Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS

DEFINISI
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran, disebabkan oleh toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman
clostridium tetani (FKUI, 2000).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostiridium tetani
yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh
badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka (Vanessa,
2007).
Tetanus adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh adanya kontaminasi luka dari
toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang bernama Clostridium tetani, yaitu bakteri yang hidup
bertahun-tahun di tanah dalam bentuk spora (Davis, 2009).
Berdasarkan ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tetanus merupakan suatu
penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri Clostridium tetani
dengan gejala utama adalah kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan
tanpa disertai adanya gangguan kesadaran.

INSIDEN
Prevalensi tetanus sangat tinggi di negara berkembang dan termasuk dalam 10 penyebab
kematian terbesar. Usia pasien tetanus paling banyak adalah 40-53 tahun. Angka kejadian pada
anak laki-laki lebih tinggi, akibat aktifitas fisik pada laki-laki lebih sering daripada perempuan.
Angka kejadian tetanus tinggi terutama disebabkan oleh kontaminasi tali pusat, infeksi telinga
kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan
abortus. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga
resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang
tahan kering dapat bertebaran di mana-mana (Esthi, 2004).

KLASIFIKASI
a. Tetanus General
Tetanus jenis ini dapat mengenai semua otot skeletal. Tetanus jenis merupakan
tetanus yang paling membahayakan.
b. Tetanus Lokal
Gejalanya adalah spasme otot hanya pada atau dekat dengan luka yang terinfeksi.
c. Tetanus Cephalic

1
Mengenai satu atau beberapa otot secara cepat (dalam 1-2 hari) setelah terjadinya
cedera kepala atau infeksi telinga. Trismus (Lockjaw) bisa saja terjadi. Tetanus jenis ini
bisa secara mudah berkembang manjadi tetanus general.
d. Tetanus Nenonatus
Tetanus ini mirip dengan tetanus general, hanya saja tetanus ini terjadi pada seorang
bayi yang umurnya < 1 bulan (Joseph, 2009).

ETIOLOGI
Agen penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yaitu bakteri gram positif yang bersifat
anaerob, berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro. Di luar tubuh bakteri
ini berbentuk spora. Spora ini mampu bertahan dalam lingkungan panas antiseptic, dan
jaringan tubuh hingga berbulan-bulan. Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih
tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotik, panas dan
desinfektan baku. Tidak seperti banyak klostridia, Clostridium Tetani bukan organisme yang
menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui toksin tunggal yang
dihasilkannya, yaitu tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus. Toksin
tetanus adalah bahan kedua yang paling beracun yang diketahui setelah toksin botulinum. Jika
dalam kondisi yang baik, kuman ini akan mengeluarkan toksin (eksotoksin) yaitu
tetanuspasmin yang bersifat neurotoksik. Mula-mula toksin akan menyebabkan kejang otot
dan saraf perifer setempat (Vanessa, 2007).

FAKTOR RESIKO
1. Penggunaan alat-alat invasif yang tidak steril.
2. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin DPT.
3. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah peternakan.
4. Luka terbuka yang tidak dirawat dengan adekuat (Ngastiy, 2009).

MANIFESTASI KLINIS
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat terjadi sebagai
komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi
telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular, dan pembedahan.
Masa tunas biasanya 5 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada
infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini biasanya
terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan
leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut).
4. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.

2
5. Rikus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik keatas), sudut mulut tertarik
keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula
intermiten diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di sertai perdarahan intramuscular
karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akobat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi
urin dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan cairan di otak.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepi dan pusat. Ada beberapa macam manifestasi secara umum dari tetanus sesuai dengan
derajatnya:
Derajat I (tetanus ringan)
Trismus ringan sampai sedang
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau ringan
Tidak dijumpai kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
Trismus sedang
Kekakuan jelas
Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
Takipneu
Disfagia ringan
Derajat III (tetanus berat)
Trismus berat
Otot spastis, kejang spontan
Takipne, takikardia
Serangan apne (apneic spell)
Disfagia berat
Aktivitas sistem autonom meningkat
Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan
Gangguan autonom berat

3
Hipertensi berat dan takikardi, atau
Hipotensi dan bradikardi
Hipertensi berat atau hipotensi berat (Harnawatiaji, 2008)

PATOFISIOLOGI

Luka tertusuk
Terkena pecahan
kaca/kaleng LUKA TERBUKA
Luka tembak
Luka bakar
Luka kotor
Port De Entry
Tali pusat BBL
kuman bakteri

Clostridium
Tetani
masuk dalam
tubuh

Infeksi

Release Tetanospasmin Release Tetanolisin

Saraf Perifer Sistem Sirkulasi Merusak jaringan


(pembuluh darah) yang masih sehat
dan melisiskan sel
darah merah
Dinetralisir disekitar luka
Medula spinalis
oleh
aritititoksin

Saraf Autonom Saraf Motorik

Saraf Sensorik Synap


Neuromuscular

Gangguan
Asetilkolinesterase Degenerasi protein
fungsi fisiologis
Terblok Synoptobrevin

Asetilkolin release GABA dan


glysin

4
Depolarisasi motor end-plate terus-menerus
terhadap sel otot

Kontraksi

Cemas Kejang Resiko


injuri

Defisit perawatan Gangguan Saraf


diri
Peningkatan
produksi
Spasme otot Spasme otot mucus dan
menelan pernapasan sekret

Akumulasi saliva Aspirasi Bersihan Jalan Nafas tidak


pada daerah mulut efektif

Resiko
Intake Perubahan
aspirasi
cairan tidak nutrisi
adekuat kurang dari
kebutuhan
Defisit
volume
cairan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang.
Pemeriksaan darah : leukosit 8.000-12.000/mm3
Pada penyakit tetanus, hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, likuor serebrospinal
normal, jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat. Biakan kuman memerlukan prosedur
khusus untuk kuman anaerobik, tidak selalu dapat dilihat pada warna gram bahan luka dan
organisme ini diisolasi pada sepertiga kasus. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa
gejala klinis tidak mempunyai arti (Subhan, 2002).

PENATALAKSANAAN
a Penatalaksanaan Umum
Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi.
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan obat-
obatan, bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan
pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat dipasang sonde lambung
untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan aspirasi.
Menjaga saluran nafas tetap bebas.
Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker). Pada kasus yang berat perlu
dilakukan trakeostomi.

5
Mengurangi spasme dan mengatasi kejang.
Kejang harus segera dihentikan dengan diazepam dengan dosis yang bervariasi berdasarkan
usia :
bayi > 30 hari : 1 to 2 mg IV berikan secara perlahan, repeated q 3 to 4 jam jika perlu
balita : 0.1 to 0.8 mg/kg/hari up to 0.1 to 0.3 mg/kg IV q 4 to 8 jam
anak > 5 tahun : 5 to 10 mg IV q 3 to 4 jam
dewasa : 5 to 10 mg po q 4 to 6 h or up to 40 mg/jam IV drip
Setelah kejang berhenti, pemberian dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai klinis pasien.
Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun pasien masih kejang atau mengalami
spasme laring, dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot
dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi
antikonvulsan dengan dosis rumatan memberi respon klinis yang diharapkan, dosis
dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap (berkisar antara
20 % dari dosis setiap dua hari). Bila pipa nasogastrik telah dapat dipasang, obat anti kejang
dibarikan secara oral. Pada tetanus sedang, dosis anti konvulsan dimulai dengan 1/2-2/3
dari dosis maksimal dan 2/5 dosis maksimal untuk tetanus ringan. Mengingat tetanus
sedang/ringan dapat berubah menjadi tetanus berat secara cepat, maka setiap saat dosis
harus disesuaikan dengan perubahan gejala klinis dengan pemberian dosis antikonvulsan
yang maksimal. Pada tetanus berat, setelah pemberian diazepam 10 mg iv perlahan-lahan
dilanjutkan dengan dosis 100-200 mg/24 jam dengan pompa semprit atau tiap 2 jam atau 12
kali perhari.
Perawatan Luka.
Yaitu dilakukan eksisi jaringan yang cukup luas guna membersihkan jaringan anaerob,
terutama bila ada benda asing (debridement). Perawatan luka dilakukan setiap hari.
Ruang Khusus
Isolasi untuk menghindari rangsangan (suara, tindakan terhadap penderita). Ruangan harus
tenang. Pasien dianjurkan untuk dirawat di Unit Perawatan Khusus bila didapatkan
keadaan kejang-kejang yang sukar diatasi obat-obatan antikonvulsan biasa. Spasme laring
merupakan komplikasi yang memerlukan perawatan intensif seperti sumbatan jalan nafas,
kegagalan pernafasan, hipertermi dan sebagainya. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai
sebagai port de enty maka konsultasi ke dokter gigi/THT (Ngastiy, 2009; Subhan, 2002).

b Penatalaksanaan Khusus
Antibiotik
Untuk membunuh kuman C. Tetani (vegetatif) diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari. Metronidazol tampak sama efektifnya. Tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari dan eritromisin (untuk anak berumur = 9 tahun) untuk penderita alergi
penisilin. Untuk penyulit sepsis atau bronkopneumonia diberikan antibiotik yang sesuai.
Anti serum.

6
Ada berbagai pendapat : Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U/hari selama 2 hari
berturut-turut secara intramuskulus dengan didahului oleh uji kulit dan mata. Bila hasilnya
positif, maka pemberian ATS harus dilakukan dengan desensitisasi cara Besredka. Dosis
ATT biasanya 50.000-100.000 U, setengahnya diberikan secara intravena dan setengahnya
intramuskuler, tetapi mungkin diperlukan sedikit yaitu 10.000 U saja sudah cukup. Dapat
digunakan ATS 5000 unit intramuskular, tetapi pusat rujukan lain mempergunakan dosis
40.000 unit diberikan separuh intravena dan separuhnya intramuskular atau bila fasilitas
tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 500-3000 IU (Ngastiy,
2009; Subhan, 2002).
c Pencegahan
Perawatan luka.
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang
diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya
jaringan anaerob.
ATS profilaksis.
Hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) memberikan kekebalan pasif, sehingga
dapat dicegah terjadinya tetanus atau masa inkubasi diperpanjang atau bila terjadi tetanus
gejalanya ringan. Umumnya 1500 U im dengan didahului uji kulit dan mata. Harus segera
dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
Imunisasi aktif
Vaksin gabungan toksoid difteri, tetanus dan pertusis (DTP) pada usia 2,4 dan 6 bulan,
dengan booster pada usia 4-6 tahun dan pada interval 10 tahun sesudahnya sampai dewasa
dengan toksoid tetanus-difteri (Td). Toksoid Tetanus (TT) diberikan pada setiap wanita usia
subur, gadis mulai umur 12 tahun dan ibu hamil. Untuk orang-orang umur 7 tahun atau
lebih yang belum diimunisasi, seri imunisasi primer terdiri dari 3 dosis Td yang diberikan
intramuskular, yang kedua 4-6 minggu sesudah yang pertama dan yang ketiga 6-12 bulan
sesudah yang kedua. Booster toksoid tetanus (lebih baik Td) diberikan pada orang yang
terjejas yang telah menyelesaikan seri imunisasi primernya jika:
luka bersih dan kecil tetapi telah mencapai 10 tahun sejak booster yang terakhir,
atau luka lebih serius dan telah mencapai 5 tahun sejak booster terakhir atau pada
pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah mendapat luka berat (dosis
50.000 U/kgBB/hari) (Davis, 2010; Joseph, 2009).

KOMPLIKASI
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) didalam rongga mulut
dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia terjadi karena adanya kekakuaan otot-otot pernafasan sehingga pengembangan
paru tidak dapat maksimal.

7
3. Atelektasis karena obstruksi oleh secret hal ini karena seseorang dengan tetanus akan
mengalami trismus (mulut terkunci) sehingga pasien tidak dapat mengeluarkan sekret yang
menumpuk di tenggorokan, atau pun menelanya.
4. Fraktur kompresi dapat terjadi bila saat kejang pasien difiksasi kuat sehingga tubuh tidak
dapat menahan kekuatan luar.
5. Kompresi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang.
6. Rhabdomyolisis dan renal failure
7. Bronkopneumoni (Vanessa, 2007).

PROGNOSIS
Tetanus memiliki mortality rate sebesar 50 %, terjadi 15-60 % pada dewasa yang tidak
terobati dan 80-90 % pada neonatus walaupun telah mendapat pengobatan. Angka kematian
paling tinggi terjadi pada usia tua dan pemakai narkotika. Prognosis akan semakin buruk
apabila masa inkubasi lebih pendek dan gejala timbul lebih cepat atau karena pengobatan yang
terlambat (Joseph, 2009).
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yg dapat memperburuk keadaan yaitu :
a. Masa inkubasi yg pendek ( 7 hari ).
b. Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 th )
c. Frekuensi kejang yg sering
d. Kenaikan suhu badan yg tinggi
e. Pengobatan yg terlambat
f. Periode trismus dan kejang yg semakin sering
g. Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas (Harnawatiaji,
2008).

DIAGNOSA KEPERAWATAN & DATA SUBYEKTIF-OBYEKTIF


1. Resiko injury berhubungan dengan aktivitas kejang
DS : pasien mengeluh kaku
DO : kejang (+)

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi


secret/mucus.
DS : pasien mengeluh sesak
DO : ronchi, sianosis, dyspnea, batuk dengan sputum, RR > 20 x/menit

3. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan
DS : pasien mengeluh sesak
DO : RR > 20 x/menit, retraksi dinding dada, gerakan naik-turun dinding dada
asimetris, pernafasan cuping hidung.

8
4. Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.
DS : -
DO : mukosa bibir kering, turgor kulit buruk, intake cairan <1500 cc/hari, diaforesis

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan spasme
otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut.
DS : -
DO : Intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat
melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau albumin
kurang dari 3,5 mg%

6. Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan, dan


spasme otot faring.
DS : -
DO : makanan dan minuman sering kembali keluar melalui hidung, jalan nafas tidak
bersih (aspirasi makanan dan minuman).

7. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang.
DS : -
DO : kejang, bed rest, bau badan, gigi kotor, rambut berminyak, tempat tidur kotor,
iritasi kulit.

8. Cemas berhubungan dengan Kurang pengetahuan pasien tentang penanganan


penyakitnya dikarenakan kurangnya informasi.
DS : pasien mengatakan takut akan penyakit yang dialaminya.
DO : tegang, gelisah, nadi >100 x/menit, RR > 20x/menit, berkali-kali pasien
menanyakan tentang efek dari penyakit tetanus.

INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx. 1 Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
Tujuan : Cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil:
Pasien tidak merasa kaku
Kejang (-)
Intervensi Rasional
a. Pre Konvulsif
1. Identifikasi faktor resiko pre konvulsif untuk 1. Faktor resiko dapat dihindari sehingga kejadian
penyakit kejang kejang bisa diminimalkan.
2. Singkirkan benda benda yang melukai. 2. Menghindari terjadinya cedera lebih lanjut
akibat kejang

9
3. Monitor cardiopulmonal secara terus 3. Perubahan status cardiopulmonal dapat
menerus menunjukkan terjadinya kejang
4. Sediakan dan dekatkan peralatan suction 4. Keberadaan alat-alat yang dekat akan
mempersingkat waktu delay dalam penanganan
5. Sediakan O2 sesuai dengan indikasi pasien
5. Membantu memenuhi kebutuhan O2
b. Konvulsif
1. Baringkan pasien ditempat yang rata.
2. Catat waktu, durasi, bagian tubuh yang 1. Memudahkan penanganan pasien kejang
terlibat dan frekuensi kejang. 2. Dapat menunjukkan seberapa parah kejang
yang terjadi sehingga tindakan yang diambil
3. Pertahankan jalan nafas ( Airway ) bisa lebih tepat
4. Pastikan pasien dalam keadaan aman. 3. Menghindari terjadinya henti nafas
4. Pasien kejang dapat mengalami perubahan
5. Kolaborasi: pemberian pengobatan (contoh kondisi secara tiba-tiba
Diazepam ) 5. Diazepam dapat mengontrol kejang dan
c. Pasca Konvulsif memberikan efek sedasi
1. Monitor TTV dan kesadaran pasien
1. TTV merupakan indikator yang paling mudah
dilihat jika terjadi perubahan pada kondisi tubuh
2. Pertahankan jalan nafas efektif. pasien
3. Setelah pasien bangun dan sadar berikan 2. Menghindari henti nafas
minum hangat, cairan untuk rehidrasi. 3. Mengembalikan keseimbangan cairan tubuh
4. Sediakan oral hygiene.
4. Dengan keadaan oral yang bersih menghindari
terjadinya aspirasi

Dx. 2 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
secret/mucus akibat adanya spasme otot laring
Tujuan : pasien memperlihatkan kepatenan jalan nafas
Kriteria Hasil:
Sesak (-), ronchi (-), sianosis (-), dyspnea (-), batuk dengan sputum (-), RR 16-20 x/menit

Intervensi Rasional
1. Kaji status pernafasan, 1. Takipnu, pernafasan dangkal dan
frekwensi, irama, setiap 2 4 jam. gerakan dada tak simetris sering terjadi karena
adanya sekret.
2. Lakukan pengisapan lendir 2. Menurunkan resiko aspirasi atau
dengan hati-hati dan pasti bila ada aspeksia dan osbtruksi.
penumpukan secret. 3. Menghindari tergigitnya lidah dan
3. Gunakan sudip lidah saat kejang. memberi sokongan pernafasan jika diperlukan.

10
4. Memudahkan dan meningkatkan aliran
4. Miringkan ke samping untuk sekret dan mencegah lidah jatuh yang
drainage. menyumbat jalan nafas.
5. Memaksimalkan oksigen untuk
kebutuhan tubuh dan membantu dalam
5. Observasi oksigen sesuai pencegahan hipoksia
program. 6. Memaksimalkan fungsi pernafasan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap
oksigen dan pencegahan hipoksia
6. Pertahankan kepatenan jalan 7. Mengurangi rangsangan kejang.
nafas dan bersihkan mulut

7. Kolaborasi: Pemberian sedativa


Diazepam drip 10 Amp (hari pertama dan
setiap hari dikurangi 1 amp)

Dx.3 Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-
otot pernafasan
Tujuan :
Pola nafas teratur dan normal
Kriteria Hasil:
RR 16- 20 x/menit, retraksi dinding dada (-), gerakan naik-turun dinding dada simetris,
pernafasan cuping hidung (-)
Intervensi Rasional
1. Monitor irama pernafasan dan respirasi rate 1. Indikasi adanya penyimpangan atau kelainan
dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi,
jenis pernafasan, kemampuan dan irama
nafas.
2. Atur posisi luruskan jalan nafas 2. Jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan
proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
3. Dyspnea dan sianosis merupakan tanda
3. Observasi tanda dan gejala sianosis, dyspnea, terjadinya gangguan nafas disertai dengan
takikardi, CRT > 2 dtk kerja jantung yang menurun timbul tacikardi
dan capillary reffil time yang
memanjang/lama dan untuk menghindari
terjadinya henti nafas.
4. TTV merupakan respon tubuh yang mudah
4. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam untuk diamati.
5. Pemberian oksigen secara adekuat dapat
5. Kolaborasi: Pemberian oksigenasi mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mncegah terjadinya

11
hipoksia.

Dx.4 Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.
Tujuan : pasien tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan
Kriteria Hasil:
mukosa bibir lembab, turgor kulit baik, intake cairan 1500-2000 cc/hari, diaphoresis (-).
Intervensi Rasional
1. Kaji intake dan out put setiap 24 jam. 1. Memberikan informasi tentang
status cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan
penggantian.
2. Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran 2. Indikator keadekuatan sirkulasi
mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam. perifer dan hidrasi seluler.
3. Berikan dan pertahankan intake oral 3. Mempertahankan kebutuhan cairan
dan parenteral sesuai indikasi dan tubuh.
disesuaikan dengan perkembangan kondisi
pasien.
4. Monitor berat jenis urine dan
pengeluarannya. 4. Penurunan keluaran urine pekat dan
peningkatan berat jenis urine diduga dehidrasi/
5. Pertahankan kepatenan NGT peningkatan kebutuhan cairan.
5. Mempertahankan intake nutrisi
untuk kebutuhan tubuh

Dx. 5 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan
spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut.
Tujuan: Status nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil:
Intake cukup, makan dan minuman yang masuk lewat mulut tidak kembali lagi melalui
hidung, BB meningkat, protein atau albumin 3,5 mg%
Intervensi Rasional
1. Pasang dan pertahankan NGT 1. Intake nutrisi yang seimbang dan adekuat akan
untuk intake makanan. mempertahankan kebutuhan nutrisi tubuh
2. Bising usus membantu dalam
2. Kaji bising usus bila perlu, dan menentukan respon untuk makan atau
hati-hati karena sentuhan dapat merangsang mengetahui kemungkinan komplikasi dan
kejang. mengetahui penurunan obsrobsi air
3. Suplai kalori dan protein yang adekuat
3. Berikan nutrisi yang tinggi kalori mempertahankan metabolisme tubuh.
dan protein. 4. Mengevalusai kefektifan atau kebutuhan
4. Timbang berat badan sesuai mengubah pemberian nutrisi.
protokol

12
Dx.6 Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan,
dan spasme otot faring.
Tujuan :
Tidak terjadi aspirasi
Kriteria Hasil:
makanan dan minuman tidak lagi kembali keluar melalui hidung, jalan nafas paten dari
aspirasi makanan dan minuman
Intervensi Rasional
1. Kaji status pernafasan setiap 2-4 1. Takipnu, pernafasan dangkal dan
jam. gerakan dada tak simetris sering terjadi karena
adanya sekret.
2. Menurunkan resiko aspirasi atau
2. Lakukan pengisapan lendir dengan aspiksia dan osbtruksi.
hati-hati. 3. Memudahkan dan meningkatkan aliran
3. Miringkan ke samping untuk sekret dan mencegah lidah jatuh yang
drainage. menyumbat jalan nafas.
4. Memaksimalkan fungsi pernafasan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap
4. Pertahankan kepatenan jalan nafas oksigen dan pencegahan hipoksia.
dan bersihkan mulut. 5. Memaksimalkan oksigen untuk
kebutuhan tubuh dan membantu dalam
5. Kolaborasi: Pemberian oksigen pencegahan hipoksia.
6. Mengurangi rangsangan kejang

6. Kolaborasi: Pemberian sedativa


sesuai program

Dx.7 Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang.
Tujuan : Kebutuhan aktifitas sehari-hari/perawatan diri terpenuhi
Kriteria Hasil:
Kejang (-), bed rest (-), bau badan (-), gigi bersih, rambut bersih, tempat tidur bersih, iritasi
kulit (-).
Intervensi Rasional
1. Pemenuhan kebutuhan aktifitas 1. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
sehari-hari. secara adekuat dapat membantu proses
kesembuhan.
2. Bantu pasien dalam memenuhi 2. mempertahankan status kesehatan

13
kebutuhan aktifitas , BAB/BAK, dan kebersihan diri pasien.
membersihkan tempat tidur dan kebersihan
diri juga oral hygiene.
3. Libatkan keluarga dalam perawatan 3. Keluarga dapat meningkatkan
diri sehari-hari. motivasi pasien untuk melakukan aktivitas
kebersihan diri

Dx. 8 Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan pasien tentang penanganan


penyakitnya dikarenakan kurangnya informasi.
Tujuan : pasien menunjukan rasa cemas berkurang atau hilang
Kriteria Hasil:
Takut <<, tegang (-), gelisah (-), nadi 80-100 x/menit, RR 16-20x/menit, klien dan
keluarga dapat mengulang informasi yang diberikan.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan pasien 1. Tingkat kecemasan yang berbeda butuh
penanganan yang berbeda pula.
2. Jelaskan tentang aktifitas kejang 2. Dengan mengetahui semua prosedur dan
yang terjadi dan semua prosedur tindakan kondisi tubuhnya, pasien akan merasa lebih
yang akan dilakukan pada pasien tenang dan rasa cemas berkurang
3. Ajarkan pasien untuk 3. Ekspresi perasaan secara verbal dapat
mengekspresikan perasaannya membantu mengurangi rasa cemas
4. Gunakan komunikasi dan sentuhan 4. Memberikan ketenangan rasa nyaman
terapeutik bagi pasien

14
DAFTAR PUSTAKA

Davis, Charles. 2009. Tetanus. http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.


Diakses tanggal 26 Mei 2012 pukul 15.40 WIB
Esthi, T. T. 2004. Pola Penyakit dan Determinan Mortalitas Tetanus di Bagian Penyakit
Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta. http://fk.uns.ac.id/index.php? option=com_
content&view=article&id=142:pola-penyakit-dan-determinan-mortalitas-tetanus-di-
bagian-penyakit-dalam-rsud-dr-moewardi-surakarta&catid=63:abstrak-
skripsi&Itemid=111. Diakses tanggal 26 Mei 2012 pukul 17.00 WIB
Fakultas Kedokteran UI. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 2. Medi Aesculapius.
Jakarta
Harnawatiaji. 2008. Tetanus. WordPress.com. Diakses tanggal 26 Mei 2012 pukul 17.15 WIB
Joseph, Lentino R. 2009. Tetanus(Lockjaw). http://www.merckmanuals.com/
professional/sec14/ch178/ch178i.html. Diakses tanggal 27 Mei 2012 pukul 10.30 WIB
Ngastiy, Rafani Pasbar. 2009. Tetanus. www.rafani.co.cc. Diakses tanggal 27 Mei 2012 pukul
10.25 WIB
Subhan. 2002. L a p o r a n Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Tetanus Di Ruang Bedah
RSUD Dr. Soetomo Surabaya. FK UNAIR. Surabaya
Vanessa, D. A. 2007. Tetanus. http://www.scribd.com/doc/7432195/Laporan-Kasus-
TETANUS. Diakses tanggal 27 Mei 2012 pukul 20.10 WIB

15

Anda mungkin juga menyukai