Anda di halaman 1dari 5

Pengelolaan Konflik

Dalam hal perubahan, konflik sering kali terjadi pada proses audit. Konflik terjadi
dalam hal lingkup (manajemen), tujuan (auditor eksternal), tanggung jawab (layanan
manajemen), dan nilai.
Dalam bidang akuntansi, konflik dapat terjadi antara auditor yang cenderung
mempertahankan profesionalismenya dan pihak yang diaudit yang cenderung
mempertahankan lembaga atau keinginannya. Oleh sebab itu terdapat empat metode khusus
yang secara umum digunakan untuk menyelesaikan konflik, yaitu arbitrasi, mediasi,
kompromi, dan langsung.
Masalah-masalah Hubungan
Brink dan Witt (1982) mempunyai daftar konsep yang akan membantu untuk
memperlakukan orang dengan lebih baik. Konsep-konsep tersebut adalah:
1. Terdapat variasi umum dalam kemampuan dan sifat-sifat dasar individu, oleh sebab itu
auditor seharusnya mempertimbangkannya dalam kaitannya dengan karyawan pihak yang
diaudit.
2. Keberagaman perasaan-perasaan dan emosi, sehingga auditor seharusnya mengidentifikasi
keberagaman perasaan dan mencoba menangani hal tersebut secara efektif.
3. Keberagaman persepsi. Staf pihak yang diaudit tidak memandang dengan cara yang sama
seperti yang dilakukan oleh staf audit.
4. Ukuran kelompok pihak yang diaudit dapat berpengaruh pada hubungan. Auditor
diharuskan untuk memodifikasi pendekatan secara teknis ketika menghadapi kelompok
yang lebih luas.
5. Pengaruh dari berbagi situasi operasi sebagai suatu variasi akhir. Setiap perubahan situasi
mempengaruhi perasaan dan tindakan seseorang, auditor seharusnya memasuki variasi ini
ke dalam pertimbangannya pada hubungan interpersonal.
Karakteristik Umum Individu
Sifat yang muncul pada berbagai tingkatan dalam setiap individu dari pihak yang
diaudit, meliputi:
1. Menjadi produktif, sibuk pada pekerjaan-pekerjaan yang bermakna.
2. Mempunyai dorongan ke arah dedikasi terhadap suatu usaha yang dianggap penting.
3. Mempunyai keinginan untuk melayani dan memberikan bantuan kepada individu lain.
4. Bebas untuk memilih guna mendapatkan independensi dan kebebasan pilihan.
5. Memiliki sifat yang adil dan jujur.
6. Memiliki bias pada diri sendiri, tercermin pada sikap yang lebih suka dipuji dibandingkan
dengan dikritik.
7. Mencari kepuasan diri sendiri.
8. Memiliki nilai untuk mendapatkan imbalan atas usaha-usahanya.
9. Bersikap seperti orang-orang yang patuh dan dapat beradaptasi secara baik.
10. Menjadi bagian dari tim yang sukses.
11. Memiliki rasa haru atas bencana yang menimpa orang lain.
12. Memiliki keterkaitan pada pemaksimalan kepuasan diri sendiri.
13. Lebih cenderung untuk sensitif dibandingkan dengan membantu orang.
Kesadaran pada Diri Sendiri
Dalam suatu situasi dimana banyak hubungan interpersonal, hal terpenting adalah
untuk menyadari dan memegang teguh keseimbangan serta untuk memandang diri sendiri
sebagaimana orang lain memandangnya (Ratcliff et al., 1988). Elemen-elemen utama tersebut
adalah:
1. Adanya pengetahuan terhadap kekuatan dan kelemahan orang lain dalam hubungan secara
mental, fisik, emosional, dan karakteristik pribadi.
2. Rasa memiliki terhadap produktivitas dan kepuasan kelompok kerja.
3. Kesadaran terhadap perintah dasar dalam lingkungan relatif yang dimiliki seseorang,
dimana orang tersebut harus menyesuaikan diri dengan kelompok organisasi yang luas.
4. Suatu keinginan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang lain.
5. Suatu perasaan memiliki atas produktivitas yang didasarkan pada ego seseorang.
6. Suatu perasaan keterpaduan yang berasal dari kepercayaan bahwa seseorang berpartisipasi
dalam suatu lingkungan secara etis.
Komunikasi secara Efektif
Komunikasi terdiri atas wawancara, musyawarah, laporan lisan, dan laporan tertulis.
Bahasa yang menggunakan aksioma seharusnya jelas, ringkas, bebas akronim, dalam struktur
gramatikal yang baik, dan mengungkapkan isi dalam aturan sederhana yang logis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan kominikasi yang efektif adalah:
1. Jangan bicara atau menulis dalam bentuk langsung sebab auditor bukanlah bagian dari
manajemen.
2. Jangan menggunakan istilah-istilah yang berimplikasi pada kesalahn-kesalahan kerja dari
pihak yang diaudit.
3. Jangan menjadikan pihak yang diaudit sebagai pokok bahasan, baik secara verbal atau
tertulis.
4. Pertimbangkan sifat ego pihak yang diaudit ketika memberi saran.
5. Menjaga laporan dan memberikan keadilan.
6. Jangan berargumen mengenai moralitas.
7. Menjaga laporan dan memberikan keadilan.
8. Mengaitkan dengan kondisi lingkungan ketika mencari penyebab dari temuanya.
9. Sepanjang proses penyusunan laporan mengizinkan pihak yang diaudit untuk
mengungkapkan pendapatnya.
10. Sopan dengan seluruh karyawan pihak yang diaudit dan menyambut manajemen pihak
yang diaudit dengan rasa hormat.
11. Melakukan pertemuan dan wawancara di kantor pihak yang diaudit.
12. Mempertimbangkan kemungkinan tekanan yang muncul dalam diri pihak yang diaudit.
Pelaksanaan Audit Partisipasi
Selain masalah perilaku pihak yang diaudit, auditor internal juga perlu memahami
budaya organisasi.
Elemen-elemen keperilakuan dalan audit partisipasi:
1. Pada awal audit, tanyakan pada pihak yang diaudit bidang mana yang akan diaudit.
2. Bangun suatu pendekatan kerja sama dengan staf pihak yang diaudit dalam menilai
pemrograman dan pelaksanaan audit.
3. Peroleh persetujuan dan rekomendasi untuk tindakan koreksi.
4. Dapatkan persetujuan atas isi laporan.
5. Memasukkan informasi nyata pada laporan audit.
Porter et al. (1985) mengatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi sikap dan
perilaku auditor. Untuik budaya organisasi, unsur-unsurnya tercermin, antara lain:
1. Komitmen karyawan
2. Kualitas pelayanan dan pengembangan staf
3. Identitas perubahan seperti kebijakan
4. Pembuatan keputusan
5. Fokus manajemen.

BAB 16
Aspek Keperilakuan pada Etika Akuntan

Akuntan merupakan profesi yang keberadaanya sangat tergantung pada kepercayaan


masyarakat. Sebagai sebuah profesi, seorang akuntan dalam menjalankan tugasnya harus
menjunjung tinggi etikanya. Etika akuntan telah menjadi isu yang menarik. Di Indoensia isu
ini berkembang seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika baik yang dilakukan
oleh akuntan publik, akuntan internal, maupun akuntan pemerintah. Untuk kasus akuntan
publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan IAI
dalam laporan pertanggungjawaban pengurus IAI.
Dilema Etika
Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam
situasi pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis. Situasi tersebut terbentuk
karena dalam konflik terdapat ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan
auditor, sehingga auditor dihadapkan kepada pilihan keputusan antara yang etis dan tidak etis.
Penalaran Moral
Penalaran moral dan pengembangan memainkan peran kunci dalam seluruh area
profesi akuntansi. Akuntan yang secara kontinu dihadapkan pada dilemma berada pada
konflik nilai. Akuntan pajak, misalnya, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode
akuntansi yang akan dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode yang
mencerminkan sifat ekonomi sesungguhnya dari transaksi atau metode yang paling sesuai
mengambarkan perusahaan. Auditor harus memeprtimbangkan konsekuensi pengungkapan
informasi yang berlawanan tentang klien yang membayar audit fee mereka. Akuntan yang
dihadapkan dengan konflik etika tersebut harus memutuskan secara khusus kesinambungan
dari keseimbangan titik temu antara niaya dan manfaat pada dirinya, orang lain dan
masyarakat secara keseluiruhan. Ketika keputusan profesional didasarkan pada keyakinan dan
nilai individual, maka penalaran moral memainkan peranan penting dalamn keputusan akhir
seseorang.
Masalah etika dalam akuntansi bukanlah hal yang baru meskipun baru-baru ini
masalah etika menjadi perhatian utama. Misalnya, terdapat seruan akan kebijkan-kebijkan
etika perusahaan yang disertai dengan saksi yang lebih keras. Sejalan dengan inisiatif baru ini,
minat terhadap perilaku etis akuntan profesional diperbarui. Misalnya saja, terdapat sejumlah
studi akademis terbaru yang didedikasikan untuk penalaran moral dan pengembangan
akuntansi profesional publik. Arnold dan Ponemon menekankan pentingnya paradigm riset ini
karena alasan-alasan berikut:
1. Riset tingkat penalaran moral akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan mengenai
resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan.
2. Riset dalam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan
keputusan etika akuntan.
Model Pengambilan Keputusan Etis
Teori Penalaran Moral dari Kohlberg
Pengembangan psikologi moral dimulai dari karya psikolog Piaget. Berdasarkan pada
karya Piaget, klien kemudian mengembangkan sebuah teori keputusan moral yang
memasukkan serangkaian pengembangan keseimbangan (equilibria) yang ada dalam diri
seorang individu. Menurut teori ini, individu secara berurutan mengalami kemajuan ke tingkat
atau tahap moral reasoning yangv lebih sebagai bagian dari proses pertambahan usia.
Kolhberg menyamakan tiga tingkatan ini dengan tiga jenis hubungan yang berbeda
antara diri, aturan, dan harapan masyarakat. Pada tingkat prakonvensiional, seorang individu
terutama memperhatikan efek aksi yang dipilih terhadap dirinya. Pada tingkat ini karena
aturan dan harapan social bersifat eksternal terhadap dirinya, maka keduanya tidak
dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Seorang individu pada tingkat ini
umumnya mengikuti hukum masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat karena hal
tersebut menguntungkan. Seorang individu pada tingkat pascakonvensional mendefiniskan
nilai pribadi dalam pengertian individual yang yang dipilih dari prinsip-prinsip dan
membedakan dirinya dari aturan dan harapan orang lain. Individu tidak harus berada di atas
hukum masyarakat dan sesuai dengan perhatian masyarakat. Pada masing-masing tingkatan
terdapat dua tahap perkembangan, sehingga secara total terdapat enam jenis keseimbangan
yang terpisah.
Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kolhberg adalah bagian yang
integral dari model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest
menyatakan bahwa ethical reasoning hanya merupakan bagian dari kapasitas individu secara
keseluruhan untuk membangun kerangka dan memecahkan masalah etis. Rest selanjutnya
mengidentifikasikan empat kompenen dalam menentukan perilaku moral, yaitu:
Sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi)
Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral)
Motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya)
Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasikan aksi moral)
Model rangkaian tahap dari Kolhberg tentang tingkat perkembangan moral individual
berhubungan dengan komponen kedua dari model pengambilan keputusan etis. Kolhberg
menyatakan bahwa individu pada tingkat moral reasoning yang lebih tinggi dapat melakukan
tindakan moral yang benar. Hasil empiris adalam konteks akuntansi juga menghubungkan
tingkat moral reasoning yang lebih rendah dengan pertanyaan mengenai independensi dari
penilaian, kegagalan untuk mendeteksi penipuan laporan keuangan, dan tidak terdapatnya
pengungkapan atas temuan audit sensitif melalui pengaduan (whistle blowing). Sebuah
alternatif terhadap teori Kolhberg dikembangkan oleh Gilligan yang mematiskan bahwa
model Kolhberg bias dalam hal gender dalam meneliti perspektif moralitas perempuan.
Sebaliknya, ia menyampaikan bahwa perempuan mempunyai orientasi untuk merawat, yang
merupakan suatu orientasi dari tahap pengembangan moral yang terpisah dan berbeda dari
laki-laki. Meskipun perspektif alternatifnya telah didukung oleh bukti anekdot, masih belum
ditemukan dukungan empiris. Selanjutnya, Kolhberg menyatakan bahwa karena wawancarnya
dilakukan semata-mata dengan perempuan tidak berarti bahwa beberapa perbandingan dengan
perspektif laki-laki tidak dibenarkan. Terlepas dari masalah ini, perspektif feminis seharusnya
tidak diabaikan dalam aplikasi riset sekarang. Pertimbangan perspektif feminis penting
terhadap asumsi pertanyaan yang terus menerus yang mendasari teori saat ini.

Anda mungkin juga menyukai