Anda di halaman 1dari 6

Seperti yang terlihat pada percobaan pertama, tingkat respon pada pasien dengan genotipe 2

dan 3 secara signifikan lebih tinggi daripada pasien dengan genotipe 1 ( 76 vs 46 % )


.Akhirnya , percobaan ketiga secara acak memberi terapi pegylated IFN-alfa-2a ( 180
mg/minggu) ditambah ribavirin (800 atau 1200mg perhari ) selama 24 atau 48 minggu. Hasil
SVR tertinggi untuk pasien dengan genotipe 1 diperoleh dengan tingkat dosis lebih tinggi
ribavirin dalam 48 minggu periode pengobatan .Pasien dengan genotypes 2 dan 3
memberikan hasil yang sama dalam 24 atau 48 minggu dengan dosis ribavirin yang lebih
rendah. Hasil dari ketiga pencobaan menjadi rekomendasi untuk tatalaksana berdasarkan
AASLD.

Tidak ada data yang pasti di dalam literatur untuk memandu terapi HCV pada pasien dengan
CKD stage 1 dan 2 .Namun , pada pasien dengan nilai GFR >50 ml per menit per 1.73m2 ,
gangguan fungsi ginjal tidak memiliki dampak yang besar terhadap efikasi dan keamanan
dari terapi gabungan IFN dan ribavirin. Seperti yang telah dilaporkan pasien dengan fungsi
ginjal normal yang diterapi dengan pegylated IFN ditambah ribavirin harus digunakan pada
pasien dengan CKD tahap 1 dan 2 ( tabel 5).

Tidak ada data pasti tentang penggunaan kombinasi terapi antivirus ( IFN pegylated ditambah
ribavirin ) pada pasien CKD stage 3-5. Data yang tersedia pada terapi gabungan ( standar
IFN atau pegylated IFN plus ribavirin ) pada populasi CKD berasal sebagian besar dari studi
pasien yang rutin menjalani hemodialisis ( Tabel 8 dan 9, bawah ; studi dirujuk lainnya tidak
diringkas karena mereka retrospektif atau terlalu kecil). Terdapat keterbatasan data pada
clearance IFN di pasien dengan CKD stage 3 dan 4. Namun, bukti yang tersedia
menunjukkan bahwa ada gangguan clearance pada standar IFN di pasien yang rutin
menjalani hemodialisis. Oleh karena itu, akan masuk akal untuk mengasumsikan bahwa
clearance IFN mungkin dikurangi pada pasien dengan advanced ckd namun belum menjalani
dialisis membutuhkan dosis penyesuaian. .Sebuah studi menyebutkan pegylated IFN-alfa-2a
pada pasien dengan gagal ginjal kronis yang stabil tidak menunjukkan perubahan signifikan
dalam tubuh dibandingkan pasien dengan fungsi ginjal normal ( creatinine clearance >100
ml 1/menit) serta pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang signifikan ( creatinine
clearance 20- 40 ml/menit) .Penurunan fungsi ginjal (GFR<60 ml per menit per 1.73m2 )
pada pasien CKD tahap 3 dan 4 diperkirakan akan memperburuk efek samping dari gabungan
terapi antivirus dengan terapi IFN dan ribavirin . Penggunaan Ribavirin dibatasi oleh anemia
hemolitik yang dapat berbahaya bagi pasien CKD, yang seringkali memiliki anemia serta
penyakit komorbid lain (misalnya iskemia jantung ). Penggunaan ribavirin pada pasien
dengan GFR <50 ml per menit per 1.73m2 tidak disarankan pada guideline yang lain. Data
terbaru yang lain mendukung penggunaan ribavirin pada pasien dengan GFR <50ml per
menit per 1,73m2 namun dalam pengawasan dan monitoring ketat, namun penemuan ini akan
membutuhkan uji konfirmasi yang lebih besar. Namun, salah satu penelitian yang
mempelajari farmakokinetik dari ribavirin pada pasien normal dan pasien dengan penurunan
fungsi ginjal. Penulis melaporkan ribavirin half-life sekitar 100 jam pada pasien dengan
fungsi ginjal normal dan >300 jam pada pasien dengan penurunan creatinin clearance berat.
Selain itu, ada volume besar distribusi mengakibatkan waktu untuk steady-state konsentrasi
hampir 3 bulan pada pasien dengan penurunan creatinine clearance. Berdasarkan penelitian
tersebut, penulis membuat sebuah tabel dosis ribavirin berdasarkan creatinin clearance
dankonsentrasi steady state dari ribavirin. Menurut analisis ini, nilai GFR estimasi merupakan
predictoryang lebih baik dari ribavirin clearance daripada berat badan. Penetuan dosis
ribavirin ini telah dipromosikan oleh data yang menunjukkan bahwa kemungkinan respon
ribavirin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ribavirin.
Pasien dengan klirens kreatinin <20 ml per menit tiap 1.73 m 2, penulis menyarankan
penggunaan kalkulasi berikut dalam menentukan dosis ribavirin

Dosis Ribavirin = 0,24 X target Css X dosis interval X klirens ribavirin

Klirens Ribavirin = 0,122 X klirens kreatinin + (0,0414 X Berat dalam kg)

Data tersebut belum terverifikasi pada pasien CKD dalam populasi besar. Lebih lagi,
pengkajian untuk mengukur kadar ribavirin tetap sangat terbatas.

Pasien CKD stage III dengan GFR < 50 ml per menit tiap 1.73 m 2, terapi kombinasi
dengan pegylated IFN dan ribavirin dianjurkan dengan pencegahan di atas. Pasien CKD stage
IV, terapi kombinasi dengan dosis ribavirin yang lebih rendah dari kalkulasi di atas dapat
dilakukan dengan kewaspadaan. Ginjal dengan fungsi seperti ini, konsentrasi dosis control
ribavirin seharusnya dipakai. Jika kadar ribavirin tidak tercapai, penggunaannya pada pasien
dengan GFR < 50 ml per menit tiap 1.73 m 2 tidak disarankan. Jika ribavirin tidak dapat
ditolerasi, direkomendasikan untuk menggunakan monoterapi dengan pegylated IFN sebagai
terapi pilihan pada pasien CKD stage III dan IV. Tidak tersedia data mengenai terapi pasien
CKD stage V yang belum melakukan dialysis. Hal ini menjadi alasan pada pasien tersebut
untuk diterapi dengan pegylated IFN dengan dosis yang disesuaikan dengan GFR (Tabel 5).
2.2.3 Pasien CKD stage 5D yang terinfeksi HCV dan menjalani dialisis, disarankan
monoterapi dengan IFN standar dengan dosis penyesuaian untuk GFR < 15 ml per menit tiap
1,732 (Lemah).

Data tersedia pada literatur dukungan monoterapi dengan IFN standar yang menjalani
hemodialisis. Respon virologis terhadap monoterapi dengan IFN standar lebih tinggi pada
pasien dialisis dibandingkan pasien non-CKD dengan infeksi hepatitis C kronis. Dalam 3
RCT yang sudah dilakukan, SVR berkisar dari 21-58% pada pasienyang diterapi dengan IFN
standar selama 6 atau 12 bulan. SVR yang sama juga didapatkan pada penelitian cohort
prospektif nonkomparatif (Tabel 8-10). Respon virus terhadap monoterapi dengan IFN
standar pada pasien hemodialisis (37%), sebagaimana dijelaskan pada meta analisis terakhir,
lebih tinggi daripada pasien yang terinfeksi hepatitis C kronik dengan fungsi ginjal normal
(7-16%) yang diterapi dengan IFN standar. Meskipun demikian, respon virus terhadap pasien
dialisis yang menjalani monoterapi dengan IFN standar lebih rendah daripada pasien hepatitis
C kronik dengan terapi kombinasi (konvensional/pegylated IFN ditambah ribavirin) dalam
populasi umum. Ada beberapa mekanisme penyebab lebih tingginya respon terhadap IFN
pada pasien dengan hemodialisis. Pasien dialisis dengan HCV biasanya memiliki viral load
yang lebih rendah, infeksi berhubungan dengan bentuk histologis penyakit hati ringan, kliren
IFN lebih rendah pada pasien dialisis dibandingkan pasien non-CKD, dan peningkatan IFN
endogen dari sel darah putih dalam sirkulasi saat hemodialisis berlangsung telah dilaporkan.
Pelepasan growth factor hepatosit spesifik yang lebih lama karena hemodialisis juga
berpengaruh.

Meskipun laju respon IFN konvensional lebih baik pada pasien dialisis, toleransi IFN
monoterapi sepertinya lebih rendah pada pasien dialisis dibandingkan dengan pasien non-
CKD (Tabel 8-10). Estimasi laju dropout 17% pada pasien dialisis yang menerima
monoterapi IFN, sedangka frekuensi efek samping yang memerlukan penghentian IFN
berkisar antara 5-9% pada pasien non-CKD dengan infeksi hepatitis C yang diterapi dengan
dosis umum monoterapi IFN (3 MU 3 kali seminggu selama 6 bulan SQ). Perubahan
parameter farmakokinetik IFN pada pasien hemodialisis, umur yang lebih tua, dan kondisi
komorbid yang tinggi mungkin menjadi alasan tingginya frekuensi efek samping IFN dan
menyebabkan terjadinya penghentian IFN. Masa paruh IFN alfa lebih lama pada pasien
dialisis daripada passion kontrol, 9,6 dan 5,3 jam (P=0,001) dan area di bawah kurva bernilai
dua kali pada pasien dengan ginjal normal.
Data monoterapi menggunakan pegylated IFN pada pasien terinfeksi HCV dengan
hemodialisis terbatas (Tabel 15-17). Kualitas dari bukti tersebut rendah. Meskipun pada 2
RCT, SVR bernilai 75% pada grup pegylated IFN dibandingkan 8% pada kontrol grup dan
22% pada pasien dengan pegylated IFN 1 g/kg dibandingkan 0% dengan 0,5 g/kg. Sudah
diteliti bahwa farmakokinetik pegylated IFN alfa 2a tidak terpengaruh secara signifikan
dengan fungsi ginjal. Analisis regresi data farmakokinetik dari 23 pasien kisaran klirens
kreatinin 20 ml/menit sampai >100 ml/menit tidak menunjukkan hubungan signifikan antara
farmakokinetik pegylated IFN alfa 2a dengan klirens kreatinin. Studi lain mengenai
farmakokinetik pegylated IFN alfa 2b dosis tunggal memberikan perbedaan signifikan pada
pasien dengan klirens kreatinin >80 ml/menit dan 10-29 ml/menit. Rata-rata pegylated IFN
yang terletak di bawah kurva dan Cmax meningkat dua kali lipat pada pasien dengan gangguan
ginjal dibandingkan kontrol, dan rata-rata waktu paruh meningkat sampai 40%. Analisis
terpisah pada pasien dengan hemodialisis menunjukkan bahwa dialisis memiliki efek tak
berarti terhadap klirens pegylated IFN alfa 2b. Stude dengan dosis tunggal pada pasien
dialisis tidak menimbulkan toksisitas tambahan, meskipun terjadi penurunan klirens IF
sebanyak 30%. Kesimpulan studi tersebut menunjukkan bahwa farmakokinetik pegylated
IFN alfa 2a (40 kDa) pada pasien dengan hemodialisis hampir sama dengan pasien sehat
dengan 30% penurunan klirens. Farmakokinetik pegylated IFN selama proses hemodialisis
berbeda setiap pasien tergantung dari ukuran dan permeabilitas dialyzer pore. Dalam
penelitian ini, pegylated IFN alfa 2a 40 kDa tidak tuntas pada flux rendah/pore kecil dan flux
tinggi/pore sedang-besar, serta sebagian tuntas pada permeabilitas sedang/pore besar dialyzer.
Sebaliknya, 12 kDa pegylated IFN alfa 2b tuntas melalui dialyzer poly (methyl mehacrylate)
dengan ukuran pore >60 A. Baik pegylated IFN alfa 2a ataupun 2b tidak hilang setelah 3 sesi
hemodialisis menggunakan 27/31 A dan 33 A dialyzer polysulfone.

Seperti yang terlihat, pegylated IFN tidak memeberikan manfaat tambahan dari segi
respon virologis dibandingkan dengan monoterapi IFN standar, penghentian terapi karena
efek samping tidak berbeda. Pada 3 RCT dengan IFN standar, 21-53% pasien mengehentikan
pengobatan karena efek samping dibandingkan dengan 0-44% pasien pada 2 RCT
menggunakan pegylated IFN. Sayang sekali, kematian tidak dilaporkan pada percobaan
dengan pegylated IFN. Satu percobaan klinis terfokus pada pasien setelah menjalani
transplantasi hati dengan kreatinin serum >1,8 mg/100 ml (159 mol/L) yang diterapi dengan
pegylated IFN alfa 2b (1 m/kg/minggu). Pada penelitian ini, 2 dari 9 pasien sesuai SVR, 8
dari 9 intoleran terhadap terapi dan menghentikan terapi IFN dalam 3 bulan setelah dimulai.
Beberapa penelitian telah mengevaluasi tentang terapi kombinassi (pegylated/standar
IFN dengan ribavirin) pada pasien dengan hemodialisis (Tabel 9A, 16, 17). Kualitas
kepercayaannya sangat rendah. Hasil dari beberapa percobaan mendukung efikasi dan
keselamatan, tetapi tidak memebrikan rekomendasi karena grup penelitian yang sedikit
(http://aasld.org/eweb/docs/hepatitisc.pdf). Grup penelitian memikirkan jika diptuskan untuk
menggunakan ribavirin pada pasien hemodialisis, seharusnya dilakukan dengan sangat hati-
hati dan hanya setelah dilakukan pencegahan, meliputi (1) dosis ribavirin yang sangat rendah
(200 mg/hari atau 200 mg tiga kali/minggu); (2) monitor Hb tiap minggu; (3) dosis tinggi
eritropoietin untuk mengatasi anemia.

Kesimpulannya, standar IFN (3MU tiga kali seminggu SQ) direkomendasikan pada
pasien hemodialisis yang terinfeksi HCV (Tabel 5). Rekomendasi tersebut dapat ditemukan
dalam guideline AASLD pada biopsy hati dan lama terapi berdsarkan genotip HCV (48
minggu untuk genotip 1 dan 4, 24 minggu untuk genotip 2 dan 3) yang seharusnya dapat
diaplikasikan pada populasi pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, dianjurkan untuk
menentukan jika respon terapi diperoleh dalam 12 minggu (>2 log penurunan titer virus),
harus diputuskan apakah terapi akan dihentikan setelah 24 atau 48 minggu.

Pada pasien dengan transplantasi ginjal, rekomendasinya sama seperti di atas (Tabel 5)
dengan perkecualian bahwa semua pasien terinfeksi HCV harus menjalani bipsi hati tanpa
memperhatikan genotipnya. Berbeda dengan guideline AASLD, semua pasien biopsy hati
dengan Metavir < 3 dianjurkan untuk dilakukan evaluasi terapi antivirus dicoba sehingga
dapat mencapai SVR. Pendekatan agresif tersebut berdasarkan bukti yang menunjukkan
penurunan insiden diabetes post transplantasi, de novo GN, dan alograf nefropati kronik pada
resipien transplantasi yang sudah tidak viremik.

2.2.4 Pasien transplantasi ginjal yang terinfeksi HCV dimana terapi antivirus
memberikan risiko tinggi, dianjurkan menggunakan monoterapi dengan IFN standar
(Lemah).

Regimen IFN merupakan kontraindikasi setelah tranpslantasi ginjal


(http://aasld.org/eweb/docs/hepatitisc.pdf). Dalam 4 percobaan prospektif menggunakan
monoterapi IFN, penghentian terapi berkisar atara 21 sampai 56% dan allograft loss terjadi
pada 6-15% pasien (Tabel 11-14). Dalam satu percobaan dengan kombinasi IFN dan
ribavirin, tidak dilaporkan adanya allograft-loss, meskipun 27% pasien menghentikan terapi
karena efek samping yang timbul. Namun, perkembangan terjadinya fibrosis kolestasis hepar
karena HCV menjadi indikasi pemberian IFN pada pasien transplantasi ginjal, karena fibrosis
kolestasis hepar bersifat buruk. Dalam kasus ini, potensi manfaat pengobatan mungkin
meningkatkan risiko penolakan dan kegagalan transplantasi. Pada kondisi manapun, terapi
dilakukan setelah pasien diberikan informasi yang tepat mengenai risiko pengobatan dan
pilihan untuk tidak berobat.

Regimen lain berdasar obat daripada IFN sudah diajukan, tetapi tidak memberikan
bukti efikasi (Tabel 11-14). Tidak ada dampak respon virus pada monoterapi ribavirin
walaupun terjadi respon biokimia. Manfaat terapi antivirus pada histologi hati kecil bahkan
tidak ada. Sama halnya dengan monoteraapi amantadine setelah transplantasi ginjal
dilaporkan tidak memiliki dampak pada viremia HCV ataupun histologi hati. Regimen
alternatif tersebut tidak dianjurkan.

Keterbatasan

Informasi terbatas yang tersedia dalam literatur mengenai infeksi HCV pada populasi
pasien CKD memerlukan bukti dari populasi pasien non-CKD

Anda mungkin juga menyukai