Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau
kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma.1 Kelainan ini ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang. Pada glaukoma akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan kerusakan anatomi berupa ekstravasasi (penggaungan/ cupping) serta degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan.1,2,3
World Health Organization (WHO) tahun 2002 mengungkapkan
bahwa glaukoma merupakan penyebab kebutaan paling banyak kedua dengan prevalensi sekiar 4,4 juta (sekitar 12,3% dari jumlah kebutaan di dunia). Pada tahun 2020 jumlah kebutaan akibat glaukoma diperkirakan meningkat menjadi 11,4 juta. Prevalensi glaukoma juga diperkirakan meningkat, dari 60,5 juta pada tahun 2010 menjadi 79,6 juta pada tahun 2020.4 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi glaukoma di Indonesia adalah 4,6%.5
Glaukoma dibagi menjadi glaukoma primer (sudut terbuka dan
tertutup), glaukoma kongenital (glaukoma pada bayi), glaukoma sekunder dan glaukoma absolut (glaukoma yang tidak terkontrol).6
Glaukoma akut didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intraokuler
secara mendadak dan sangat tinggi, akibat hambatan mendadak pada trabecular meshwork. Glaukoma akut ini merupakan kedaruratan okuler sehingga harus diwaspadai, karena dapat terjadi bilateral dan dapat menyebabkan kebuataan tetapi resiko kebutaan dapat dicegah dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.6