Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapat klofa-zimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi
klofazimin 50 mg, ofloksasin 400mg dan minoksiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan,
diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400mg atau minoksiklin 100 mg setiap hari
selama 18 bulan.

Pengobatan ENL

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosterois, antara lain prednisolon. Dosisnya
bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisolon 15-30 mg sehari, kadang-
kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi perlu diberikan 15-30 mg
sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya
bia reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai diberhentikan sama sekali. Perhatikan kontraindikasi

22
pemakaian kortikesteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedative atau
bila berat, penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan kortikosteroid dapat
mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau
diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikostreoid terus
menerus.

Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus berhati-hati
karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa
subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat.

Klofazimin kecuali kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi
ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi,
makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih
lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan
perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak
penderita ialah bahwa kulit menjadi bewarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi.
Tapi masih bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan.
Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penaggulangan ENL
ini,obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan reaksi reversal

Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis
akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama
adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat
makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisolon 40 mg sehari, kemudian diturunkan
perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk
mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan
terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgetik dan sedativ kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal
kurang efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif untuk
reaksi reversal.

23
Pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta Direktorat Jendral
Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen Kesehatan
Indonesia dapat dilihat skema di bawah ini.

Tabel 5. Pemberian Prednisolon

Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan


Minggu 1 2 40 mg
Minggu 3 4 30 mg
Minggu 5 6 20 mg
Minggu 7 8 15 mg
Minggu 9 10 10 mg
Minggu 11 12 5 mg

Pemberian lampren

ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid (pemberian
prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahakn klofazimin untuk dewasa
300 mg/ hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-
3 bulan. Jika ada perbaikan diturunkan menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutnya
kembali ke dosis klofazimin semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan
MDT, atau dihentikan bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis
prednisolon diturunkan secara bertahap.

Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai
sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan billa bekerja
dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya.
Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan
memeriksa sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka ,
atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyakyi agar tidak
kering dan pecah.
24
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Pada pertemuan yang ketujuh (1977) dibuat amandemen
khusus untuk mata, hal ini dapat di lihat pada tabel di bawah ini.1

Cacat pada tangan dan kaki


Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan
atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan pada mata
(termasuk visus)
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi
tidak terlihat, visus sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (misalnya
lagoftalmus, iritis, kekeruhan kornea) dan
atau visus sangat terganggu.

Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan
jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah dengan cara kekaryaan
yaitu dengan memberi lapangan pekerjaan yang sesuai untuk cacat tubuhnya, sehingga
dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri selain itu dapat dilakukan
terapi psikologik.

Prognosis

Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan
adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang menjadi TT. Sementara
yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif. Gejala yang timbul sering kali
karena cedera saraf dan fase reaksi.

BT, BB, BL, LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara BT, BB dan
BL yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa berkembang

25
mejadi ENL. Neutritis perifer sering kali mengakibatkan kerusakan saraf sensoris permanen
dan susah untuk ditangan, hanya dapat dikurangi peradangannya dengan kortikosteroid.3

Daftar Pustaka

1. Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. Leprosi. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin,
P.K., Sungkar, S., editor. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi keempat. Jakarta:
FK UI; 2008.h.319-25.
2. Dacre, Jane dan Kopelman, Peter. Buku saku keterampilan klinis. Cetakan pertama.
Jakarta: EGC; 2005.h.258-59.
3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
kelima. Cetakan ketiga. Jakarta: FK UI; 2008.h.34, 92-4, 129-47, 189-91, 334-5.
4. Siregar, R.S. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi kedua. Cetakan pertama.
Jakarta: EGC; 2005.h.29-34.
5. Wolff, K., Johnson, R.A., Suurmond, D. Fitzpatricks color atlas & synopsis of
clinical dermatology. Edisi kelima. USA: The McGraw-Hill Companies; 2005.h.699-
700.
6. Setiabudy, R. Bahry, B. Obat jamur. Dalam: Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi,
Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi kelima. Jakarta: FK UI ; 2009.h.574-5, 579-
82.

26

Anda mungkin juga menyukai